‘Maaf, Papa tidak bisa menepati janji.’
Sepuluh hari sudah Dewa sendirian di kamar rawat ini. Tidak ada tingkah menggemaskan atau suara cempreng Arimbi. Ia juga lebih sering melamun menatap jendela dengan pemandangan pepohonan. Akan tetapi berbanding terbalik pada kondisi penghuni kamar, perasaan Dewa porak-poranda.“Dokter bilang Anda diizinkan pulang besok pagi.” Pandu menatap bosnya yang berwajah lesu.Dewa mengembus napas panjang. “Apa kamu sudah tahu bagaimana kabar Rosalyn dan anak-anakku?”Pandu menggelengkan kepala sembari menundukkan kepala.“Setelah mendapat apa yang dia mau dan butuhkan, tega sekali meninggalkanku sendirian.” Dewa memijat pelipis yang terasa berdenyut setiap kali memikirkan Rosalyn. Ia berujar lirih, “Sepuluh hari ini kami tidak melakukan komunikasi apa pun.”“Saya sudah mencarinya tapi tidak ketemu Pak. Saya akan mencobanya lagi,” sahut Pandu diiringi ekspresi bersalah.“Tidak perlu. Past“Arimbi? Brahma?” panggil Dewa dengan tatapan berbinar.Dikarenakan tidak ada tanggapan apa pun, ia sadar diri bahwa ini sekadar halusinasi belaka. Dewa tersenyum getir karena menjadi gila. Ia kembali melangkah menaiki anak tangga.Ketika tangannya memegang handle pintu kamar utama, entah mengapa debar jantung pria itu berubah cepat. Bahkan kepala Dewa dipenuhi oleh bayang-bayang senyum manis Rosalyn di dalam sana.“Aku harus menemui psikiater! Rosalyn membuatku tidak waras!” geramnya.Kemudian ia membuka pintu dan ….“Hore Papa sudah pulang!”Dewa mematung di ambang pintu kala mendapati dua anak kembarnya berlari menghampiri. Ia masih bergeming padahal Brahma dan Arimbi memeluk erat pinggangnya.“Arimbi senang Papa sudah sehat.”“Selamat datang di Vila Caldwell Papa,” timpal Brahma.Dewa semakin yakin otaknya mulai terganggu paska ditinggal Rosalyn, tetapi … pelukan kedua buah hati begitu nyata. Ia dapat merasakan kasih sayang anak-anaknya.“Roslayn lihatlah! Aku tersiksa kehilangan
“Karena kamu.” Rosalyn menjawab malu-malu.“Aku?” Dewa menunjuk dirinya.Rosalyn mengangguk cepat, gerakan pelan pada kelopak matanya menambah pesona wanita itu. Dewa tersenyum menggoda dan mencubit lembut puncak hidung mancung.“Benar karena aku?” tanya pria itu lagi.“Ya. Bukankah sudah kubilang memberimu kesempatan? Jadi … buktikanlah kamu bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anak. Jangan bikin mereka kecewa lagi.” Rosalyn menatap dalam paras rupawan sang suami.Sebenarnya ada satu alasan yang tidak bisa dirangkai dengan kata-kata. Rosalyn terlalu malu mengakui perasaannya. Ia baru menyadari ketika Dewa menghilang selama beberapa jam dan membuatnya cemas hingga lemas.Rosalynn membatin, ‘Setelah lima tahun berpisah, perasaan itu masih ada. Dewa, engga semudah itu melupakan kamu.’Dari bawah selimut, tangan Dewa merayap melingkari pinggang mulus lalu menyentuh lemb
“Sayang … salahku di mana?” Dewa mencekal pergelangan tangan Rosalyn yang hendak turun dari pembaringan.Rosalyn menoleh pada Dewa tetapi raut wajahnya judes dan tatapannya sangat tajam.“Salahmu banyak. Lepas! Aku mau mandi.” Rosalyn menyentak tangannya dengan kuat sehingga Dewa meringis.Paska mendengar penuturan Dewa tentang Vinsensia, semalaman Rosalyn ngambek. Bahkan wanita itu berbaring di tepi ranjang, menciptakan jarak jauh dari suaminya.“Kamu cemburu? Aku jujur salah nanti bohong juga salah. Aku harus gemana?”Bukannya menjawab, Rosalyn malah melengos ke dalam kamar mandi. Dari atas kasur Dewa terheran-heran karena tidak biasanya wanita itu sensitif. Dahulu, Rosalyn tidak pernah semarah ini tetapi sekarang sangat menyeramkan.“Kalau luka bekas operasi sudah sembuh kususul dia ke kamar mandi. Sayangnya masih sakit,” gumam pria itu sambil menyandarkan punggung.Beberapa menit berlalu Rosalyn telah selesai, dan berjalan mendekati meja rias. Tubuh moleknya tertutup oleh balutan j
“Selamat pagi Ratu.” Dewa tersenyum ramah sembari membuka pintu kamar.Sedangkan dari atas tempat tidur, dahi Rosalyn mengerut dalam. Selain sapaan pagi yang menggelikan, netra hazelnya juga menangkap penampilan tak biasa dari Dewa. Suaminya ini jauh lebih tampan dan berkharismatik.Padahal tidak ada yang aneh, selain mengenakan kemeja hitam dan celana panjang dengan warna sama. Entah mengapa Rosalyn menilainya jauh berbeda. Apa ini yang dinamakan cinta? Ah rasanya aneh karena ia bukanlah remaja lagi.“Ratu apanya?” kata Rosalyn sebisa mungkin menahan rona merah pada pipi.“Ya kamu Sayang, Ratu di rumah ini dan ….” Dewa meletakkan nampan sarapan lalu naik ke atas pembaringan. Pria itu menaruh telapak tangan Rosalyn di depan dada yang tidak tertutup sepenuhnya oleh kemeja karena Dewa sengaja membuka tiga kancing. “Di sini,” sambungnya.“Apa-apaan kamu ini? Masih pagi sudah tidak waras.&rdq
“Ada apa ini?” Dewa menatap dua wanita yang tengah bersitegang.Rosalyn berjalan menghampiri Dewa, ia menunjukkan diri sebagai istri sah sekaligus sosok yang dicintai pria itu. Telapak tangan lembutnya mengusap-usap dada bidang seraya tersenyum ramah.“Tidak ada apa-apa, kami Cuma mengobrol.” Kemudian pandangan Rosalyn bergeser pada Olla dan berujar penuh penekanan, “Benar ‘kan Bu Olla?”Manajer mengangguk sungkan lalu menundukkan kepala ketika Rosalyn mengecup bibir Dewa dan disambut suka oleh presdir rupawan.“Pak Dewa, Nyonya Rosalyn … saya sudah menaruh laporannya di meja. Permisi.”Netra hazel tidak lepas memandang wanita penggoda itu sampai ke luar ruangan. Setelahnya Rosalyn menutup dan mengunci pintu ruang kerja presdir.Dewa merentangkan tangan tetapi Rosalyn membalasnya dengan tatapan tajam dan wajah garang. Kedua tangan Dewa kini merangkum pipi kenyal Rosalyn.&ld
Di dalam restoran.“Nicola, aku pamit.” Fabian tersenyum lembut pada perempuan cantik yang kebingungan menatapnya.“Kak Fabian apa maksudnya? Kata Papaku, kita harus saling mengenal sebelum pertunangan.” Nicola berdiri dan mengamati paras tampan Fabian.“Saling mengenal bukan untuk menikah tapi menambah kawan.” Fabian memperlakukan Nicola seperti anak kecil. Ia mengusak puncak rambut pirang. Perempuan itu memang anak rekan bisnis Mauer Corp. Usianya juga masih belia, Fabian tidak mau memberi harapan palsu.Kaki panjang Fabian melangkah lebar meninggalkan restoran. Bahkan ia mematikan telepon genggam. Tentu saja alasannya karena tidak mau mendapat ribuan pertanyaan dari Feli. Untuk saat ini Fabian ingin menyendiri. Pria itu tidak kembali ke kantor melainkan menepikan kendaraannya di sekitar Danau Zurich. Sembari berteman embusan angin serta sekaleng kopi, Fabian duduk memandangi orang berlalu-lalang.“Rosalyn,” gumamnya
“Cintaku hanya untuk Rosalyn, Bu. Maaf, aku tidak bisa membuka hati.” Fabian kembali mengecup pelipis Feli lalu beranjak menaiki anak tangga. Dari bawah, Feli mengamati putra angkatnya yang melangkah lesu. “Ibu siap melamar Anna. Dia gadis yang baik. Ibu merestui pilihanmu asalkan bukan istri orang,” teriak wanita paruh baya itu. Namun Fabian menulikan telinga dan terus melangkah tanpa henti. Pria itu membuka dasi serta kemeja lalu melangkah ke kamar mandi. Membiarkan tubuhnya basah oleh air dingin. Benak Fabian juga dipenuhi oleh senyum manis dan merdunya suara Rosalyn. “Susah sekali melupakanmu Rosalyn,” gumamnya. Selesai mandi ia berdiri di balkon sembari meneguk minuman berwarna putih beraroma pekat. Kala menatap langit jingga Fabian mendengar ponsel bergetar di atas meja. Gegas ia menerima panggilan masuk. “Ya Rosalyn ada apa?” “Apa kamu sibuk?” “Tidak.” Fabian tersenyum simpul mendengar suara indah yang selalu dirindukan. “Begini, ada masalah konstruksi yang ingin
“Anna, tolong bantu aku bawa kuenya ke taman ya.” Rosalyn tersenyum sembari melangkah menuju pintu samping vila.Sedangkan Anna terheran-heran karena baru saja datang, langsung diberi perintah membawa kue. Bahkan gadis itu tidak tahu di mana kue yang dimaksud Rosalyn. Pada akhirnya, Anna berjalan sendirian ke dapur.Sepi tidak ada orang, tetapi Anna melihat lemari pendingin terbuka. Gegas gadis itu mendekat dan … mendapati seorang pria berambut cepak sedang berjongkok seraya memilah buah jeruk.“Pak Fabian?” sapa Anna.Fabian mengangkat pandangan secara perlahan. Bola mata cokelatnya memindai penampilan Anna dari ujung kaki sampai ujung kepala. Bos Mauer Corp ini terpaku melihat betapa anggun perempuan di hadapannya.Tadi Feli sempat memerintah putranya membawa buah jeruk ke taman.“Anna? Kenapa ke sini?” Pertanyaan Fabian terlontar seolah-olah Anna tidak layak menginjakkan kaki di vila.“Rosalyn mengundangku. Kebetulan hari ini aku tidak ada jadwal penting.” Anna berusaha menghindari
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh