Cakrawala Dirgantara Amangku Buana, sosok dingin dengan wajah datar yang tampan penyempurna. Pahatan tubuhnya luar biasa, siapa yang tak ingin merabanya?
Dia, kembali dari sosok paling sempurna menjadi buruk rupa, mirip jodohnya princess Bella!
Pada masa remajanya, Cakra mengalami kecelakaan. Kakinya lumpuh, wajahnya hancur berantakan. Sebelum kakeknya meninggal, dia mengatakan beberapa rahasia di Pulau Warnadwipa dikenal juga Pulau Borneo, memindahtangankan aset rahasia miliknya yang ratusan kali lipat daripada aset yang diketahui seluruh anggota keluarga.
Bukan karena keluarganya gila harta, bukan pula perselisihan antarsaudara. Kakeknya memberi tahu, ada banyak musuh yang lebih besar dan lebih kejam daripada monster yang sering ia lihat di televisi.
Oleh karena itu, remaja yang baru saja meninggalkan usia anak-anaknya itu tumbuh lebih cepat dan lebih dewasa. Kemampuannya ia sembunyikan, kesembuhannya ia sembunyikan, kepandaiannya ia sembunyikan, bahkan ia harus membuat identitas lain untuk mengurus bisnis rahasia kakeknya.
Satu persatu keluarga meninggalkannya setelah kakek meninggal. Beberapa pamannya tak tega hingga menyembunyikan kasih sayang dan memantau diam-diam, kedekatan hanya akan mempersakit hatinya. Beberapa keluarga lainnya mulai muak dan tak tahu harus berbuat apa, menganggap Cakra beban nyata yang harus ditanggung keluarga. Saudara kandungnya yang terus berempati sering menangis diam-diam. Sedangkan ibunya, hanya dia satu-satunya orang yang selalu datang dan mencoba tegar, memotivasi Cakra untuk terus bertahan hidup. Siapa sangka Cakrawala benar-benar berhati dingin?
Dia belum menemukan monster yang dikatakan kakeknya. Bagaimana mungkin membiarkan keluarganya secara terang terlibat? Bukankah jika dia tak tahu apa pun tentang musuhnya akan sangat meenyeramkan?
Musuh di kegelapan, sedangkan kami berada dalam terang. Jelas, musuh berada di posisi yang paling menguntungkan. Itulah mengapa dirinya sanggup menahan penderitaan dan menjadi berdarah dingin!
"Kakak!" panggil salah satu sepupunya. Dia anak bungsu dari paman bungsu. Bocah itu mendorong kursi roda Cakra dengan penuh semangat. Seakan semua bebannya hilang, andai Cakra buta, ia tak akan tahu bocah itu menangis semalaman!
Dia hanya lumpuh oke! Kenapa semua keluarga berasa dia akan mati setiap saat. Bayang-bayang kematian kakenya benar-benar tak bisa hilang!
Huft
"Aku kemarin mengikuti pameran lukisan di Pajang. Salah satu lukisanku dilihat banyak orang, mereka saling menawar mirip lukisan di pelelangan. Itu hanya seukuran papan kecil, tetapi yang paling dermawan mengambilnya dengan harga dua puluh juta. Ada beberapa orang lain yang meminta pesanan, bukankah aku keren?" ujarnya panjang lebar.
Cakra tidak menarik wajah dinginnya, meski begitu, ia sebenarnya takjub dengan bocah berusia lima belas tahun itu. Dia sudah cukup keren di usiannya.
Namun, Cakra tak memperlihatkanya. Dia justru mengkritik, "Jangan lupakan prioritasmu sebagai pelajar!" ketiknya di tab dan memperlihatkan kepada sepupunya.
Meski terasa hambar, sang sepupu tahu betul. Kakanya jarang sekali mau berkomunikasi. Mengetik pun malas, dia mengetikan beberapa kata menakjupkan. Meski lebih terlihat seperti kritikan, dirinya merasa itu sebuah perhatian. Jadi tanpa marah dia menjawab, "Aku cukup pintar di kelas."
