Sementara itu di warung Samirah, seorang laki-laki berkumis tebal berdiri di depan pintu. Kehadirannya yang tiba-tiba, mengejutkan Samirah. Wanita itu memang sedang sibuk mencuci peralatan dapur, jadi tidak menyadari ada orang datang ke warungnya.
“Juragan ... sudah lama? Monggo Juragan.” Samirah mempersilakan laki-laki di hadapannya untuk masuk dan duduk di kursi yang telah tersedia. “Anakmu, kok, kamu biarkan keluyuran?” tanya juragan Karyo. “Apa maksud, Juragan?” “Aku tadi papasan, sama Anakmu di jalan utama desa. Mau ke mana dia?” “Oh, itu tadi Sasmita diajak temannya beli bakso, Juragan.” “Lain kali, jangan biarkan anakmu itu berkeliaran! Aku sudah mantap menjadikan anakmu menantuku.” “Hah?” Samirah terkesiap. Ia buru-buru menutup mulutnya yang melongo. “Kamu enggak usah berlagak kaget atau pura-pura lupa! Kemarin lusa aku kan sudah bilang, anakmu itu tak minta, Samirah,” tegas juragan Karyo. “I-iya, Juragan. Jadi, Sasmita mau dijadikan mantu, to?” Samirah tersenyum malu. Selama ini, ia mengira Sasmita akan diperistri Juragan Karyo. Ia menepuk-nepuk dahinya. ‘Dasar bodoh,’ pikirnya. “ Lah, kamu kira opo?” “Mboten, Juragan. Saya kira, Juragan mau menjadikan Sasmita istri, eh, ternyata mantu. Saya sudah berburuk sangka pada, Njenengan.” “Samirah ... Samirah. Mbokyo, otakmu itu buat mikir. Apa iya, aku mau nikahi anak bau kencur? Pikiranmu itu keterlaluan!” Juragan Karyo berdecak. Ia tak habis pikir dengan pemikiran wanita di depannya. Meskipun ia terkenal brengsek di kalangan para juragan, ia enggak akan menikahi gadis di bawah umur. Ia juga enggak akan menikahi wanita lebih dari satu. Istrinya itu terkenal galak dan bisa berbuat apa saja, jika sampai ketahuan ia menikah lagi. “Gimana bojomu? Setuju apa tidak dengan perjodohan anakmu dengan anakku?” “Begini, Juragan ... Emmh, bapaknya anak-anak itu juga belum paham, dikiranya ya, Juragan Karyo yang mau berjodoh dengan anak saya. Nanti coba saya rundingkan lagi.” “Ya sudah. Minggu depan kami datang ke rumahmu untuk melamar anakmu secara resmi.” “Tapi Juragan, apa ini enggak terburu-buru? Apa Juragan serius menjadikan kami besan? Kami ini orang miskin, tidak sepadan dengan keluarga Juragan.” Samirah senang sekaligus takut. Ada kekhawatiran yang menyeruak dalam dadanya. Mana mungkin juragan Karyo yang kaya raya, mau menjadikan anaknya mantu. Apalagi Sasmita masih bocah. Kalau masalah cantik, masih banyak gadis lain yang lebih cantik. “Anakmu itu wes paling cocok dengan anakku. Pertama kali lihat anakmu, wes pingin tak jadikan mantu.” “Sebentar, Juragan. Kalau saya boleh usul, sebaiknya nunggu Sasmita umur 18 atau 19 dulu. Tahun ini, ia baru lulus SMP. Tolong beri kesempatan, Juragan.” Samirah melontarkan penawaran. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin anaknya menderita karena menikah terlalu muda. “Bukannya anakmu itu wes enggak sekolah?” “Tahun ini, saya belum bisa lanjut menyekolahkan, Juragan. Saya terkendala biaya.” Samirah tersipu malu. Ia merasa tak berguna sebagai orang tua. “Baiklah kalau begitu.” Juragan Karyo menghela napas. Laki-laki berperut buncit itu terdiam beberapa saat. Ia berpikir, lalu mengutarakan niatnya untuk membiayai Sasmita melanjutkan SMA. Mantu seorang juragan masa’ ya lulusan SMP? ‘batinnya.’ Samirah menyambut niat juragan Karyo dengan senang hati. Ia sama sekali tidak menyangka, ternyata dibalik sikapnya yang terkadang arogan, ia orang yang baik. Kini, Samirah bisa bernapas lega. *** “Mas Ramli mana? Tanya Rani. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari kakak sepupunya. “Sudah pergi,” jawab Sasmita santai. “Maksudmu?” “Mas Ramli titip salam padamu, Ran. Ia tadi terburu-buru, haus segera pergi katanya.” “Kebiasaan, deh, Mas Ramli ini.” Rani menggerutu. Ia jengkel dengan sepupunya itu. “Udah, Ran. Makan dulu baksomu! Ini bentar lagi orang-orang kerja pada istirahat. Warung ibuku biasanya diserbu pelanggan. Kalau aku enggak bantu, nanti aku bisa kena marah.” “Baiklah.” Rani duduk dengan malas. Gadis itu segera melahap baksonya karena Sasmita harus segera dikembalikan ke warung ibunya. Setelah seporsi bakso dan segelas es jeruk Rani tandas, Sasmita pun segera berdiri dan menarik tangan sahabatnya itu keluar dari warung bakso. “Waduh, Mit. Pelan aja jalannya. Perutku kram, nih!” seru Rani. “Gini aja, Ran. Kamu pulang aja. Aku balik ke warung sendirian. Daripada kamu nanti bolak-balik.” Sasmita tidak tega kepada Radi. Ia memutuskan balik ke warung ibunya sendirian. “Tapi, Mit?” “Udah, enggak apa-apa. Nanti aku yang jelasin pada ibu, kenapa datangnya telat. “Beneran, ya? Takutnya, kamu enggak diizini lagi keluar sama aku. Ngimong-ngomong, tadi Mas Ramli ngomong apa sama kamu? Rani menyelidik. Ia memicingkan mata. Rani penasaran. “Tenang aja , Ran. Kalau masalah Mas Ramli, enggak ada yang perlu dibahas. Ia enggak ngomong apa-apa, kok, hanya salam perpisahan,” jelas Sasmita. “Mas Ramli enggak nembak kamu?” “ Apaan, sih, Ran? Nembak apa maksudmu?” “Dasar bego. Apa Mas Ramli enggak bilang suka ke kamu, gitu?” desak Rani tak percaya dengan penjelasan Sasmita. “Enggak. Sumpah “ Sasmita mengacungkan dua jarinya. “Lah, terus buat apa nyuruh jemput dan mengajakmu buat ketemuan? Dasar cowok aneh. Aku kira, mas Ramli bakal bilang suka ke kamu.” “Mas Ramli Cuma bilang, aku masih gadis bau kencur,” ucap Sasmita. Ia sengaja tidak menceritakan mengenai amplop merah muda pada Rani. “Heh?” Rani terbelalak, “Tapi itu benar.” Gadis itu kemudian terpingkal-pingkal. Sasmita menutup mulut Rani dengan tangannya. Ia tersipu malu sekaligus gemas pada sahabatnya. Jujur saja, ucapan Ramli tadi memang membuatnya terhempas. Sasmita berharap bukan kata itu yang diucapkan Ramli. Rani dan Sasmita berpisah di pertigaan jalan. Jalan yang belok ke kiri menuju rumah Rani, jalan yang belok kanan menuju ke jalan yang menuju ke gapura pintu masuk desa, lokasi warung ibunya Sasmita. Jalan ini juga menuju ke jalan raya utama yang beraspal. Adapun jalan yang lurus, menuju ke wilayah beberapa desa lain, termasuk desanya juragan Karyo. Dalam perjalanan, Sasmita panik. Ia benar-benar takut kena marah ibunya. Apalagi sejak pagi tadi, ia lebih banyak diam, melamun meratapi kepedihan hatinya. Karena jalan sambil melamun dan tidak konsentrasi, Sasmita tidak berbelok ke kanan. Ia jalan lurus saja dan hampir ke tengah jalan tanpa melihat sekitarnya. Tanpa ia sadari, dari arah berlawan, sepeda motor melaju kencang. Sasmita terkejut saat bunyi klakson terdengar nyaring. Pengendara sepeda mengerem mendadak. Seketika ia tersadar dan bergegas ke minggir ke kiri jalan. Namun, gerakan Sasmita kurang cepat. Bagian lengannya terserempet bagian depan motor. Sasmita terjerembap ke tanah. “Aww, aduh.” Sasmita meringis kesakitan. Ada beberapa luka gores pada tangan dan kakinya karena bergesekan dengan tanah berkerikil. “Dasar gadis bodoh! Kamu udah bosan hidup?” bentak suara laki-laki. Matanya melotot tajam ke arah Sasmita. Sasmita mendongak. Ia tidak mengenal laki-laki muda itu. Sepertinya bukan pemuda dari desanya. “Ma-maaf, Mas,” “Maaf ... maaf! Gara-gara kamu aku hampir celaka! Kalau kamu sudah bosan hidup, jangan menyusahkan orang lain,” teriak laki-laki muda itu. Ada sorot kebencian pada matanya kepada gadis yang baru saja diserempetnya. Pemuda itu adalah Arya, putra tunggal juragan Karyo. Sasmita ketakutan. Ia bergeming sambil mendesis lirih menahan perih pada tangan dan kakinya yang terluka. Ia menunduk, tidak kuasa melihat sorot tajam mata pemuda di hadapannya. Bukannya menolong, Arya masih tetap di atas motornya sambil terus memakai Sasmita dan tanpa berperasaan, meninggalkan Sasmita sendirian di bahu jalan.Sasmita berjalan terpincang-pincang. Air matanya terus mengalir sepanjang ia berjalan. Tidak hanya menahan perih akibat luka di tubuhnya, tetapi juga kesal dengan pemuda yang hampir menabraknya.“Dasar tidak punya perasaan dan etika. Ada orang jatuh tidak ditolong, malah dimaki-maki. Dia kira, jalan ini punya nenek moyangnya” gerutu Sasmita. Hatinya sakit mengingat pemuda tersebut. Andai Sasmita tahu, pemuda itu yang akan dijodohkan dengannya.Sasmita hampir tiba di warung ibunya setelah berjalan selama sepuluh menit. Warung berdinding anyaman bambu itu sudah terlihat jelas oleh Sasmita. Gadis itu ragu untuk kembali melangkah. Ia berhenti sejenak saat melihat laki-laki berkumis tebal keluar dari warung.“Juragan Karyo?” pekik Sasmita, lalu buru-buru ia menutup mulutnya. Tubuh Sasmita bergetar. Ia bergidik ngeri saat membayangkan akan menjadi istri seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Sasmita segera berlari dan bersembunyi di balik pohon yang tumbuh di pinggir jalan
“Aku tadi sudah bilang juragan, kalau perjodohan antara Sasmita dan anaknya juragan, diundur sampai Sasmita lulus SMA. Juragan setuju dan beliau mau membiayai sekolah Sasmita.”“MasyaAllah, benarkah, Bu? Pak Sokran terkejut. Ia hampir tidak percaya dengan penjelasan istrinya.Mata Sasmita makin berbinar. Ia langsung sujud syukur. Air matanya berlinang karena bahagia. Sasmita terlalu senang, sehingga Iya tidak fokus lagi dengan penjelasan ibunya. Kesedihannya meluap detik itu juga. Meskipun pemuda yang ia sukai adalah Ramli, tetapi ia tidak keberatan jika dijodohkan dengan anaknya juragan, asalkan jangan menjadi istri muda juragan Karyo. Ia akan menurut kepada orang tuanya walaupun terpaksa. Andai Sasmita tahu takdir apa yang ada di depan matanya. Ia tidak akan berjalan sejauh itu dengan gegabah. Ia memang gadis bau kencur yang masih polos dan lugu.Keputusan yang dibuat para orang tua, akan mengubah hidupnya. Saat itu, Sasmita akan masuk dalam kandang binatang buas. Ia tidak bisa be
Arya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan hampir maksimal saat keluar dari Kota Surabaya. Suara knalpotnya bisa memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Saat jalan di kota, ia tidak bisa sembarangan melaju dengan kencang karena ada peraturan batas kecepatan dan banyaknya lampu merah. Sesekali Arya mengumpat jika harus mengerem mendadak saat kendaraan lain akan berbelok atau berhenti karena lampu merah. Pemuda itu memang tidak sabaran dan mulutnya dengan mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Udara yang cukup panas membuat suasana hatinya ikut panas. Entah mengapa kebiasaan buruknya itu belum juga hilang.Hanya berkendara selama dua jam Arya sudah sampai di tanah kelahirannya, lebih cepat setengah jam dari biasanya. Hari belum terlalu siang saat Arya Sampai. Alih-alih pulang ke rumahnya, pemuda bertato elang di lengannya itu lebih memilih pergi ke tempat ia berjanji bertemu dengan Dahlia.‘Lia, aku sudah di tempat biasa kita bertemu. Kamu di mana?’Arya mengirim pesan
Sementara itu di tempat berbeda, Sasmita mempunyai kisahnya sendiri. Ia menikmati masa-masa sekolahnya dengan hati riang. Wajahnya selalu ceria dan memancarkan kebahagiaan. Sasmita tidak memikirkan perjanjian yang telah orang tuanya sepakati dengan juragan Karyo. Asalkan ia bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, hal itu tak masalah. Ia bukan akan diperistri juragan Karyo, tetapi akan dijadikan mantu oleh saudagar kaya dari desa sebelah itu. Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan.Sering kali Sasmita membayangkan bagaimana rupa calon suaminya nanti. Ia tersipu sendiri. Sampai sekarang memang ia belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Selama ini hanya juragan Karyo yang selalu mengawasi dan memperhatikannya. Laki-laki paruh baya itu ternyata sangat baik padanya dan sudah memperlakukannya seperti anak sendiri.Sasmita mengikuti pelajaran dengan serius. Ia rajin belajar agar nilai-nilainya bagus dan tidak mengecewakan calon ayah mertua yang membiayai sekolahnya.
“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya.Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli.“Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita.“Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menun
‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
Desa Banjarsari, 2006“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanit
Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman.Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh s