Lima tahun yang lalu
Matahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.
“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”
“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.
“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terlambat.”
“Mas Ramli mau antar aku sampai sekolah?”
“Tentu saja, Anak cantik.”
Wajah Sasmita seketika menghangat. Pipinya tampak merona. Ia begitu bahagia. Sejak pertama kali bertemu Ramli di rumah sahabatnya ia merasa terhipnotis. Ramli pemuda dengan tubuh tegap berkulit hitam manis. Laki-laki baik dan penuh perhatian. Masa-masa puber sedang menguasi Sasmita. Ia sedang merasakan cinta monyet yang menggelora dalam dadanya. Senyum manis Ramli telah tercetak dalam otaknya.
“Kok melamun, Mit? Buruan naik!”
Sasmita senyum-senyum menahan malu. Ia segera naik ke motor Ramli. Ia berpegangan pada jok motor karena tidak berani berpegangan pada pemuda itu. Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai tujuan. Sasmita turun dari boncengan dan mengucapkan terima kasih pada Ramli. Pemuda tampan itupun berpamitan pada Sasmita untuk melanjutkan perjalanan. Wajah gadis belia itu tampak berbunga-bunga tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
***
Hari ini sangat spesial buat Sasmita. Selain bertemu Ramli hari ini kelulusan akan diumumkan. Halaman sekolah sudah ramai saat Sasmita tiba. Para siswa pun terus berdatangan karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Sasmita bergegas dan mempercepat langkah menuju kelasnya.
Sasmita bukanlah siswa yang populer. Ia hanya gadis lugu dengan penampilan sederhana. Nilai akademiknya pun tidak menonjol. Gadis berwajah tirus itu bergeming di bangku sambil berpangku tangan. Suara ribut dan candaan teman-temannya sama sekali tidak memengaruhinya. Dada Sasmita berdegup kencang mengingat Ramli. Ia juga merasa gugup menunggu pengumuman tiba. Ia takut jika tidak lulus.
“Mit, dari tadi kuperhatikan, kok, kamu senyum-senyum sendiri? Kadang juga tegang gitu. Apa ada masalah?” tanya Rani teman sebangku sekaligus sahabat Sasmita. Rani adalah adik sepupu Ramli.
“Aku deg-degan, Ran, kalau enggak lulus gimana? Nilai-nilaiku pasti enggak sebagus nilaimu.”
“Kok, kamu mikir gitu, Mit? Yakin, deh, pasti lulus. Nanti kita daftar sama-sama di SMA Negeri.” Rani menyemangati sahabatnya itu.
Sasmita tersenyum kecut. Ia tidak yakin bisa di terima di SMA Negeri. Bisa sekolah di SMA swasta saja sudah membuatnya senang. Entah mengapa SMA Negeri di desanya jauh lebih mahal dari pada SMA swasta? Hal itulah yang membuatnya tidak percaya diri.
Sasmita baru saja ingin menceritakan kejadian yang dialaminya pada Rani, tetapi urung dilakukan karena guru wali kelasnya datang membawa pengumuman. Satu persatu nama siswa disebut termasuk nama Sasmita. Semua penghuni kelas bersorak karena dinyatakan lulus. Euforia kelulusan terlihat di halaman sekolah. Para siswa mengungkapkan kebahagiaan mereka dengan berbagai cara.
Matahari tepat di ubun-ubun saat para siswa diizinkan pulang. Sasmita tidak sabar ingin segera sampai rumah untuk menyampaikan kabar gembira. Panggilan Rani dan beberapa temannya pun ia abaikan. Gadis cantik itu pamit duluan dengan melembaikan tangan.
Sasmita mempercepat langkah. Terik matahari tidak menggoyahkan semangatnya. Dahi dan tubuhnya mulai basah oleh keringat. Setiba di rumah ia segera menghambur ke dalam. Namun, raut wajahnya berubah saat sambutan ibu dan bapaknya tidak seperti yang ia harapkan. Hatinya perih bagai diiris sembilu.
“Maafkan Bapak dan Ibu, Nak, kami sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahmu. Mulai besok kamu bantu-bantu ibumu saja di warung atau kalau kamu mau bisa mencari pekerjaan di kota,” kata bapaknya.
Sasmita hanya bisa menunduk sambil berlinang air mata. Tubuhnya melorot dan terduduk di lantai tanah. Gadis itu tak kuasa menahan kesedihan. Pupus sudah semua harapan dan impiannya. Ia ingin protes kepada Tuhan, kenapa ia tidak bisa seperti teman-temannya yang bisa terus sekolah? Kenapa ia dilahirkan dari keluarga kurang mampu?
