—Takdir memang nyata. Namun, berusaha sekuat tenaga dalam menghadapi pilihan hidup, sepenuhnya adalah tanggung jawabmu.—
Ulif Yoana *** “Sebenarnya, aku ngajak kamu keluar karena disuruh seseorang, Mit. Ada yang ingin bertemu kamu.” “Siapa? Kenapa nyuruh kamu?” Sasmita bertanya-tanya. Ia masih belum bisa menebak siapa orang yang ingin bertemu dengannya. “Kamu beneran tidak tau, apa hanya pura-pura, sih, Mit?” Rani mengernyit. “Kamu pikir aku dukun, bisa menebak-nebak orang yang kamu maksud?” Sebenarnya Sasmita pun sedang menerka-nerka dalam hati, tetapi ia takut salah. “Kamu kenal, kok,” ujar Rani “Memangnya siapa dia? Teman kita?” “Heleeh, lagakmu, Mit.” Rani menarik hidung Sasmita. Gadis itu gemas dengan keluguan sahabatnya. “Auwww, sakit, tau.” Sasmita meringis sambil mengusap-usap ujung hidungnya yang memerah. Hidung mungil yang tidak terlalu mancung, tetapi juga tidak bisa dibilang pesek. Rani cekikikan melihat mimik wajah Sasmita. Setelahnya, Rani menarik tangan Sasmita. Ia mempercepat langkah hingga Sasmita kewalahan menjajarinya. “Waktu kita tidak banyak, Mit. Kita harus segera sampai di kios bakso.” “Oalaah, jadi yang menunggu kita Abang kios bakso?” Sasmita mencoba mencairkan suasana. Namun, lawakannya yang garing itu justru membuatnya mendapatkan satu jitakan dari Rani. Sasmita kembali meringis, lalu mengusap-usap dahinya. Saat kedua sahabat itu bercanda, mereka berpapasan dengan juragan Karyo yang melintas naik motor dari arah berlawanan. Laki-laki berusia 40-an itu mengurangi kecepatan laju motornya, lalu menatap Sasmita. Pandangannya penuh tanya. Sasmita yang menyadari tatapan juragan Karyo, langsung menunduk. Dadanya berdegup kencang. Seketika tubuhnya gemetar. Ia mempercepat langkah hampir berlari, hingga membuat Rani kebingungan. “Kamu kenapa, sih, Mit? Kok tiba-tiba berlari kayak dikejar hantu? Kamu kenal orang tadi?” “Enggak, aku enggak kenal. ‘Kan, tadi kamu yang ngajak jalan cepat?” Sasmita ngeles. Ia tidak ingin Rani tau alasan ia mempercepat langkah. Ia belum mau cerita tentang masalahnya pada Rani. Rani pun mengikuti Sasmita. Kali ini giliran Rani yang sampai ngos-ngosan karena mengejar langkah Sasmita. *** Kios bakso viral sudah di depan mata. Kios bakso ini bukan seperti kios bakso kebanyakan, lebih tepatnya seperti kafetaria. Sasmita dan Rani tersenyum senang. Kali ini, kafe sudah ramai. Tempat makan yang cukup luas itu sudah dipenuhi pelanggan yang rata-rata didominasi anak-anak muda. Bakso memang makanan sejuta umat karena harganya biasanya ramah di kantong. Warung bakso itu didesain sedemikian rupa indah dan nyaman sehingga cocok digunakan untuk pertemuan maupun hanya sekedar untuk nongkrong. Tak heran jika tempat ini tidak pernah sepi dari pelanggan. Tempat ini didesain tanpa sekat tembok di bagian depannya karena mengambil konsep out door dan rooftop. Kursi-kursi dari kayu dengan meja bulat di tengahnya tertata rapi. Pada langit-langit ruangan, tergantung lampu-lampu bulat juga lentera berwarna kuning dan merah yang membawa kesan oriental. Beberapa lukisan pemandangan alam dan bunga teratai menghiasi dinding yang menutup bagian samping dan belakang kafe. Membuat suasana makin syahdu. “Syukurlah sudah sampai,” pekik Rani senang. “Ran, makan bakso di sini bukannya mahal? Katamu kios? Ini, sih, bangunannya seperti kafe,” tanya Sasmita dengan raut wajah sungkan. Selama warung bakso ini dibuka, Sasmita belum pernah sekalipun mendatangi tempat ini. “Orang-orang menyebutnya kios, aku ngikut aja. Hargae enggak mahal, tenang aja, masih terjangkau, kok. Pokonya harga sesuai dengan rasa baksonya,” cerocos Rani. “Lagi pula kamu enggak usah panik, Mit, ‘kan ada yang traktir.” “Oh, iya, kamu yang traktir, ya?” Sasmita tersenyum malu-malu. “Sebenarnya bukan aku yang traktir, tapi Mas ...” “Siapa?” potong Sasmita. “Itu ....” Rani menunjuk seorang pemuda hitam manis yang sudah berdiri dari kursinya. “Mas Ramli?” pekik Sasmita. Jantungnya seketika berdegup tak karuan. Ia gugup sekaligus senang. Cowok manis itu selalu menghadirkan gelenyar-gelenyar aneh di dalam hatinya. Ramli yang melihat kedatangan kedua gadis remaja itu langsung melambaikan tangan agar mereka segera datang ke meja yang sudah ia pesan. Di atas meja sudah ada tiga mangkok bakso dan tiga gelas es jeruk manis yang segar. Rani dan Sasmita segera menghampiri Ramli. “Duduklah! Ini sudah aku pesankan,” ucap Ramli. “Terima kasih. Maaf, Mas, kami lama datangnya, soalnya jalan kaki,” terang Rani. Sementara itu, Sasmita hanya menunduk, tersipu malu-malu. “Enggak apa-apa, yang penting sekarang kalian sudah datang,” ujar Ramli. Ramli menyuruh kedua gadis itu duduk untuk segera menyantap bakso yang telah dipesannya. Ia khawatir bakso yang tadinya mengepulkan asap itu menjadi dingin. Selama mereka makan, Rani yang banyak berbicara, sedangkan Sasmita khusyuk menikmati baksonya yang sudah mulai dingin. Suasana sedikit canggung. Ramli yang tadinya ingin berbicara sesuatu dengan Sasmita mendadak kehilangan kata-kata. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap Sasmita dengan sejuta kata yang masih rapi tersimpan dalam otaknya. Seharusnya Ramli bisa lebih gentle. Ia seorang mahasiswa yang tentu lebih berpengalaman. Masa iya, lidahnya kaku di depan abege. “Mas Ramli, katanya tadi mau ngomong sama Sasmita? Kok malah bengong aja?” tegur Rani. Ia melirik Sasmita yang sedang asyik menikmati baksonya. Sasmita mendelik ke arah Rani. Jantungnya berdentam-dentam. Telapak tangannya pun berkeringat dingin. Ada sedikit pikiran ge-er yang menyelinap ke dalam otaknya. Gadis 16 tahun itu memang sudah mengalami masa-masa puber dan mulai merasakan ketertarikan pada lawan jenis. Ramli salah tingkah saat Rani menegurnya. Meskipun sudah mahasiswa, Ramli memang belum pernah sekalipun menembak cewek. Ia juga belum pernah pacaran. Selama ini, Ramli hanya fokus belajar dan kegiatan ekstra sekolah. Namun saat pertama kali bertemu Sasmita di rumah sepupunya—Rani, ia merasa ada yang berbeda. Gadis cantik yang masih lugu itu menarik perhatiannya. “Ngomong apa, ya? Aku lupa. Ramli cengengesan. Seperti memahami situasi yang terjadi, Rani bangkit dari duduknya. “Aku ke toilet dulu, ya!” pamitnya. “Ran, aku ikut!” “Udah, habisin dulu baksomu. Enggak usah ikut!” Rani melotot ke arah Sasmita. “Baiklah,” ucap Sasmita pasrah. Sebenarnya ia hanya grogi ditinggal berduaan saja dengan Ramli. Sepeninggal Rani, Ramli mengeluarkan sebuah amplop pink dengan wangi bunga mawar. Ia menyerahkan amplop itu pada Sasmita. “Ini, bacalah nanti di rumah.” “Ini apa, Mas?” “Nanti kamu akan tau. Mungkin kita enggak ketemu lagi, dalam waktu yang cukup lama. Aku harus balik ke kota sekarang. Kuliahku sudah akan dimulai.” “Maksud Mas Ramli?” “Aku enggak tau kapan akan mengunjungi tempat ini lagi. Yang jelas, aku senang bisa mengenalmu, sayangnya kamu masih gadis bau kencur,” ucap Ramli terus terang. “Bau kencur?” Sasmita mengernyit. Ia kurang suka dengan analogi itu. Ramli tersenyum. “Kamu baru lulus SMP, belajar yang rajin, ya! Moga suatu hari kita bisa bertemu lagi.” “Oh, ya, Baksonya udah aku bayar. Nanti tolong bilang Rani, ya, aku terburu-buru.” Ramli mengusap pucuk kepala Sasmita seperti seorang Abang terhadap adiknya. Hati Sasmita menghangat dengan perlakuan manis itu. “Baik, Mas.” Mata Sasmita berbinar. Ada rasa bahagia yang menyeruak di dad*nya. Inikah yang namanya jatuh cinta? “Ya udah, aku pergi dulu.” “Tapi, Mas ...?” “Apa?” “Terima kasih,” ucap Sasmita. Setelah berpamitan, Ramli keluar ke tempat parkir untuk mengambil motornya. Sasmita hanya bisa memandangnya dari tempatnya duduk. Hati Sasmita memang saat ini sedang berbunga-bunga, tetap terselip sedikit kekecewaan juga. Ini hari terakhirnya bertemu dengan Ramli dengan sebuah teka-teki tentang isi amplop pink yang saat ini ada ditangannya. Ramli melambai sebelum pergi. Sasmita terus memandangi pemuda itu hingga tak terlihat dari pandangannya. Entah kenapa tiba-tiba rasa sedih menyeruak kembali. Ditimbang-timbang amplop pink pemberian Ramli. Ia sangat penasaran dengan isinya, tetapi ia tahan. Sebelum Rani datang, Sasmita menyimpan amplop itu di balik bajunya.Sementara itu di warung Samirah, seorang laki-laki berkumis tebal berdiri di depan pintu. Kehadirannya yang tiba-tiba, mengejutkan Samirah. Wanita itu memang sedang sibuk mencuci peralatan dapur, jadi tidak menyadari ada orang datang ke warungnya.