Share

Bab 6

Tadi malam? Janice memang mengatakan banyak hal. Dia tidak tahan melihat penderitaan Jason, sehingga dia terpaksa menuruti keinginan pria itu. Saat suasana semakin memanas, dia menahan penyiksaan dari Jason sambil mengungkapkan isi hatinya dengan serius.

Saat itu, dia berpikir bahwa mungkin besok Jason akan melupakan semuanya. Namun, dia akan selalu mengingat momen ini. Setidaknya, dia pernah berada sangat dekat dengan Jason.

"Jason, aku menyukaimu. Aku sudah lama menyukaimu, sejak aku masuk ke Keluarga Karim dan kamu membantuku mengatasi kesulitan. Aku tahu kamu nggak akan peduli padaku, tapi aku ... sungguh ...."

"Mencintaimu."

Janice pertama kali masuk ke Keluarga Karim ketika dia berusia 16 tahun. Ivy mendandaninya seperti boneka yang siap untuk dipersembahkan. Pada saat itu, Ivy tidak memahami gaya berpakaian minimalis para wanita sosialita. Dia hanya ingin putrinya terlihat secantik mungkin ketika memasuki Keluarga Karim.

Namun, hal itu malah membuatnya menjadi bahan ejekan bagi seluruh Keluarga Karim. Semua orang mengatakan bahwa dia terlihat seperti ayam kampung yang mencoba menyamar menjadi burung phoenix.

Ivy yang penakut bahkan tidak berani membantah ucapan pelayan. Saat itulah, Jason muncul.

Dengan tubuh tegap yang mengenakan mantel hitam panjang, dia berdiri di bawah beranda sambil menepuk-nepuk rokok di tangannya dan mengembuskan asap yang menutupi wajahnya. Di belakangnya, salju turun perlahan, membuat sosoknya semakin memancarkan aura dingin dan bahaya.

Namun, tidak ada yang bisa menyangkal betapa tampannya pria itu. Hanya dengan satu tatapannya, para pelayan langsung ketakutan dan tidak berani mengatakan apa pun lagi.

Saat itu, dia berusia 23 tahun dan baru saja lulus dari universitas. Namun, reputasinya sudah dikenal di seluruh ibu kota sebagai pria yang ditakuti.

Jason menatapnya dan berkata dengan nada datar, "Lumayan."

Janice terus mengingat ucapan tersebut sangat lama. Saking lamanya hingga aroma yang melekat pada Jason saat itu pun masih terasa meski bertahun-tahun telah berlalu. Setelah itu, mereka sesekali bertemu.

Suatu hari di musim semi, Janice sedang berada di taman. Dia hampir menangis karena peringkatnya di sekolah turun. Jason yang sedang bersandar di paviliun, melirik sekilas soal di tangan Janice, lalu berkata, "Dasar bodoh, sini pulpennya."

Di musim panas saat Janice belajar berenang, kakinya tiba-tiba kram. Jason langsung melompat ke dalam kolam untuk menolongnya dan bahkan memarahi Janice yang kikuk.

Di jalanan pada musim gugur, Janice diganggu oleh anak-anak lainnya dan tidak sempat melarikan diri. Jason turun dari mobil, lalu merangkul pundaknya dan pergi bersama-sama.

Cintanya kepada Jason terkumpul dari pertemuan singkat mereka di setiap musim. Namun ... kata-kata ini sudah pernah diucapkan Janice di kehidupan sebelumnya. Dulu, hatinya yang begitu tulus dan hangat mulai tumbuh di tengah-tengah hasrat Jason.

Hanya saja, yang dia dapatkan hanyalah penghinaan dan fitnah, serta kematian tragis putrinya. Jika Jason tidak pernah peduli pada cintanya, mengapa Janice harus peduli sekarang? Janice menundukkan kepalanya karena tidak berani menatap Jason.

"Kamu salah dengar, aku nggak bilang apa-apa," ucapnya pelan.

"Nggak panggil aku Paman lagi?" tanya Jason dengan nada dingin.