Dalam hati Sasmita berjanji pada diri sendiri. Suatu hari nanti nasibnya harus berubah. Ia tidak mau lagi hidup dalam kemiskinan. Hidup dalam penderitaan. Ia tidak tau bagaimana caranya? Ia juga belum paham bagaimana kehidupan yang sebenarnya. Ia hanya ingin kelak hidupnya enak dan tidak kekurangan.
Pekerjaan Sokran—bapak Sasmita—sebagai buruh tani pada saat musim tanam dan panen padi atau jagung, sedangkan Samirah—ibu Sasmita—membuka warung kopi sederhana dengan keuntungan tak seberapa. Penghasilan mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Malam ini Sasmita sendirian di teras rumahnya. Ia duduk di amben yang terbuat dari bambu. Gadis cantik itu masih bersedih, tetapi tanpa air mata yang menetes dipipinya. Wajahnya terlihat bermuram durja. Ia mendongak menatap langit yang cerah seperti hamparan kubah, tanpa awan dan kabut yang menghalanginginya.
Bulan berbentuk perahu tampak menggantung di langit. Bintang-bintang pun bersinar menghiasi atap alam semesta. Embusan angin menggoyangkan anak rambut Sasmita yang sedang asyik dengan pikirannya. Malam ini tidak ada yang bisa menghibur kegalauan hati gadis berusia lima belas tahun itu. Air mata yang tertumpah pun akan sia-sia karena itu tidak akan merubah keadaan.
Keindahan malam yang terhampar membuat hati Sasmita sedikit terhibur. Bagaimanapun juga ia tidak mau membunuh impian dan harapannya. Dalam hati ia berkata ‘Tuhan, bisakah suatu hari nanti aku hidup bahagia? Bisakan nasibku berubah? Aku lelah menjadi orang miskin dan menderita.’
Selama ini Sasmita tidak pernah merasa bahagia. Kebahagiaan yang ia maksud adalah tentang kemewahan dunia bukan tentang kebersamaan keluarganya. Sejak kecil ia harus rela berbagi, rela makan seadanya, dan rela hidup serba kekurangan. Pikiran sempitnya selalu memberontak, tetapi ia hanya bisa pasrah.
Senyum Sasmita sering kali padam saat apa yang ia inginkan tidak terpenuhi meskipun itu hanya hal sederhana seperti makan ayam krispi seperti iklan di televisi. Terkadang ia berhenti berharap, tetapi semangatnya kembali membuncah saat ia ingin merubah kehidupannya. Sasmita ingin seperti anak-anak lain yang hidup di keluarga berkecukupan.
“Kamu lagi mikir apa, Nak? Kamu masih sedih? Besok pagi tolong bantu ibu jaga warung, ya, Nak, biasanya musim menanam jagung begini warung lumayan ramai.” Ucapan Samirah mengejutkan Sasmita yang sedang asyik dengan pikirannya. Ia spontan menoleh ke sumber suara. Entah sejak kapan wanita berusia tiga puluh enam tahun itu berdiri di samping amben tempat Sasmita duduk.
“Enggak mikir apa-apa, Bu, aku cuma melihat keindahan langit.” Sasmita mencoba tersenyum menyembunyikan kesedihannya.
Samirah bukannya tidak tahu akan kegundahan hati Sasmita—anak sulungnya. Namun keadaan perekonomian keluarga membuatnya menutup mata. Keputusan yang dia ambil dengan suami adalah jalan satu-satunya saat ini. Pikiran kunonya mengatakan anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, nanti juga tempatnya di pawon (dapur).
Selain Sasmita, Samirah dan Sokran mempunyai dua anak lagi. Anak kedua—laki-laki bernama Haris akan masuk SMP. Anak ketiga— perempuan—bernama Sita masih kelas lima sekolah dasar. Kedua adiknya juga membutuhkan biaya sekolah. Kali ini Sasmita harus rela berkorban. Bagi Samirah bisa lulus sekolah menengah pertama itu sudah bagus. Dulu ibu beranak tiga itu hanya lulusan sekolah dasar.
“Kamu yang sabar, ya, Nak, maafkan Ibu dan Bapak.” Samirah duduk di sebelah Sasmita. Dia menyentuh pundak anak gadisnya. Ini kedua kalinya kata maaf meluncur dari bibir Samirah. Dia yakin Sasmita akan menerima semua ini dengan ikhlas.
“Iya, Bu, aku mengerti keadaan Ibu dan Bapak. Besok aku bantu apa di warung?” Gadis belia itu terpaksa berbohong dan menyembunyikan kekecewaannya. Bagaimanapun juga ia menyayangi kedua orang tuanya. Ia ingin menyenangkan hati mereka.
