Cakrawala Dirgantara Amangku Buana sedang duduk di sofa. Secara otomatis, sistem membuka tembok di depannya. Kaca tembus pandang satu arah terlihat. Dari sudut Cakra, dia bisa melihat semua hal di dalam ruangan. Dalam sudut ruangan di depannya, mereka jelas hanya melihat tembok tanpa ada perubahan.
"Mulai!"
*
Tiga penyidik di bawah Qi Shaoyun menatap gelang perak mereka. Kemudian ketiganya saling menatap dan menoleh sedetik ke arah kanan. Mereka tahu Bos Besar yang mereka hormati ada di sana mengawasi secara langsung kelakuan mereka.
Salah satu dari mereka berdehem. Dia mendekati Amitha dan menatapnya geram. Bos ada di sini, ambisinya membuat gadis ini cepat buka mulut menjadi lebih besar.
Dia menampar keras pipi Kanyaah. Gadis itu hanya menyipitkan mata, lalu menyeringai. Wajah lebamnya tak menutupi segala kecantikan gadis mungil itu. Amitha Kanyaah memang mungil dan kecil, tetapi lekuk tubuhnya terlihat jelas menandakan dia wanita subur yang menawan.
"KATAKAN!"
Amitha Kanyaah tersenyum simpul dan menjawab, "Apa?"
"Kamu! Apa saja yang kamu tahu tentang Departemen Rahasia 889!"
Kanyaah tersenyum lebar. Dia menatap tembok gelap di kanannya dan berkata, "Bukankah Bos Besar kalian ada di sana?"
Tiga penyidik itu tertegun. Mereka tidak tahu darimana pengetahuan itu. Bagaimana gadis ini dapat menebak dengan tepat?
"Dari mana kamu tahu?" tanya salah satu dari mereka sambil berpikir keras. Ia mengira ada salah satu dari rekannya yang berkhianat, tetapi itu tidak mungkin.
"Perkataanmu meyakinkanku," ujar Amitha Kanyaah tetap tenang.
Mudah saja baginya menebak. Semua penyidik mengagungkan Bos Besar. Para dokter yang dikirim tiap malam hanya diam, tetapi Dom pernah mengatakan tentang Bos Besar yang dia hormati. Komunikator tiga penyidik itu menyala beberapa menit lalu, tidak ada komentar. Hanya saling mengkode untuk komunikasi. Lalu, suara yang sangat lirih di sebelah kanannya, seakan sesuatu yang berat bergerak. Kaca hitam itu tak pekat, tetapi cukup membuatnya paham bahwa semua tembok di sini adalah kaca. Bukan dari batu.
Tebakannya diperbenar oleh mereka sendiri. Kanyaah ingin tertawa, tidak lagi peduli dengan rasa sakit yang ia terima. Rasanya sudah kebal. Mereka dengan bodoh menoleh ke kanan dan mempertanyakan pertanyaan Amitha Kanyaah dengan sikap tak biasa. Amitha Kanyaah bisa menebaknya dengan tepat, dia benar.
"Siram dengan air garam!" titahnya geram. Langsung saja, salah satu dari mereka ke bilik sebelah. Membawa ember berisi penuh air garam. Mereka menguyurnya ke seluruh tubuh Amitha Kanyaah.
Rasa dingin bercampur perih menjalari seluruh tubuh terutama pada luka baru hari ini, di punggung, kaki, bahu dan pipinya. Matanya sedikit lara. Penyidik itu tertawa.
Namun, hanya sekejap saja sebelum Amira kembali ke raut tangguhnya. Ia tersenyum disertai ringisan yang lebih terdengar ke arah menakutkan, bukan kesakitan. Meski perasaanya tahu, kakinya lemah, beberapa tulang sudah patah sebab tongkat bisbol di ujung ruang memukul belakang lututnya entah kesekian kalinya. Dia juga merasakan perih dari goresan pisau di sekitar pipinya. Ini menyakitkan!
Amitha menampilkan raut yang berkebalikan.
Dia lalu memandang jijik ke arah penyidik itu.
"Kamu ingin tahu?" tanyanya, lirih dengan dominasi abstrak yang cukup tegas. Mereka mendekat, sebelum sampai di bibir Amitha untuk mendengarnya berujar, Amitha meludah.
Tepat mengenai pipinya.
Merasa ditipu, penyidik itu menampar lagi wajah Amitha. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Amitha Kanyaah tertawa pongah. Ujung lidahnya menyeka bibir berdarah. Rasa asin tidak dirasakan dengan mudah, lidahnya kehilangan fungsi lagi hari ini.
"Aku mau menjawab jika bos kalian yang kemari!"
"Beraninya kamu!"
Ting!
Kemarahan mereka terpotong dengan notifikasi pesan teks dari Jelita.
*
"Aku setuju!" ucap Cakra. Dia berdiri dan meminta Jelita memberi tahu bawahannya.
"Mereka, kalah!" lanjutnya setelah terdiam beberapa saat.
Cakrawala merasa ketiga orang anggota Qi Shaoyun seharusnya tak terpengaruh dengan emosi dan lebih fokus pada bagaimana mendapatkan informasi. Bukan kesenangan dalam menyiksa.
"Bos ingin sesuatu?"
Cakra memandang Awan sambil berpikir. "Hidupmu akhir-akhir ini cukup damai," katanya tenang dan dingin bersamaan.
Tongkat kecilnya ia pegang, jubah lumut gelap itu dipakaiakan dengan tangan Awan yang gemetar.
Dia tak takut kepada Bosnya, tetapi sindiran halusnya membuatnya merinding. Awan tahu ada hal yang tak baik yang akan menghampirinya segera.
"Kamu," ucap Cakra terhenti. Menampilkan seringaianya yang menegangkan tubuh Awan. "Kamu bisa mengurung diri dengan Qi Shaoyun di ruang latihan khusus selama seminggu!"
"Seminggu? Yang benar saja! Aku bis-"
"Dua minggu!" putus Cakra menyela keluhan Awan.
"Sialan!" umpat Awan lirih. "Qi Shaouyun!" geramnya. Dia mengikuti Bos yang sudah berjalan di depan. Andai keluhan reflek itu tak terdengar, dia tak akan mengalami dua minggu di neraka. Pelatihan di ruang khusus? Lebih buruk dari siksaan Amitha Kanyaah selama lima belas minggu ini.
Dtang!
Amitha Kanyaah yang berdiri dengan kaki lemah mendongak. Menatap seorang pria asing yang ia yakini belum pernah datang ke ruangan ini. Topi bundar rendah dengan tongkat kecil di tangan. Tubuhnya tinggi kekar, dia berjalan tegak. Jubah yang menyerupai jas panjang hingga kelutut berwarna hijau lumut yang pekat, tua dan menggugah. Nampak cocok di badannya.
Lelaki itu melepas topinya, menampilkan wajah dengan rahang kokoh dan kulit putih sedikit langsat. Dia menatap dingin Kanyaah.
Untuk pertama kalinya di ruangan tertutup, Kanyaah membeku. Lelaki itu seperti dewa atau malaikat. Ketampanan para pria yang menyikasanya sudah sangat menawan. Namun, pria di depannya lebih daripada hanya sekedar lebih tampan. Itu tidak manusiawi.
Bagaimana mungkin dia Bos Besar yang mereka agungkan? Tidak ada celah lecet sedikit pun, tetapi dari percakapan mereka, Kanyaah tahu Bos Besar ini lebih dan lebih kejam dari mereka semua.
Amitha Kanyaah menelan air liurnya. Dia berusaha menetralkan detak jantungnya.
"Menarik!" ucap Cakrawala melihat sikap antisipasi Kanyaah yang terlalu cepat. Gugup yang didera berusaha dihilangkan secepat mungkin. Sudut bibir Cakra mengembang. Dia tersenyum miring.