“Juragan ... sudah lama? Monggo Juragan.” Samirah mempersilakan laki-laki di hadapannya untuk masuk dan duduk di kursi yang telah tersedia.“Anakmu, kok, kamu biarkan keluyuran?” tanya juragan Karyo.“Apa maksud, Juragan?” “Aku tadi papasan, sama Anakmu di jalan utama desa. Mau ke mana dia?”“Oh, itu tadi Sasmita diajak temannya beli bakso, Juragan.”“Lain kali, jangan biarkan anakmu itu berkeliaran! Aku sudah mantap menjadikan anakmu menantuku.”“Hah?” Samirah terkesiap. Ia buru-buru menutup mulutnya yang melongo.“Kamu enggak usah berlagak kaget atau pura-pura lupa! Kemarin lusa aku kan sudah bilang, anakmu itu tak minta, Samirah,” tegas juragan Karyo.“I-iya, Juragan. Jadi, Sasmita mau dijadikan mantu, to?” Samirah tersenyum malu. Selama
Sasmita berjalan terpincang-pincang. Air matanya terus mengalir sepanjang ia berjalan. Tidak hanya menahan perih akibat luka di tubuhnya, tetapi juga kesal dengan pemuda yang hampir menabraknya.“Dasar tidak punya perasaan dan etika. Ada orang jatuh tidak ditolong, malah dimaki-maki. Dia kira, jalan ini punya nenek moyangnya” gerutu Sasmita. Hatinya sakit mengingat pemuda tersebut. Andai Sasmita tahu, pemuda itu yang akan dijodohkan dengannya.Sasmita hampir tiba di warung ibunya setelah berjalan selama sepuluh menit. Warung berdinding anyaman bambu itu sudah terlihat jelas oleh Sasmita. Gadis itu ragu untuk kembali melangkah. Ia berhenti sejenak saat melihat laki-laki berkumis tebal keluar dari warung.“Juragan Karyo?” pekik Sasmita, lalu buru-buru ia menutup mulutnya. Tubuh Sasmita bergetar. Ia bergidik ngeri saat membayangkan akan menjadi istri seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Sasmita segera berlari dan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di pinggir jalan
“Aku tadi sudah bilang juragan, kalau perjodohan antara Sasmita dan anaknya juragan, diundur sampai Sasmita lulus SMA. Juragan setuju dan beliau mau membiayai sekolah Sasmita.”“MasyaAllah, benarkah, Bu? Pak Sokran terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan penjelasan istrinya.Mata Sasmita makin berbinar. Ia langsung sujud syukur. Air matanya berlinang karena bahagia. Sasmita terlalu senang, sehingga Iya tidak fokus lagi dengan penjelasan ibunya. Kesedihannya meluap detik itu juga. Meskipun pemuda yang ia sukai adalah Ramli, tetapi ia tidak keberatan jika dijodohkan dengan anaknya juragan, asalkan jangan menjadi istri muda juragan Karyo. Ia akan menurut kepada orang tuanya walaupun terpaksa. Andai Sasmita tahu takdir apa yang ada di depan matanya. Ia tidak akan berjalan sejauh itu dengan gegabah. Ia memang gadis bau kencur yang masih polos dan lugu.Keputusan yang dibuat para orang tua, akan mengubah hidupnya. Saat itu, Sasmita akan masuk dalam kandang binatang buas. Ia tidak bisa be
Arya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan hampir maksimal saat keluar dari Kota Surabaya. Suara knalpotnya bisa memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Saat jalan di kota, ia tidak bisa sembarangan melaju dengan kencang karena ada peraturan batas kecepatan dan banyaknya lampu merah. Sesekali Arya mengumpat jika harus mengerem mendadak saat kendaraan lain akan berbelok atau berhenti karena lampu merah. Pemuda itu memang tidak sabaran dan mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Udara yang cukup panas membuat suasana hatinya ikut panas. Entah mengapa kebiasaan buruknya itu belum juga hilang.Hanya berkendara selama dua jam Arya sudah sampai di tanah kelahirannya, lebih cepat setengah jam dari biasanya. Hari belum terlalu siang saat Arya Sampai. Alih-alih pulang ke rumahnya, pemuda bertato elang di lengannya itu lebih memilih pergi ke tempat ia berjanji bertemu dengan Dahlia.‘Lia, aku sudah di tempat biasa kita bertemu. Kamu di mana?’Arya mengirim pesan
Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan. Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan.Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri.Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya.
“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun
‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
Desa Banjarsari, 2006“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanit