Bug bug bug
Dak
"Sttt!"
"Huh!"
Suara bising terdengar dalam ruangan penuh dengan matras. Dua orang sedang saling tinju, mereka memukul dan menghindar. Sesekali meringis jika terpukul pada tempat yang fatal.
Keringat menetes, memenuhi tubuh keduanya. Sesekali masuk ke mata, sesekali pula masuk ke mulut, asin!
Setelah berlari mengelilingi ruang dengan alokasi jarak lebih dari dua puluh kilometer dengan beban ratusan kilogram, mereka harus berjalan membawa beban dua ratus kilogram. Semuanya cukup melelahkan, tetapi emosi yang tersisa harus disalurkan memalui pertandingan. Begitulah jadinya, Awan dan Shaoyun benar-benar babak belur tidak ada alat pengaman apa pun saat keduanya bertanding. Tidak ada pula wasit dan penonton! Sungguh, menyenangkan(?)
"Shaoyun, apa kamu ingin aku mati?" keluh Awan sembari meninju ke depan.
Huh!
Keduanya lalu tergeletak di matras, jatuh sendiri dan memandang langit-langit ruang yang tinggi.
"Gara-gara bawahan kamu aku dihukum!" geram Awan.
"Kupikir karena kamu terlalu banyak bicara," kilah Qi Shaoyun dengan tenang.
Selepas napas mereka cukup stabil, rasa lelah hilang keduanya beranjak, menanggalkan pakian berat itu dan juga kaos hitamnya.
Tak berapa lama, keduanya keluar dari ruang, langsung disuguhi dua penjaga koridor yang berdiri seperti patung.
Ding!
Komunikator Awan menyala, ada pesan dari Bos Besar untuk selalu mengecek perkembangan Kanyaah.
"Sepertinya aku akan sibuk hari-hari ke depan!" keluh Awan sangat kentara.
"Bukankah memang selalu sibuk?"
Awan menggeleng. "Ini terlalu membosankan!" Dia menyipit, memandang Qi Shaoyun dengan geram. "Latih bawahanmu dengan benar, aku tak mau menjadi wadah luapan emosi Bos!" Setelah itu pergi.
Shaoyun di sisi lain hanya diam, sedikit bingung. Mereka sudah sering dihukum untuk pelatihan. Apa yang Awan pikirkan hingga begitu emosional. Apalagi Awan terkenal Masokis dengan kesenangan dalam kesengsaraan dan kelelahan. Apa yang terjadi dengannya.
Berjalan di sepanjang lorong, Shaoyun terus bergumam dengan bingung. Hingga sebelum masuk ke ruangannya, ia bertanya, "Jelita, apakah Awan sedang gila?"
Jelita muncul di sampingnya, Shaoyun terus berjalan sampai melewati pintu. Jelita mengikuti dan menjawab, "Tuan Shaoyun, kupikir Tuan Awan dalam suasana hati yang buruk. Kemarin Bos Besar keluar untuk kembali ke rumah dan Tuan Awan tidak diperbolehkan ikut."
Tangannya mengedik, Jelita hilang. Shaoyun mengangguk paham. Selain dikenal dengan masokis abis, Awan mengklaim dirinya adalah rekan dan bawahan nomor satu bossnya. Dia ingin selalu mengikuti setiap jengkal pengalaman yang dimiliki boss. Beberapa kali ikut ke Jawadwipa untuk memantau dan membantu Boss dalam keadaan gentingnya. Sekarang, dia harus di sini, selain mendapat hukuman juga harus mengecek berkala gadis yang ia pikir cerdas. Rasanya pasti sakit. Dia berspekulasi, gadis itu akan diterima dan sarannya akan sangat bagus untuk Boss. Namun, hasilnya seperti kebalikan. Boss sepertinya tidak suka dan justru memberinya hukuman yang lebih berat dari sebelumnya. Mengurung di ruangan putih.
***
Awan sedikit tidak senang karena harus menanggung beban dengan bosan. Biasanya, jika ja dihukum, bos akan langsung menjadi pengamat untuk melihat perkembangannya. Bertarung dengan seluruh pimpinan di bawah kaki Bos Besar tidak enak, mereka tidak memiliki kebugaran abnormal seperti dirinya. Seperti saat bertarung dengan Shaoyun, dia bosan hingga menyerah bersama-sama.
Berjalan di koridor sepi membuat dirinya makin kesal. Ruangan di paling ujung selatan itu berbeda, lorongnya gelap dan kelam. Tidak perlu dijaga ketat, dan jarang ada orang ke sana. Orang yang mengawasi pun hanya mengecek beberapa hari sekali tanpa jadwal untuk memberinya makan. Biasanya mereka gila setelah beberapa minggu di sana. Dan ini, tiga hari pertama sejak Kanyaah di sana.
Awan langsung masuk ke ruang keamanan lantai putih, meski beberapa koridornya sangat gelap, ruangan yang begitu banyak di lantai putih memang terang benderang.
"Tunjukan padaku ruangan paling ujung," ungkap Awan setelah dia masuk. Tak menunggu lagi, para bawahan itu langsung bekerja. Awan berjalan mendekat dan duduk di kursi putar.
Monitor di depannya menunjukan aktivistas Kanyaah di dalam ruangan.
"Dia beberapa kali mengeluh, mengumpat dan mengerang. Sampai saat ini kami belum memberinya makan."
Awan mengangguk mengerti. Dia melihat sendiri, Kanyaah sedang memegangi rambutnya, sedikit menutup telinga dengan telapak tangannya. Kakinya diluruskan, punggungnya bersadar lurus ke tembok. Matanya sesekali mengintip ke depan, gambar yang sudah tidak lagi asing kini berubah semakin menyeramkan.
"Beri dia makan besok siang!"
"Baik Tuan!"
"Lanjutkan dengan memberinya makan lima jam sekali bahkan di malam hari."
Mereka mengangguk mengerti.
***
Ini sudah hampir ke sepuluh minggu. Awan tidak lagi mengontrol monitor, ia mengintip di celah paling kecil yang khusus dibangun di dekat pintu. Celah itu biasanya digunakan untuk memberi makan Kanyaah. Kanyaah tidak menemui orang lain selama ini, jadwal makannya tidak teratur dan dia sangat gila. Matanya menunjukan lingkaran yang gelap. Selama ini, dia tidak berani tidur sama sekali. Sesekali tak sengaja tidur itu pun tak pernah lebih dari dua jam. Dalam tiga hari, ia tiudr hanya selama itu. Berlangsung 10 minggu.
Awan pergi, dia harus berlatih dengan Shaoyun kali ini.
"Kontrol setiap jam, jangan biarkan dia mati karena gila!"
"Baik, Tuan."
Tepat di balik ruang, Amitha Kanyaah benar-benar tidak tahan. Dia merasa sudah bertahun-tahun di dalam ruangan. Musik seram yang sengaja diputar menambah stress kepalanya. Awalnya itu sangat sunyi hingga suara aneh sering ia dengar dari pikirannya. Namun, baru-baru ini musik seram terasa nyata bukan hanya dalam pikiran. Sepertinya mereka benar-benar ingin membuatnya gila.
Terangnya ruang tak memberinya waktu untuk tidur. Poster tragis juga tak bisa memberi jeda pada pikirannya untuk berhenti barang sebentar.
Ruang putih memberi tekanan psikis, apalagi hanya ada beberapa gambar yang memojokannya. Itu benar-ebnar membuat Kanyaah melupakan semua dan jatidirinya. Ia hanya ingat tentang dirinya yang ditunjukan oleh poster. Gila, jalang, menyakitkan, buruk rupa dan pembunuh. Sesekali ke kamar mandi bahkan dia bingung tentang air yang berwarna jernih. Dia linglung.
Makanan yang diberikan terasa sangat lama, Amitha tidak bisa berpikir apa pun dan bahkan sesekali tidak mengambil makannya. Makanan itu hanya berwarna putih, bahkan seluruh tempat dan minumannya.
Dia bingung, bosan, kakinya kebas dan dirinya merasa mati rasa. Jika terus berlanjut, Amira benar-benar akan gila.
"Apakah aku sudah mati?" gumamnya
Kepalanya ia pukul beberapa kali. Kakinya yang tertatih mulai ambruk, tangannya menggaruk tembok, menghikangkan poster. Entah lem apa yang digunakan, itu sama sekali tidak mirip kertas, tidak bisa hilang sama sekali. Butuh usaha banyak bahkan untuk merobeknya beberapa senti.
Amitha Kanyaah merasa kesal.
Dia sangaaat lelah.
Apakah ini berakhir seperti ini saja?
Dia menungging, berharap pikirannya hilang. Sesekali berdiri dan menatap di kejauhan atap yang begitu tinggi. Dia melongkok ke lubang kunci yang sangat kecil hanya untuk menemukan titik gelap yang tidak berarti apa pun.
Dia menunggu dan terus menunggu sampai akhirnya lupa siapa dirinya sendiri dan untuk apa dia menunggu
Mungkin nasib Amitha Kanyaah bahkan berakhir sampai di sini?
Gelak tawa terdengar, Amitha Kanyaah benar-nenar merasa sudah gila.
"Mungkinkan aku mati?" gumamnya lagi. Dia menyandarkan bahu di tembok menggaruk poster dengan tangan kanan dan terus membenturkan kepala ke tembok. Tindakan ini sedikit lebih ekstrim dari yang kemarin ia lakukan.
Empat bulan sudah berlalu sejak Cakra kembali ke rumahnya. Semua orang sibuk bekerja dan dia memiliki sedikit waktu untuk mengatur beberapa presiden perusahaanya yang ia tunjuk untuk bekerja di bawahnya. Dia juga mengatur beberapa menejemen pergerakan Pasak Suram. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang pergi ke Warnadwipa, tiket pesawat habis bahkan antrian memanjang. Meski Cakrawala tidak bisa memastikan tujuan mereka, dominan orang-orang ini pasti dikirim untuk menyelidiki tentang Bos Besar Pasak Suram.Menghela napasnya pelan, Cakrawala berjalan mendekati kursi roda. Dia membuka pintu dan menatap ruangan di bawah yang benar-benar lengang. Beberapa pelayan bahkan tidak bisa dan tidak akan pernah berani berjalan di depannya. Menunjukan jati diri mereka saja takut.Cakrawala meminta Domanic untuk datang, dia akan meminta izin kepada keluarga untuk membawa Cakra pergi. Setidaknya dengan begitu dia
Langit buatan berwarna biru, awan putih tebal yang menyenangkan seperti kapas. Tumbuhan-tunbuhan subur yang menyegarkan. Beberapa daun dipenuhi titik-titik embun. Ini taman dalam ruangan yang menyenagkan. Beberapa kursi terlihat anggun dengan bahan dasar kayu. Ada beberapa alat dari bambu. Ukiran-ukirannya semakin menggugah selera.Harinya dipenuhi dengan kenyamanan. Refleknya mulai kembali normal. Beberapa kali ia berbicara dengan pengawas dan orang-orang yang tinggal di sini. Kebanyakan laki-laki, meski begitu Kanyaah tak curiga pada apa pun. Seminggu dua sampai tiga kali ia akan diperiksa kesehatannya. Itu terjadi selama sebulan.Sekarang ia bebas dan tidak memiliki pekerjaan. Jelita benar-benar bisa diakses meski bersyarat, beberapa hal tidak bisa ia tanyakan atau Jelita yang tak mau menjawabnya.Kadang Kanyaah keluar dari lantai taman, pergi ke pus
Gadis itu masih terdiam kaku menatap marmer kotor penuh dengan noda darah dan beberapa cairan hitam juga cokelat. Beberapa lebih jauh ada butiran nasi yang berantakan.Kedua tangannya terikat, dia berdiri dengan kaki berjinjit. Menunduk lusuh dengan rambut panjang lepek yang tergerai. Lepek bau anyir. Sudut bibirnya lebam diikuti bekas darah yang mengering. Matanya sayu, juga dipenuhi memar. Kedua pipinya merona bukan karena malu, tetapi karena tamparan seseorang. Pakaian putih selututnya kotor, penuh dengan noda pula darahnya.Dia, Amitha Kanyaah, masih menampilkan seringaian. Meski dingin menembus kulit, tidak ada angin. Ruangan ini tertutup rapat, hanya saja tubuhnya berubah ringkih. Dia hanya mengenakan gaun terusan selutut tanpa lengan yang begitu tipis, mempertontonkan keindahan tubuhnya. Hanya ada tali yang mengantung di kedua bahunya.Amitha Kanyaah masih sempat tertawa, beberapa hinaan yang dite
Ruangan pekat dengan keremangan lampu yang memusingkan terlihat mencekam. Seorang lelaki dengan kemeja polister hitam tengah duduk di dampingi 3 wanita penghibur yang sibuk membelainya. Dua kancing teratas dibuka. Jenis kemejanya memberi kemudahan, tidak membuatnya berantakan. Namun, tidak dengan rambut hitamnya yang acak-acakan.Dia menyeringai, tatapannya cukup tajam. Akan tetapi, seisi ruang masih dapat mengendalikan kehadiran mereka. Sama sekali tak takut akan terjadi hal yang buruk.Sofa di sebelahnya, tergeletak tegak lurus dengan sofa yang diduduki pria pertama, terisi dua pemuda dengan jubah putih khas dokter yang sedang saling memandang. Tidak ingin kalah satu sama lain. Mereka mungkin sedang bersaing dalam suatu hal(?)Suasana mencekam datang dari orang di single sofa paling berbeda. Jubah hampir selutut warna hijau lumut yang lebih tua ia kenakan. Tatapannya sedikit ramah, tetapi siapa p
Gelagar Awan, satu dari beberapa pemimpin kelompok kecil yang sering merusuh di wilayah Nusantara. Sepanjang pulau Jayabaya, pulau tertimur Nusantara, menuju Javadwipa, sampai ke barat Daha lalu bagian paling utara yaitu Champa. Masing-masing kelompok tidak saling dikaitkan sebab kerusuhan mereka berbeda.Jika Gelegar Awan sering disebut raja Brutal, berbeda dengan beberapa pemimpin lainnya. Lebih banyak dari mereka sering bergerilya. Awan itu masokis. Hobinya dibikin sakit. Gaya bertarungnya cenderung menyerang daripada bertahan. Pertanahannya ya dengan serangan. Dia akan terus menyerang dengan jarak dekat hingga musuh kewalahan. Jika menemui orang yang kuat, maka pilihannya hanya bertahan dengan serangan. Siapa yang lebih sabar dan bugarlah yang menang.Tidak banyak para berandal dan preman yang berani dengannya. Sebab sikapnya yang tak tahu malu dan cukup gila itulah, mereka takut mati hanya dengan sekali bertarung. A
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana sedang duduk di sofa. Secara otomatis, sistem membuka tembok di depannya. Kaca tembus pandang satu arah terlihat. Dari sudut Cakra, dia bisa melihat semua hal di dalam ruangan. Dalam sudut ruangan di depannya, mereka jelas hanya melihat tembok tanpa ada perubahan."Mulai!"*Tiga penyidik di bawah Qi Shaoyun menatap gelang perak mereka. Kemudian ketiganya saling menatap dan menoleh sedetik ke arah kanan. Mereka tahu Bos Besar yang mereka hormati ada di sana mengawasi secara langsung kelakuan mereka.Salah satu dari mereka berdehem. Dia mendekati Amitha dan menatapnya geram. Bos ada di sini, ambisinya membuat gadis ini cepat buka mulut menjadi lebih besar.Dia menampar keras pipi Kanyaah. Gadis itu hanya menyipitkan mata, lalu menyeringai. Wajah lebamnya tak menutupi segala kecantikan gadis mungil itu. Amitha Kanyaah memang mungil dan ke
