Sasmita terpaku melihat keakraban Arya dengan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Suaminya itu bisa bercanda dan tertawa lepas. Hal yang tak pernah dirasakan Sasmita saat bersama Arya. ‘Apakah karena ada wanita lain sehingga dia tidak bisa mencintaiku dan memperlakukanku seperti ini?’ batin Sasmita.
Dada Sasmita bergemuruh. Matanya mulai mengembun. Ia mencengkeram pegangan rantang makanan kuat-kuat. Sebenarnya ia bukannya cemburu buta hanya saja ia merasa tidak berguna sebagai istri. Bagaimana mungkin seorang suami lebih nyaman dengan wanita lain dibandingkan dengan istrinya sendiri?
Sasmita mengurungkan niatnya untuk mengirim bekal ke kebun. Ia berbalik arah kembali pulang dengan rantang masih di tangannya. Ia melangkah dengan cepat. Sepanjang perjalanan air matanya meleleh tak henti. Wanita cantik itu berkali-kali mengusap air matanya dengan punggung tangan. Teguran beberapa orang yang berpapasan dengannya pun hanya ia balas dengan anggukan dan sedikit senyuman.
Sementara itu Arya dan Dahlia pun saling berpamitan setelah saling menukar nomor telepon. Karena matahari telah beranjak naik Arya segera menuju kebun jagung. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke lokasi.
Para buruh tani yang berjumlah lima orang sudah menyelesaikan setengah pekerjaan. Mereka sudah memanen setengah hektar tanaman jagung yang telah tua. Para pekerja itu bekerja dengan cekatan. Arya mengawasi mereka dengan gaya seperti seorang mandor. Untuk membunuh rasa bosan lelaki bertubuh tinggi itu mulai menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
Matahari terasa semakin membakar. Arya baru menyadari kalau Sasmita belum mengantarkan bekal makan siang. Dia begitu jengkel dan murka. Matanya yang tajam tampak berwarna merah menahan amarah.
“Ke mana saja wanita udik itu? Jam segini belum mengirim makanan. Awas saja nanti.
Hingga panen selesai Sasmita tak kunjung datang. Arya semakin naik pitam, karena tidak dikirim makan siang otomatis Arya mengeluarkan dana tambahan untuk memberi pekerja uang makan. Dia menyuruh para buruh untuk membereskan semua pekerjaan dan menyimpan hasil panen di gudang yang letaknya tak jauh dari kebun. Arya bergegas pulang dan melajukan kendaraan roda duanya dengan kencang. Dalam hati dia berniat akan memberi istrinya itu pelajaran.
“Mita, di mana kamu?” Arya membuka pintu dengan kasar. Kebetulan Sasmita tidak mengunci pintu depan sehingga Arya bisa langsung masuk dan menggeledah semua ruangan.
Suasana rumah tampak hening. Tidak ada tanda-tanda Sasmita di rumah. Arya tidak putus asa. Dia menuju kamar, ruang terakhir yang belum dia geledah. Arya memutar pegangan pintu yang berbentuk bulat dengan kuat. Seperti dugaannya, Sasmita ada di kamar. Wanita muda itu tertidur pulas dengan tubuh terbungkus selimut. Sasmita memang tertidur setelah puas menangis. Arya tidak mengetahui penyebab istrinya itu terlelap. Dengan kasar Arya menarik selimut yang menutupi tubuh istrinya. Sasmita pun terkejut dan terbangun seketika.
“Ada apa sih, Mas?” tanya Sasmita dengan kesadaran belum penuh. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia mengubah posisinya ,lalu duduk di pinggiran dipan kayu.
“Ada apa katamu, hah? Suami bekerja kamu enak- enak tidur. Bekal makan siang pun tidak kamu kirim. Kamu sudah berani melawanku?” Arya menarik tubuh Sasmita dengan kasar. Sasmita yang belum siap hampir saja kehilangan keseimbangan.
“Ma-maafkan aku, Mas. Aku tidak bermaksud begitu. Sebenarnya tadi sudah kukirim, tetapi kulihat kamu sedang ....” Wajah Sasmita seketika memucat.
“Apa? Jangan banyak alasan kamu! Kamu memang istri tidak berguna.” Arya mengangkat tangan dan mengarahkannya pada Sasmita.
Sasmita memegangi pipinya yang terasa panas dan perih. Bukan hanya sekali Arya melakukan hal ini. Setiap kali terbawa emosi tangan Arya selalu melayang ke wajah istrinya. Namun, kali ini Sasmita tidak meneteskan air mata. Cairan bening itu sudah mengering dan tidak lagi keluar dari sudut matanya.
“Hentikan, Mas! Cukup! Selama ini aku sabar dan diam menghadapi semua perlakuanmu. Semua kulakukan demi orang tua kita. Aku sudah mengorbankan kebahagiaanku, tetapi Mas Arya sama sekali tidak pernah menghargaiku.”
“Kamu pikir aku bahagia menikah denganmu, hah? Jangan besar kepala kamu! Jika bukan karena ancaman Bapak, aku tidak akan pernah mau menikah dengan anak orang miskin sepertimu.”
“Apa maksudmu, Mas?”
“Bapak mengancamku tidak akan memberi warisan jika tidak mau menikah denganmu. Paham kamu?”
“Kalau begitu ceraikan aku, Mas. Aku sudah tidak sanggup lagi kamu perlakukan seperti ini. Kamu butuh aku hanya untuk memuaskan hasratmu. Kamu tidak pernah menganggapku sebagai istri.”
“Kamu pikir kamu siapa? Bukankah kamu mau menikah denganku karena harta? Jangan munafik kamu. Kamu sudah menjadi istriku. Aku berhak memperlakukanmu sesuai dengan keinginanku.”
“Mas, cukup! Itu tidak benar, Mas. Aku istrimu bukan budakmu. Jangan lagi merendahkanku. Tolong ceraikan saja aku!”
“Dengar ya, Mita! Aku tidak akan menceraikanmu sebelum Bapak resmi memberikan semua warisannya kepadaku. Ngerti kamu?”
“Mas, tega kamu!”
Arya membuang muka. Lelaki itu pergi meninggalkan Sasmita begitu saja. Dia membanting pintu ruang tamu dan keluar dengan muka merah padam. Ia membawa motor dengan kencang menuju kafe favoritnya dan tidak pulang hingga langit menggelap.
Keegoisan Arya telah terbentuk sejak masa kanak-kanak. Didikan yang salah dan keliru telah terpaku dalam jiwa dan raganya. Dia tidak pernah mau mengalah, tidak pernah merasa bersalah, kurang rasa tanggung jawab, dan yang paling parah adalah sikap mudah marah yang sulit dia kendalikan jika permintaannya tidak terpenuhi.
Para orang tua terkadang salah kaprah dalam mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak mereka. Memanjakan anak berlebihan akan mengurangi rasa empati terhadap lingkungan sosial. Tentu saja hal itu bisa berlanjut dan membentuk karakter mereka hingga nanti dewasa. Mereka cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.
***
Sasmita berdiri di depan jendela kaca kamarnya. Wajahnya terlihat muram. Kecantikan yang ia miliki seakan-akan tenggelam oleh gurat-gurat kesedihan. Sering kali ia bertanya pada Tuhan di sela-sela doanya. Mengapa takdirnya setragis ini? Bukankah seharusnya ia bahagia karena telah menurut pada kedua orang tuanya, tetapi mengapa sebaliknya?
Sasmita mengembuskan napasnya yang tak beraturan. Hatinya bimbang dan gelisah. Di sudut hatinya yang paling dalam, Sasmita ingin mengakhiri pernikahannya, tetapi di sisi lain wanita berkulit kuning langsat itu masih memikirkan keluarga yang bertumpu padanya.
Sasmita sungguh resah memikirkan masa depannya. Wanita lugu itu tidak tahu harus berbuat apa dan harus bersikap bagaimana? Ia masih terlalu muda untuk menjadi janda, tetapi pernikahannya yang tak sehat juga tidak bisa menjamin hidupnya akan bahagia. Ia masih terlalu takut dengan kehidupan di luar sana. Namun, otak warasnya selalu memberontak. Berharap suaminya berubah sepertinya hal yang mustahil terjadi. Bukankah hidupnya akan sia-sia jika dihabiskan dengan laki-laki yang tidak menghargai dan mencintainya?
Lima tahun yang laluMatahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terla
“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.
Suasana warung milik Samirah masih sepi. Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Samirah ke pasar, belum ada lagi pelanggan baru. Lelaki berkumis tebal masih betah berlama-lama di warung itu sembari menunggu si induk semang datang. Namun, Sasmita merasa tidak tenang. Ia berharap ibunya segera datang.Sasmita duduk di kursi kayu di sudut warung yang dindingnya dari anyaman bambu. Gadis belia itu berdebar-debar. Wajahnya pias menahan rasa takut. Bagaimana jika lelaki yang mengaku bernama juragan Karyo itu berbuat tidak senonoh padanya. Sedari tadi lelaki itu tidak pergi-pergi dari warungnya. Apalagi lelaki seumuran ayahnya itu sering menatapnya dengan tajam seperti sedang menyelidiki sesuatu tentangnya, seperti mengulitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sasmita bergidik ngeri.Juragan Karyo masih mengamati Sasmita dengan intens. Sesekali dia memilin-milin ujung kumisnya yang tebal. Terkadang senyumnya mengembang, kepalanya manggut-manggut seperti sedang merencanakan sesuatu.“Buat
Sasmita berjalan sendirian menyusuri jalanan desa yang sepi. Pohon mahoni tumbuh tegak berjejer di sepanjang jalan desa. Pohon-pohon itu memang cukup meneduhkan, tetapi terik matahari tetap terasa membakar kulit Sasmita. Tubuhnya dibanjiri keringat. Sesekali ia menyeka peluh di dahi. Sasmita mempercepat langkahnya. Perutnya yang sedari tadi mulas rasa-rasanya sudah tidak mau diajak kompromi. Ia ingin segera sampai di rumah untuk menuntaskan hajat.Sasmita ingin berlari saja, tetapi jalanan yang masih berupa bebatuan kapur dan dipenuhi kerikil mengurungkan niatnya. Ia tak mau terjatuh dan terpeleset kerikil-kerikil tajam. Ia harus berhati-hati jika tidak mau terluka. Entah mengapa pemerintah belum juga memperbaiki jalan di desanya. Padahal jalan yang bagus sangat penting untuk membawa hasil sawah dan kebun ke kota sehingga perekonomian di desa bisa berkembang pesat.Sasmita menghela napas. Pikirannya melalang buana. Ia kembali mengingat ucapan kedua orang tuanya semalam yang sudah tak
Sementara itu di rumah juragan KaryoSuasana rumah juragan Karyo siang itu sangat panas. Bukan panas karena musim kemarau yang panjang, tetapi karena pertengkaran dua manusia berbeda usia. Seharusnya rumah juragan Karyo cukup sejuk. Bangunan berlantai dua yang didominasi tembok warna putih dengan ornamen-ornamen dari kayu jati itu sangat asri. Kusen pintu dan jendela juga terbuat dari kayu jati, membuat rumah makin megah.“Setiap hari pekerjaanmu hanya mabuk saja Arya! Mau jadi apa kamu? Kamu itu anak bapak satu-satunya, pewaris semua harta bapak.” Juragan karyo menasihati Arya. Ia kecewa dengan kelakuan anak semata wayangnya.“Sudahlah, Pak. Aku ini masih muda. Aku masih ingin bersenang-senang. Aku jadi seperti ini juga karena didikan, Bapak.”“Arya! Lancang kamu!” Tamparan juragan Karyo mendarat di pipi Arya. Laki-laki berusia 40-an tahun itu tidak menyangka dengan jawaban Arya yang malah menyudutkannya. Dadanya berdetak naik turun. Detakannya lebih cepat dari berputarnya jarum ja
“Mau ke mana Arya? Tidak makan dulu?” tanya Istri juragan Karyo.“Keluar sebentar,” jawab Arya singkat.“Tapi, Ar ....”Tanpa melihat wajah ibunya, Arya pergi begitu saja. Ia bahkan tidak peduli dengan wanita yang telah melahirkannya. Pemuda itu mengeluarkan dan mengendarai motornya dengan tergesa.Istri juragan Karyo menghela napas berat sambil mengelus dada. Ia tergemap dengan tingkah laku Arya yang selalu saja membuatnya harus menambah kesabaran. Dosa apa yang ia lakukan sehingga anaknya berperilaku tidak sopan padanya. Batinnya menangis tanpa menyadari kekeliruannya sebagai orang tua.Sering kali manusia lupa akan kekhilafannya, lalu mengeluh, memprotes, dan mempertanyakan kepada Tuhan apa saja salah dan dosanya. Sungguh menggelikan.***Dahlia sudah menunggu di jalan ujung desa saat Arya datang. Gadis cantik yang sedang ranum-ranumnya itu tersenyum bahagia. Tidak bertemu kekasihnya sepekan serasa berbulan-bulan. Arya menarik tangan Dahlia dan mengajak gadis itu ke kerimbunan poho
Hari ini, warung lumayan ramai. Pelanggan silih berganti masuk untuk sekedar memesan secangkir kopi dan beberapa biji pisang goreng. Namun ramainya pelanggan, tak membuat Sasmita semringah. Ia bahkan membiarkan ibunya yang kewalahan melayani pelanggan. Kali ini Samirah memaklumi keadaan Sasmita. Ia tidak berteriak-teriak seperti biasanya jika Sasmita lelet dan malas-malasan.Hari ini Sasmita tak bersemangat. Seperti hari sebelumnya, gadis cantik itu tetap membantu ibunya berjualan di warung. Namun, Ia lebih banyak duduk di kursi kayu sambil melamun di depan pintu belakang warung yang menghadap kebun jagung. Para pelanggan satu persatu meninggalkan warung setelah membayar minuman, gorengan, dan camilan yang mereka makan. Minuman dan makanan telah tandas.“Mita, jangan melamun saja! Bantu ibu membereskan cangkir-cangkir kotor di meja.”Sasmita masih membisu. Tanpa diperintah dua kali, ia segera beranjak, lalu memunguti cangkir-cangkir dan segera mencucinya. “Ibu tau kamu bersedih Mita
—Takdir memang nyata. Namun, berusaha sekuat tenaga dalam menghadapi pilihan hidup, sepenuhnya adalah tanggung jawabmu.—Ulif Yoana***“Sebenarnya, aku ngajak kamu keluar karena disuruh seseorang, Mit. Ada yang ingin bertemu kamu.”“Siapa? Kenapa nyuruh kamu?” Sasmita bertanya-tanya. Ia masih belum bisa menebak siapa orang yang ingin bertemu dengannya.“Kamu beneran tidak tau, apa hanya pura-pura, sih, Mit?” Rani mengernyit. “Kamu pikir aku dukun, bisa menebak-nebak orang yang kamu maksud?” Sebenarnya Sasmita pun sedang menerka-nerka dalam hati, tetapi ia takut salah.“Kamu kenal, kok,” ujar Rani“Memangnya siapa dia? Teman kita?”“Heleeh, lagakmu, Mit.” Rani menarik hidung Sasmita. Gadis itu gemas dengan keluguan sahabatnya.“Auwww, sakit, tau.” Sasmita meringis sambil mengusap-usap ujung hidungnya yang memerah. Hidung mungil yang tidak terlalu mancung, tetapi juga tidak bisa dibilang pesek.Rani cekikikan melihat mimik wajah Sasmita. Setelahnya, Rani menarik tangan Sasmita. Ia mem