“Aku tadi sudah bilang juragan, kalau perjodohan antara Sasmita dan anaknya juragan, diundur sampai Sasmita lulus SMA. Juragan setuju dan beliau mau membiayai sekolah Sasmita.” “MasyaAllah, benarkah, Bu? Pak Sokran terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan penjelasan istrinya. Mata Sasmita makin berbinar. Ia langsung sujud syukur. Air matanya berlinang karena bahagia. Sasmita terlalu senang, sehingga Iya tidak fokus lagi dengan penjelasan ibunya. Kesedihannya meluap detik itu juga. Meskipun pemuda yang ia sukai adalah Ramli, tetapi ia tidak keberatan jika dijodohkan dengan anaknya juragan, asalkan jangan menjadi istri muda juragan Karyo. Ia akan menurut kepada orang tuanya walaupun terpaksa. Andai Sasmita tahu takdir apa yang ada di depan matanya. Ia tidak akan berjalan sejauh itu dengan gegabah. Ia memang gadis bau kencur yang masih polos dan lugu. Keputusan yang dibuat para orang tua, akan mengubah hidupnya. Saat itu, Sasmita akan masuk dalam kandang binatang buas. Ia tidak bisa bergerak, berkelit, maupun menghindar. Hanya ada penyesalan panjang. Takdir terkadang akan mengajak bercanda kepada manusia-manusia naif. *** Delapan bulan kemudian Waktu terus berjalan. Kehidupan Sasmita dan keluarganya berjalan normal. Sasmita menghirup napas lega. Ia sangat bahagia karena bisa melanjutkan ke SMA. Tidak terasa sekarang sudah memasuki akhir semester dua dan sebentar lagi akan naik kelas dua. Gadis itu belajar dengan serius. Ia tidak mau mengecewakan orang tua juga orang yang membiayai sekolahnya. Juragan Karyo menepati janjinya untuk membiayai pendidikan Sasmita. Begitu juga dengan juragan Karyo. Keinginannya untuk segera menjadikan Sasmita menantu ia tahan. Entah mengapa laki-laki berperut buncit itu ingin sekali menjadikan Sasmita menantu. Ia pun masih merahasiakan rencananya ini dari istri dan anaknya—Arya. Ia tidak mau rencananya gagal karena sudah pasti, Arya akan memberontak. Pewaris harta juragan Karyo adalah Arya dan istrinya. Agar Arya bisa mengelola dengan baik peninggalannya, ia harus jadi laki-laki yang bertanggung jawab dan mempunyai pendamping yang baik. Begitulah angan-angan juragan Karyo. Ia sangat berharap kepada anaknya itu. Menurut pemikiran juragan Karyo, Sasmita itu gadis penurut, bisa diajak berjuang, dan cocok buat Arya yang terbiasa dituruti kemauannya, sikapnya yang mudah marah, dan tidak sabaran. Juragan Karyo berharap anak semata wayangnya kelak menjadi laki-laki baik yang bertanggung jawab. *** Dering suara ringtone membangunkan Arya yang sedang tidur pulas di kamar kosnya. Semalam Arya begadang bermain game di komputernya. Matahari sudah meninggi, tetapi pemuda berkulit cokelat itu masih enggan beranjak dari tempat tidurnya. Sudah delapan bulan ia tinggal di Kota Surabaya sebagai mahasiswa. Ia pulang ke kampung saat liburan semester saja, meskipun pada kenyataannya di hari aktif pun Arya jarang mengikuti mata kuliah. Ia sempat setahun menganggur di rumah, tidak kuliah, tidak pula bekerja, atau sekedar membantu usaha ayahnya. Sehari-hari, Arya hanya nongkrong di kafe atau pinggir jalan dengan teman-temannya. Lebih parahnya, Arya tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruknya, minum minuman beralkohol. Arya mau kuliah hanya untuk memenuhi permintaan juragan Karyo, ayahnya. Atas permintaan ayahnya juga, ia kuliah di Fakultas Pertanian dan mengambil jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Alasan lainnya ia mau kuliah adalah karena Dahlia. Jika bukan karena desakan kekasihnya, Arya tidak akan menginjak kampus swasta di Kota