“Aku suka kamu, Mita. Apa kamu punya perasaan yang sama sepertiku?” Ramli mengeratkan genggamannya pada tangan Sasmita. Pemuda itu bicara serius dan sungguh-sungguh.
Untuk beberapa saat Sasmita terbengong-bengong. Dengan perlahan gadis itu melepaskan genggaman tangan Ramli dan menariknya. Tubuh Sasmita menegang, wajahnya memanas, dan degup jantungnya serasa berlompatan. Sasmita senang sekaligus takut. Senang karena Ramli mempunyai perasaan yang sama dengannya. Namun, ia takut perasaannya itu akan berkembang yang pada akhirnya membuat ia patah hati. Ia tahu konsekuensinya. Ada perasaan aneh yang dirasakan Ramli saat Sasmita menarik tangan dari genggamannya. ‘Mungkinkah Sasmita menolak cintanya’ batin Ramli. “Maaf ... kamu tidak suka aku ...?” Ramli menjeda ucapannya. Ia bertanya dengan hati-hati dan matanya tidak berkedip ke arah Sasmita. “Bukan begitu, Mas. Aku suka, eh, maksudnya anu ....” Sasmita salah tingkah. Ia mencoba menghindar dari tatapan Ramli yang tajam. Tatapan yang menunggu sebuah jawaban. Sasmita merasa tidak nyaman dan gadis itu tidak bisa menutupi kegugupannya. Setelah beberapa detik ia mengatur napas dan hatinya. Ia duduk dan membalas tatapan Ramli dengan tenang, meskipun di dalam hatinya berkecamuk. Sudut hatinya terdalam ingin mengatakan iya, tetapi sisi hati yang lainnya mengatakan ia tidak boleh menerima cinta pemuda di hadapannya. Sasmita bingung. Seharusnya hari ini adalah hari bahagianya. Hari yang dinantikan seorang gadis untuk menerima perasaan dari pemuda yang dicintainya. Namun, Sasmita tidak punya pilihan. Saat ini ia harus menahan gejolak hatinya. “Bukankah kata Mas Ramli aku masih gadis bau kencur? Jadi biarkanlah gadis bau kencur ini bersekolah dulu.” “Kamu ...?” “Aku juga suka sama Mas Ramli, tapi ....” “Tapi apa?” “Aku takut nanti ada yang marah.” “Memangnya siapa yang marah? Kamu punya pacar?” “Bukan begitu. Aku enggak punya pacar, kok.” “Lalu, siapa yang marah?” “Pacar Mas Ramli.” “Siapa bilang aku punya pacar?” “Enggak ada yang bilang. Hanya saja, aku enggak percaya kalau Mas Ramli enggak punya pacar di kota. Mas Ramli, kan, mahasiswa? Masak iya di kampus enggak punya pacar?” “Mita ... Mita. Itu hanya pendapatmu sendiri.” Ramli menertawakan tebakan Sasmita yang salah. “Aku enggak punya pacar. Aku ingin kamu yang jadi pacarku, Mit,” ucap Ramli. Jantung Sasmita makin berdegup kencang. Ia tidak bisa menggambarkan kebahagiaan hatinya. Mata gadis cantik mengerjap beberapa kali. Ia memastikan bahwa apa yang didengarnya bukanlah mimpi. “Jadi, kamu mau jadi pacarku adik kecil?” Sasmita mengangguk pelan sambil tersipu malu. Entah kekuatan apa yang bisa membuatnya menerima permintaan Ramli. Ia yang tadinya bingung, tiba-tiba seperti mempunyai kekuatan untuk tidak menolak cinta Ramli. Pada akhirnya, ia tidak bisa menahan dan menyembunyikan perasaannya. Gadis yang pemikirannya masih labil itu sejenak melupakan tentang perjodohannya. Suasana mendebarkan itu perlahan memudar saat Rani hadir di antara Sasmita dan Ramli dengan suara yang heboh. “Ciye ... yang lagi berduaan. Dunia serasa milik berdua, yang lain nyewa.” “Apaan, sih, Ran.” Sasmita tersipu. Ia tidak bisa menyembunyikan mimik wajah berseri-serinya di hadapan Rani. “Gimana, Mas? Udah diterima belom ma gadis bau kencur ini?” tanya Rani pada kakak sepupunya. “Menurutmu?” “Halah, Mas. Kamu ini