Share

Bab 3

Vania adalah putri keluarga kaya yang telah terpuruk. Tiga tahun lalu, Jason mengumumkan hubungannya dengan Vania kepada publik. Bahkan, dia mengadakan acara pertunangan tanpa menghiraukan pertentangan dari Anwar.

Seketika, Vania menjadi wanita yang paling membuat orang iri di seluruh kota. Orang luar menganggapnya berpenampilan cantik, berhati baik, dan memiliki kepribadian yang anggun. Hanya Janice yang mengetahui sosok asli Vania yang sebenarnya.

Jika tidak menjadi desainer, Vania mungkin bisa jadi aktris!

Dengan kecerdikan dan kelicikannya, Vania tentu memahami maksud dari tuduhan Janice. Pernikahannya dengan Jason sudah tertunda selama tiga tahun dan dia sudah tak sabar untuk menjadi bagian dari Keluarga Karim.

Sesuai dugaan ....

Vania segera melangkah maju, lalu bersujud dengan tulus di tempat Janice berlutut sebelumnya.

"Ini salahku! Postur tubuhku hampir mirip sama Janice dan wajah kami juga agak mirip. Karena itulah, orang luar jadi salah paham."

Namun, seseorang di samping mereka mengajukan pertanyaan dengan nada meragukan, "Tapi, di internet juga ada yang mengungkapkan buku harian Janice. Menurut perhitungan, buku itu sudah ditulis sekitar lima atau enam tahun. Bukannya kamu baru kenal Jason selama tiga tahun?"

Vania yang sangat ahli dalam menampilkan perasaan tulus, segera melanjutkan aktingnya. "Aku yang duluan jatuh cinta diam-diam selama tiga tahun. Semua itu adalah curhatan yang kutulis. Aku juga nggak tahu siapa yang menemukannya."

Air mata mengalir perlahan di pipinya, dipadukan dengan tatapan penuh cinta. Bahkan rona merah di wajahnya terlihat begitu alami. Siapa yang bisa meragukan penampilan yang begitu tulus ini? Di kehidupan yang lalu dan saat ini, Janice selalu kalah telak.

Dia berkata dengan nada datar, "Paman dan Vania sudah tunangan bertahun-tahun. Sudah sewajarnya Vania membantu Paman saat dia berada dalam bahaya. Pasti paparazi di luar saja yang sengaja mengarang cerita bohong untuk menarik perhatian dengan skandal keluarga kaya!"

Mendengar hal ini, ekspresi orang-orang yang awalnya penuh minat pun mulai memudar, bahkan beberapa terlihat merasa bosan.

Baru sekarang Janice sadar betapa sia-sia hidupnya di kehidupan sebelumnya. Betapa keras dia berusaha menjalani hidup dengan hati-hati, tetapi pada akhirnya dia hanya menjadi hiburan bagi orang-orang yang tidak peduli.

Setiap detik di tempat ini terasa seperti siksaan baginya.

Janice mundur selangkah, lalu berkata dengan nada getir, "Karena semuanya sudah jelas, aku nggak mau ganggu diskusi penting Keluarga Karim. Kakek, semuanya, aku pamit dulu."

Dia berbalik untuk pergi, tetapi tetap merasakan tatapan tajam yang dilemparkan padanya. Namun, semua itu kini tak lagi ada hubungannya dengan dirinya.

....

Janice tidak tahu bagaimana kelanjutannya kejadian di aula itu. Yang dia tahu hanyalah bahwa ketika Ivy kembali, wajahnya tampak sangat muram. Kemungkinan besar, dia kembali dipermalukan oleh anggota Keluarga Karim lainnya.

Tuan muda kedua Keluarga Karim bernama Zachary Karim. Dia memang tidak terlalu berbakat dalam dunia bisnis. Anwar telah lama menyerah padanya. Itulah sebabnya, pasangan Ivy dan Zachary ini selalu diabaikan oleh seluruh keluarga.

