Arya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan hampir maksimal saat keluar dari Kota Surabaya. Suara knalpotnya bisa memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Saat jalan di kota, ia tidak bisa sembarangan melaju dengan kencang karena ada peraturan batas kecepatan dan banyaknya lampu merah.
Sesekali Arya mengumpat jika harus mengerem mendadak saat kendaraan lain akan berbelok atau berhenti karena lampu merah. Pemuda itu memang tidak sabaran dan mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Udara yang cukup panas membuat suasana hatinya ikut panas. Entah mengapa kebiasaan buruknya itu belum juga hilang. Hanya berkendara selama dua jam Arya sudah sampai di tanah kelahirannya, lebih cepat setengah jam dari biasanya. Hari belum terlalu siang saat Arya Sampai. Alih-alih pulang ke rumahnya, pemuda bertato elang di lengannya itu lebih memilih pergi ke tempat ia berjanji bertemu dengan Dahlia. ‘Lia, aku sudah di tempat biasa kita bertemu. Kamu di mana?’ Arya mengirim pesan pada kekasihnya. Ia memang datang lebih cepat dari waktu janjian. Pesan itu tidak langsung dibuka oleh Dahlia. Arya harus menunggu balasan pesan yang entah kapan akan terkirim. Arya resah. Ia mondar-mandir sambil sesekali melongok ke arah jalan. Ia tidak melihat tanda-tanda Dahlia datang. Tempat ia janjian memang masih sama, masih di bawah rimbunan pohon dekat jalan utama desa, tetapi jalanan yang dulu dari batu kapur berdebu, kini sudah mengalami perubahan. Jalanan itu kini sudah dipoles aspal yang masih hitam mengkilat. Tiga puluh menit telah berlalu. Namun, Dahlia belum juga membalas pesan yang Arya kirim. Pemuda berkulit cokelat itu jengkel bukan kepalang. Ia yang sudah datang sejauh ini atas permintaan Dahlia, tetapi gadis itu malah belum menampakkan batang hidungnya. Arya mencoba menghubungi Dahlia berkali-kali dengan panggilan telepon, tetapi teleponnya tidak diangkat. Pesannya pun belum juga dibalas. Wajah Arya merah padam menahan amarah. Ia merasa diabaikan kekasihnya. Dengan hati kesal, Arya menuju motornya dan yang terparkir di bahu jalan. Ia putar kendaraannya ke arah rumahnya, lalu menaiki kendaraan roda duanya. Arya men-starter motornya dengan kasar. Ia akan pergi dari tempat itu karena lelah menunggu Dahlia yang tak kunjung datang. Baru saja Arya memasukkan satu gigi motor, suara yang sangat ia kenal memanggilnya. Arya menoleh dan mendapati seorang gadis cantik tersenyum padanya. Ia berjalan dengan cepat menuju Arya. Gadis itu membawa tas ransel yang ia panggul di punggungnya. “Mas Arya sudah datang dari tadi?” pekiknya senang. Gadis itu tidak tahu jika sedari tadi Arya menahan marah dan kesal. Dahlia ngos-ngosan. Ia baru saja berlari, tidak membawa motor. Ia juga membawa tas ransel yang isinya penuh yang ia gendong di pundak. “Apa gunanya, sih, kamu punya hape, Lia? Teleponku enggak kamu angkat! Pesanku enggak kamu balas! Mau kamu apa, sih?” bentak Arya. Akhirnya kemarahan Arya meluap juga. Ia yang terbiasa arogan dan dituruti kemauannya, harus tunduk pada gadis di hadapannya. Bahkan, ia rela menempuh perjalanan dari Surabaya ke desanya dengan waktu yang cukup cepat. Dahlia terkejut. Ia tidak menyangka Arya akan marah. Meskipun Dahlia tau Arya mempunyai sifat pemarah, tetapi selama ini, pemuda itu tidak pernah membentaknya. “Mas, kamu ....” sudut mata Dahlia mengembun. Ia tak melanjutkan ucapannya. Melihat air mata Dahlia yang hampir tumpah, seketika hati Arya mencelos. Ia langsung luluh dan tidak tega melihat gadis dikasihinya itu. Arya turun dari motornya, lalu melangkah menuju Dalia yang masih mematung. “Sudah ... ayo kita duduk di bawah pohon itu, di sini panas.” Arya mengusap air mata Dahlia yang sudah turun ke pipi gembilnya. Dahlia menurut. Arya merangkul pundak gadis itu. Mereka berjalan bersisian menuju tempat biasa mereka janji bertemu. Setiap kali mereka bertemu, harus sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui keluarga Dahlia atau mungkin tetangganya. Arya dan Dahlia duduk di bawah pohon trembesi yang rindang. Bunganya yang berwarna putih dan merah muda pada ujung-ujungnya itu berjatuhan tertiup angin seperti hujan salju. Perumpamaan itu yang dipakai Dahlia sejak kecil dulu. Biji-biji pohon trembesi dari buahnya yang sudah sangat tua dengan warna coklat kehitaman juga banyak berjatuhan di bawah pohon. Suasana seperti itu membuat hati Dahlia menghangat mengingat