*
Malam belum larut, makan malam di rumah Cakra terasa canggung. Pamannya--adik kandung ayah Cakra--dengan istrinya duduk di seberang Cakra. Ada sepupu Cakra yang paling bungsu, Semburat Januar dan Diajeng Paramitha. Ibunya segera meletakan kursi roda di samping bangku, dilanjut meletakan napkin di depan Cakra.
Ayahnya hanya melirik dan menghela napas. Ada beberapa saudara perempuan ayahnya yang tidak tinggal bersama, ada beberapa saudara ibunya yang tidak tinggal dengan mereka pula. Rumah ini ditinggalkan kakek untuk keturunan lelakinya.
Tidak peduli dengan keadaan sekitar, Cakra tetap dingin. Dia mengambil beberapa makanan yang ia suka dan mendahului tanpa melibatkan diri dalam acara makan yang cenderung diatur oleh ayahnya.
Itu terlalu hening, hingga dia selesai dan meminta Lily--salah satu pembantu di rumahnya yang ditunjuk khusus mengurus Cakra--untuk membawanya kembali ke dalam kamar.
"Apa dia terlalu lelah hidup?" gumam sang ayah. "Mengapa malas sekali berhubungan dengan kita?"
Ibunya menggeleng, menangkan tangan sang ayah dan mencoba menghentikan gumaman itu. Didengar atau tidak, ia tak mau suaminya memikirkan hal yang tidak-tidak.
Mereka melanjutkan makan, sedangkan Cakra kembali ke kamar.
Tangannya melambai, menyuruh Lily keluar dari ruangan. Lily pergi dan menutup pintu. Menghela napasnya pelan, Cakra memutar kursi rodanya mendekati pintu, menguncinnya lalu membuka titik akupunturnya. Perlahan tapi pasti, energinya mulai kenbali. Kakinya yang kebas terasa kembali. Dia berdiri, mendorong kursi itu mendekati kasur besar di tengah ruang.
Menyalakan komunikator yang dianggap gelang biasa oleh semua keluarganya. Sosok gadis dengan pakaian ketat serba hitam yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan kaki sampai batas leher muncul. Rambutnya dikuncir kuda, berkacamata dan bibirnya tebal. Dia hanya sistem. Selain sitem khusus di markas utama bernama Jelita, sistem di depannya dinamai Anggun.
"Anggun!"
"Bos! Itu menyebalkan, kamu telah mendisfungsikan kakimu lebih dari lima jam. Jika kamu terus seperti itu, maka kaki seximu benar-benar tidak berfungsi!" terangnya kesal. Dia mendekat dan memberikan banyak informasi tentang kaki, otot kaki, tulang kaki dan lain sebagainya. Meski pintar, Cakra malas membacanya.
Entitas cerdas yang dirinya buat dengan timnya ini sedikit merepotkan. Tidak seperti Jelita yang sangat menurut, Anggun cenderung emosional.
"Berikan informasi perkembangan perusahaan, Mr X dan markas utama juga hubungi Awan. Periksa berkala tahanan ruang putih paling selatan."
"Huft! Baik Bos!" jawabnya sedikit enggan. Pekerjannya sangat cepat, Cakra hanya mengecek sekilas sebelum dia mematikan lampu dan tidur. Berpura-pura tidak berguna dan terus mempermalukan keluarga di khalayak umum sedikit melelahkan baginya.
Di sisi lain, bagian utara kehidupan Cakra. Malam mencengkam di luar gedung tak sebanding dengan di dalamnya. Jauh di bawah julangan tinggi gedung itu, ada lantai-lantai bawah tanah. Di paling selatannya, lantai terbawah. Kegelapan lorong tak sebanding dengan terangnya ruangan Amitha Kanyaah. Dia sudah memejamkan matanya berkali-kali, tetapi tetap tidak menghilangkan kegelisahannya. Suara-suara seakan muncul dari tulisan merah di poster kelabu berisi gambar dirinya sendiri. Beberapa kobaran api mengingatkannya akan pembantaian keluarga. Dia sudah berada di sana lebih dari lima jam dan kegelisahannya tidak mereda justru kehilangan kontrol.
Tubuh ringkihnya tidak mendapatkan nutrisi menyakitkan dari dokter serba putih yang biasanya berkunjung setiap malam. Dia jiga tidak mendapatkan makanan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Waktu berjalan sangaaat lambaaat. Amitha Kanyaah merasa sudah berbulan-bulan duduk di sana. Dia menekuk lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara lutut. Sesekali menggeleng, sesekali menggeliat mengubah posisi mencari kenyamanan. Tidak ada satu pun lubang yang bisa dia lihat.
"Sialan! Sialan!" umpatnya berkali-kali.Aku bukan bajingan!"
Lalu memaksa diri untuk kuat, Amitha Kanyaah menegakan badan. Kedua kakinya ia peluk, dirinya sangat sombong dan keras kepala, menantang semua hal di ruangan itu. Ia memandang lurus ke gambar-gambar yang mengelilingi dinding ruangan.
"Saya tidak takut padamu Michael!" katanya tegas. Meski tak tahu nama aslinya, ia mengingat nama palsu yang dikenakalan bos di pesta kapal pesiar.
Bug bug bug Dak "Sttt!" "Huh!" Suara bising terdengar dalam ruangan penuh dengan matras. Dua orang sedang saling tinju, mereka memukul dan menghindar. Sesekali meringis jika terpukul pada tempat yang fatal. Keringat menetes, memenuhi tubuh keduanya. Sesekali masuk ke mata, sesekali pula masuk ke mulut, asin! Setelah berlari mengelilingi ruang dengan alokasi jarak lebih dari dua puluh kilometer dengan beban ratusan kilogram, mereka harus berjalan membawa beban dua ratus kilogram. Semuanya cukup melelahkan, tetapi emosi yang tersisa harus disalurkan memalui pertandingan. Begitulah jadinya, Awan dan Shaoyun benar-benar babak belur tidak ada alat pengaman apa pun saat keduanya bertanding. Tidak ada pula was
Empat bulan sudah berlalu sejak Cakra kembali ke rumahnya. Semua orang sibuk bekerja dan dia memiliki sedikit waktu untuk mengatur beberapa presiden perusahaanya yang ia tunjuk untuk bekerja di bawahnya. Dia juga mengatur beberapa menejemen pergerakan Pasak Suram. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang pergi ke Warnadwipa, tiket pesawat habis bahkan antrian memanjang. Meski Cakrawala tidak bisa memastikan tujuan mereka, dominan orang-orang ini pasti dikirim untuk menyelidiki tentang Bos Besar Pasak Suram.Menghela napasnya pelan, Cakrawala berjalan mendekati kursi roda. Dia membuka pintu dan menatap ruangan di bawah yang benar-benar lengang. Beberapa pelayan bahkan tidak bisa dan tidak akan pernah berani berjalan di depannya. Menunjukan jati diri mereka saja takut.Cakrawala meminta Domanic untuk datang, dia akan meminta izin kepada keluarga untuk membawa Cakra pergi. Setidaknya dengan begitu dia
Langit buatan berwarna biru, awan putih tebal yang menyenangkan seperti kapas. Tumbuhan-tunbuhan subur yang menyegarkan. Beberapa daun dipenuhi titik-titik embun. Ini taman dalam ruangan yang menyenagkan. Beberapa kursi terlihat anggun dengan bahan dasar kayu. Ada beberapa alat dari bambu. Ukiran-ukirannya semakin menggugah selera.Harinya dipenuhi dengan kenyamanan. Refleknya mulai kembali normal. Beberapa kali ia berbicara dengan pengawas dan orang-orang yang tinggal di sini. Kebanyakan laki-laki, meski begitu Kanyaah tak curiga pada apa pun. Seminggu dua sampai tiga kali ia akan diperiksa kesehatannya. Itu terjadi selama sebulan.Sekarang ia bebas dan tidak memiliki pekerjaan. Jelita benar-benar bisa diakses meski bersyarat, beberapa hal tidak bisa ia tanyakan atau Jelita yang tak mau menjawabnya.Kadang Kanyaah keluar dari lantai taman, pergi ke pus