Meski di hadapan semua orang mereka dipanggil sebagai Tuan dan Nyonya, di balik itu, tidak ada yang pernah menganggap serius keberadaan mereka.

Ivy mencubit lengan Janice sambil memarahinya, "Kamu sudah gila ya? Kesempatan sebagus itu!"

"Kesempatan apanya?" tanya Janice.

"Semalam kamu pulang dengan penampilan yang kacau balau. Kamu kira aku nggak bisa melihatnya? Cuma perlu minta maaf saja, 'kan? Sekarang ini gosip sedang marak di luar sana. Kalau Jason mau mempertahankan posisi pewaris, dia pasti harus perlakukan kamu dengan baik!"

"Kenapa kamu malah relakan kesempatan ini pada Vania? Gadis itu ... dari sekilas saja aku sudah bisa melihat betapa liciknya dia!" lanjut Ivy dengan kesal.

"Merebut tunangan orang, meracuni dan meniduri paman sendiri. Kamu kira aku bakalan bisa hidup bahagia?" Janice menarik kembali tangannya dan mengabaikan ibunya.

Sebagai seorang ibu, Ivy sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Setelah ayahnya menghilang, Ivy tetap tidak mencampakkan Janice. Bahkan saat menikah kedua kalinya pun, permintaan Ivy satu-satunya adalah diizinkan untuk membawa Janice bersamanya.

Namun, Ivy terlalu bergantung pada pria. Di Keluarga Karim yang penuh intrik ini, Ivy ditakdirkan untuk menerima penghinaan karena terlalu bergantung pada Zachary.

Dengan suara yang hampir menangis, Ivy berkata, "Itu tetap saja lebih bagus daripada hidup dengan harus mengandalkan belas kasihan orang lain! Paman tertuamu mati muda, ayah angkatmu juga nggak sehebat Jason. Ke depannya, seluruh Keluarga Karim ini pasti akan jadi miliknya. Kalau kamu bisa ...."

"Ibu, jangan bahas itu lagi," sela Janice dengan nada dingin.

"Kamu ini bisa lebih memaklumiku nggak? Ayah angkatmu terlalu jujur. Aku juga nggak bisa lagi melahirkan anak untuknya. Semua anggota Keluarga Karim merendahkanku. Pada akhirnya, bukankah aku harus bergantung padamu?" ucap Ivy menahan tangisannya.

Janice langsung menjawab terus terang, "Ya sudah, kalau begitu kamu pergi bilang sama Jason suruh dia menikahiku! Ayo, pergi sekarang!"

Ivy terdiam dan tidak berani mengatakan sepatah kata pun. Tidak ada seorang pun yang berani menyinggung Jason, mana mungkin dia berani?

Setelah terdiam beberapa saat, Janice tiba-tiba teringat sesuatu dan langsung menarik lengan Ivy.

"Ibu, kamu ... punya obat?"

"Obat apaan?"

"Kontrasepsi darurat," jawab Janice dengan tak berdaya.

"Kamu ... aku sudah umur segini, mana mungkin minum obat seperti itu? Kalaupun berhubungan badan, ayah tirimu selalu mengerti keadaanku," kata Ivy dengan nada tidak sabar.

"Bu, sekarang Keluarga Karim pasti masih mengawasi setiap gerak-gerikku. Ibu bisa belikan aku obat itu? Aku sedang dalam masa ovulasi kemarin," ujar Janice sambil menunjukkan aplikasi pencatat menstruasi di ponselnya. Kegelisahan mulai merayap dalam dirinya.

Dia sangat mencintai Vega. Namun, dia tidak bisa melahirkan Vega kembali. Vega pantas lahir di keluarga yang penuh cinta dan kebahagiaan, bukan menjalani kehidupan penuh penderitaan bersamanya.

Ivy mengerutkan kening, kemudian menghela napas panjang. "Ya sudah, aku pergi beli."

Janice menghela napas lega.

Namun setelah keluar, Ivy tidak membeli obat itu sendiri. Dia memanggil pelayan kepercayaannya, lalu memberikan beberapa instruksi dan menyuruhnya pergi. Setelah pelayan itu pergi, Ivy tidak terlalu memikirkan hal ini lagi karena semua perhatian orang-orang sedang terfokus di aula besar.

Yang tidak dia sadari adalah bahwa setiap kata yang dia ucapkan telah didengar oleh seseorang.

Setengah jam kemudian, Ivy kembali ke kamar dengan membawa kantong obat yang tidak tembus pandang.

"Cepat minum obatnya. Kalau terlalu lama, obatnya nggak akan efektif lagi," katanya sambil menyerahkan obat itu. Janice mengangguk, lalu melihat sekilas tulisan di kotak obat itu ... "Kontrasepsi darurat 48 jam".

Setelah membuka bungkus obat, Janice tidak langsung meminumnya. Sebaliknya, dia refleks menyentuh perutnya. Dulu, perut ini pernah mengandung putri yang paling dia cintai.

Vega, anak yang begitu pengertian dan manis. Namun, dia benar-benar tidak bisa membiarkan Vega dilahirkan dalam lingkungan yang tidak menginginkannya, lalu hidup dalam kesepian dan meninggal sendirian di ranjang rumah sakit.

Betapa takutnya Vega saat itu? Jadi, Vega, maafkan Mama .... Di kehidupan ini, kamu harus menemukan orang tua yang benar-benar mencintaimu dan tumbuh bahagia.

Wajah Janice pucat pasi dan jarinya bergetar saat dia mencoba memasukkan pil ke dalam mulutnya. Namun, tenggorokannya terasa kesulitan menelan pil tersebut. Janice menengadah dan meneguk air untuk memaksa dirinya menelan pil itu agar tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menyesal.

Meskipun air yang diminumnya hangat, tubuhnya terasa beku dan dingin hingga merasuk ke dalam tulang.

Jason, akhirnya kau berhasil menyingkirkan dua orang yang paling kau benci. Diriku dan Vega.

Setelah meredam perasaan sedih itu, Janice bersiap untuk menghancurkan kotak obatnya. Namun tiba-tiba, pintu kamar didobrak dengan keras hingga membuat ruangan itu bergetar. Sebelum Janice dan Ivy sempat merespons, mereka telah ditahan oleh pelayan dari kamar Anwar.

Beberapa saat kemudian, Janice diseret kembali ke aula besar. Dia didorong dengan keras hingga terjatuh ke lantai.

Tubuhnya yang telah kelelahan semalam, terpaksa berusaha keras untuk menopang dirinya untuk berdiri. Saat mendongak, dia melihat tatapan penuh kebencian dari semua orang. Terutama tatapan Jason yang semakin berbahaya dan dingin.

Suasana menjadi hening seketika, diiringi dengan isak tangisan rendah dari Vania. Mengikuti suara tersebut, Janice menoleh ke arah Vania. Meskipun sedang berlinang air mata, tatapan Vania memancarkan maksud tersembunyi.

Detik berikutnya, sebuah kotak obat dilemparkan ke samping kaki Janice. Pil-pil dari dalam kotak itu berserakan di lantai.

Anwar memukul meja teh dengan keras, lalu membentak, "Benda apa ini! Cepat jelaskan!"

Janice gemetaran sejenak, lalu menjawab dengan jujur, "Obat kontrasepsi."

Jason meliriknya sekilas dengan dingin, lalu bertanya dengan suara rendah, "Obat kontrasepsi? Hah?"

Nada bicaranya yang ditarik panjang, seolah-olah sedang mengejek Janice. Janice menundukkan kepalanya, lalu tertegun setelah melihat tulisan yang tertera di kotak obat itu.

Di kotak obat itu memang tertulis obat kontrasepsi darurat, tetapi isinya malah pil untuk membantu kehamilan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status