"Paman."

Sejenak, suasana di dalam mobil menjadi canggung. Janice melirik ke arah Jason di sampingnya. Di antara jarinya yang ramping, terjepit sebatang rokok yang sedang dimainkannya.

Tatapan mereka bertemu. Jason mematahkan rokoknya menjadi dua dengan santai, hingga tembakau dalam rokok itu jatuh ke pangkuannya. Pesan dari tindakannya ini sangat jelas ... dia sedang memberi peringatan. Dada Janice terasa sesak.

"Pinggirkan mobilnya," perintah Jason dengan dingin.

Norman segera menepi. Mobil itu masih berada di area milik Keluarga Karim, sehingga Jason bisa menghentikannya sesuka hatinya. Setelah mobil berhenti, Jason melirik sekilas ke arah Norman yang keluar dari mobil dengan buru-buru.

Janice juga mencoba untuk keluar, tetapi pinggangnya tiba-tiba dicekal dengan erat dan tubuhnya ditarik ke arah Jason.

"Mau lari? Janice, aku cuma diracuni, bukannya mati," kata Jason dengan suara rendah. Nada bicaranya tidak terdengar marah, melainkan penuh dengan sindiran.

Janice merasa sesak karena tertekan oleh aura berbahaya yang meliputi Jason. Dia hanya bisa menggigit bibir dan mencoba untuk melawan, tetapi usahanya sia-sia.

Tangan yang baru saja diangkatnya, langsung ditangkap dan dipelintir ke belakang oleh Jason. Jason menekannya ke jok kulit mobil yang terbenam, lalu membelitnya dengan erat. Posisi mereka membuat Janice merasa sangat malu.

"Lepaskan aku!"

Pria itu masih memancarkan minat dan aura panas seperti semalam. Janice ditekan oleh tubuh Jason, sehingga membuatnya terpaksa menelungkup di atas kursi. Rasa malu dan marah meluap di dalam dirinya, sedangkan kedua pergelangan tangannya dikunci oleh salah satu tangan Jason.

Dengan tangan yang satunya lagi, Jason menyibak rambut Janice hingga memperlihatkan bekas yang sengaja dia tutupi. Semua itu adalah bekas yang ditinggalkan oleh Jason tadi malam. Jason mengusap bekas itu dengan jari-jarinya, yang dingin dan menakutkan.

"Setelah menarik perhatianku, jangan harap bisa lolos begitu saja," ucapnya dengan nada datar tetapi mengandung ancaman.

Jari-jarinya menekan lebih kuat, lalu perlahan-lahan menyusuri leher Janice dan terus bergerak ke bawah. Kemudian, dia menyusuri tulang punggung Janice dan mengusap setiap incinya.

Janice menggigit bibirnya karena merasa terhina. Dia teringat kembali dengan penyiksaan Jason selama delapan tahun penuh di ranjang pada kehidupan sebelumnya.

Jason adalah seorang pebisnis yang memprioritaskan keuntungan. Meski tidak pernah mencintai Janice, hal itu tidak menghalanginya untuk mengendalikan dan memiliki tubuh Janice. Seolah-olah Janice adalah barang pribadi yang tidak dicintai, tapi juga tidak akan direlakan begitu saja.

Memikirkan hal itu, tubuh Janice mulai gemetaran, sama seperti di kehidupan sebelumnya. Jason berhenti sejenak. Matanya menjadi kelam dan minatnya langsung memudar. Dia mendorong Janice untuk menjauh dengan kasar.

Janice terkulai dan berusaha keras untuk menahan ketakutannya yang semakin kuat.

Jason menurunkan jendela mobil, lalu menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya perlahan. Cincin merah di jarinya, memancarkan kilatan berbahaya dalam kegelapan.

Dia menyeringai tipis di bawah cahaya lampu jalan. Sorot matanya tampak malas, tetapi terasa seperti pisau tumpul yang menyayat kulit Janice perlahan-lahan.