Surabaya. Ia sudah malas untuk belajar dan berpikir. Harta orang tuanya banyak, ia tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sungguh pikiran Arya sangatlah keliru. Arya membuka mata dengan malas. Tangannya meraba-raba meja kecil yang ada di samping ranjang ukuran single yang ia tiduri. Seingatnya, telepon genggam ia letakkan di meja itu. Panggilan berhenti dan berganti dengan nada pesan. Mata Arya membelalak, ternyata pesan yang masuk berasal dari kekasihnya, Dahlia. Arya tiba-tiba menjadi bersemangat. Ia sangat merindukan kekasihnya itu. Sudah dua bulan mereka tidak bertemu karena Dahlia menolak dikunjungi. Dahlia bilang, akhir-akhir ini kakak dan orang tuanya sering datang ke Kota Malang secara mendadak dan tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Seperti mereka mengetahui saja hubungan Dahlia dan Arya masih berlanjut. ‘Mas Arya, bisakah kita bertemu lagi di tempat biasa?’ ‘Maksudmu? Aku telepon saja sekarang, ya.’ ‘Tidak usah, Mas! Kita berbalas pesan aja. Kalau kamu telepon, nanti orang tuaku tau.’ ‘Kamu di rumah? Enggak kuliah?’ tanya Arya penasaran. ‘Aku disuruh pulang keluargaku. Inilah salah satu alasanku menghubungimu, Mas.’ ‘Aku masih di Surabaya, Lia. Gimana kalau kita ketemu besok saja? Aku janji akan pulang hari ini setelah mengikuti mata kuliah.’ Suasana hening. Tidak ada balasan pesan yang masuk di telepon genggam Arya. Pemuda itu risau. Hatinya tidak tenang. ‘Apa yang sebenarnya disembunyikan Lia?’ batinnya. Dahlia kuliah di kota Malang di salah satu kampus negeri. Pertemuan terakhirnya dengan Arya di desa tempat tinggal mereka adalah saat ia mengatakan pada Arya akan dijodohkan. Saat pertemuan mereka ditutup dengan adegan saling berpelukan dan menautkan bibir. Sejak saat itu penjagaan Dahlia makin ketat. Ia tidak menyadari bahwa perbuatannya dengan Arya yang berciuman di balik pohon waktu itu ternyata ada sepasang mata yang melihat. Orang itu adalah kakak ipar Dahlia, istri dari kakaknya yang pertama. Kakak iparnya tidak langsung menegur saat itu karena takut terjadi kehebohan di desa yang bisa mencoreng nama baik keluarga. Sampai rumah, Dahlia mendapat t*mparan dari kakak kandungnya. Ayahnya pun naik pitam. Gadis cantik itu dikurung di kamar selama seminggu. Ia diperbolehkan keluar kamar saat ke kamar mandi saja. Ia selalu diawasi keluarganya. Mereka juga mengawasi gerak-gerik Arya agar pemuda urakan itu tak lagi merusak Dahlia. Perjodohan Dahlia dipercepat. Ia tetap ditunangkan dengan anak sahabat ayahnya. Namun, gadis cantik itu mengajukan syarat untuk menunda lamaran. Ia juga ingin kuliah terlebih dulu sebelum menikah. Niatnya hanya ingin mengulur waktu, siapa tahu takdir berpihak padanya. Dahlia juga berharap kekasihnya bisa berubah lebih baik agar keluarganya berubah pikiran dan mau menerima Arya. Arya mati kutu. Sikap arogannya sedikit berkurang. Apalagi setelah mendapat bogem mentah dari kedua kakak Dahlia. Untuk mendapatkan Dahlia, ia sedikit mengurangi sifat bengalnya. Ia juga mau melanjutkan kuliah. Arya bisa bertemu Dahlia lagi saat gadis itu kuliah di Kota Malang. Beberapa kali mereka bertemu di Kota Malang. Arya lah yang dengan rajin datang ke Kota Malang untuk menemui kekasihnya itu. Namun kali ini, Dahlia dalam dilema. Ia tidak segera membalas pesan Arya. Ia bingung harus menjelaskan kepada Arya mulai dari mana. Setelah lelah berpikir, beberapa menit kemudian, Dahlia kembali mengirim pesan. ‘Ada hal penting yang ingin kusampaikan, Mas. Kita harus ketemu sekarang! Aku takut kita tidak ada kesempatan untuk bertemu lagi.’ ‘Maksud kamu apa, sih? Aku enggak ngerti, Lia.’ ‘Mas Arya pulang saja sekarang! Empat jam lagi kita ketemu di tempat biasa. Sudah dulu, ya! Ibu memanggilku.’ ‘Tapi, Lia ....’ Dahlia sudah tidak lagi membalas pesan Arya. Pemuda berusia dua puluhan itu mengusap kasar rambutnya. Sebenarnya hari ini pun Arya ada kuliah pagi. Rencananya ia akan masuk mata kuliah hari ini di jam kedua karena beberapa kali pertemuan, ia sudah membolos. Terpaksa hari ini ia harus membolos lagi. “Wanita memang sering merepotkan! Maunya harus selalu dituruti.” gerutunya. Arya tidak sadar, bahwa kelakuannya pun sama seperti itu. Dengan langkah berat, Arya keluar dari kamar kosnya menuju kamar mandi. Kebetulan tempat ia indekos memang kamar mandinya ada di luar kamar. Arya mandi dengan cepat. Meskipun perjalanan dari Kota Surabaya ke desanya—Desa Banjarsari—hanya dua setengah jam, tetapi ia memutuskan segera berangkat, agar datang lebih awal untuk menemui kekasihnya, si gadis cantik anak kepala dusun.
Arya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan hampir maksimal saat keluar dari Kota Surabaya. Suara knalpotnya bisa memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Saat jalan di kota, ia tidak bisa sembarangan melaju dengan kencang karena ada peraturan batas kecepatan dan banyaknya lampu merah. Sesekali Arya mengumpat jika harus mengerem mendadak saat kendaraan lain akan berbelok atau berhenti karena lampu merah. Pemuda itu memang tidak sabaran dan mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Udara yang cukup panas membuat suasana hatinya ikut panas. Entah mengapa kebiasaan buruknya itu belum juga hilang.Hanya berkendara selama dua jam Arya sudah sampai di tanah kelahirannya, lebih cepat setengah jam dari biasanya. Hari belum terlalu siang saat Arya Sampai. Alih-alih pulang ke rumahnya, pemuda bertato elang di lengannya itu lebih memilih pergi ke tempat ia berjanji bertemu dengan Dahlia.‘Lia, aku sudah di tempat biasa kita bertemu. Kamu di mana?’Arya mengirim pesan
Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan. Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan.Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri.Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya.
“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun
‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
Desa Banjarsari, 2006“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanit
Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman.Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh s
Sasmita terpaku melihat keakraban Arya dengan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Suaminya itu bisa bercanda dan tertawa lepas. Hal yang tak pernah dirasakan Sasmita saat bersama Arya. ‘Apakah karena ada wanita lain sehingga dia tidak bisa mencintaiku dan memperlakukanku seperti ini?’ batin Sasmita.Dada Sasmita bergemuruh. Matanya mulai mengembun. Ia mencengkeram pegangan rantang makanan kuat-kuat. Sebenarnya ia bukannya cemburu buta hanya saja ia merasa tidak berguna sebagai istri. Bagaimana mungkin seorang suami lebih nyaman dengan wanita lain dibandingkan dengan istrinya sendiri?Sasmita mengurungkan niatnya untuk mengirim bekal ke kebun. Ia berbalik arah kembali pulang dengan rantang masih di tangannya. Ia melangkah dengan cepat. Sepanjang perjalanan air matanya meleleh tak henti. Wanita cantik itu berkali-kali mengusap air matanya dengan punggung tangan. Teguran beberapa orang yang berpapasan dengannya pun hanya ia balas dengan ang
Lima tahun yang laluMatahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terla