Desa Banjarsari, 2006
“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.
Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.
“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanita penghibur itu dengan spontan.
“Hentikan! Urusan kita sudah selesai,” bentak Arya.
“Jangan galak-galak, dong, tadi kamu menyukai sentuhanku, kamu sudah lupa?”
Arya memalingkan muka. Ia segera bangkit dari tempat duduknya, lalu mengambil dompet dari saku belakang dan menarik sembarangan beberapa lembar uang berwarna biru. Uang itu dia berikan pada wanita bergincu merah menyala yang sedari tadi menemaninya. Ia tampak senang dan mengibas-ibaskan lembaran itu seperti kipas. Wanita itu mencoba kembali memeluk Arya, tetapi lelaki itu menghindar dan pergi meninggalkannya.
Malam telah larut saat Arya keluar dari kafe tersebut. Letak kafe tidak jauh dari Desa Banjarsari. Lokasinya di dekat jalan beraspal sekitar enam ratus meter dari pemukiman warga, terpisah area perkebunan.
Saat siang hari kafe yang bangunannya tampak sederhana itu hanya menjual makanan dan minuman, tetapi saat malam telah merayap ada layanan khusus bagi pelanggan spesial seperti Arya. Kafe itu sudah berdiri sekitar satu tahun. Warga desa mungkin tidah tahu atau mungkin tidak begitu peduli dengan hal-hal negatif yang terjadi di kafe tersebut, terbukti dengan tidak adanya protes ataupun penggrebekan.
Begitulah realita yang terjadi di lingkungan masyarakat. Mereka yang mengaku taat pada agama dan rajin beribadah pun menutup mata. Sebagian bahkan mendukung secara terang-terangan. Tentu saja semua itu karena satu alasan, uang.
Arya berjalan sempoyongan dengan mata memerah. Motor yang dia parkir dekat pepohonan depan kafe ditinggalkan begitu saja. Berulangkali laki-laki jangkung itu cegukan dan di sepanjang jalan yang sunyi dia memegangi kepalanya yang terasa berat. Laki-laki itu juga meracau tidak jelas antara sadar dan tidak sadar.
Setelah melewati area perkebunan lelaki bernama Arya itu memasuki gapura desa. Suasana tampak sepi dan remang-remang karena tidak ada lampu jalan. Penerangan hanya berasal dari rumah warga yang ada di pinggir jalan.
Lelaki berkemeja biru tua itu tiba-tiba berhenti di depan rumah berpagar besi tinggi warna hitam. Rumah bercat putih itu tampak kusam dengan cahaya redup. Hanya ada lampu lima watt yang tergantung di teras sebagai penerang. Halaman rumah itu ditumbuhi rumput liar dan tanaman yang tampak tidak terawat.
Penglihatan yang mengabur dan kesadaran yang hanya tinggal lima puluh persen membuat Arya memaksa ingatannya kembali. Dia membelalak untuk memastikan bahwa dia berhenti di tempat yang tepat. Arya tersenyum sambil berbicara sendiri.
“Benarkah ini rumahku? Akhirnya sampai juga. Aku tidak mabuk, kan? Siapa bilang aku tidak bisa pulang sendiri? Hahaha! Arya terus saja terbahak-bahak. Kedua tangannya memegangi perut hingga tubuhnya bergetar dengan posisi membungkuk.
Arya membuka pintu pagar dengan paksa. Lelaki berkulit cokelat dengan tato elang dibagian bahu kiri itu merasa jengkel saat pintu sulit terbuka sehingga dia menendangnya. Arya melangkah dengan tubuh oleng sambil terus memegangi kepalanya yang seolah berputar. Tubuh lelaki itu pun ambruk di teras sebelum mencapai pintu.
“Mita, buka pintunya! Dasar wanita tidak tahu diri. Istri macam apa kamu? Suami pulang bukannya disambut malah enak-enak tidur.”
Arya berteriak-teriak dan tubuhnya menggeliat seperti cacing kepanasan. Dia tidak bisa menahan rasa panas dalam perutnya dan memuntahkan seluruh isinya.
Beberapa menit kemudian pintu terbuka. Seorang wanita muda bergegas menghampiri lelaki yang sedang terkapar di lantai keramik. Ia duduk di depan suaminya itu dan mencoba membantunya berdiri.
“Ya, Tuhan, Mas, kenapa setiap hari kelakuanmu selalu seperti ini? Sadarlah, Mas!”
“Diam kau wanita pembawa sial. Gara-gara kamu hidupku kacau.” Lelaki bertubuh jangkung itu mendorong tubuh Sasmita hingga terjengkang.