Bau tembakaunya memenuhi seisi mobil. Perlahan-lahan, Janice mulai menenangkan diri. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu merapikan pakaiannya dan duduk tegak.

"Apa yang harus kulakukan supaya kamu bisa melepaskanku?" tanya Janice dengan suara gemetaran.

Jason menengadah sambil mengembuskan asap rokok. Kemudian, dia melirik Janice dari sudut matanya bagaikan binatang buas yang terbangun dalam kegelapan.

Sambil masih memegang rokok, jari-jari Jason mengusap pipi Janice. Kemudian, tangannya turun perlahan dari pelipis ke matanya, hingga menyentuh tahi lalat di bawah matanya dengan lembut. Sentuhan halus itu seharusnya terasa nyaman. Namun bagi Janice, sentuhan itu justru seperti lidah ular yang menjilati kulitnya dan membuat napasnya tercekat.

Jason menatapnya dari atas dengan angkuh. Mata Janice ini benar-benar pandai mengelabui orang.

Tadi malam, mata itu penuh dengan perasaan cinta. Ketika Jason memperlakukannya dengan kejam, air mata mengalir turun dari tahi lalat di bawah mata Janice sehingga membuatnya terlihat begitu menyedihkan, tetapi begitu memikat.

Tak disangka, hari ini Janice malah bersikeras tidak mau mengaku.

Tidak masalah. Jason sendiri juga bukan orang baik.

Detik selanjutnya, dagu Janice dicengkeram oleh Jason. Dia memaksa Janice untuk mendongak dan menatap langsung ke matanya. Jason mengusap bibir keringnya, sementara rokok yang sudah terbakar hampir habis itu nyaris menyentuh leher Janice. Matanya dipenuhi dengan tatapan bengis.

"Melepaskanmu? Janice, waktu kamu meracuniku, seharusnya kamu sudah tahu bahwa masalah ini belum selesai."

Janice tercekat. Dia tahu, apa pun yang dikatakannya sekarang, Jason tetap tidak akan percaya. Sebaliknya, dia hanya akan dihukum lebih keras lagi. Saat ini, Janice merasakan roda nasib seolah-olah berputar kembali dan menjeratnya dalam siklus yang sama. Padahal, dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri.

....

Setengah jam kemudian.

Mobil Jason berhenti dan di luar jendela tampak rumah pribadinya. Janice keluar dari mobil. Namun, entah itu karena efek obat atau karena emosinya yang bergejolak, rasa mual kembali menyerang perutnya.

Janice menekan perutnya dan hendak pergi, tetapi Jason menariknya dengan paksa menuju rumah. Janice tertegun sejenak, lalu segera memberontak. "Lepaskan aku! Kamu mau apa sebenarnya?"

Jason menyudutkan Janice di samping pintu dan tertawa dingin. "Meskipun kamu sudah minum pil kontrasepsi, obat itu nggak selalu efektif. Kamu akan tinggal di sini selama sebulan sampai aku kita pastikan kamu nggak hamil. Kalau ternyata kamu hamil ...."

Tatapan Jason yang dingin itu tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.

Perut Janice mendadak terasa sakit. Gambaran mengerikan tentang Vega yang mati di ranjang rumah sakit, kembali menghantam pikirannya. Dengan bibir bergetar, Janice bertanya, "Kalau aku hamil, apa yang akan kamu lakukan?"

"Gugurkan," jawab Jason dengan nada datar, seolah-olah itu hanyalah keputusan biasa yang tidak perlu dipikirkan.

Saat itulah Janice benar-benar menyadari betapa bodohnya dirinya di kehidupan sebelumnya. Dia mengira Jason menikahinya karena mempertimbangkan keberadaan anak mereka. Ternyata, justru keberadaan Janice-lah yang membuat Jason tidak menyukai anak itu.

Sejak awal, Jason memang sudah berniat untuk membunuh anak itu. Perut Janice terasa mual. Bukan hanya karena obat, tapi juga karena rasa jijik yang mendalam di hatinya.

"Hoek ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status