‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’ —Sasmita— **** Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah. Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang sedang dimabuk cinta. Embusan angin menerpa wajah Sasmita yang berseri-seri. Gadis itu sedang berbahagia. Sebagaimana kata pepatah ‘pucuk di cinta ulam pun tiba’ seperti itulah yang dialami Sasmita. Sejenak ia melupakan tentang perjodohannya dengan Arya. Ia ingin menikmati indahnya jatuh cinta pada orang yang menurutnya tepat. Sebagai remaja, pemikirannya memang masih labil dan plin-pan dalam mengambil keputusan. Adakalanya ia bisa bersikap dewasa dan berpikir jauh ke depan, tetapi ada kalanya ia bertindak sesuai keinginan hatinya. Perkara jodoh biarlah ia serahkan sepenuhnya pada Tuhan. Yang penting saat ini, cintanya pada Ramli tidak bertepuk sebelah tangan. “Sasmita ... bantu ibu di dapur!” teriak bu Samirah. Lamunan Sasmita Buyar saat suara bariton ibunya terdengar sampai ke teras. Maklum saja, rumahnya yang enggak terlalu besar dan bangunannya semi permanen, tidak bisa menghalangi suara ibunya yang cukup keras. “Baik, Bu.” Sasmita segera beranjak dari tempatnya. Ia bergegas masuk rumah untuk membantu ibunya. Ia tidak ingin orang tuanya curiga dengan sikapnya hari ini yang lebih sering tersenyum tanpa sebab. “Mita bantu apa, Bu?” “Sudah tau ibu repot di dapur, kamu malah enggak mau bantu. Buatkan bapakmu kopi! Ibu ini masih menggoreng ikan hasil mancing bapakmu. Sebelum pulang kerja tadi bapakmu mancing sebentar di sungai dan dapat beberapa ekor ikan. Lumayan buat lauk kita malam ini.” “Alhamdulillah, rezeki hari ini, ya, Bu.” Sasmita tersenyum bahagia. Ia sangat bersyukur dengan keadaan keluarganya yang makin membaik. Sasmita segera memasak air, lalu mengambil gelas dan meletakkannya di meja. Ia tuangkan satu sendok kecil bubuk kopi dan satu setengah sendok kecil gula pada gelas. Ayahnya menyukai seduhan kopi yang tidak terlalu manis. Sasmita menyeduh kopi dengan air yang telah mendidih. Tiba-tiba konsentrasi Sasmita buyar entah mengapa tiba-tiba ia teringat calon ayah mertuanya, juragan Karyo. Ia juga tiba-tiba terpikir tentang perjodohannya yang telah diatur. Tangan Sasmita terkena air panas. Gadis itu terkejut sehingga gelas yang berisi bubuk kopi dan gula tersenggol dan pecah karena jatuh ke lantai. Kakinya pun terkena tumpahan kopi panas. “Aduh ...!” jerit Sasmita. “Sasmita ... apa yang kamu lakukan? Hanya disuruh bantu bikin kopi saja, berantakan semua,” omel Bu Samirah. “Tangan dan kakimu enggak apa-apa?” Sasmita masih berdiri mematung. Ia tergemap dengan kejadian barusan. Tidak seperti biasanya ia berbuat ceroboh seperti ini. Ia pun heran kenapa tiba- tiba memikirkan calon suaminya. Apakah karena siang ini ia menerima cinta Ramli? Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi rongga kepalanya. “Mita! Kok malah bengong? Kamu lagi mikir apa? Kakimu enggak apa-apa? tanya Bu Samirah. “Panas, Bu. Kaki Mita terkena tumpahan kopi panas.” “Cepat kasih minyak tawon biar tidak bengkak!” titah Bu Samirah. Tanpa disuruh dua kali, Sasmita segera mengambil minyak, lalu dioleskan pada kakinya yang terkena tumpahan kopi panas. Gadis itu menghela napas. Entah mengapa hatinya menjadi gelisah. Bukan karena ia mengingat ungkapan perasaan Ramli, tetapi karena teringat calon suami yang bahkan belum pernah ia lihat. Bukankah ini sangat aneh? ‘Apakah sesuatu terjadi?’ *** Sementara di tempat yang berbeda, langit telah gulita. Arya dan Dahlia duduk berhadapan, saling menatap penuh cinta. Kedua anak manusia itu sedang kasmaran. Untuk sementara, mereka merasa telah berhasil lari dari kekangan keluarga. “Kamu yakin lari dari perjodohan ini, Lia?” Arya menatap Dahlia intens. “Kala aku enggak yakin, aku enggak akan berada di kamar kosmu saat ini, Mas.” “Kedua orang tua kita menentang hubungan kita, Lia. Jika orang tuamu setuju, mungkin orang tuaku juga setuju.” “Bagaimana supaya mereka setuju?” tanya Dahlia dengan mimik serius. “Mungkin dengan cara ini ....” Arya dengan sigap memeluk Dahlia. Gadis itu awalnya berontak dan maluku-malu. Namun, pemberontakannya sia-sia. Meskipun hatinya menolak, tetapi gestur tubuhnya pasrah saat Arya makin memeluknya dengan erat. Dahlia menggeliat saat embusan napas Arya menyapu tengkuknya. Dahlia mengikuti permainan Arya. Kedua anak manusia itu pun tidak bisa lagi menahan hasrat. Berawal dari pelukan, bibir mereka pun akhirnya bertaut. Tubuh mereka menyatu tanpa sekat. Setelah beberapa saat, Dahlia menjerit saat tubuh bagian bawahnya terasa nyeri. Gadis itu telah menyerahkan semuanya pada kekasih hatinya, Arya. Arya tersenyum lega. Sorot matanya penuh kemenangan. Ia membelai rambut Dahlia yang wajahnya kini pucat pasi. Ia mencoba menenangkan Dahlia. Air mata gadis itu mengalir dengan deras. Namun, penyesalan tidaklah ada artinya. Nasi sudah menjadi bubur. “Aku akan bertanggung jawab, Lia. Orang tuamu pasti tidak lagi menentang hubungan kita,” ucap Arya dengan percaya diri. Dahlia bergeming. Ia masih terisak-isak karena perbuatan mereka yang sudah di luar batas. Ia bingung setelah ini harus bagaimana? Pelariannya sebenarnya hanya bentuk protes agar perjodohannya dibatalkan, tetapi malah berakhir dengan kehilangan kesuciannya. Dan yang merenggutnya adalah orang yang ia cintai. Bukan sepenuhnya salah Arya karena ia sendiri yang memberikan kesempatan itu pada Arya. Arya tertidur setelah lelah membujuk Dahlia. Ia juga lelah karena telah kehilangan banyak energi karena aktivitasnya tadi. Pemuda itu tidak merasa menyesal sedikit pun. Mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada paksaan kepada Dahlia. Kekasihnya yang cantik itu dengan suka rela menyerahkan kegadisannya. Lagi pula Arya juga baru pertama kali ini melakukannya dengan Dahlia, meskipun selama ini ia terkenal brengsek. Arya juga berniat untuk bertanggung jawab. Ia mencintai Dahlia. Jadi menurutnya, tidak ada yang perlu disesali. Cinta yang membutakan, cinta yang tanpa logika, cinta yang membuat gila, cinta yang menghadirkan penyesalan, cinta yang menabrak norma, cinta yang membuat manusia melakukan dosa. Apakah ini yang disebut cinta sejati?
Desa Banjarsari, 2006“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanit
Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman.Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh s
Sasmita terpaku melihat keakraban Arya dengan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Suaminya itu bisa bercanda dan tertawa lepas. Hal yang tak pernah dirasakan Sasmita saat bersama Arya. ‘Apakah karena ada wanita lain sehingga dia tidak bisa mencintaiku dan memperlakukanku seperti ini?’ batin Sasmita.Dada Sasmita bergemuruh. Matanya mulai mengembun. Ia mencengkeram pegangan rantang makanan kuat-kuat. Sebenarnya ia bukannya cemburu buta hanya saja ia merasa tidak berguna sebagai istri. Bagaimana mungkin seorang suami lebih nyaman dengan wanita lain dibandingkan dengan istrinya sendiri?Sasmita mengurungkan niatnya untuk mengirim bekal ke kebun. Ia berbalik arah kembali pulang dengan rantang masih di tangannya. Ia melangkah dengan cepat. Sepanjang perjalanan air matanya meleleh tak henti. Wanita cantik itu berkali-kali mengusap air matanya dengan punggung tangan. Teguran beberapa orang yang berpapasan dengannya pun hanya ia balas dengan ang
Lima tahun yang laluMatahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terla
“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.
Suasana warung milik Samirah masih sepi. Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Samirah ke pasar, belum ada lagi pelanggan baru. Lelaki berkumis tebal masih betah berlama-lama di warung itu sembari menunggu si induk semang datang. Namun, Sasmita merasa tidak tenang. Ia berharap ibunya segera datang.Sasmita duduk di kursi kayu di sudut warung yang dindingnya dari anyaman bambu. Gadis belia itu berdebar-debar. Wajahnya pias menahan rasa takut. Bagaimana jika lelaki yang mengaku bernama juragan Karyo itu berbuat tidak senonoh padanya. Sedari tadi lelaki itu tidak pergi-pergi dari warungnya. Apalagi lelaki seumuran ayahnya itu sering menatapnya dengan tajam seperti sedang menyelidiki sesuatu tentangnya, seperti mengulitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sasmita bergidik ngeri.Juragan Karyo masih mengamati Sasmita dengan intens. Sesekali dia memilin-milin ujung kumisnya yang tebal. Terkadang senyumnya mengembang, kepalanya manggut-manggut seperti sedang merencanakan sesuatu.“Buat
Sasmita berjalan sendirian menyusuri jalanan desa yang sepi. Pohon mahoni tumbuh tegak berjejer di sepanjang jalan desa. Pohon-pohon itu memang cukup meneduhkan, tetapi terik matahari tetap terasa membakar kulit Sasmita. Tubuhnya dibanjiri keringat. Sesekali ia menyeka peluh di dahi. Sasmita mempercepat langkahnya. Perutnya yang sedari tadi mulas rasa-rasanya sudah tidak mau diajak kompromi. Ia ingin segera sampai di rumah untuk menuntaskan hajat.Sasmita ingin berlari saja, tetapi jalanan yang masih berupa bebatuan kapur dan dipenuhi kerikil mengurungkan niatnya. Ia tak mau terjatuh dan terpeleset kerikil-kerikil tajam. Ia harus berhati-hati jika tidak mau terluka. Entah mengapa pemerintah belum juga memperbaiki jalan di desanya. Padahal jalan yang bagus sangat penting untuk membawa hasil sawah dan kebun ke kota sehingga perekonomian di desa bisa berkembang pesat.Sasmita menghela napas. Pikirannya melalang buana. Ia kembali mengingat ucapan kedua orang tuanya semalam yang sudah tak
Sementara itu di rumah juragan KaryoSuasana rumah juragan Karyo siang itu sangat panas. Bukan panas karena musim kemarau yang panjang, tetapi karena pertengkaran dua manusia berbeda usia. Seharusnya rumah juragan Karyo cukup sejuk. Bangunan berlantai dua yang didominasi tembok warna putih dengan ornamen-ornamen dari kayu jati itu sangat asri. Kusen pintu dan jendela juga terbuat dari kayu jati, membuat rumah makin megah.“Setiap hari pekerjaanmu hanya mabuk saja Arya! Mau jadi apa kamu? Kamu itu anak bapak satu-satunya, pewaris semua harta bapak.” Juragan karyo menasihati Arya. Ia kecewa dengan kelakuan anak semata wayangnya.“Sudahlah, Pak. Aku ini masih muda. Aku masih ingin bersenang-senang. Aku jadi seperti ini juga karena didikan, Bapak.”“Arya! Lancang kamu!” Tamparan juragan Karyo mendarat di pipi Arya. Laki-laki berusia 40-an tahun itu tidak menyangka dengan jawaban Arya yang malah menyudutkannya. Dadanya berdetak naik turun. Detakannya lebih cepat dari berputarnya jarum ja