Sasmita meringis kesakitan. Namun, ia segera bangkit dan kembali mendekati suaminya yang terkapar. Perlakuan kasar Arya sudah sering ia terima dan ini bukan yang pertama kali.
Arya kembali muntah. Lelaki bertato di lengan sebelah kiri itu terus mengeluarkan isi lambungnya yang hanya berupa cairan hingga tubuhnya benar-benar lemas.
Sasmita membantu suaminya berdiri dengan susah payah dan membawanya ke ruang tamu lalu merebahkannya di sofa berbentuk huruf L. Lelaki itu kini benar-benar sudah tak sadarkan diri.
Sasmita segera mengganti baju suaminya yang kotor dengan kaos oblong. Ia juga menyeka wajah lelaki itu dengan sapu tangan basah hingga bersih. Sasmita menghela napas berat lalu duduk di sofa yang sama tempat suaminya terbaring. Ia sama sekali tidak menyangka nasibnya akan seperti ini. Di usianya yang masih muda ia sudah harus menelan pil pahit kehidupan rumah tangga.
Sejak awal pernikahan Samita belum merasakan kebahagiaan sebagai seorang istri. Suaminya itu memang tidak pernah mencintainya dengan tulus. Meskipun Sasmita sudah berusaha menjadi pendamping yang baik, tetapi di mata suaminya selalu salah. Lelaki itu kerap membandingkannya dengan wanita lain. Wanita di masa lalunya.
Sikap Arya yang egois dan mementingkan kesenangannya sendiri itu bukan tanpa sebab. Sejak kecil lelaki bertubuh tinggi itu memang selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Sebagai anak tunggal Arya selalu mendapatkan perlakuan istimewa dari kedua orang tuanya. Terlebih lagi ibunya yang terlalu memanjakan Arya dan selalu memaklumi kesalahannya.
Malam ini udara sangat dingin. Sedingin hati Sasmita yang telah membeku. Setelah menunggui suaminya beberapa saat Sasmita berpindah ke kamar. Ia merasa letih. Bukan hanya tubuhnya, tetapi juga hatinya. Wanita muda itu merebahkan tubuhnya di kasur. Ia mencoba memejamkan mata. Namun, rasa kantuk seakan menguap begitu saja.
Tanpa sadar Sasmita sudah berlinang air mata. Rasa-rasanya ia sudah tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahan ini. Penderitaannya semakin lengkap setelah dia tahu suaminya itu suka datang ke kafe remang-remang dan sering pulang larut malam. Sikap suaminya itu semakin tidak terkendali. Kebiasaan buruk lelaki berusia dua puluh lima tahun itu tidak berkurang sama sekali bahkan semakin menjadi.
Menikah dengan orang yang tidak dicintainya membuat Sasmita tersiksa lahir batin. Ia juga tahu bahwa suaminya pun belum bisa mencintainya. Lelaki yang telah menikahinya selama dua tahun ini telah banyak menorehkan luka Lahir maupun batin. Sering kali lelaki itu pulang dalam keadaan mabuk.
Dalam benak Sasmita saat ini adalah kata perpisahan. Ingin sekali dia bercerai dengan Arya. Ia sudah bertekad akan mengakhiri pernikannya. Perceraian adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri penderitaan, tetapi lagi-lagi ia teringat keluarganya.
Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman.Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh s
Sasmita terpaku melihat keakraban Arya dengan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Suaminya itu bisa bercanda dan tertawa lepas. Hal yang tak pernah dirasakan Sasmita saat bersama Arya. ‘Apakah karena ada wanita lain sehingga dia tidak bisa mencintaiku dan memperlakukanku seperti ini?’ batin Sasmita.Dada Sasmita bergemuruh. Matanya mulai mengembun. Ia mencengkeram pegangan rantang makanan kuat-kuat. Sebenarnya ia bukannya cemburu buta hanya saja ia merasa tidak berguna sebagai istri. Bagaimana mungkin seorang suami lebih nyaman dengan wanita lain dibandingkan dengan istrinya sendiri?Sasmita mengurungkan niatnya untuk mengirim bekal ke kebun. Ia berbalik arah kembali pulang dengan rantang masih di tangannya. Ia melangkah dengan cepat. Sepanjang perjalanan air matanya meleleh tak henti. Wanita cantik itu berkali-kali mengusap air matanya dengan punggung tangan. Teguran beberapa orang yang berpapasan dengannya pun hanya ia balas dengan ang
Lima tahun yang laluMatahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terla
“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.
Suasana warung milik Samirah masih sepi. Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Samirah ke pasar, belum ada lagi pelanggan baru. Lelaki berkumis tebal masih betah berlama-lama di warung itu sembari menunggu si induk semang datang. Namun, Sasmita merasa tidak tenang. Ia berharap ibunya segera datang.Sasmita duduk di kursi kayu di sudut warung yang dindingnya dari anyaman bambu. Gadis belia itu berdebar-debar. Wajahnya pias menahan rasa takut. Bagaimana jika lelaki yang mengaku bernama juragan Karyo itu berbuat tidak senonoh padanya. Sedari tadi lelaki itu tidak pergi-pergi dari warungnya. Apalagi lelaki seumuran ayahnya itu sering menatapnya dengan tajam seperti sedang menyelidiki sesuatu tentangnya, seperti mengulitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sasmita bergidik ngeri.Juragan Karyo masih mengamati Sasmita dengan intens. Sesekali dia memilin-milin ujung kumisnya yang tebal. Terkadang senyumnya mengembang, kepalanya manggut-manggut seperti sedang merencanakan sesuatu.“Buat
Sasmita berjalan sendirian menyusuri jalanan desa yang sepi. Pohon mahoni tumbuh tegak berjejer di sepanjang jalan desa. Pohon-pohon itu memang cukup meneduhkan, tetapi terik matahari tetap terasa membakar kulit Sasmita. Tubuhnya dibanjiri keringat. Sesekali ia menyeka peluh di dahi. Sasmita mempercepat langkahnya. Perutnya yang sedari tadi mulas rasa-rasanya sudah tidak mau diajak kompromi. Ia ingin segera sampai di rumah untuk menuntaskan hajat.Sasmita ingin berlari saja, tetapi jalanan yang masih berupa bebatuan kapur dan dipenuhi kerikil mengurungkan niatnya. Ia tak mau terjatuh dan terpeleset kerikil-kerikil tajam. Ia harus berhati-hati jika tidak mau terluka. Entah mengapa pemerintah belum juga memperbaiki jalan di desanya. Padahal jalan yang bagus sangat penting untuk membawa hasil sawah dan kebun ke kota sehingga perekonomian di desa bisa berkembang pesat.Sasmita menghela napas. Pikirannya melalang buana. Ia kembali mengingat ucapan kedua orang tuanya semalam yang sudah tak
Sementara itu di rumah juragan KaryoSuasana rumah juragan Karyo siang itu sangat panas. Bukan panas karena musim kemarau yang panjang, tetapi karena pertengkaran dua manusia berbeda usia. Seharusnya rumah juragan Karyo cukup sejuk. Bangunan berlantai dua yang didominasi tembok warna putih dengan ornamen-ornamen dari kayu jati itu sangat asri. Kusen pintu dan jendela juga terbuat dari kayu jati, membuat rumah makin megah.“Setiap hari pekerjaanmu hanya mabuk saja Arya! Mau jadi apa kamu? Kamu itu anak bapak satu-satunya, pewaris semua harta bapak.” Juragan karyo menasihati Arya. Ia kecewa dengan kelakuan anak semata wayangnya.“Sudahlah, Pak. Aku ini masih muda. Aku masih ingin bersenang-senang. Aku jadi seperti ini juga karena didikan, Bapak.”“Arya! Lancang kamu!” Tamparan juragan Karyo mendarat di pipi Arya. Laki-laki berusia 40-an tahun itu tidak menyangka dengan jawaban Arya yang malah menyudutkannya. Dadanya berdetak naik turun. Detakannya lebih cepat dari berputarnya jarum ja
“Mau ke mana Arya? Tidak makan dulu?” tanya Istri juragan Karyo.“Keluar sebentar,” jawab Arya singkat.“Tapi, Ar ....”Tanpa melihat wajah ibunya, Arya pergi begitu saja. Ia bahkan tidak peduli dengan wanita yang telah melahirkannya. Pemuda itu mengeluarkan dan mengendarai motornya dengan tergesa.Istri juragan Karyo menghela napas berat sambil mengelus dada. Ia tergemap dengan tingkah laku Arya yang selalu saja membuatnya harus menambah kesabaran. Dosa apa yang ia lakukan sehingga anaknya berperilaku tidak sopan padanya. Batinnya menangis tanpa menyadari kekeliruannya sebagai orang tua.Sering kali manusia lupa akan kekhilafannya, lalu mengeluh, memprotes, dan mempertanyakan kepada Tuhan apa saja salah dan dosanya. Sungguh menggelikan.***Dahlia sudah menunggu di jalan ujung desa saat Arya datang. Gadis cantik yang sedang ranum-ranumnya itu tersenyum bahagia. Tidak bertemu kekasihnya sepekan serasa berbulan-bulan. Arya menarik tangan Dahlia dan mengajak gadis itu ke kerimbunan poho