Selamat pagi akak-akak Kira-kira siapa yang masuk? Lagian Dewa engga kira-kira ya :D
“Apa kalian tidak tahan melakukannya? Ini kamar orang sakit bukan hotel!” seru orang itu.“Makanya cepat menikah supaya kamu tidak iri lagi!” Dewa menyeringai.Sedangkan Rosalyn menahan malu lantaran tertangkap basah melakukan kegiatan intim di kamar rawat. Kini pipinya sudah semerah tomat, ia pun beranjak dari pangkuan Dewa sambil menundukkan wajah.Namun Dewa tidak melepaskan Rosalyn begitu saja. Pria itu menahan pinggul dan meremasnya lalu mencium bibir merah muda yang menggoda naluri sebagai lelaki.Rosalyn tersentak kala bibirnya menempel bahkan dihisap dengan lembut, tetapi ia tidak menikmati lantaran keberadaan orang lain di dalam ruangan ini.Menyadari tubuh sang wanita menegang serta keringat dingin menghiasi kening, Dewa melepas pagutan lantas menatap tajam pada orang di depannya.“Gara-gara kamu istriku jadi gugup begini. Ada perlu apa Fabian?” sentak Dewa dengan suara tertahan sebab khawatir Arimbi bangun.“Aku ke sini atas perintah ibu. Beliau mencemaskan Arimbi. Makanya
“Apa yang salah?” Seorang pria menghampiri perempuan berperut buncit. “Bagaimana keadaan anakku, Vinsensia?”“Ka-kamu kenapa ada di sini? Apa ini perintah adikmu yang mengaku-aku kaya itu? Kevin kamu menjijikkan sekali bergantung hidup pada wanita.”“Aku saja baru tahu kalau selama ini dia memiliki identitas lain sebagai Talicia Schmid.” Pria itu tertawa hambar dan bola matanya terkunci pada perut perempuan itu.Vinsensia geleng-geleng kepala tidak memercayai ucapan Kevin. Saking malasnya berhubungan dengan semua orang yang telah membuat hidupnya hancur, perempuan itu memanggil petugas agar membawanya ke mobil tahanan.“Sejauh apa pun kamu kabur, ingatlah anak dalam perutmu itu milikku! Ada darahku mengalir di tubuhnya!” teriak Kevin.Untunglah ruangan ini cukup sepi sehingga tidak banyak orang akan terganggu. Sedangkan Vinsensia mengepalkan tangan, sebelum masuk dalam mobil kepalanya menoleh dan tersenyum kecut.“Dia memang anakmu tapi lebih baik kujual saja daripada hidup bersama ay
“Bagaimana bisa seperti ini Fabian?” Pertanyaan Rosalyn terlontar pada Fabian sembari menatap punggung pria berjas putih serta beberapa orang perawat.Perempuan pemilik mata almond itu terkejut ketika Fabian memberi infomasi bahwa Dewa saat ini ada di bangsal gawat darurat. Sesuai dugaan, Dewa belum bisa meninggalkan rumah sakit lantaran kondisi yang tidak memungkinkan.Bos Cwell Grup itu terkapar di atas ranjang pasien. Dokter telah memberikan dua suntikan obat salah satunya pereda nyeri sebab Dewa selalu merintih kesakitan.“Seharusnya kamu melarang bukan malah mendukungnya!” cerca Rosalyn.“Ya, besok aku tidak akan membantunya lagi.” Fabian menghela napas sebab selalu salah di antara suami istri ini.Selanjutnya teman kecil Rosalyn itu memberikan satu kotak kecil dari saku celana. Roslayn terheran-heran sebab untuk apa Fabian memberinya hadiah di waktu genting begini.“Ini apa?” tunjuk jemari ramping nan mulus.“Terimalah. Ini—”Rosalyn menolak, “Apa kamu gila? Aku ini istri orang!”