Cakrawala kembali berjalan. Keremangan lampu yang tepat menyala di atas kepala gadis itu membawa terang. Kanyaah dapat melihat wajah tegasnya.
'Menarik!' batinnya mendengar ucapan Cakra berulang ulang. Amira kenal suaranya. Sambil berpikir, dia melihat wajah Cakra seksama. Perlahan, otaknya bekerja. Dia mulai membayangkan wajah itu, lalu menempelkan beberapa kumis kasar dan memutihkan wajahnya. Dia mencoba menempelkan lensa di mata Cakra. Lensa berwarna biru shafir.
Awan mengamati itu, dia gadis pertama yang menatap dengan penuh penasaran dan berpikir. Gadis lainnya akan menunduk takut, atau jika bos sedang berbaik hati bersikap ramah. Mereka semua langsung mengeluarkan perasaan tergila-gila ingin membelai dan meraskan kehangatan di bahwa tubuhnya. Namun, gadis itu begitu pintar dan berbeda.
Mata Kanyaah membuka lebih lebar. Mulutnya terbuka dan dia berkata dengan terbata-bata, "Kamu, ka-mu!" Kanyaa mengerutkan kening sebelum melanjutkan, "Kamu laki-laki mesum, berandalan, dan tak tahu malu yang mendekatiku di kapal!"
"Tebakanmu benar!" katanya acuh. Dia mengangkat dagu Kanyaah dengan tongkatnya, menelisik pipi kanan dan kiri lalu berdecak tak suka. "Tapi juga salah! Kamu cukup pintar, Bagaimana aku harus memperlakukanmu?"
Flashback, akhir tahun kemarin.Langit begitu cerah berawan, sebuah kapal besar menampung ribuan orang berlayar di tengah lautan. Deburan ombak tak tampak di kejauhan, hanya gelombang sunyi dan deru mesin yang merdu. Beberapa kali terdengar burung menggagak, lumba-lumba menampilkan kemahirannya dan ... oh! Betapa indahnya dunia laut di bawah sana.Gadis itu, dengan rambut ikal di ujung lurusnya, membuka kacamata. Mengagumi bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Menikmati bagaimana Tuhan menciptakan semilir angin yang menggoda. Bajunya tipis, bercorak bunga, mengantung dari bahu hingga batas lututnya. Lengan putih langsat itu mempesona, tampak cantik senada rupa. Lentik bulu mata, makin menggoda dengan bibir penuh yang merona.Dia tersenyum, menggetarkan mata khalayak umum. Bahkan anak kecil yang polos saja iri dengan kemegahan itu. Matahari bersinar, terangnya menyorot penuh padanya. Seakan semesta memberi tahu, hanya dia yang pantas menjadi sorotan.&
Sesungguhnya, Amitha Kanyaah tidak peduli dengan perlakuan mereka terhadapnya. Bagaimana orang di depannya ini akan terus menyiksa dan menyakitinya. Apa boleh buat? Amira hanya penasaran, akankah prediksinya benar? Untuk apa mereka menculiknya?Ruangan sunyi, si lelaki yang kerap dipanggil Boss itu memainkan topi bundar dan tongkatnya. Rambut hitam kelam dengan rupa paling sempurna di mata Amitha membuat hatinya bergetar.Amitha Kanyaah menekan dirinya sendiri, rupa yang mempu menyihir itu musuhnya. Dia yang telah menculiknya. Dia pula yang membuat keluarganya menderita. Menggigit pipi bagian dalam, ini kali pertama mata sayu dan tidak berdaya ditunjukan kepada mereka."Kenapa kamu menculikku? Kenapa mereka tahu tentang keluargaku. Kamu membunuh mereka!" tuduh Amitha Kanyaah penuh emosi. Bibirnya bergetar, dia tidak mengerti, mengapa kelemahannya ditunj
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana, sosok dingin dengan wajah datar yang tampan penyempurna. Pahatan tubuhnya luar biasa, siapa yang tak ingin merabanya?Dia, kembali dari sosok paling sempurna menjadi buruk rupa, mirip jodohnya princess Bella!Pada masa remajanya, Cakra mengalami kecelakaan. Kakinya lumpuh, wajahnya hancur berantakan. Sebelum kakeknya meninggal, dia mengatakan beberapa rahasia di Pulau Warnadwipa dikenal juga Pulau Borneo, memindahtangankan aset rahasia miliknya yang ratusan kali lipat daripada aset yang diketahui seluruh anggota keluarga.Bukan karena keluarganya gila harta, bukan pula perselisihan antarsaudara. Kakeknya memberi tahu, ada banyak musuh yang lebih besar dan lebih kejam daripada monster yang sering ia lihat di televisi.Oleh karena itu, remaja yang baru saja meninggalkan usia anak-anaknya itu tumbuh lebi
Bug bug bug Dak "Sttt!" "Huh!" Suara bising terdengar dalam ruangan penuh dengan matras. Dua orang sedang saling tinju, mereka memukul dan menghindar. Sesekali meringis jika terpukul pada tempat yang fatal. Keringat menetes, memenuhi tubuh keduanya. Sesekali masuk ke mata, sesekali pula masuk ke mulut, asin! Setelah berlari mengelilingi ruang dengan alokasi jarak lebih dari dua puluh kilometer dengan beban ratusan kilogram, mereka harus berjalan membawa beban dua ratus kilogram. Semuanya cukup melelahkan, tetapi emosi yang tersisa harus disalurkan memalui pertandingan. Begitulah jadinya, Awan dan Shaoyun benar-benar babak belur tidak ada alat pengaman apa pun saat keduanya bertanding. Tidak ada pula was
Empat bulan sudah berlalu sejak Cakra kembali ke rumahnya. Semua orang sibuk bekerja dan dia memiliki sedikit waktu untuk mengatur beberapa presiden perusahaanya yang ia tunjuk untuk bekerja di bawahnya. Dia juga mengatur beberapa menejemen pergerakan Pasak Suram. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang pergi ke Warnadwipa, tiket pesawat habis bahkan antrian memanjang. Meski Cakrawala tidak bisa memastikan tujuan mereka, dominan orang-orang ini pasti dikirim untuk menyelidiki tentang Bos Besar Pasak Suram.Menghela napasnya pelan, Cakrawala berjalan mendekati kursi roda. Dia membuka pintu dan menatap ruangan di bawah yang benar-benar lengang. Beberapa pelayan bahkan tidak bisa dan tidak akan pernah berani berjalan di depannya. Menunjukan jati diri mereka saja takut.Cakrawala meminta Domanic untuk datang, dia akan meminta izin kepada keluarga untuk membawa Cakra pergi. Setidaknya dengan begitu dia
Langit buatan berwarna biru, awan putih tebal yang menyenangkan seperti kapas. Tumbuhan-tunbuhan subur yang menyegarkan. Beberapa daun dipenuhi titik-titik embun. Ini taman dalam ruangan yang menyenagkan. Beberapa kursi terlihat anggun dengan bahan dasar kayu. Ada beberapa alat dari bambu. Ukiran-ukirannya semakin menggugah selera.Harinya dipenuhi dengan kenyamanan. Refleknya mulai kembali normal. Beberapa kali ia berbicara dengan pengawas dan orang-orang yang tinggal di sini. Kebanyakan laki-laki, meski begitu Kanyaah tak curiga pada apa pun. Seminggu dua sampai tiga kali ia akan diperiksa kesehatannya. Itu terjadi selama sebulan.Sekarang ia bebas dan tidak memiliki pekerjaan. Jelita benar-benar bisa diakses meski bersyarat, beberapa hal tidak bisa ia tanyakan atau Jelita yang tak mau menjawabnya.Kadang Kanyaah keluar dari lantai taman, pergi ke pus
Gadis itu masih terdiam kaku menatap marmer kotor penuh dengan noda darah dan beberapa cairan hitam juga cokelat. Beberapa lebih jauh ada butiran nasi yang berantakan.Kedua tangannya terikat, dia berdiri dengan kaki berjinjit. Menunduk lusuh dengan rambut panjang lepek yang tergerai. Lepek bau anyir. Sudut bibirnya lebam diikuti bekas darah yang mengering. Matanya sayu, juga dipenuhi memar. Kedua pipinya merona bukan karena malu, tetapi karena tamparan seseorang. Pakaian putih selututnya kotor, penuh dengan noda pula darahnya.Dia, Amitha Kanyaah, masih menampilkan seringaian. Meski dingin menembus kulit, tidak ada angin. Ruangan ini tertutup rapat, hanya saja tubuhnya berubah ringkih. Dia hanya mengenakan gaun terusan selutut tanpa lengan yang begitu tipis, mempertontonkan keindahan tubuhnya. Hanya ada tali yang mengantung di kedua bahunya.Amitha Kanyaah masih sempat tertawa, beberapa hinaan yang dite
Ruangan pekat dengan keremangan lampu yang memusingkan terlihat mencekam. Seorang lelaki dengan kemeja polister hitam tengah duduk di dampingi 3 wanita penghibur yang sibuk membelainya. Dua kancing teratas dibuka. Jenis kemejanya memberi kemudahan, tidak membuatnya berantakan. Namun, tidak dengan rambut hitamnya yang acak-acakan.Dia menyeringai, tatapannya cukup tajam. Akan tetapi, seisi ruang masih dapat mengendalikan kehadiran mereka. Sama sekali tak takut akan terjadi hal yang buruk.Sofa di sebelahnya, tergeletak tegak lurus dengan sofa yang diduduki pria pertama, terisi dua pemuda dengan jubah putih khas dokter yang sedang saling memandang. Tidak ingin kalah satu sama lain. Mereka mungkin sedang bersaing dalam suatu hal(?)Suasana mencekam datang dari orang di single sofa paling berbeda. Jubah hampir selutut warna hijau lumut yang lebih tua ia kenakan. Tatapannya sedikit ramah, tetapi siapa p
Langit buatan berwarna biru, awan putih tebal yang menyenangkan seperti kapas. Tumbuhan-tunbuhan subur yang menyegarkan. Beberapa daun dipenuhi titik-titik embun. Ini taman dalam ruangan yang menyenagkan. Beberapa kursi terlihat anggun dengan bahan dasar kayu. Ada beberapa alat dari bambu. Ukiran-ukirannya semakin menggugah selera.Harinya dipenuhi dengan kenyamanan. Refleknya mulai kembali normal. Beberapa kali ia berbicara dengan pengawas dan orang-orang yang tinggal di sini. Kebanyakan laki-laki, meski begitu Kanyaah tak curiga pada apa pun. Seminggu dua sampai tiga kali ia akan diperiksa kesehatannya. Itu terjadi selama sebulan.Sekarang ia bebas dan tidak memiliki pekerjaan. Jelita benar-benar bisa diakses meski bersyarat, beberapa hal tidak bisa ia tanyakan atau Jelita yang tak mau menjawabnya.Kadang Kanyaah keluar dari lantai taman, pergi ke pus
Empat bulan sudah berlalu sejak Cakra kembali ke rumahnya. Semua orang sibuk bekerja dan dia memiliki sedikit waktu untuk mengatur beberapa presiden perusahaanya yang ia tunjuk untuk bekerja di bawahnya. Dia juga mengatur beberapa menejemen pergerakan Pasak Suram. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang pergi ke Warnadwipa, tiket pesawat habis bahkan antrian memanjang. Meski Cakrawala tidak bisa memastikan tujuan mereka, dominan orang-orang ini pasti dikirim untuk menyelidiki tentang Bos Besar Pasak Suram.Menghela napasnya pelan, Cakrawala berjalan mendekati kursi roda. Dia membuka pintu dan menatap ruangan di bawah yang benar-benar lengang. Beberapa pelayan bahkan tidak bisa dan tidak akan pernah berani berjalan di depannya. Menunjukan jati diri mereka saja takut.Cakrawala meminta Domanic untuk datang, dia akan meminta izin kepada keluarga untuk membawa Cakra pergi. Setidaknya dengan begitu dia
Bug bug bug Dak "Sttt!" "Huh!" Suara bising terdengar dalam ruangan penuh dengan matras. Dua orang sedang saling tinju, mereka memukul dan menghindar. Sesekali meringis jika terpukul pada tempat yang fatal. Keringat menetes, memenuhi tubuh keduanya. Sesekali masuk ke mata, sesekali pula masuk ke mulut, asin! Setelah berlari mengelilingi ruang dengan alokasi jarak lebih dari dua puluh kilometer dengan beban ratusan kilogram, mereka harus berjalan membawa beban dua ratus kilogram. Semuanya cukup melelahkan, tetapi emosi yang tersisa harus disalurkan memalui pertandingan. Begitulah jadinya, Awan dan Shaoyun benar-benar babak belur tidak ada alat pengaman apa pun saat keduanya bertanding. Tidak ada pula was
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana, sosok dingin dengan wajah datar yang tampan penyempurna. Pahatan tubuhnya luar biasa, siapa yang tak ingin merabanya?Dia, kembali dari sosok paling sempurna menjadi buruk rupa, mirip jodohnya princess Bella!Pada masa remajanya, Cakra mengalami kecelakaan. Kakinya lumpuh, wajahnya hancur berantakan. Sebelum kakeknya meninggal, dia mengatakan beberapa rahasia di Pulau Warnadwipa dikenal juga Pulau Borneo, memindahtangankan aset rahasia miliknya yang ratusan kali lipat daripada aset yang diketahui seluruh anggota keluarga.Bukan karena keluarganya gila harta, bukan pula perselisihan antarsaudara. Kakeknya memberi tahu, ada banyak musuh yang lebih besar dan lebih kejam daripada monster yang sering ia lihat di televisi.Oleh karena itu, remaja yang baru saja meninggalkan usia anak-anaknya itu tumbuh lebi
Sesungguhnya, Amitha Kanyaah tidak peduli dengan perlakuan mereka terhadapnya. Bagaimana orang di depannya ini akan terus menyiksa dan menyakitinya. Apa boleh buat? Amira hanya penasaran, akankah prediksinya benar? Untuk apa mereka menculiknya?Ruangan sunyi, si lelaki yang kerap dipanggil Boss itu memainkan topi bundar dan tongkatnya. Rambut hitam kelam dengan rupa paling sempurna di mata Amitha membuat hatinya bergetar.Amitha Kanyaah menekan dirinya sendiri, rupa yang mempu menyihir itu musuhnya. Dia yang telah menculiknya. Dia pula yang membuat keluarganya menderita. Menggigit pipi bagian dalam, ini kali pertama mata sayu dan tidak berdaya ditunjukan kepada mereka."Kenapa kamu menculikku? Kenapa mereka tahu tentang keluargaku. Kamu membunuh mereka!" tuduh Amitha Kanyaah penuh emosi. Bibirnya bergetar, dia tidak mengerti, mengapa kelemahannya ditunj
Flashback, akhir tahun kemarin.Langit begitu cerah berawan, sebuah kapal besar menampung ribuan orang berlayar di tengah lautan. Deburan ombak tak tampak di kejauhan, hanya gelombang sunyi dan deru mesin yang merdu. Beberapa kali terdengar burung menggagak, lumba-lumba menampilkan kemahirannya dan ... oh! Betapa indahnya dunia laut di bawah sana.Gadis itu, dengan rambut ikal di ujung lurusnya, membuka kacamata. Mengagumi bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Menikmati bagaimana Tuhan menciptakan semilir angin yang menggoda. Bajunya tipis, bercorak bunga, mengantung dari bahu hingga batas lututnya. Lengan putih langsat itu mempesona, tampak cantik senada rupa. Lentik bulu mata, makin menggoda dengan bibir penuh yang merona.Dia tersenyum, menggetarkan mata khalayak umum. Bahkan anak kecil yang polos saja iri dengan kemegahan itu. Matahari bersinar, terangnya menyorot penuh padanya. Seakan semesta memberi tahu, hanya dia yang pantas menjadi sorotan.&
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana sedang duduk di sofa. Secara otomatis, sistem membuka tembok di depannya. Kaca tembus pandang satu arah terlihat. Dari sudut Cakra, dia bisa melihat semua hal di dalam ruangan. Dalam sudut ruangan di depannya, mereka jelas hanya melihat tembok tanpa ada perubahan."Mulai!"*Tiga penyidik di bawah Qi Shaoyun menatap gelang perak mereka. Kemudian ketiganya saling menatap dan menoleh sedetik ke arah kanan. Mereka tahu Bos Besar yang mereka hormati ada di sana mengawasi secara langsung kelakuan mereka.Salah satu dari mereka berdehem. Dia mendekati Amitha dan menatapnya geram. Bos ada di sini, ambisinya membuat gadis ini cepat buka mulut menjadi lebih besar.Dia menampar keras pipi Kanyaah. Gadis itu hanya menyipitkan mata, lalu menyeringai. Wajah lebamnya tak menutupi segala kecantikan gadis mungil itu. Amitha Kanyaah memang mungil dan ke
Gelagar Awan, satu dari beberapa pemimpin kelompok kecil yang sering merusuh di wilayah Nusantara. Sepanjang pulau Jayabaya, pulau tertimur Nusantara, menuju Javadwipa, sampai ke barat Daha lalu bagian paling utara yaitu Champa. Masing-masing kelompok tidak saling dikaitkan sebab kerusuhan mereka berbeda.Jika Gelegar Awan sering disebut raja Brutal, berbeda dengan beberapa pemimpin lainnya. Lebih banyak dari mereka sering bergerilya. Awan itu masokis. Hobinya dibikin sakit. Gaya bertarungnya cenderung menyerang daripada bertahan. Pertanahannya ya dengan serangan. Dia akan terus menyerang dengan jarak dekat hingga musuh kewalahan. Jika menemui orang yang kuat, maka pilihannya hanya bertahan dengan serangan. Siapa yang lebih sabar dan bugarlah yang menang.Tidak banyak para berandal dan preman yang berani dengannya. Sebab sikapnya yang tak tahu malu dan cukup gila itulah, mereka takut mati hanya dengan sekali bertarung. A
Ruangan pekat dengan keremangan lampu yang memusingkan terlihat mencekam. Seorang lelaki dengan kemeja polister hitam tengah duduk di dampingi 3 wanita penghibur yang sibuk membelainya. Dua kancing teratas dibuka. Jenis kemejanya memberi kemudahan, tidak membuatnya berantakan. Namun, tidak dengan rambut hitamnya yang acak-acakan.Dia menyeringai, tatapannya cukup tajam. Akan tetapi, seisi ruang masih dapat mengendalikan kehadiran mereka. Sama sekali tak takut akan terjadi hal yang buruk.Sofa di sebelahnya, tergeletak tegak lurus dengan sofa yang diduduki pria pertama, terisi dua pemuda dengan jubah putih khas dokter yang sedang saling memandang. Tidak ingin kalah satu sama lain. Mereka mungkin sedang bersaing dalam suatu hal(?)Suasana mencekam datang dari orang di single sofa paling berbeda. Jubah hampir selutut warna hijau lumut yang lebih tua ia kenakan. Tatapannya sedikit ramah, tetapi siapa p