Di ruang makan tahanan khusus wanita, Vinsensia sedang melamun sambil memandangi wadah berisi aneka lauk di depannya. Wajahnya tampak kuyu paska persidangan kemarin, bahkan tadi malam tidak bisa tidur.
“Aku pikir bisa menjadi pemenang, ternyata masa lalu kalah dari masa depan,” gumam Vinsensia.
Perempuan itu juga teringat bagaimana Dewa bersikukuh menjebloskannya ke balik jeruji besi. Padahal ia sedang mengandung, tetapi tidak ada belas kasihan setitik debu pun dari Dewa.
Vinsensia menunduk lalu menangis. “Aku ingin bebas. Kalau saja aku tidak membayar orang untuk mencelakai Rosalyn, pasti akhirnya tidak begini. Dewa juga tidak akan bersimpati pada Rosalyn. Mungkin sekarang… aku dan Dewa sudah menikah.”
Meskipun menyesali perbuatan di masa lalu, tetapi lubuk hati perempuan itu tidak merelakan Dewa hidup bahagia bersama wanita lain terutama Rosalyn. Bisa-bisanya sosok yang baru dikenal langsung menerima perhatian dari b
Tubuh Rosalyn tersentak mendapat pelukan ini. Pikiran dan jiwanya melayang seolah-olah terhempas dari raga. Bola mata wanita itu melirik ke samping menatap seorang pria paruh baya yang mengangguk halus padanya. “Rosalyn … akhirnya kita bertemu lagi,” kata seorang wanita. Bahkan saat ini Rosalyn dapat merasakan bahunya menjadi lembab. Tanpa bertanya ia tahu bahwa wanita yang memeluknya sedang menumpahkan air mata. Ia ingin mengurai pelukan tetapi lubuk hatinya melarang dan otaknya pun mendadak buntu. “Aku pikir kamu kembali ke Kota Milan,” sambung orang itu lagi. Beberapa saat kemudian, Rosalyn sedikit menjauhkan badan dari sosok yang memeluknya. Ia memperhatikan keadaan orang di hadapannya. “Bagaimana keadaan Ibu dan Paman Felix?” Mathilda langsung mengusap dada sebab Rosalyn masih memanggil dengan sebutan ‘ibu’ sampai membuat wanita paruh baya menangis harus. “Kami sehat, argh!” Ucapan Felix terhenti sebab Mathilda menyikut kuat perut tambun pria sepuh itu. “Aku kemari melaku
Rosalyn tidak menjawab melainkan menggeser pandangan pada sang suami. Sorot mata hazel seolah meminta bantuan agar pria itu yang menanggapi pertanyaan.Dewa mengedipkan kelopak mata lantas bertutur dengan tegas, “Baik, kami bisa sewakan apartemen di kota.” Mathilda terbelalak mendengar ucapan sang menantu. Wanita paruh baya itu tersenyum hambar. Sedangkan Felix geleng-geleng kepala sebab istrinya malah mengejar sesuatu yang tidak pasti. “Kudengar rumah keluarga Keller sudah ditebus dari bank. Bukankah aku bisa tinggal di sana?” Mathilda melirik Felix yang memandang tajam ke arahnya.Rosalyn terbatuk kecil mendengar permintaan ibu sambun. Ia mengepalkan tangan sambil berjalan menuju ruang tamu. Tanpa diperintah pun Mathilda dan Felix mengkuti, tetapi tidak dengan Dewa yang diharuskan berbaring. Tidak hanya ketiga orang itu tetapi Feli juga duduk di sini.Tatapan sinis Mathilda tertuju pada Feli yang duduk dengan anggun sambil menyesap the hitam. “Bu?” panggil Rosalyn ketika tahu ib
‘Maaf, Papa tidak bisa menepati janji.’ Sepuluh hari sudah Dewa sendirian di kamar rawat ini. Tidak ada tingkah menggemaskan atau suara cempreng Arimbi. Ia juga lebih sering melamun menatap jendela dengan pemandangan pepohonan. Akan tetapi berbanding terbalik pada kondisi penghuni kamar, perasaan Dewa porak-poranda.“Dokter bilang Anda diizinkan pulang besok pagi.” Pandu menatap bosnya yang berwajah lesu.Dewa mengembus napas panjang. “Apa kamu sudah tahu bagaimana kabar Rosalyn dan anak-anakku?” Pandu menggelengkan kepala sembari menundukkan kepala. “Setelah mendapat apa yang dia mau dan butuhkan, tega sekali meninggalkanku sendirian.” Dewa memijat pelipis yang terasa berdenyut setiap kali memikirkan Rosalyn. Ia berujar lirih, “Sepuluh hari ini kami tidak melakukan komunikasi apa pun.” “Saya sudah mencarinya tapi tidak ketemu Pak. Saya akan mencobanya lagi,” sahut Pandu diiringi ekspresi bersalah.“Tidak perlu. Past
“Arimbi? Brahma?” panggil Dewa dengan tatapan berbinar.Dikarenakan tidak ada tanggapan apa pun, ia sadar diri bahwa ini sekadar halusinasi belaka. Dewa tersenyum getir karena menjadi gila. Ia kembali melangkah menaiki anak tangga.Ketika tangannya memegang handle pintu kamar utama, entah mengapa debar jantung pria itu berubah cepat. Bahkan kepala Dewa dipenuhi oleh bayang-bayang senyum manis Rosalyn di dalam sana.“Aku harus menemui psikiater! Rosalyn membuatku tidak waras!” geramnya.Kemudian ia membuka pintu dan ….“Hore Papa sudah pulang!”Dewa mematung di ambang pintu kala mendapati dua anak kembarnya berlari menghampiri. Ia masih bergeming padahal Brahma dan Arimbi memeluk erat pinggangnya.“Arimbi senang Papa sudah sehat.”“Selamat datang di Vila Caldwell Papa,” timpal Brahma.Dewa semakin yakin otaknya mulai terganggu paska ditinggal Rosalyn, tetapi … pelukan kedua buah hati begitu nyata. Ia dapat merasakan kasih sayang anak-anaknya.“Roslayn lihatlah! Aku tersiksa kehilangan
“Karena kamu.” Rosalyn menjawab malu-malu.“Aku?” Dewa menunjuk dirinya.Rosalyn mengangguk cepat, gerakan pelan pada kelopak matanya menambah pesona wanita itu. Dewa tersenyum menggoda dan mencubit lembut puncak hidung mancung.“Benar karena aku?” tanya pria itu lagi.“Ya. Bukankah sudah kubilang memberimu kesempatan? Jadi … buktikanlah kamu bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anak. Jangan bikin mereka kecewa lagi.” Rosalyn menatap dalam paras rupawan sang suami.Sebenarnya ada satu alasan yang tidak bisa dirangkai dengan kata-kata. Rosalyn terlalu malu mengakui perasaannya. Ia baru menyadari ketika Dewa menghilang selama beberapa jam dan membuatnya cemas hingga lemas.Rosalynn membatin, ‘Setelah lima tahun berpisah, perasaan itu masih ada. Dewa, engga semudah itu melupakan kamu.’Dari bawah selimut, tangan Dewa merayap melingkari pinggang mulus lalu menyentuh lemb
“Sayang … salahku di mana?” Dewa mencekal pergelangan tangan Rosalyn yang hendak turun dari pembaringan.Rosalyn menoleh pada Dewa tetapi raut wajahnya judes dan tatapannya sangat tajam.“Salahmu banyak. Lepas! Aku mau mandi.” Rosalyn menyentak tangannya dengan kuat sehingga Dewa meringis.Paska mendengar penuturan Dewa tentang Vinsensia, semalaman Rosalyn ngambek. Bahkan wanita itu berbaring di tepi ranjang, menciptakan jarak jauh dari suaminya.“Kamu cemburu? Aku jujur salah nanti bohong juga salah. Aku harus gemana?”Bukannya menjawab, Rosalyn malah melengos ke dalam kamar mandi. Dari atas kasur Dewa terheran-heran karena tidak biasanya wanita itu sensitif. Dahulu, Rosalyn tidak pernah semarah ini tetapi sekarang sangat menyeramkan.“Kalau luka bekas operasi sudah sembuh kususul dia ke kamar mandi. Sayangnya masih sakit,” gumam pria itu sambil menyandarkan punggung.Beberapa menit berlalu Rosalyn telah selesai, dan berjalan mendekati meja rias. Tubuh moleknya tertutup oleh balutan j
“Selamat pagi Ratu.” Dewa tersenyum ramah sembari membuka pintu kamar.Sedangkan dari atas tempat tidur, dahi Rosalyn mengerut dalam. Selain sapaan pagi yang menggelikan, netra hazelnya juga menangkap penampilan tak biasa dari Dewa. Suaminya ini jauh lebih tampan dan berkharismatik.Padahal tidak ada yang aneh, selain mengenakan kemeja hitam dan celana panjang dengan warna sama. Entah mengapa Rosalyn menilainya jauh berbeda. Apa ini yang dinamakan cinta? Ah rasanya aneh karena ia bukanlah remaja lagi.“Ratu apanya?” kata Rosalyn sebisa mungkin menahan rona merah pada pipi.“Ya kamu Sayang, Ratu di rumah ini dan ….” Dewa meletakkan nampan sarapan lalu naik ke atas pembaringan. Pria itu menaruh telapak tangan Rosalyn di depan dada yang tidak tertutup sepenuhnya oleh kemeja karena Dewa sengaja membuka tiga kancing. “Di sini,” sambungnya.“Apa-apaan kamu ini? Masih pagi sudah tidak waras.&rdq
“Ada apa ini?” Dewa menatap dua wanita yang tengah bersitegang.Rosalyn berjalan menghampiri Dewa, ia menunjukkan diri sebagai istri sah sekaligus sosok yang dicintai pria itu. Telapak tangan lembutnya mengusap-usap dada bidang seraya tersenyum ramah.“Tidak ada apa-apa, kami Cuma mengobrol.” Kemudian pandangan Rosalyn bergeser pada Olla dan berujar penuh penekanan, “Benar ‘kan Bu Olla?”Manajer mengangguk sungkan lalu menundukkan kepala ketika Rosalyn mengecup bibir Dewa dan disambut suka oleh presdir rupawan.“Pak Dewa, Nyonya Rosalyn … saya sudah menaruh laporannya di meja. Permisi.”Netra hazel tidak lepas memandang wanita penggoda itu sampai ke luar ruangan. Setelahnya Rosalyn menutup dan mengunci pintu ruang kerja presdir.Dewa merentangkan tangan tetapi Rosalyn membalasnya dengan tatapan tajam dan wajah garang. Kedua tangan Dewa kini merangkum pipi kenyal Rosalyn.&ld