masa-masa kecil dulu. Dahlia suka memunguti buah dan biji-biji trembesi untuk dimakan atau sekedar dibuat mainan. Sejenak suasana hening. Dahlia mengatur napasnya. Gadis itu sekarang lebih tenang begitu juga dengan Arya. Ia tidak lagi marah pada gadis di hadapannya. “Aku minta maaf sudah membentakmu,” sesal Arya. Dahlia tersenyum, lalu mengangguk. Sejenak kemudian, wajah Dahlia kembali murung. “Aku kabur dari rumah,” ucap Dahlia penuh beban. “Kabur? Maksudmu?” “Dua hari lalu kakak pertamaku menjemputku di kos-kosan. Mereka memaksaku untuk segera pulang. Kakak bilang ada acara keluarga yang sangat penting.” Dahlia menjeda kalimatnya. Ia menghembuskan napas kasar “Terus?” Arya penasaran. Ia tidak sabar mendengar kelanjutan cerita Dahlia. “Dua hari lagi aku dilamar orang itu dan sekaligus diijabkan.” Raut wajah Dahlia mendung. Ada kesedihan yang menggelayut di wajah cantiknya. Wajah Arya menegang. Matanya memerah. Ia mengepalkan kedua tangannya. ‘Tidak! Ini tidak boleh terjadi, Lia. Kenapa keluargamu tidak mau menerimaku? Aku sudah berusaha berubah demi kamu!” Dahlia mematung. Ia pun tidak bisa menjawab pertanyaan Arya. Namun, itulah alasannya di tempat ini saat ini bersama Arya. “Ajak aku pergi, Mas!” “Apa? Kamu serius? Aku tidak punya persiapan apa pun, Lia!” “Pokoknya untuk saat ini, bawa aku pergi dari desa ini biar acara lamaran dan pernikahanku batal, Mas!” pinta Dahlia. Dahlia sudah tidak punya pilihan. Ia telah dibutakan cinta dan tidak berpikir jauh ke depan. Cintanya kepada Arya mengalahkan logikanya, padahal ia paham betul tabiat Arya. Ia tidak lagi peduli dengan nasehat orang tua dan keluarganya. “Kamu yakin? Lali pergi ke mana? Kamu juga tau kalau orang tuaku juga tidak merestui hubungan kita, Lia. Itupun juga awalnya karena keluargamu.” “Mas, bisakah kamu enggak mengungkit masalah itu sekarang?” “Ya sudah, ayo berangkat!” Pikiran Arya kalut. Terpaksa ia menuruti keinginan kekasihnya. Lagi pula, Arya juga tidak ingin Dahlia menikah dengan orang lain. Arya dan Dahlia berdiri. Mereka berjalan menuju motor terparkir. Saat keduanya sudah di atas motor dan siap berangkat, seorang bapak-bapak, tetangga Dahlia melewati jalan itu dan menyapanya. “Mbak Dahlia? Mau berangkat kuliah?” Bapak itu memandang Dahlia tanpa berkedip. Ia juga melirik seseorang yang sudah menggunakan helm teropong yang duduk di depan Dahlia. “Eh, i-iya, Pak,” jawab dahlia gugup. “Mari, Pak. Wajah Dahlia pias. Bagaimanapun juga ia takut jika tetangganya itu akan mengadu pada keluarganya. Ia menepuk pundak Arya, memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu. Dengan segera, Arya melakukan motornya dengan cepat. Sejujurnya, Arya juga bingung tujuannya ke mana. Haruskah ia mengajak Dahlia ke kos-kosannya di Surabaya?Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan. Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan.Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri.Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya.
“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun
‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
Desa Banjarsari, 2006“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanit
Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman.Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh s
Sasmita terpaku melihat keakraban Arya dengan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Suaminya itu bisa bercanda dan tertawa lepas. Hal yang tak pernah dirasakan Sasmita saat bersama Arya. ‘Apakah karena ada wanita lain sehingga dia tidak bisa mencintaiku dan memperlakukanku seperti ini?’ batin Sasmita.Dada Sasmita bergemuruh. Matanya mulai mengembun. Ia mencengkeram pegangan rantang makanan kuat-kuat. Sebenarnya ia bukannya cemburu buta hanya saja ia merasa tidak berguna sebagai istri. Bagaimana mungkin seorang suami lebih nyaman dengan wanita lain dibandingkan dengan istrinya sendiri?Sasmita mengurungkan niatnya untuk mengirim bekal ke kebun. Ia berbalik arah kembali pulang dengan rantang masih di tangannya. Ia melangkah dengan cepat. Sepanjang perjalanan air matanya meleleh tak henti. Wanita cantik itu berkali-kali mengusap air matanya dengan punggung tangan. Teguran beberapa orang yang berpapasan dengannya pun hanya ia balas dengan ang
Lima tahun yang laluMatahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terla
“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.