Di ruang makan tahanan khusus wanita, Vinsensia sedang melamun sambil memandangi wadah berisi aneka lauk di depannya. Wajahnya tampak kuyu paska persidangan kemarin, bahkan tadi malam tidak bisa tidur.“Aku pikir bisa menjadi pemenang, ternyata masa lalu kalah dari masa depan,” gumam Vinsensia.Perempuan itu juga teringat bagaimana Dewa bersikukuh menjebloskannya ke balik jeruji besi. Padahal ia sedang mengandung, tetapi tidak ada belas kasihan setitik debu pun dari Dewa.Vinsensia menunduk lalu menangis. “Aku ingin bebas. Kalau saja aku tidak membayar orang untuk mencelakai Rosalyn, pasti akhirnya tidak begini. Dewa juga tidak akan bersimpati pada Rosalyn. Mungkin sekarang… aku dan Dewa sudah menikah.”Meskipun menyesali perbuatan di masa lalu, tetapi lubuk hati perempuan itu tidak merelakan Dewa hidup bahagia bersama wanita lain terutama Rosalyn. Bisa-bisanya sosok yang baru dikenal langsung menerima perhatian dari b
Tubuh Rosalyn tersentak mendapat pelukan ini. Pikiran dan jiwanya melayang seolah-olah terhempas dari raga. Bola mata wanita itu melirik ke samping menatap seorang pria paruh baya yang mengangguk halus padanya. “Rosalyn … akhirnya kita bertemu lagi,” kata seorang wanita. Bahkan saat ini Rosalyn dapat merasakan bahunya menjadi lembab. Tanpa bertanya ia tahu bahwa wanita yang memeluknya sedang menumpahkan air mata. Ia ingin mengurai pelukan tetapi lubuk hatinya melarang dan otaknya pun mendadak buntu. “Aku pikir kamu kembali ke Kota Milan,” sambung orang itu lagi. Beberapa saat kemudian, Rosalyn sedikit menjauhkan badan dari sosok yang memeluknya. Ia memperhatikan keadaan orang di hadapannya. “Bagaimana keadaan Ibu dan Paman Felix?” Mathilda langsung mengusap dada sebab Rosalyn masih memanggil dengan sebutan ‘ibu’ sampai membuat wanita paruh baya menangis harus. “Kami sehat, argh!” Ucapan Felix terhenti sebab Mathilda menyikut kuat perut tambun pria sepuh itu. “Aku kemari melaku
Rosalyn tidak menjawab melainkan menggeser pandangan pada sang suami. Sorot mata hazel seolah meminta bantuan agar pria itu yang menanggapi pertanyaan.Dewa mengedipkan kelopak mata lantas bertutur dengan tegas, “Baik, kami bisa sewakan apartemen di kota.” Mathilda terbelalak mendengar ucapan sang menantu. Wanita paruh baya itu tersenyum hambar. Sedangkan Felix geleng-geleng kepala sebab istrinya malah mengejar sesuatu yang tidak pasti. “Kudengar rumah keluarga Keller sudah ditebus dari bank. Bukankah aku bisa tinggal di sana?” Mathilda melirik Felix yang memandang tajam ke arahnya.Rosalyn terbatuk kecil mendengar permintaan ibu sambun. Ia mengepalkan tangan sambil berjalan menuju ruang tamu. Tanpa diperintah pun Mathilda dan Felix mengkuti, tetapi tidak dengan Dewa yang diharuskan berbaring. Tidak hanya ketiga orang itu tetapi Feli juga duduk di sini.Tatapan sinis Mathilda tertuju pada Feli yang duduk dengan anggun sambil menyesap the hitam. “Bu?” panggil Rosalyn ketika tahu ib
‘Maaf, Papa tidak bisa menepati janji.’ Sepuluh hari sudah Dewa sendirian di kamar rawat ini. Tidak ada tingkah menggemaskan atau suara cempreng Arimbi. Ia juga lebih sering melamun menatap jendela dengan pemandangan pepohonan. Akan tetapi berbanding terbalik pada kondisi penghuni kamar, perasaan Dewa porak-poranda.“Dokter bilang Anda diizinkan pulang besok pagi.” Pandu menatap bosnya yang berwajah lesu.Dewa mengembus napas panjang. “Apa kamu sudah tahu bagaimana kabar Rosalyn dan anak-anakku?” Pandu menggelengkan kepala sembari menundukkan kepala. “Setelah mendapat apa yang dia mau dan butuhkan, tega sekali meninggalkanku sendirian.” Dewa memijat pelipis yang terasa berdenyut setiap kali memikirkan Rosalyn. Ia berujar lirih, “Sepuluh hari ini kami tidak melakukan komunikasi apa pun.” “Saya sudah mencarinya tapi tidak ketemu Pak. Saya akan mencobanya lagi,” sahut Pandu diiringi ekspresi bersalah.“Tidak perlu. Past
“Arimbi? Brahma?” panggil Dewa dengan tatapan berbinar.Dikarenakan tidak ada tanggapan apa pun, ia sadar diri bahwa ini sekadar halusinasi belaka. Dewa tersenyum getir karena menjadi gila. Ia kembali melangkah menaiki anak tangga.Ketika tangannya memegang handle pintu kamar utama, entah mengapa debar jantung pria itu berubah cepat. Bahkan kepala Dewa dipenuhi oleh bayang-bayang senyum manis Rosalyn di dalam sana.“Aku harus menemui psikiater! Rosalyn membuatku tidak waras!” geramnya.Kemudian ia membuka pintu dan ….“Hore Papa sudah pulang!”Dewa mematung di ambang pintu kala mendapati dua anak kembarnya berlari menghampiri. Ia masih bergeming padahal Brahma dan Arimbi memeluk erat pinggangnya.“Arimbi senang Papa sudah sehat.”“Selamat datang di Vila Caldwell Papa,” timpal Brahma.Dewa semakin yakin otaknya mulai terganggu paska ditinggal Rosalyn, tetapi … pelukan kedua buah hati begitu nyata. Ia dapat merasakan kasih sayang anak-anaknya.“Roslayn lihatlah! Aku tersiksa kehilangan
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh