“Apa yang salah?” Seorang pria menghampiri perempuan berperut buncit. “Bagaimana keadaan anakku, Vinsensia?”“Ka-kamu kenapa ada di sini? Apa ini perintah adikmu yang mengaku-aku kaya itu? Kevin kamu menjijikkan sekali bergantung hidup pada wanita.”“Aku saja baru tahu kalau selama ini dia memiliki identitas lain sebagai Talicia Schmid.” Pria itu tertawa hambar dan bola matanya terkunci pada perut perempuan itu.Vinsensia geleng-geleng kepala tidak memercayai ucapan Kevin. Saking malasnya berhubungan dengan semua orang yang telah membuat hidupnya hancur, perempuan itu memanggil petugas agar membawanya ke mobil tahanan.“Sejauh apa pun kamu kabur, ingatlah anak dalam perutmu itu milikku! Ada darahku mengalir di tubuhnya!” teriak Kevin.Untunglah ruangan ini cukup sepi sehingga tidak banyak orang akan terganggu. Sedangkan Vinsensia mengepalkan tangan, sebelum masuk dalam mobil kepalanya menoleh dan tersenyum kecut.“Dia memang anakmu tapi lebih baik kujual saja daripada hidup bersama ay
“Bagaimana bisa seperti ini Fabian?” Pertanyaan Rosalyn terlontar pada Fabian sembari menatap punggung pria berjas putih serta beberapa orang perawat.Perempuan pemilik mata almond itu terkejut ketika Fabian memberi infomasi bahwa Dewa saat ini ada di bangsal gawat darurat. Sesuai dugaan, Dewa belum bisa meninggalkan rumah sakit lantaran kondisi yang tidak memungkinkan.Bos Cwell Grup itu terkapar di atas ranjang pasien. Dokter telah memberikan dua suntikan obat salah satunya pereda nyeri sebab Dewa selalu merintih kesakitan.“Seharusnya kamu melarang bukan malah mendukungnya!” cerca Rosalyn.“Ya, besok aku tidak akan membantunya lagi.” Fabian menghela napas sebab selalu salah di antara suami istri ini.Selanjutnya teman kecil Rosalyn itu memberikan satu kotak kecil dari saku celana. Roslayn terheran-heran sebab untuk apa Fabian memberinya hadiah di waktu genting begini.“Ini apa?” tunjuk jemari ramping nan mulus.“Terimalah. Ini—”Rosalyn menolak, “Apa kamu gila? Aku ini istri orang!”
Di ruang makan tahanan khusus wanita, Vinsensia sedang melamun sambil memandangi wadah berisi aneka lauk di depannya. Wajahnya tampak kuyu paska persidangan kemarin, bahkan tadi malam tidak bisa tidur.“Aku pikir bisa menjadi pemenang, ternyata masa lalu kalah dari masa depan,” gumam Vinsensia.Perempuan itu juga teringat bagaimana Dewa bersikukuh menjebloskannya ke balik jeruji besi. Padahal ia sedang mengandung, tetapi tidak ada belas kasihan setitik debu pun dari Dewa.Vinsensia menunduk lalu menangis. “Aku ingin bebas. Kalau saja aku tidak membayar orang untuk mencelakai Rosalyn, pasti akhirnya tidak begini. Dewa juga tidak akan bersimpati pada Rosalyn. Mungkin sekarang… aku dan Dewa sudah menikah.”Meskipun menyesali perbuatan di masa lalu, tetapi lubuk hati perempuan itu tidak merelakan Dewa hidup bahagia bersama wanita lain terutama Rosalyn. Bisa-bisanya sosok yang baru dikenal langsung menerima perhatian dari b
Tubuh Rosalyn tersentak mendapat pelukan ini. Pikiran dan jiwanya melayang seolah-olah terhempas dari raga. Bola mata wanita itu melirik ke samping menatap seorang pria paruh baya yang mengangguk halus padanya. “Rosalyn … akhirnya kita bertemu lagi,” kata seorang wanita. Bahkan saat ini Rosalyn dapat merasakan bahunya menjadi lembab. Tanpa bertanya ia tahu bahwa wanita yang memeluknya sedang menumpahkan air mata. Ia ingin mengurai pelukan tetapi lubuk hatinya melarang dan otaknya pun mendadak buntu. “Aku pikir kamu kembali ke Kota Milan,” sambung orang itu lagi. Beberapa saat kemudian, Rosalyn sedikit menjauhkan badan dari sosok yang memeluknya. Ia memperhatikan keadaan orang di hadapannya. “Bagaimana keadaan Ibu dan Paman Felix?” Mathilda langsung mengusap dada sebab Rosalyn masih memanggil dengan sebutan ‘ibu’ sampai membuat wanita paruh baya menangis harus. “Kami sehat, argh!” Ucapan Felix terhenti sebab Mathilda menyikut kuat perut tambun pria sepuh itu. “Aku kemari melaku
