Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan.
Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan. Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri. Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya. Ia sungguh bersyukur atas semua yang telah ia terima. Saat jam pelajaran berakhir dan bel sekolah berbunyi Sasmita dan murid-murid yang lain menghambur ke luar kelas. Sasmita berjalan ke arah gerbang sekolah. Ia ingin segera pulang. Badannya letih karena hari ini kegiatan di sekolah sangat banyak ditambah mata pelajaran olah raga. Hari ini Sasmita mengikuti praktik olah raga lompat tinggi. “Mita ....” Seseorang memanggil Sasmita, saat ia sampai di depan gerbang sekolah. Sasmita menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sumber suara yang sekilas ia kenal. Banyaknya murid-murid yang keluar dari gerbang sedikit membuat ia sulit menemukan asal suara itu. “Hai, Mita! Aku sebelah sini, di bawah pohon angsana.” Setelah beberapa detik mencari, tatapan Sasmita tertuju pada seorang gadis manis yang berdiri di bawah pohon di depan sekolahnya, sekitar lima belas meter dari pintu gerbang. Sahabatnya—Rani—sudah menunggunya di sana. Rani sekolah di sekolah yang berbeda dengan Sasmita. Sejak memasuki bangku SMA, Sasmita dan Rani jarang bertemu. Rani yang sekolah negeri dan banyak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler memang sangat sibuk, sedangkan Sasmita juga menjadi anggota OSIS. Pada saat-saat tertentu saja mereka bisa bertemu. “Hai, Mit, sini cepat!” Rani melambai. Gadis manis itu masih menggunakan seragam sekolah lengkap. Sasmita segera menghampiri Rani. Ia tersenyum pada sahabatnya itu. “Kamu menungguku? Tumben? Bukannya hari ini kamu ikut kegiatan marching band, Ran?” “Hari ini libur. Pelatih marching band ada keperluan pribadi dan kegiatan hari ini diganti hari lain,” jelas Rani. “Kamu sendirian? Enggak bawa motor, Ran?” “Bawa, kok. Aku parkir di sebelah sana.” Rani menunjuk rumah warga yang berada depan sekolah. Jaraknya sekitar 20 meter dari pintu gerbang, yang halamannya biasa dibuat parkir oleh para siswa. “Terus?” tanya Sasmita dengan sorot mata menyelidik. Tidak biasanya Rani menunggunya di depan sekolah seperti ini. Kalaupun mereka janji bertemu, biasanya saat libur sekolah. Rani tersenyum. Matanya mengering, lalu memberi kode pada Sasmita. “Menurutmu untuk apa aku datang ke sini?” Sasmita menggeleng. Ia pasrah menunggu penjelasan Rani. Ia bahkan tidak berniat menebak. Otaknya sudah lelah untuk diajak main tebak-tebakan. Rani tersenyum kecut. Tadinya Rani mengira Sasmita akan antusias. “Hmmm, kamu enggak seru, Mit. Padahal aku mau kasih kejutan buat kamu.” “Kejutan apa? Maaf, Ran. Aku beneran capek hari ini. Otakku udah enggak bisa mikir tebakanmu yang bisa menguras energiku. Ha ha ha ha ....” “Dasar. Aku serius, kamu malah tertawa.” Rani menggetok dahi Sasmita. “Aduh ....” Sasmita berpura-pura kesakitan, padahal dahinya tidak merasa sakit sama sekali. “Senangnya tertawa, sampai-sampai aku diabaikan.” Tiba-tiba suara seorang cowok hadir di antara Sasmita dan Rani. Sasmita spontan berbalik ke sumber suara yang berasal dari arah belakang tubuhnya. “Mas Ramli ....” Sasmita tergemap. Ia merasa dejavu saat melihat wajah dengan rahang kokoh dan kulit hitam manis. “Apa kabar, Mita?” sapa Ramli kemudian. Sasmita masih belum berkedip dan bergerak. Ia sungguh tidak menyangka bisa bertemu Ramli kembali. Jantungnya berdegup kencang. Persendiannya seakan-akan lemas. Pemuda di hadapannya itu makin terlihat matang dan gagah. Tubuhnya terlihat lebih berisi dan tidak sekurus beberapa bulan lalu. “Ehemmm.” Rani berdehem. Ia menyenggol lengan Sasmita yang masih mematung. “Eh, anu, aku baik, Mas,” jawabnya dengan suara Tremor. Sasmita tersipu malu. Ia jadi salah tingkah. Delapan bulan lalu sejak pertemuannya yang terakhir dengan Ramli, Sasmita masih mengingat betul ucapan pemuda itu. Gadis bau kencur adalah kalimat yang keluar dari bibir Ramli yang ditujukan padanya. Sasmita mengingat amplop berwarna merah muda yang diberikan Ramli beberapa bulan yang lalu. Ia baru sempat membuka amplop itu tiga hari setelah pertemuannya yang terakhir dengan kakak sepupunya Rani itu. Ia hampir melupakan isi di dalamnya. ‘Cepatlah dewasa gadis bau kencur. Aku menunggumu.’ Wajah Sasmita bersemu merah saat mengingat isi surat itu. Sayangnya kebahagiaan itu hanya sekejap. Tidak mungkin bagi Sasmita memupuk perasaannya pada Ramli. Ia bukanlah gadis bebas seperti teman-teman sebayanya. Ia adalah seorang calon istri orang lain. Mengingat hal itu, wajah Sasmita berangsur mendung. “Kita berdiri di sini aja, ini?” Rani memotong suasana canggung di antara kami. “Kita ke warung mi ayam sebelah parkiran motor, yuk! Aku lapar,” ajak Rani kemudian. Ramli menyetujui usul Rani. Sasmita yang masih mematung pun hanya bisa mengangguk pasrah. Rani menarik tangan Sasmita hingga gadis itu mengikuti langkahnya, sedangkan Ramli berjalan di belakang kedua gadis itu. Rani langsung menuju meja pemesanan. Tanpa meminta persetujuan pada Ramli dan Sasmita, ia memesan tiga porsi mi ayam dan tiga gelas es jeruk manis. Sementara itu, Sasmita dan Ramli lebih memilih mencari tempat duduk yang nyaman. “Apa kabarmu Sasmita?” “Baik, Mas. Kabar Mas Ramli baik juga, ‘kan?” “Aku juga baik. Kamu sekolah di sini? Kenapa enggak sekolah di SMA negeri bareng Rani?” tanya Ramli basa-basi. “Aku pilih sekolah yang dekat dari desa, Mas. Biar enggak usah mikirin ongkos kalau pergi dan pulang sekolah,” jawab Sasmita polos. Ramli memahami keadaan Sasmita. Pertanyaannya itu sekedar basa-basi. Lagi pula, ia juga bingung membuka percakapan dengan gadis yang ia sukai sejak pertama kali bertemu itu. Ramli ingin bertanya banyak hal pada Sasmita, tetapi lidahnya kelu. Sebagai seorang laki-laki, Ramli kurang berani mengungkapkan perasaannya. Setelah memesan menu yang tersedia di warung tersebut, Rani sengaja tidak menghampiri Sasmita dan Ramli di meja pelanggan. Ia memberikan waktu pada kakak sepupunya itu untuk berbicara leluasa dengan sahabatnya. Rani mengawasi kedua insan itu dari tempatnya berdiri. Sasmita dan Ramli duduk saling berhadapan. Kedua anak muda berlainan jenis itu sesekali saling memandang dan melempar senyum. Sasmita tersipu saat tatapan mereka bertemu, lalu menunduk untuk menyembunyikan kegugupan yang terpancar jelas di wajah lugunya. “Mita ... kamu ....”“Iya, Mas?” Sasmita menunggu Ramli melanjutkan perkataannya. “Emmm ... kamu sudah baca surat yang aku berikan waktu itu?” Ramli akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Sudah, Mas.” Detak jantung Sasmita berdebar-debar. Ia merasa seperti sedang berada di adegan film remaja FTV. Ia tidak bisa mengendalikan kegelisahan dan gejolak di d*d*nya. Keringat dingin membasahi tengkuk dan juga telapak tangannya. ‘Beginikah rasanya jatuh cinta?’ Ramli tersenyum melihat gestur tubuh Sasmita. Daripada dirinya, Sasmita jauh kelihatan lebih gugup. Ramli memberanikan diri menggenggam tangan Sasmita yang terletak di atas meja. Sasmita terkejut. Ia merasa seperti terkena aliran listrik 220 volt.“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun
‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
Desa Banjarsari, 2006“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanit
Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman.Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh s
Sasmita terpaku melihat keakraban Arya dengan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Suaminya itu bisa bercanda dan tertawa lepas. Hal yang tak pernah dirasakan Sasmita saat bersama Arya. ‘Apakah karena ada wanita lain sehingga dia tidak bisa mencintaiku dan memperlakukanku seperti ini?’ batin Sasmita.Dada Sasmita bergemuruh. Matanya mulai mengembun. Ia mencengkeram pegangan rantang makanan kuat-kuat. Sebenarnya ia bukannya cemburu buta hanya saja ia merasa tidak berguna sebagai istri. Bagaimana mungkin seorang suami lebih nyaman dengan wanita lain dibandingkan dengan istrinya sendiri?Sasmita mengurungkan niatnya untuk mengirim bekal ke kebun. Ia berbalik arah kembali pulang dengan rantang masih di tangannya. Ia melangkah dengan cepat. Sepanjang perjalanan air matanya meleleh tak henti. Wanita cantik itu berkali-kali mengusap air matanya dengan punggung tangan. Teguran beberapa orang yang berpapasan dengannya pun hanya ia balas dengan ang
Lima tahun yang laluMatahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terla
“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.
Suasana warung milik Samirah masih sepi. Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Samirah ke pasar, belum ada lagi pelanggan baru. Lelaki berkumis tebal masih betah berlama-lama di warung itu sembari menunggu si induk semang datang. Namun, Sasmita merasa tidak tenang. Ia berharap ibunya segera datang.Sasmita duduk di kursi kayu di sudut warung yang dindingnya dari anyaman bambu. Gadis belia itu berdebar-debar. Wajahnya pias menahan rasa takut. Bagaimana jika lelaki yang mengaku bernama juragan Karyo itu berbuat tidak senonoh padanya. Sedari tadi lelaki itu tidak pergi-pergi dari warungnya. Apalagi lelaki seumuran ayahnya itu sering menatapnya dengan tajam seperti sedang menyelidiki sesuatu tentangnya, seperti mengulitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sasmita bergidik ngeri.Juragan Karyo masih mengamati Sasmita dengan intens. Sesekali dia memilin-milin ujung kumisnya yang tebal. Terkadang senyumnya mengembang, kepalanya manggut-manggut seperti sedang merencanakan sesuatu.“Buat