Flashback, akhir tahun kemarin.Langit begitu cerah berawan, sebuah kapal besar menampung ribuan orang berlayar di tengah lautan. Deburan ombak tak tampak di kejauhan, hanya gelombang sunyi dan deru mesin yang merdu. Beberapa kali terdengar burung menggagak, lumba-lumba menampilkan kemahirannya dan ... oh! Betapa indahnya dunia laut di bawah sana.Gadis itu, dengan rambut ikal di ujung lurusnya, membuka kacamata. Mengagumi bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Menikmati bagaimana Tuhan menciptakan semilir angin yang menggoda. Bajunya tipis, bercorak bunga, mengantung dari bahu hingga batas lututnya. Lengan putih langsat itu mempesona, tampak cantik senada rupa. Lentik bulu mata, makin menggoda dengan bibir penuh yang merona.Dia tersenyum, menggetarkan mata khalayak umum. Bahkan anak kecil yang polos saja iri dengan kemegahan itu. Matahari bersinar, terangnya menyorot penuh padanya. Seakan semesta memberi tahu, hanya dia yang pantas menjadi sorotan.&
Sesungguhnya, Amitha Kanyaah tidak peduli dengan perlakuan mereka terhadapnya. Bagaimana orang di depannya ini akan terus menyiksa dan menyakitinya. Apa boleh buat? Amira hanya penasaran, akankah prediksinya benar? Untuk apa mereka menculiknya?Ruangan sunyi, si lelaki yang kerap dipanggil Boss itu memainkan topi bundar dan tongkatnya. Rambut hitam kelam dengan rupa paling sempurna di mata Amitha membuat hatinya bergetar.Amitha Kanyaah menekan dirinya sendiri, rupa yang mempu menyihir itu musuhnya. Dia yang telah menculiknya. Dia pula yang membuat keluarganya menderita. Menggigit pipi bagian dalam, ini kali pertama mata sayu dan tidak berdaya ditunjukan kepada mereka."Kenapa kamu menculikku? Kenapa mereka tahu tentang keluargaku. Kamu membunuh mereka!" tuduh Amitha Kanyaah penuh emosi. Bibirnya bergetar, dia tidak mengerti, mengapa kelemahannya ditunj
Langit buatan berwarna biru, awan putih tebal yang menyenangkan seperti kapas. Tumbuhan-tunbuhan subur yang menyegarkan. Beberapa daun dipenuhi titik-titik embun. Ini taman dalam ruangan yang menyenagkan. Beberapa kursi terlihat anggun dengan bahan dasar kayu. Ada beberapa alat dari bambu. Ukiran-ukirannya semakin menggugah selera.Harinya dipenuhi dengan kenyamanan. Refleknya mulai kembali normal. Beberapa kali ia berbicara dengan pengawas dan orang-orang yang tinggal di sini. Kebanyakan laki-laki, meski begitu Kanyaah tak curiga pada apa pun. Seminggu dua sampai tiga kali ia akan diperiksa kesehatannya. Itu terjadi selama sebulan.Sekarang ia bebas dan tidak memiliki pekerjaan. Jelita benar-benar bisa diakses meski bersyarat, beberapa hal tidak bisa ia tanyakan atau Jelita yang tak mau menjawabnya.Kadang Kanyaah keluar dari lantai taman, pergi ke pus
Empat bulan sudah berlalu sejak Cakra kembali ke rumahnya. Semua orang sibuk bekerja dan dia memiliki sedikit waktu untuk mengatur beberapa presiden perusahaanya yang ia tunjuk untuk bekerja di bawahnya. Dia juga mengatur beberapa menejemen pergerakan Pasak Suram. Akhir-akhir ini, banyak sekali orang pergi ke Warnadwipa, tiket pesawat habis bahkan antrian memanjang. Meski Cakrawala tidak bisa memastikan tujuan mereka, dominan orang-orang ini pasti dikirim untuk menyelidiki tentang Bos Besar Pasak Suram.Menghela napasnya pelan, Cakrawala berjalan mendekati kursi roda. Dia membuka pintu dan menatap ruangan di bawah yang benar-benar lengang. Beberapa pelayan bahkan tidak bisa dan tidak akan pernah berani berjalan di depannya. Menunjukan jati diri mereka saja takut.Cakrawala meminta Domanic untuk datang, dia akan meminta izin kepada keluarga untuk membawa Cakra pergi. Setidaknya dengan begitu dia
Bug bug bug Dak "Sttt!" "Huh!" Suara bising terdengar dalam ruangan penuh dengan matras. Dua orang sedang saling tinju, mereka memukul dan menghindar. Sesekali meringis jika terpukul pada tempat yang fatal. Keringat menetes, memenuhi tubuh keduanya. Sesekali masuk ke mata, sesekali pula masuk ke mulut, asin! Setelah berlari mengelilingi ruang dengan alokasi jarak lebih dari dua puluh kilometer dengan beban ratusan kilogram, mereka harus berjalan membawa beban dua ratus kilogram. Semuanya cukup melelahkan, tetapi emosi yang tersisa harus disalurkan memalui pertandingan. Begitulah jadinya, Awan dan Shaoyun benar-benar babak belur tidak ada alat pengaman apa pun saat keduanya bertanding. Tidak ada pula was
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana, sosok dingin dengan wajah datar yang tampan penyempurna. Pahatan tubuhnya luar biasa, siapa yang tak ingin merabanya?Dia, kembali dari sosok paling sempurna menjadi buruk rupa, mirip jodohnya princess Bella!Pada masa remajanya, Cakra mengalami kecelakaan. Kakinya lumpuh, wajahnya hancur berantakan. Sebelum kakeknya meninggal, dia mengatakan beberapa rahasia di Pulau Warnadwipa dikenal juga Pulau Borneo, memindahtangankan aset rahasia miliknya yang ratusan kali lipat daripada aset yang diketahui seluruh anggota keluarga.Bukan karena keluarganya gila harta, bukan pula perselisihan antarsaudara. Kakeknya memberi tahu, ada banyak musuh yang lebih besar dan lebih kejam daripada monster yang sering ia lihat di televisi.Oleh karena itu, remaja yang baru saja meninggalkan usia anak-anaknya itu tumbuh lebi
Sesungguhnya, Amitha Kanyaah tidak peduli dengan perlakuan mereka terhadapnya. Bagaimana orang di depannya ini akan terus menyiksa dan menyakitinya. Apa boleh buat? Amira hanya penasaran, akankah prediksinya benar? Untuk apa mereka menculiknya?Ruangan sunyi, si lelaki yang kerap dipanggil Boss itu memainkan topi bundar dan tongkatnya. Rambut hitam kelam dengan rupa paling sempurna di mata Amitha membuat hatinya bergetar.Amitha Kanyaah menekan dirinya sendiri, rupa yang mempu menyihir itu musuhnya. Dia yang telah menculiknya. Dia pula yang membuat keluarganya menderita. Menggigit pipi bagian dalam, ini kali pertama mata sayu dan tidak berdaya ditunjukan kepada mereka."Kenapa kamu menculikku? Kenapa mereka tahu tentang keluargaku. Kamu membunuh mereka!" tuduh Amitha Kanyaah penuh emosi. Bibirnya bergetar, dia tidak mengerti, mengapa kelemahannya ditunj
Flashback, akhir tahun kemarin.Langit begitu cerah berawan, sebuah kapal besar menampung ribuan orang berlayar di tengah lautan. Deburan ombak tak tampak di kejauhan, hanya gelombang sunyi dan deru mesin yang merdu. Beberapa kali terdengar burung menggagak, lumba-lumba menampilkan kemahirannya dan ... oh! Betapa indahnya dunia laut di bawah sana.Gadis itu, dengan rambut ikal di ujung lurusnya, membuka kacamata. Mengagumi bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Menikmati bagaimana Tuhan menciptakan semilir angin yang menggoda. Bajunya tipis, bercorak bunga, mengantung dari bahu hingga batas lututnya. Lengan putih langsat itu mempesona, tampak cantik senada rupa. Lentik bulu mata, makin menggoda dengan bibir penuh yang merona.Dia tersenyum, menggetarkan mata khalayak umum. Bahkan anak kecil yang polos saja iri dengan kemegahan itu. Matahari bersinar, terangnya menyorot penuh padanya. Seakan semesta memberi tahu, hanya dia yang pantas menjadi sorotan.&
Cakrawala Dirgantara Amangku Buana sedang duduk di sofa. Secara otomatis, sistem membuka tembok di depannya. Kaca tembus pandang satu arah terlihat. Dari sudut Cakra, dia bisa melihat semua hal di dalam ruangan. Dalam sudut ruangan di depannya, mereka jelas hanya melihat tembok tanpa ada perubahan."Mulai!"*Tiga penyidik di bawah Qi Shaoyun menatap gelang perak mereka. Kemudian ketiganya saling menatap dan menoleh sedetik ke arah kanan. Mereka tahu Bos Besar yang mereka hormati ada di sana mengawasi secara langsung kelakuan mereka.Salah satu dari mereka berdehem. Dia mendekati Amitha dan menatapnya geram. Bos ada di sini, ambisinya membuat gadis ini cepat buka mulut menjadi lebih besar.Dia menampar keras pipi Kanyaah. Gadis itu hanya menyipitkan mata, lalu menyeringai. Wajah lebamnya tak menutupi segala kecantikan gadis mungil itu. Amitha Kanyaah memang mungil dan ke
Gelagar Awan, satu dari beberapa pemimpin kelompok kecil yang sering merusuh di wilayah Nusantara. Sepanjang pulau Jayabaya, pulau tertimur Nusantara, menuju Javadwipa, sampai ke barat Daha lalu bagian paling utara yaitu Champa. Masing-masing kelompok tidak saling dikaitkan sebab kerusuhan mereka berbeda.Jika Gelegar Awan sering disebut raja Brutal, berbeda dengan beberapa pemimpin lainnya. Lebih banyak dari mereka sering bergerilya. Awan itu masokis. Hobinya dibikin sakit. Gaya bertarungnya cenderung menyerang daripada bertahan. Pertanahannya ya dengan serangan. Dia akan terus menyerang dengan jarak dekat hingga musuh kewalahan. Jika menemui orang yang kuat, maka pilihannya hanya bertahan dengan serangan. Siapa yang lebih sabar dan bugarlah yang menang.Tidak banyak para berandal dan preman yang berani dengannya. Sebab sikapnya yang tak tahu malu dan cukup gila itulah, mereka takut mati hanya dengan sekali bertarung. A
Ruangan pekat dengan keremangan lampu yang memusingkan terlihat mencekam. Seorang lelaki dengan kemeja polister hitam tengah duduk di dampingi 3 wanita penghibur yang sibuk membelainya. Dua kancing teratas dibuka. Jenis kemejanya memberi kemudahan, tidak membuatnya berantakan. Namun, tidak dengan rambut hitamnya yang acak-acakan.Dia menyeringai, tatapannya cukup tajam. Akan tetapi, seisi ruang masih dapat mengendalikan kehadiran mereka. Sama sekali tak takut akan terjadi hal yang buruk.Sofa di sebelahnya, tergeletak tegak lurus dengan sofa yang diduduki pria pertama, terisi dua pemuda dengan jubah putih khas dokter yang sedang saling memandang. Tidak ingin kalah satu sama lain. Mereka mungkin sedang bersaing dalam suatu hal(?)Suasana mencekam datang dari orang di single sofa paling berbeda. Jubah hampir selutut warna hijau lumut yang lebih tua ia kenakan. Tatapannya sedikit ramah, tetapi siapa p