Rosalyn tidak menjawab melainkan menggeser pandangan pada sang suami. Sorot mata hazel seolah meminta bantuan agar pria itu yang menanggapi pertanyaan.Dewa mengedipkan kelopak mata lantas bertutur dengan tegas, “Baik, kami bisa sewakan apartemen di kota.” Mathilda terbelalak mendengar ucapan sang menantu. Wanita paruh baya itu tersenyum hambar. Sedangkan Felix geleng-geleng kepala sebab istrinya malah mengejar sesuatu yang tidak pasti. “Kudengar rumah keluarga Keller sudah ditebus dari bank. Bukankah aku bisa tinggal di sana?” Mathilda melirik Felix yang memandang tajam ke arahnya.Rosalyn terbatuk kecil mendengar permintaan ibu sambun. Ia mengepalkan tangan sambil berjalan menuju ruang tamu. Tanpa diperintah pun Mathilda dan Felix mengkuti, tetapi tidak dengan Dewa yang diharuskan berbaring. Tidak hanya ketiga orang itu tetapi Feli juga duduk di sini.Tatapan sinis Mathilda tertuju pada Feli yang duduk dengan anggun sambil menyesap the hitam. “Bu?” panggil Rosalyn ketika tahu ib
‘Maaf, Papa tidak bisa menepati janji.’ Sepuluh hari sudah Dewa sendirian di kamar rawat ini. Tidak ada tingkah menggemaskan atau suara cempreng Arimbi. Ia juga lebih sering melamun menatap jendela dengan pemandangan pepohonan. Akan tetapi berbanding terbalik pada kondisi penghuni kamar, perasaan Dewa porak-poranda.“Dokter bilang Anda diizinkan pulang besok pagi.” Pandu menatap bosnya yang berwajah lesu.Dewa mengembus napas panjang. “Apa kamu sudah tahu bagaimana kabar Rosalyn dan anak-anakku?” Pandu menggelengkan kepala sembari menundukkan kepala. “Setelah mendapat apa yang dia mau dan butuhkan, tega sekali meninggalkanku sendirian.” Dewa memijat pelipis yang terasa berdenyut setiap kali memikirkan Rosalyn. Ia berujar lirih, “Sepuluh hari ini kami tidak melakukan komunikasi apa pun.” “Saya sudah mencarinya tapi tidak ketemu Pak. Saya akan mencobanya lagi,” sahut Pandu diiringi ekspresi bersalah.“Tidak perlu. Past
“Arimbi? Brahma?” panggil Dewa dengan tatapan berbinar.Dikarenakan tidak ada tanggapan apa pun, ia sadar diri bahwa ini sekadar halusinasi belaka. Dewa tersenyum getir karena menjadi gila. Ia kembali melangkah menaiki anak tangga.Ketika tangannya memegang handle pintu kamar utama, entah mengapa debar jantung pria itu berubah cepat. Bahkan kepala Dewa dipenuhi oleh bayang-bayang senyum manis Rosalyn di dalam sana.“Aku harus menemui psikiater! Rosalyn membuatku tidak waras!” geramnya.Kemudian ia membuka pintu dan ….“Hore Papa sudah pulang!”Dewa mematung di ambang pintu kala mendapati dua anak kembarnya berlari menghampiri. Ia masih bergeming padahal Brahma dan Arimbi memeluk erat pinggangnya.“Arimbi senang Papa sudah sehat.”“Selamat datang di Vila Caldwell Papa,” timpal Brahma.Dewa semakin yakin otaknya mulai terganggu paska ditinggal Rosalyn, tetapi … pelukan kedua buah hati begitu nyata. Ia dapat merasakan kasih sayang anak-anaknya.“Roslayn lihatlah! Aku tersiksa kehilangan
“Karena kamu.” Rosalyn menjawab malu-malu.“Aku?” Dewa menunjuk dirinya.Rosalyn mengangguk cepat, gerakan pelan pada kelopak matanya menambah pesona wanita itu. Dewa tersenyum menggoda dan mencubit lembut puncak hidung mancung.“Benar karena aku?” tanya pria itu lagi.“Ya. Bukankah sudah kubilang memberimu kesempatan? Jadi … buktikanlah kamu bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anak. Jangan bikin mereka kecewa lagi.” Rosalyn menatap dalam paras rupawan sang suami.Sebenarnya ada satu alasan yang tidak bisa dirangkai dengan kata-kata. Rosalyn terlalu malu mengakui perasaannya. Ia baru menyadari ketika Dewa menghilang selama beberapa jam dan membuatnya cemas hingga lemas.Rosalynn membatin, ‘Setelah lima tahun berpisah, perasaan itu masih ada. Dewa, engga semudah itu melupakan kamu.’Dari bawah selimut, tangan Dewa merayap melingkari pinggang mulus lalu menyentuh lemb