Setelah sesi mencicipi makanan selesai, Zion masuk dan melaporkan bahwa ada rapat dengan perwakilan dari kantor pusat.Akhir-akhir ini Landon memang terus berada di Kota Pakisa, sementara pekerjaan di kantor pusat Kota Heco sudah menumpuk.Melihat betapa sibuknya Landon, Janice langsung berkata, "Kamu urus saja urusanmu, aku dan Ibu bisa pulang sendiri kok."Landon melihat jamnya. "Kalau ada apa-apa, telepon aku."Setelah melihatnya pergi, Ivy pun merasa puas sampai terus tersenyum. "Pak Landon sesibuk itu, tapi masih mau temani kamu pilih restoran dan cicip makanan. Calon menantuku ini memang luar biasa.""Ibu, kami belum nikah, jangan panggil dia menantu terus, nanti ada yang salah paham."Ivy memang agak polos, makanya ucapannya sering kali menimbulkan masalah. Namun, kali ini menyangkut pernikahan Janice, jadi Ivy langsung menutup mulut dan lebih berhati-hati.Janice tersenyum, menggandeng lengan ibunya. "Ayo, aku antar Ibu pulang.""Nggak usah, aku sudah janjian sama teman lama bu
Janice tampak sangat terkejut. Dia masih ingat waktu kecil, Kristin sering menggendongnya sambil mengatakan dia suka anak perempuan.Tak disangka, demi punya anak laki-laki, dia sampai berobat bertahun-tahun.Janice menoleh ke Ivy, lalu bertanya, "Bu, apa hubungannya denganmu?"Sebelum Ivy sempat menjelaskan, Kristin dan tiga temannya sudah menghampiri bersama."Ivy, lama nggak ketemu, kamu kelihatan makin muda saja ya."Siapa yang tidak suka dipuji? Ivy pun tersenyum, lalu menyentuh wajahnya. Kebetulan sekali, memperlihatkan cincin permata hadiah peringatan pernikahan dari Zachary."Ah, nggak juga. Aku cuma lebih santai saja belakangan ini.""Ya ampun, cincinnya cantik banget! Hadiah dari suamimu ya? Kalian sudah nikah lama, tapi masih seromantis ini.""Iya, iya." Ivy mengangguk. Yang sebenarnya dia banggakan bukanlah cincinnya, melainkan cinta suaminya padanya.Sementara itu, Janice menyadari wajah Kristin tampak kurang senang. Dia menarik lengan Ivy. "Bu, Bibi Kristin lagi gendong b
Program hamil? Tangan Janice yang sedang memegang cangkir teh langsung kaku. Dari sudut matanya, dia melihat Rachel juga melirik ke arahnya."Ya, baru nikah soalnya. Suamiku suka banget sama anak kecil, katanya mau anak perempuan dulu. Bahkan, kita sudah siapin namanya," kata Rachel dengan tenang."Jason ini buru-buru banget ya, nama saja sudah disiapin. Namanya siapa?" tanya Elaine dengan penasaran."Vega," jawab Rachel perlahan.Duk! Cangkir teh di tangan Janice jatuh ke atas meja."Namanya siapa?" Suara Janice gemetar."Vega, itu nama yang Jason pilih sendiri." Rachel menekankan kata-katanya.Amarah dalam diri Janice langsung berkobar. Itu nama anak perempuannya! Apa hak Jason menggunakan nama itu?Elaine menatap Janice yang kehilangan kendali, lalu tertawa. "Eh, kenapa, Janice? Kita lagi bahas ibumu dan Rachel soal punya anak, tapi ekspresimu kayak kamu yang mau punya anak saja."Janice tersadar, semua orang menatapnya dengan ekspresi aneh. Dia mengepalkan tangannya, lalu mengambil
Kristin mengangguk, memanggul tas perlengkapan bayi di punggung, dan menggendong anaknya pergi ke toilet.Janice menoleh ke arah tiga wanita lainnya dan menjelaskan, "Investasi bukan hal sepele, menurutku harus dipertimbangkan matang-matang. Lagi pula, ibuku juga kurang paham. Gimana kalau besok ibuku ajak Bibi Fenny buat jelasin semuanya?""Boleh juga."Janice dan Ivy langsung menghela napas lega.Selesai mengganti popok, Kristin keluar dari toilet. Dia beberapa kali mencoba membahas topik soal investasi, tetapi selalu berhasil dialihkan oleh Janice.Akhirnya, pertemuan itu bubar dengan suasana tak menyenangkan.Dalam perjalanan pulang, Ivy menggertakkan gigi. "Aku anggap dia teman baik, makanya cerita soal aku untung dari investasi. Apa maksud dia tadi?""Ibu, orang bisa berubah. Tadi Ibu juga lihat sendiri keadaannya. Kalau suaminya sayang dia, mana mungkin biarin dia bolak-balik ke dokter belasan tahun cuma buat punya anak laki-laki?""Hais ...." Ivy hanya bisa menghela napas panja
Dengan tatapan dingin, Janice melewati Jason dan langsung berjalan menuju pintu. Saat hendak mendorong pintu, Jason tiba-tiba mengulurkan tangan dan menutup pintu itu dengan kuat.Dalam sekejap, napas hangat pria itu menyapu tengkuk leher Janice. Sebelum dia sempat bereaksi, tangan pria itu sudah menggenggamnya dan mengangkatnya.Janice mencoba melepaskan diri, tetapi tidak bisa melawan tenaga pria itu. Akhirnya, dia hanya bisa mengepalkan tangannya erat-erat.Jason yang berada di belakang pun menghela napas. Kemudian, dia menempelkan obat ke telapak tangan Janice yang terkepal."Aku sudah tanya Arya, katanya efek obat maag ini nggak begitu kuat."Janice menunduk, menatap obat itu, menarik napas pelan. Suaranya gemetar, diselimuti amarah yang nyaris meledak. "Kenapa kamu harus begini?"Dia memutar tubuh dengan kuat, mencoba mendorong pria di depannya, tetapi tubuh Jason kokoh seperti tembok."Kenapa kamu harus memperlakukanku seperti ini?" Janice memukul dada Jason hingga terdengar sua
Detik berikutnya, mangkuk di tangan Rachel terjatuh ke lantai dan pecah. Dia menopang meja sambil terengah-engah. "Kamu ingin semua orang tahu kalau kita pasangan baru, tapi hidup terpisah?"Jason mengangkat kepala dan menghabiskan sisa anggur di gelasnya, lalu menyahut dengan dingin, "Itu sudah kita sepakati sebelum menikah."Wajah Rachel pucat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangannya. "Aku tahu kamu sibuk. Kalau begitu, aku pergi dulu."Tanpa menunggu Jason bersuara, dia menghindar dari tatapannya dan pergi dari rumah itu seperti melarikan diri.Jason meletakkan gelas anggurnya tanpa ekspresi, lalu masuk ke kamar. Begitu masuk, tubuhnya seolah-olah kehilangan kendali. Dia ambruk ke tempat tidur dan keringat dingin membasahi kemejanya.Ketika dia perlahan-lahan membuka matanya kembali, matanya sudah merah penuh urat darah. Dengan tangan bergetar, dia merogoh ke bawah bantal untuk mengeluarkan sebuah foto, lalu menatapnya berulang kali sampai tenggorokannya terasa
Jason butuh beberapa saat untuk tersadar kembali. Dia memandangi sekeliling ruang rawat, lalu bertanya, "Vega di mana?""Vega siapa?" Arya mengira Jason masih mengigau."Putriku," jawab Jason.Arya langsung merasakan firasat buruk. Dia menoleh ke arah Norman. "Gawat, otaknya rusak."Jason mengusap pelipisnya, lalu menarik bantal dari bawah kepalanya dan melemparkannya ke arah Arya.Arya menghindar. "Jangan gerak sembarangan! Kalau tadi Norman nggak nekat cari kamu, mungkin kamu sudah mati beku. Begitu bangun, yang kamu cari malah anak perempuan? Aku sama Norman nggak bisa buat anak untukmu lho!""Anak kecil yang ambil ginjal di mimpimu," ujar Jason sambil menyipitkan mata."Dia anakmu? Terus kenapa ambil ginjalku? Itu namanya salah sasaran!" Arya masih bercanda, tetapi dia tiba-tiba menyadari sesuatu. Matanya membelalak menatap Jason.Dia mendekat. "Tunggu ... kita berdua mimpi tentang gadis kecil yang sama saja sudah aneh. Kamu bahkan tahu nama dan identitasnya? Ini gimana ceritanya?"
"Iya." Ivy mengangguk."Kalau begitu, kita daftar dulu biar nanti nggak buang-buang waktu isi-isi formulir."Pemuda itu memanggil seseorang untuk membawakan formulir kepada Ivy, sementara dia lanjut membagikan teh ke yang lain.Ivy dengan senang hati menerima formulirnya dan mulai menulis dengan sangat teliti.Janice melirik lembarannya, lalu berbisik, "Bu, ini nggak terlalu detail? Bahkan riwayat kesehatanmu waktu kamu lahirin aku juga ditanya. Bukannya dokter pengobatan tradisional cukup memeriksa denyut nadi?"Ivy tak terlalu peduli. "Mungkin dokternya sudah terlalu tua? Umurnya sudah 96 tahun. Kalau punya referensi, mungkin lebih aman supaya nggak salah diagnosa."Ada benarnya juga.Tak lama kemudian, pemuda tadi kembali untuk mengambil formulir. "Sudah diisi? Aku bawa masuk dulu.""Oke." Ivy menyerahkan formulirnya.Pemuda itu pun masuk ke rumah.Janice tiba-tiba merasa gelisah. Dia menyesap teh dan langsung memuntahkannya. "Aneh banget rasanya.""Masa?" Ivy mencicipi lagi. "Aku r
Janice terus memanggil nama Yuri berulang kali.Yuri menutup telinganya dengan frustrasi, nyaris meledak, "Berhenti! Jangan panggil lagi! Aku paling benci namaku!"Setelah masuk sekolah, dia baru menyadari bahwa sejak lahir dia sudah punya seorang adik laki-laki yang tidak terlihat.Janice menatap gadis kecil yang menangis tersedu-sedu itu dan menyerahkan selembar tisu. "Nggak ada yang salah dengan namamu. Kamu adalah kamu. Aku tahu kamu punya banyak impian, jadi jangan biarkan siapamu mengekangmu."Yuri menutupi matanya dengan tisu dan akhirnya menangis keras. Setelah lelah, dia menatap Janice dengan mata yang bengkak dan merah. "Kak, maaf."Janice tersenyum lembut, mengelus kepalanya. Ternyata Yuri masih mengingatnya.Segalanya seperti kembali ke masa lalu. Mereka duduk di bangku taman sambil makan es krim. Saat itu Yuri masih kecil, duduk di samping Janice sambil memanggilnya "kakak".Di kehidupan sebelumnya, setelah Ivy meninggal, Janice benar-benar putus kontak dengan para bibi it
Wajah Jason hanya sejengkal dari wajahnya. Janice menahan napas, tanpa sadar menarik erat syalnya.Agar Jason tidak menyadarinya, Janice mengalihkan pandangan, lalu melilitkan syal itu ke leher Jason dan menunjuk ke kerah bajunya."Masukkan, biar nutupin bagian bajumu yang basah."Jason menunduk, matanya tampak sedikit kecewa. Namun, dia tidak memaksa, hanya memperbaiki penampilannya sendiri.Sesaat kemudian, mereka berdua masuk ke Gedung 2 dan menemukan kelas SMA 3-3. Saat berdiri di dekat jendela, mereka bisa melihat isi kelas dengan jelas.Ada lima enam siswi yang duduk, mengobrol santai dalam kelompok kecil. Hanya satu siswi yang sedang serius mengerjakan lembar soal. Saat menyadari ada orang di luar jendela, dia mendongak melirik sekilas.Tatapan siswi itu bertemu dengan Janice selama dua detik, lalu dia cepat-cepat menunduk lagi, bahkan tangan yang memegang pena tampak bergetar.Saat Janice mengalihkan pandangan ke murid lain, gadis itu menarik dua lembar tisu dan pura-pura pergi
Setelah mengatakan itu, wanita itu mengeluarkan saputangan dari tasnya dan hendak menyeka dada Jason.Namun, Jason langsung menangkis tangan wanita itu, lalu berkata dengan dingin, "Nggak perlu."Setelah tertegun sejenak, wanita itu menggigit bibir dan merapikan rambutnya. "Pak Jason, aku pasti akan ganti rugi. Tapi, bajumu pasti sangat mahal, aku mungkin nggak bisa langsung membayarmu sekarang. Bagaimana kalau kamu berikan aku kontakmu ....""158 ribu." Jason langsung menyela perkataan wanita itu."Hah?" seru wanita itu yang langsung terkejut."Ada obral cuci gudang di ujung jalan, tunai atau transfer?" kata Jason dengan dingin.Saat itu, wanita itu baru mengerti maksud dari perkataan Jason. Ternyata, Jason sudah menyadari niatnya dan sedang menolaknya. Namun, pria di depannya ini adalah Jason. Meskipun hanya pakaian yang dijual di kaki lima, pakaian itu tetap akan terlihat seperti setelah bermerek di tubuh Jason. Dia segera mencari cara lain sambil tetap tersenyum. "Transfer saja, bo
Mendengar suara itu, Janice langsung tersadar kembali dan mendorong pria di depannya. Namun, sebelum dia bisa berdiri dengan tegak, sekelompok siswa kembali mendorongnya sampai dia jatuh ke pelukan Jason.Jason langsung menopang Janice dan berkata dengan pelan, "Kamu yang mulai dulu."Janice menggigit bibirnya dan mencoba melepaskan genggaman Jason, tetapi Jason malah memeluk pinggangnya dengan erat. "Jangan bergerak. Orangnya terlalu banyak di sini, kita keluar dari sini dulu baru bicara lagi."Setelah mengatakan itu, Jason merangkul Janice dan berjalan ke depan.Janice berusaha melepaskan tangan Jason. "Lepaskan aku. Nanti kita akan ketahuan."Namun, Jason tetap tidak melepaskan genggamannya, melainkan menurunkan topi Janice dan menekan kepala Janice ke dadanya. "Ayo pergi."Setelah berusaha melawan sejenak, Janice yang benar-benar tidak bisa melepaskan diri pun akhirnya hanya bisa ikut pergi bersama Jason.Penampilan Jason terlihat sangat tidak ramah, sehingga tidak ada yang berani
Janice berpikir Fenny yang sudah sekarat karena menderita kanker pasti akan berusaha memastikan kehidupan anaknya terjamin.Setelah terdiam cukup lama, Arya yang berada di seberang telepon perlahan-lahan berkata, "Apa yang ingin kamu lakukan?"Janice menjawab dengan jujur, "Ibuku dalam masalah. Anak laki-laki yang terkena leukemia itu adalah putra dari teman ibuku, dia pasti mengetahui sesuatu.""Baiklah, aku akan membantumu mencarinya," balas Arya."Terima kasih," kata Janice, lalu menutup teleponnya.Saat keluar dari apartemen, sebuah taksi kebetulan berhenti tepat di hadapan Janice. Setelah masuk ke dalam taksi, dia berkata pada sopir, "Ke SMA Chendana."Setelah taksi melaju, Janice memandang pemandangan di luar dari jendela. Dia sengaja menelepon Arya untuk mencari putra Fenny karena semua masalah ini terjadi untuk menjebaknya dan Ivy. Sebelum dia terperangkap, semuanya masih belum berakhir.Fenny adalah saksi dalam kasus ini, semua orang pasti akan mencari kelemahannya. Putranya y
Landon bisa melihat perubahan suasana hati Janice. Kebetulan saat itu dia melihat Naura keluar dari dapur sambil membawa segelas air, dia pun berkata, "Kalau begitu, kamu tinggal di rumah Kak Naura dulu untuk sementara ini. Para pengawal akan tetap melindungi kalian di sini.""Ya," jawab Janice sambil menghela napas lega.Setelah menyerahkan air itu ke tangan Janice, Naura berkata sebagai jaminan, "Pak Landon, tenang saja, aku pasti akan menjaga Janice dengan baik.""Maaf merepotkanmu," kata Landon dengan sopan.Setelah mengatakan itu, Landon menerima pesan dari Zion. Setelah membaca pesan itu, dia berkata dengan tenang, "Janice, kamu istirahat dulu. Aku ada urusan lain yang harus segera ditangani."Janice langsung merespons perkataan Landon.Setelah mengantar Landon pergi, Naura langsung membawa Janice ke rumahnya.Beberapa menit kemudian, pengawal yang dikirim Landon mengetuk pintu. "Nona Janice, kalau ada apa-apa, langsung panggil kami saja. Nanti petugas kebersihan juga akan datang
Janice yang dalam keadaan putus asa ditemani Landon untuk kembali ke apartemen. Saat pintu lift terbuka, bau yang menyengat membuatnya yang sensitif terhadap bau karena hamil langsung terbatuk-batuk.Landon segera berdiri di depan Janice untuk melindunginya dari bau, lalu keluar dari lift terlebih dahulu.Namun, pada detik berikutnya, terdengar suara dari Naura. "Pak Landon? Mana Janice?"Janice segera menutupi hidung dan mulutnya dengan lengan bajunya, lalu keluar dari lift. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Naura, dia tertegun karena melihat pemandangan di depan matanya. Pintu rumahnya disiram cat merah dan tertulis kata untuk membayar utang di dindingnya. Cat di tulisannya menetes seperti darah karena masih belum kering, terlihat sangat mengerikan.Naura yang apartemennya juga terkena imbasnya pun menggulung lengan bajunya dan memakai masker, lalu membersihkan cat dari dinding dengan alkohol seperti yang dipelajarinya dari internet. Bau cat bercampur dengan alkohol membuat loro
Janice menyadari orang di dalam ruangan itu adalah Fenny yang duduk dengan tenang dan riasannya tetap terlihat muda serta anggun seperti saat meninggalkan Kota Pakisa. Namun, entah mengapa dia merasa orang ini terkesan berbeda dengan Fenny di ingatannya yang sangat pandai berbicara.Mungkin karena menyadari ada yang sedang memperhatikannya, Janice melihat Fenny mengangkat kepala dan menatapnya yang berada di luar pintu. Tatapan Fenny terlihat sangat kelelahan dan tidak bersemangat untuk mencari banyak uang seperti yang pernah diceritakan Ivy. Padahal Ivy pernah bergaul dengan banyak ibu-ibu kaya, tidak mungkin mudah ditipu ekspresi Fenny yang seperti ini.Saat Janice hendak memperhatikan Fenny dengan lebih jelas, polisi itu langsung menutup pintu. Dia pun hanya bisa segera menyusul Zachary. "Paman, tunggu sebentar.""Kenapa?" tanya Zachary yang agak tergesa-gesa."Paman, bisakah kamu menyelidiki Bibi Fenny ini? Maksudku, kehidupannya sebelum dia kembali ke Kota Pakisa," kata Janice. Di
Ivy merasa agak emosional, sedangkan ekspresi Janice dan Zachary menjadi jauh lebih muram.Saat itu, Janice akhirnya mengerti mengapa Kristin berani menuduh Ivy menipu uang mereka di hadapan polisi karena tidak ada bukti yang jelas apakah yang itu diminta atau diberi. Selain itu, Fenny sudah menyerahkan diri dan mengakui kesalahan, sehingga Ivy terkesan seperti dalangnya. Sementara itu, bukan hanya tidak menyadari hal itu, Ivy juga tidak mampu membantah.Namun, Janice bertanya-tanya mengapa Kristin dan Fenny harus melakukan ini? Dia pun melirik Zachary dan terlihat jelas Zachary juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.Setelah menenangkan Ivy terlebih dahulu, Zachary baru bertanya dengan nada lembut, "Kenapa Fenny bisa menghubungimu?"Ivy perlahan-lahan merasa tenang setelah mendengar nada bicara Zachary, lalu mencoba mengingat kembali saat pertama kalinya dia bertemu dengan Fenny. "Saat itu aku ikut acara minum teh sore yang diadakan Nyonya Linda, kebetulan dia ada janji dengan pe