“Bantu apa saja yang penting kamu mau bantuin Ibu.” Wajah Samirah berbinar mendengar ucapan anak sulungnya. Wanita yang kecantikannya memudar tanpa perawatan itu sangat senang karena Sasmita akhirnya mau menerima keadaan keluarga.
“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.
Suasana warung milik Samirah masih sepi. Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Samirah ke pasar, belum ada lagi pelanggan baru. Lelaki berkumis tebal masih betah berlama-lama di warung itu sembari menunggu si induk semang datang. Namun, Sasmita merasa tidak tenang. Ia berharap ibunya segera datang.Sasmita duduk di kursi kayu di sudut warung yang dindingnya dari anyaman bambu. Gadis belia itu berdebar-debar. Wajahnya pias menahan rasa takut. Bagaimana jika lelaki yang mengaku bernama juragan Karyo itu berbuat tidak senonoh padanya. Sedari tadi lelaki itu tidak pergi-pergi dari warungnya. Apalagi lelaki seumuran ayahnya itu sering menatapnya dengan tajam seperti sedang menyelidiki sesuatu tentangnya, seperti mengulitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sasmita bergidik ngeri.Juragan Karyo masih mengamati Sasmita dengan intens. Sesekali dia memilin-milin ujung kumisnya yang tebal. Terkadang senyumnya mengembang, kepalanya manggut-manggut seperti sedang merencanakan sesuatu.“Buat
Sasmita berjalan sendirian menyusuri jalanan desa yang sepi. Pohon mahoni tumbuh tegak berjejer di sepanjang jalan desa. Pohon-pohon itu memang cukup meneduhkan, tetapi terik matahari tetap terasa membakar kulit Sasmita. Tubuhnya dibanjiri keringat. Sesekali ia menyeka peluh di dahi. Sasmita mempercepat langkahnya. Perutnya yang sedari tadi mulas rasa-rasanya sudah tidak mau diajak kompromi. Ia ingin segera sampai di rumah untuk menuntaskan hajat.Sasmita ingin berlari saja, tetapi jalanan yang masih berupa bebatuan kapur dan dipenuhi kerikil mengurungkan niatnya. Ia tak mau terjatuh dan terpeleset kerikil-kerikil tajam. Ia harus berhati-hati jika tidak mau terluka. Entah mengapa pemerintah belum juga memperbaiki jalan di desanya. Padahal jalan yang bagus sangat penting untuk membawa hasil sawah dan kebun ke kota sehingga perekonomian di desa bisa berkembang pesat.Sasmita menghela napas. Pikirannya melalang buana. Ia kembali mengingat ucapan kedua orang tuanya semalam yang sudah tak
Sementara itu di rumah juragan KaryoSuasana rumah juragan Karyo siang itu sangat panas. Bukan panas karena musim kemarau yang panjang, tetapi karena pertengkaran dua manusia berbeda usia. Seharusnya rumah juragan Karyo cukup sejuk. Bangunan berlantai dua yang didominasi tembok warna putih dengan ornamen-ornamen dari kayu jati itu sangat asri. Kusen pintu dan jendela juga terbuat dari kayu jati, membuat rumah makin megah.“Setiap hari pekerjaanmu hanya mabuk saja Arya! Mau jadi apa kamu? Kamu itu anak bapak satu-satunya, pewaris semua harta bapak.” Juragan karyo menasihati Arya. Ia kecewa dengan kelakuan anak semata wayangnya.“Sudahlah, Pak. Aku ini masih muda. Aku masih ingin bersenang-senang. Aku jadi seperti ini juga karena didikan, Bapak.”“Arya! Lancang kamu!” Tamparan juragan Karyo mendarat di pipi Arya. Laki-laki berusia 40-an tahun itu tidak menyangka dengan jawaban Arya yang malah menyudutkannya. Dadanya berdetak naik turun. Detakannya lebih cepat dari berputarnya jarum ja
“Mau ke mana Arya? Tidak makan dulu?” tanya Istri juragan Karyo.“Keluar sebentar,” jawab Arya singkat.“Tapi, Ar ....”Tanpa melihat wajah ibunya, Arya pergi begitu saja. Ia bahkan tidak peduli dengan wanita yang telah melahirkannya. Pemuda itu mengeluarkan dan mengendarai motornya dengan tergesa.Istri juragan Karyo menghela napas berat sambil mengelus dada. Ia tergemap dengan tingkah laku Arya yang selalu saja membuatnya harus menambah kesabaran. Dosa apa yang ia lakukan sehingga anaknya berperilaku tidak sopan padanya. Batinnya menangis tanpa menyadari kekeliruannya sebagai orang tua.Sering kali manusia lupa akan kekhilafannya, lalu mengeluh, memprotes, dan mempertanyakan kepada Tuhan apa saja salah dan dosanya. Sungguh menggelikan.***Dahlia sudah menunggu di jalan ujung desa saat Arya datang. Gadis cantik yang sedang ranum-ranumnya itu tersenyum bahagia. Tidak bertemu kekasihnya sepekan serasa berbulan-bulan. Arya menarik tangan Dahlia dan mengajak gadis itu ke kerimbunan poho
Hari ini, warung lumayan ramai. Pelanggan silih berganti masuk untuk sekedar memesan secangkir kopi dan beberapa biji pisang goreng. Namun ramainya pelanggan, tak membuat Sasmita semringah. Ia bahkan membiarkan ibunya yang kewalahan melayani pelanggan. Kali ini Samirah memaklumi keadaan Sasmita. Ia tidak berteriak-teriak seperti biasanya jika Sasmita lelet dan malas-malasan.Hari ini Sasmita tak bersemangat. Seperti hari sebelumnya, gadis cantik itu tetap membantu ibunya berjualan di warung. Namun, Ia lebih banyak duduk di kursi kayu sambil melamun di depan pintu belakang warung yang menghadap kebun jagung. Para pelanggan satu persatu meninggalkan warung setelah membayar minuman, gorengan, dan camilan yang mereka makan. Minuman dan makanan telah tandas.“Mita, jangan melamun saja! Bantu ibu membereskan cangkir-cangkir kotor di meja.”Sasmita masih membisu. Tanpa diperintah dua kali, ia segera beranjak, lalu memunguti cangkir-cangkir dan segera mencucinya. “Ibu tau kamu bersedih Mita
—Takdir memang nyata. Namun, berusaha sekuat tenaga dalam menghadapi pilihan hidup, sepenuhnya adalah tanggung jawabmu.—Ulif Yoana***“Sebenarnya, aku ngajak kamu keluar karena disuruh seseorang, Mit. Ada yang ingin bertemu kamu.”“Siapa? Kenapa nyuruh kamu?” Sasmita bertanya-tanya. Ia masih belum bisa menebak siapa orang yang ingin bertemu dengannya.“Kamu beneran tidak tau, apa hanya pura-pura, sih, Mit?” Rani mengernyit. “Kamu pikir aku dukun, bisa menebak-nebak orang yang kamu maksud?” Sebenarnya Sasmita pun sedang menerka-nerka dalam hati, tetapi ia takut salah.“Kamu kenal, kok,” ujar Rani“Memangnya siapa dia? Teman kita?”“Heleeh, lagakmu, Mit.” Rani menarik hidung Sasmita. Gadis itu gemas dengan keluguan sahabatnya.“Auwww, sakit, tau.” Sasmita meringis sambil mengusap-usap ujung hidungnya yang memerah. Hidung mungil yang tidak terlalu mancung, tetapi juga tidak bisa dibilang pesek.Rani cekikikan melihat mimik wajah Sasmita. Setelahnya, Rani menarik tangan Sasmita. Ia mem
Sementara itu di warung Samirah, seorang laki-laki berkumis tebal berdiri di depan pintu. Kehadirannya yang tiba-tiba, mengejutkan Samirah. Wanita itu memang sedang sibuk mencuci peralatan dapur, jadi tidak menyadari ada orang datang ke warungnya.“Juragan ... sudah lama? Monggo Juragan.” Samirah mempersilakan laki-laki di hadapannya untuk masuk dan duduk di kursi yang telah tersedia.“Anakmu, kok, kamu biarkan keluyuran?” tanya juragan Karyo.“Apa maksud, Juragan?” “Aku tadi papasan, sama Anakmu di jalan utama desa. Mau ke mana dia?”“Oh, itu tadi Sasmita diajak temannya beli bakso, Juragan.”“Lain kali, jangan biarkan anakmu itu berkeliaran! Aku sudah mantap menjadikan anakmu menantuku.”“Hah?” Samirah terkesiap. Ia buru-buru menutup mulutnya yang melongo.“Kamu enggak usah berlagak kaget atau pura-pura lupa! Kemarin lusa aku kan sudah bilang, anakmu itu tak minta, Samirah,” tegas juragan Karyo.“I-iya, Juragan. Jadi, Sasmita mau dijadikan mantu, to?” Samirah tersenyum malu. Selama