ditanya, kok balik nanya. Kalau dilihat dari muka kalian yang penuh bunga-bunga itu sepertinya kalian resmi jadian, kan?” Ramli dan Sasmita saling pandang. Seperti sudah sepakat, kedua anak muda yang lagi kasmaran itu tutup mulut. Rani merasa kesal. “Ya udah kalau kalian enggak mau ngaku. Jadian atau enggak, pokonya Mas Ramli harus traktir aku bakso porsi dobel,” rajuk Rani. Sasmita hanya geleng-geleng melihat tingkah sahabatnya. Ia tau Rani hanya berpura-pura merajuk. Siang itu adalah momen terindah bagi Sasmita. Ia tidak menyangka Ramli mengungkapkan perasaan cintanya. Andai saja takdir bisa ia ubah. Sejenak terselip doa dalam hatinya, agar kelak ia akan berjodoh dengan kekasih hatinya. *** Arya dan Dahlia sampai di kota Surabaya setelah menempuh perjalanan selama dua setengah jam. Hari belum terlalu sore saat mereka tiba di kos Arya. Arya sengaja mengajak Dahlia ke kos-kosannya. Menurutnya, tempat ini sementara aman untuk Dahlia. Setidaknya semalam gadis itu bisa menginap di sini. Saat itu kos lagi sepi. Entah pada ke mana penghuni kos yang lain. Arya tidak peduli. Arya bergegas membawa masuk Dahlia ke kamarnya. Saat ini yang penting Dahlia aman. Arya mencoba mencari cara untuk menyembunyikan Dahlia agar tidak tertangkap keluarganya. “Ini tempat kos-mu, Mas? Sepi sekali? Pada ke mana penghuninya?” “Aku enggak tau. Mungkin ada yang kuliah sore, atau mungkin masih pada molor,” jawab Arya asal. “Mas, aku takut. Gimana kalau nanti ada yang tau aku ada di kamarmu? Gimana kalau nanti kita digerebek massa?” “Pikiranmu itu jangan aneh-aneh! Yang penting kamu diem, anteng, pasti enggak ada yang tau. Lagian Cuma semalam ini aja kamu menginap di sini. Besok aku carikan kos putri buatmu.” “Tapi aku takut, Mas. Sekarang aja kita cari kos-kosan khusus cewek!” “Aku capek, Lia. Udah, kamu istirahatlah dulu. Nanti kita pikir lagi langkah selanjutnya. Aku juga tidak mungkin menyembunyikanmu terus di kamar ini.” Dahlia hanya mengangguk. Ia seperti sudah kehilangan banyak energi. Gadis itu tidak menyangka akan berlari dari perjodohan seperti ini. Rasa cintanya kepada Arya benar-benar membuatnya kehilangan akal sehat. Semua karena atas nama cinta. Cinta yang bisa membunuh dan menghancurkan segalanya. Cinta yang bisa memporak-porandakan kehidupannya.‘Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Semua terlihat sempurna dan tanpa cela. Semua terlihat istimewa tanpa jeda. Andai rasa ini tetap bersemi sepanjang masa, mungkin hanya ada bahagia.’—Sasmita—****Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Kini yang tersisa hanya sedikit warna jingga yang menghiasi ujung langit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai muslimah, Sasmita bergegas keluar rumah. Sasmita sedang mencuri waktu. Ia duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu di teras rumahnya yang sederhana. Saat bu Samirah tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, Sasmita justru keluar dan sengaja menyendiri karena tidak ingin terusik celotehan adik-adiknya di ruang tamu. Sementara bapaknya yang baru pulang dari tempat kerja, tengah membersihkan diri di kamar mandi sederhana di belakang rumah.Sasmita tidak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya karena ia menyadari setelah pulang sekolah tadi, ia sering kali tersenyum-senyum sendiri selayaknya gadis yang
Desa Banjarsari, 2006“Lepaskan! Aku mau pulang! Wanita bodoh itu mungkin sudah menungguku,” kata lelaki bernama Arya.Seorang lelaki tampak kacau. Dia duduk di sebuah dipan kayu berukuran single di sebuah ruangan sempit. Terlihat meja kecil terletak di sudut ruangan yang di atasnya terdapat botol-botol bergambar topi miring tanpa isi berjajar tak beraturan. Ruangan itu berada di dalam sebuah kafe remang-remang dengan pencahayaan yang minim.Tampak wanita cantik dengan bau parfum yang menusuk duduk di samping Arya. Wanita itu terlihat masih muda. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun. Tidak jelas siapa namanya. Arya hanya memanggilnya dengan sebutan Ci. Wanita itu sedang menggelayut mesra di bahunya.“Wanita bodoh siapa? Istrimu? Sebelum pergi kamu harus membayarku dulu, Mas.” Wanita dengan pakaian seksi itu tersenyum genit sambil meraba-raba celana Arya. Lelaki berkulit cokelat itu mengibaskan tangan wanit
Sasmita terjaga saat mendengar azan Subuh berkumandang. Meskipun ia bukanlah orang yang pandai tentang agama, tetapi ia selalu menjalankan kewajiban lima waktu. Ini semua karena didikan keras dari kedua orang tuanya walaupun mereka terkadang berbicara kasar dan terkesan tidak menyayangi Sasmita.“Walaupun hidupmu miskin jangan pernah lupa pada Gusti Allah,” ucapan ayahnya itu selalu ia ingat dan ia jadikan pedoman.Sasmita terpaksa menerima pernikahan yang tidak ia inginkan demi rasa bakti kepada bapak dan ibunya. Mungkin perjodohan ini bukan kesalahan kedua orang tua Sasmita karena setiap orang tua pasti menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anaknya. Hanya saja kenyataan berkata lain dan harapan tidak sesuai dengan keinginan. Takdir tidak bisa diubah sesuai dengan keinginan manusia, tetapi Sasmita yakin takdir itu bisa saja berubah sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.Sasmita bangun dari pembaringan. Ia meregangkan tubuh s
Sasmita terpaku melihat keakraban Arya dengan wanita yang baru pertama kali dilihatnya. Suaminya itu bisa bercanda dan tertawa lepas. Hal yang tak pernah dirasakan Sasmita saat bersama Arya. ‘Apakah karena ada wanita lain sehingga dia tidak bisa mencintaiku dan memperlakukanku seperti ini?’ batin Sasmita.Dada Sasmita bergemuruh. Matanya mulai mengembun. Ia mencengkeram pegangan rantang makanan kuat-kuat. Sebenarnya ia bukannya cemburu buta hanya saja ia merasa tidak berguna sebagai istri. Bagaimana mungkin seorang suami lebih nyaman dengan wanita lain dibandingkan dengan istrinya sendiri?Sasmita mengurungkan niatnya untuk mengirim bekal ke kebun. Ia berbalik arah kembali pulang dengan rantang masih di tangannya. Ia melangkah dengan cepat. Sepanjang perjalanan air matanya meleleh tak henti. Wanita cantik itu berkali-kali mengusap air matanya dengan punggung tangan. Teguran beberapa orang yang berpapasan dengannya pun hanya ia balas dengan ang
Lima tahun yang laluMatahari sudah naik sepenggalah. Anak perempuan kelas tiga SMP Negeri dengan tinggi 155 centimeter itu sudah bersiap berangkat ke sekolah. Jarak sekolah dengan rumahnya sekitar satu kilo meter dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Hal itu ia lakukan setiap hari sejak tiga tahun yang lalu. Gadis belia itu bernama Sasmita Wulandari.Sasmita berjalan dengan riang. Tidak ada beban sedikitpun di wajahnya. Gadis itu sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Sasmita mempercepat langkahnya dan tiba-tiba suara klakson mengejutkannya. Sasmita menoleh dengan hati dongkol. Raut wajahnya tampak kesal, tetapi rasa kesak itu berubah menjadi senyuman saat ia tahu siapa orang yang ada di belakangnya.“Kamu jalan kaki saja, Mit?” tanya seseorang yang berwajah manis.”“Mas Ramli? Kirain siapa?” Sasmita tersipu malu.“Dari pada jalan, yuk, aku bonceng! Masih jauh lagi sekolahmu. Jangan sampai kamu terla
“Mita masih harus datang ke sekolah minggu depan, Bu. Cap jempol di ijazah.”“Iya, Nak. Meskipun hanya ijazah SMP, tetapi tetap berguna. Nanti bisa kamu gunakan melamar pekerjaan,” ucap Samirah dengan lugu.Sasmita hanya tersenyum kecut. Perusahaan mana yang menerima karyawan lulusan SMP. Kalaupun ada pasti hanya sebagai pekerja kasar.“Sudah malam, Nak, angin juga berembus kencang. Sebaiknya kamu masuk biar tidak masuk angin. Ibu yakin kamu bisa mengerti keadaan kami.” Samirah mengelus rambut anaknya lalu beranjak dari amben bambu dan mendahului masuk rumah.“Iya, Bu, sebentar lagi. Aku masih ingin melihat keindahan langit,” jawabnya lirih hampir tak terdengar.Bagaimana rasanya memendam kekecewaan? Sakit bukan? Apalagi kecewa kepada kedua orang tua. Itulah yang dirasakan Sasmita saat ini. Rasa sakit itu semakin bertambah saat ia harus berpura-pura baik-baik saja di hadapan mereka.
Suasana warung milik Samirah masih sepi. Sudah satu jam berlalu sejak kepergian Samirah ke pasar, belum ada lagi pelanggan baru. Lelaki berkumis tebal masih betah berlama-lama di warung itu sembari menunggu si induk semang datang. Namun, Sasmita merasa tidak tenang. Ia berharap ibunya segera datang.Sasmita duduk di kursi kayu di sudut warung yang dindingnya dari anyaman bambu. Gadis belia itu berdebar-debar. Wajahnya pias menahan rasa takut. Bagaimana jika lelaki yang mengaku bernama juragan Karyo itu berbuat tidak senonoh padanya. Sedari tadi lelaki itu tidak pergi-pergi dari warungnya. Apalagi lelaki seumuran ayahnya itu sering menatapnya dengan tajam seperti sedang menyelidiki sesuatu tentangnya, seperti mengulitinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sasmita bergidik ngeri.Juragan Karyo masih mengamati Sasmita dengan intens. Sesekali dia memilin-milin ujung kumisnya yang tebal. Terkadang senyumnya mengembang, kepalanya manggut-manggut seperti sedang merencanakan sesuatu.“Buat
Sasmita berjalan sendirian menyusuri jalanan desa yang sepi. Pohon mahoni tumbuh tegak berjejer di sepanjang jalan desa. Pohon-pohon itu memang cukup meneduhkan, tetapi terik matahari tetap terasa membakar kulit Sasmita. Tubuhnya dibanjiri keringat. Sesekali ia menyeka peluh di dahi. Sasmita mempercepat langkahnya. Perutnya yang sedari tadi mulas rasa-rasanya sudah tidak mau diajak kompromi. Ia ingin segera sampai di rumah untuk menuntaskan hajat.Sasmita ingin berlari saja, tetapi jalanan yang masih berupa bebatuan kapur dan dipenuhi kerikil mengurungkan niatnya. Ia tak mau terjatuh dan terpeleset kerikil-kerikil tajam. Ia harus berhati-hati jika tidak mau terluka. Entah mengapa pemerintah belum juga memperbaiki jalan di desanya. Padahal jalan yang bagus sangat penting untuk membawa hasil sawah dan kebun ke kota sehingga perekonomian di desa bisa berkembang pesat.Sasmita menghela napas. Pikirannya melalang buana. Ia kembali mengingat ucapan kedua orang tuanya semalam yang sudah tak