Gadis itu masih terdiam kaku menatap marmer kotor penuh dengan noda darah dan beberapa cairan hitam juga cokelat. Beberapa lebih jauh ada butiran nasi yang berantakan.Kedua tangannya terikat, dia berdiri dengan kaki berjinjit. Menunduk lusuh dengan rambut panjang lepek yang tergerai. Lepek bau anyir. Sudut bibirnya lebam diikuti bekas darah yang mengering. Matanya sayu, juga dipenuhi memar. Kedua pipinya merona bukan karena malu, tetapi karena tamparan seseorang. Pakaian putih selututnya kotor, penuh dengan noda pula darahnya.Dia, Amitha Kanyaah, masih menampilkan seringaian. Meski dingin menembus kulit, tidak ada angin. Ruangan ini tertutup rapat, hanya saja tubuhnya berubah ringkih. Dia hanya mengenakan gaun terusan selutut tanpa lengan yang begitu tipis, mempertontonkan keindahan tubuhnya. Hanya ada tali yang mengantung di kedua bahunya.Amitha Kanyaah masih sempat tertawa, beberapa hinaan yang dite
Ruangan pekat dengan keremangan lampu yang memusingkan terlihat mencekam. Seorang lelaki dengan kemeja polister hitam tengah duduk di dampingi 3 wanita penghibur yang sibuk membelainya. Dua kancing teratas dibuka. Jenis kemejanya memberi kemudahan, tidak membuatnya berantakan. Namun, tidak dengan rambut hitamnya yang acak-acakan.Dia menyeringai, tatapannya cukup tajam. Akan tetapi, seisi ruang masih dapat mengendalikan kehadiran mereka. Sama sekali tak takut akan terjadi hal yang buruk.Sofa di sebelahnya, tergeletak tegak lurus dengan sofa yang diduduki pria pertama, terisi dua pemuda dengan jubah putih khas dokter yang sedang saling memandang. Tidak ingin kalah satu sama lain. Mereka mungkin sedang bersaing dalam suatu hal(?)Suasana mencekam datang dari orang di single sofa paling berbeda. Jubah hampir selutut warna hijau lumut yang lebih tua ia kenakan. Tatapannya sedikit ramah, tetapi siapa p
Gelagar Awan, satu dari beberapa pemimpin kelompok kecil yang sering merusuh di wilayah Nusantara. Sepanjang pulau Jayabaya, pulau tertimur Nusantara, menuju Javadwipa, sampai ke barat Daha lalu bagian paling utara yaitu Champa. Masing-masing kelompok tidak saling dikaitkan sebab kerusuhan mereka berbeda.Jika Gelegar Awan sering disebut raja Brutal, berbeda dengan beberapa pemimpin lainnya. Lebih banyak dari mereka sering bergerilya. Awan itu masokis. Hobinya dibikin sakit. Gaya bertarungnya cenderung menyerang daripada bertahan. Pertanahannya ya dengan serangan. Dia akan terus menyerang dengan jarak dekat hingga musuh kewalahan. Jika menemui orang yang kuat, maka pilihannya hanya bertahan dengan serangan. Siapa yang lebih sabar dan bugarlah yang menang.Tidak banyak para berandal dan preman yang berani dengannya. Sebab sikapnya yang tak tahu malu dan cukup gila itulah, mereka takut mati hanya dengan sekali bertarung. A
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana sedang duduk di sofa. Secara otomatis, sistem membuka tembok di depannya. Kaca tembus pandang satu arah terlihat. Dari sudut Cakra, dia bisa melihat semua hal di dalam ruangan. Dalam sudut ruangan di depannya, mereka jelas hanya melihat tembok tanpa ada perubahan."Mulai!"*Tiga penyidik di bawah Qi Shaoyun menatap gelang perak mereka. Kemudian ketiganya saling menatap dan menoleh sedetik ke arah kanan. Mereka tahu Bos Besar yang mereka hormati ada di sana mengawasi secara langsung kelakuan mereka.Salah satu dari mereka berdehem. Dia mendekati Amitha dan menatapnya geram. Bos ada di sini, ambisinya membuat gadis ini cepat buka mulut menjadi lebih besar.Dia menampar keras pipi Kanyaah. Gadis itu hanya menyipitkan mata, lalu menyeringai. Wajah lebamnya tak menutupi segala kecantikan gadis mungil itu. Amitha Kanyaah memang mungil dan ke
Flashback, akhir tahun kemarin.Langit begitu cerah berawan, sebuah kapal besar menampung ribuan orang berlayar di tengah lautan. Deburan ombak tak tampak di kejauhan, hanya gelombang sunyi dan deru mesin yang merdu. Beberapa kali terdengar burung menggagak, lumba-lumba menampilkan kemahirannya dan ... oh! Betapa indahnya dunia laut di bawah sana.Gadis itu, dengan rambut ikal di ujung lurusnya, membuka kacamata. Mengagumi bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Menikmati bagaimana Tuhan menciptakan semilir angin yang menggoda. Bajunya tipis, bercorak bunga, mengantung dari bahu hingga batas lututnya. Lengan putih langsat itu mempesona, tampak cantik senada rupa. Lentik bulu mata, makin menggoda dengan bibir penuh yang merona.Dia tersenyum, menggetarkan mata khalayak umum. Bahkan anak kecil yang polos saja iri dengan kemegahan itu. Matahari bersinar, terangnya menyorot penuh padanya. Seakan semesta memberi tahu, hanya dia yang pantas menjadi sorotan.&
Langit buatan berwarna biru, awan putih tebal yang menyenangkan seperti kapas. Tumbuhan-tunbuhan subur yang menyegarkan. Beberapa daun dipenuhi titik-titik embun. Ini taman dalam ruangan yang menyenagkan. Beberapa kursi terlihat anggun dengan bahan dasar kayu. Ada beberapa alat dari bambu. Ukiran-ukirannya semakin menggugah selera.Harinya dipenuhi dengan kenyamanan. Refleknya mulai kembali normal. Beberapa kali ia berbicara dengan pengawas dan orang-orang yang tinggal di sini. Kebanyakan laki-laki, meski begitu Kanyaah tak curiga pada apa pun. Seminggu dua sampai tiga kali ia akan diperiksa kesehatannya. Itu terjadi selama sebulan.Sekarang ia bebas dan tidak memiliki pekerjaan. Jelita benar-benar bisa diakses meski bersyarat, beberapa hal tidak bisa ia tanyakan atau Jelita yang tak mau menjawabnya.Kadang Kanyaah keluar dari lantai taman, pergi ke pus
Empat bulan sudah berlalu sejak Cakra kembali ke rumahnya. Semua orang sibuk bekerja dan dia memiliki sedikit waktu untuk mengatur beberapa presiden perusahaanya yang ia tunjuk untuk bekerja di bawahnya. Dia juga mengatur beberapa menejemen pergerakan Pasak Suram. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang pergi ke Warnadwipa, tiket pesawat habis bahkan antrian memanjang. Meski Cakrawala tidak bisa memastikan tujuan mereka, dominan orang-orang ini pasti dikirim untuk menyelidiki tentang Bos Besar Pasak Suram.Menghela napasnya pelan, Cakrawala berjalan mendekati kursi roda. Dia membuka pintu dan menatap ruangan di bawah yang benar-benar lengang. Beberapa pelayan bahkan tidak bisa dan tidak akan pernah berani berjalan di depannya. Menunjukan jati diri mereka saja takut.Cakrawala meminta Domanic untuk datang, dia akan meminta izin kepada keluarga untuk membawa Cakra pergi. Setidaknya dengan begitu dia
Bug bug bug Dak "Sttt!" "Huh!" Suara bising terdengar dalam ruangan penuh dengan matras. Dua orang sedang saling tinju, mereka memukul dan menghindar. Sesekali meringis jika terpukul pada tempat yang fatal. Keringat menetes, memenuhi tubuh keduanya. Sesekali masuk ke mata, sesekali pula masuk ke mulut, asin! Setelah berlari mengelilingi ruang dengan alokasi jarak lebih dari dua puluh kilometer dengan beban ratusan kilogram, mereka harus berjalan membawa beban dua ratus kilogram. Semuanya cukup melelahkan, tetapi emosi yang tersisa harus disalurkan memalui pertandingan. Begitulah jadinya, Awan dan Shaoyun benar-benar babak belur tidak ada alat pengaman apa pun saat keduanya bertanding. Tidak ada pula was
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana, sosok dingin dengan wajah datar yang tampan penyempurna. Pahatan tubuhnya luar biasa, siapa yang tak ingin merabanya?Dia, kembali dari sosok paling sempurna menjadi buruk rupa, mirip jodohnya princess Bella!Pada masa remajanya, Cakra mengalami kecelakaan. Kakinya lumpuh, wajahnya hancur berantakan. Sebelum kakeknya meninggal, dia mengatakan beberapa rahasia di Pulau Warnadwipa dikenal juga Pulau Borneo, memindahtangankan aset rahasia miliknya yang ratusan kali lipat daripada aset yang diketahui seluruh anggota keluarga.Bukan karena keluarganya gila harta, bukan pula perselisihan antarsaudara. Kakeknya memberi tahu, ada banyak musuh yang lebih besar dan lebih kejam daripada monster yang sering ia lihat di televisi.Oleh karena itu, remaja yang baru saja meninggalkan usia anak-anaknya itu tumbuh lebi
Sesungguhnya, Amitha Kanyaah tidak peduli dengan perlakuan mereka terhadapnya. Bagaimana orang di depannya ini akan terus menyiksa dan menyakitinya. Apa boleh buat? Amira hanya penasaran, akankah prediksinya benar? Untuk apa mereka menculiknya?Ruangan sunyi, si lelaki yang kerap dipanggil Boss itu memainkan topi bundar dan tongkatnya. Rambut hitam kelam dengan rupa paling sempurna di mata Amitha membuat hatinya bergetar.Amitha Kanyaah menekan dirinya sendiri, rupa yang mempu menyihir itu musuhnya. Dia yang telah menculiknya. Dia pula yang membuat keluarganya menderita. Menggigit pipi bagian dalam, ini kali pertama mata sayu dan tidak berdaya ditunjukan kepada mereka."Kenapa kamu menculikku? Kenapa mereka tahu tentang keluargaku. Kamu membunuh mereka!" tuduh Amitha Kanyaah penuh emosi. Bibirnya bergetar, dia tidak mengerti, mengapa kelemahannya ditunj
Flashback, akhir tahun kemarin.Langit begitu cerah berawan, sebuah kapal besar menampung ribuan orang berlayar di tengah lautan. Deburan ombak tak tampak di kejauhan, hanya gelombang sunyi dan deru mesin yang merdu. Beberapa kali terdengar burung menggagak, lumba-lumba menampilkan kemahirannya dan ... oh! Betapa indahnya dunia laut di bawah sana.Gadis itu, dengan rambut ikal di ujung lurusnya, membuka kacamata. Mengagumi bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Menikmati bagaimana Tuhan menciptakan semilir angin yang menggoda. Bajunya tipis, bercorak bunga, mengantung dari bahu hingga batas lututnya. Lengan putih langsat itu mempesona, tampak cantik senada rupa. Lentik bulu mata, makin menggoda dengan bibir penuh yang merona.Dia tersenyum, menggetarkan mata khalayak umum. Bahkan anak kecil yang polos saja iri dengan kemegahan itu. Matahari bersinar, terangnya menyorot penuh padanya. Seakan semesta memberi tahu, hanya dia yang pantas menjadi sorotan.&
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana sedang duduk di sofa. Secara otomatis, sistem membuka tembok di depannya. Kaca tembus pandang satu arah terlihat. Dari sudut Cakra, dia bisa melihat semua hal di dalam ruangan. Dalam sudut ruangan di depannya, mereka jelas hanya melihat tembok tanpa ada perubahan."Mulai!"*Tiga penyidik di bawah Qi Shaoyun menatap gelang perak mereka. Kemudian ketiganya saling menatap dan menoleh sedetik ke arah kanan. Mereka tahu Bos Besar yang mereka hormati ada di sana mengawasi secara langsung kelakuan mereka.Salah satu dari mereka berdehem. Dia mendekati Amitha dan menatapnya geram. Bos ada di sini, ambisinya membuat gadis ini cepat buka mulut menjadi lebih besar.Dia menampar keras pipi Kanyaah. Gadis itu hanya menyipitkan mata, lalu menyeringai. Wajah lebamnya tak menutupi segala kecantikan gadis mungil itu. Amitha Kanyaah memang mungil dan ke
Gelagar Awan, satu dari beberapa pemimpin kelompok kecil yang sering merusuh di wilayah Nusantara. Sepanjang pulau Jayabaya, pulau tertimur Nusantara, menuju Javadwipa, sampai ke barat Daha lalu bagian paling utara yaitu Champa. Masing-masing kelompok tidak saling dikaitkan sebab kerusuhan mereka berbeda.Jika Gelegar Awan sering disebut raja Brutal, berbeda dengan beberapa pemimpin lainnya. Lebih banyak dari mereka sering bergerilya. Awan itu masokis. Hobinya dibikin sakit. Gaya bertarungnya cenderung menyerang daripada bertahan. Pertanahannya ya dengan serangan. Dia akan terus menyerang dengan jarak dekat hingga musuh kewalahan. Jika menemui orang yang kuat, maka pilihannya hanya bertahan dengan serangan. Siapa yang lebih sabar dan bugarlah yang menang.Tidak banyak para berandal dan preman yang berani dengannya. Sebab sikapnya yang tak tahu malu dan cukup gila itulah, mereka takut mati hanya dengan sekali bertarung. A
Ruangan pekat dengan keremangan lampu yang memusingkan terlihat mencekam. Seorang lelaki dengan kemeja polister hitam tengah duduk di dampingi 3 wanita penghibur yang sibuk membelainya. Dua kancing teratas dibuka. Jenis kemejanya memberi kemudahan, tidak membuatnya berantakan. Namun, tidak dengan rambut hitamnya yang acak-acakan.Dia menyeringai, tatapannya cukup tajam. Akan tetapi, seisi ruang masih dapat mengendalikan kehadiran mereka. Sama sekali tak takut akan terjadi hal yang buruk.Sofa di sebelahnya, tergeletak tegak lurus dengan sofa yang diduduki pria pertama, terisi dua pemuda dengan jubah putih khas dokter yang sedang saling memandang. Tidak ingin kalah satu sama lain. Mereka mungkin sedang bersaing dalam suatu hal(?)Suasana mencekam datang dari orang di single sofa paling berbeda. Jubah hampir selutut warna hijau lumut yang lebih tua ia kenakan. Tatapannya sedikit ramah, tetapi siapa p