"Kak Mery?"Mery menoleh, sementara Arga membuang napas berat."Eh, Syifa? Sini-sini, duduk sama kakak." Mery menepuk space kosong di sampingnya.Syifa tengah berdiri tidak jauh sambil merekah senyum. Gadis berkepang itu kemudian mendekat bersama boneka teddy bearnya.Arga hanya bisa menghela berat, padahal sore ini ia berniat menghabiskan waktu bersama Mery. Tapi, enyahlah niat itu karena ada Syifa di sini."Kak Mery lagi pacaran ya di sini? Hayo ngaku ... " goda Syifa, matanya memicing, sementara Arga terkekeh.Pipi Mery memerah malu. "Eng ... enggak kok. Kakak mampir aja tadi beli es-krim. Terus karena capek, kita milih duduk deh.""Oh. Terus kakak ini ... siapa
Usai dua puluh menit meramaikan taman kota Bandung dengan nyanyiannya, Arga mengajak Mery pulang, cewek itu tampak sudah kelelahan. Jelas, terlihat dari pelipis Mery yang terus menitikkan keringat.Kini, mereka sudah dalam perjalanan, menggunakan motor cowok itu. Seperti biasa, Mery akan bersandar di bahu Arga sambil menempelkan pipinya."Pacar, pulangnya ke rumah kamu aja, ya. Papa pasti lembur malam lagi. Aku takut sendirian di rumah," rengek Mery. Dia melingkarkan tangan di perut Arga.Arga menjawab dengan anggukan, dia memelankan laju motor saat melirik kaca spion—mendapati Mery mulai memejamkan mata. Dia tahu, Mery pasti akan memulai aksi tidurnya.Arga menghela napas, sebulan semenjak kematian Hana, dia merasakan banyak hal yang berubah dari Mery. Mulai dari penampilan cewek itu, sikap, hingga perilaku yang awalnya urakan menjadi sedikit teladan.Tidak masalah, jika itu yang terbaik untuk
Jatuh dan cinta adalah dua hal berbeda, namun keduanya sama-sama menghasilkan luka.•••Arga mengacak rambutnya frustasi saat menuruni tangga, tergesa-gesa ia meraih kunci motor di nakas ruang tamu. Ia yakin Mery marah dan sakit hati, tapi ketahuilah, Arga mengatakan itu saat emosi, wajar ia tidak bisa mengontrol diri.Ketika sampai di teras Arga berpapasan dengan mamanya, Anggie terlihat sibuk mengusap punggung tangan. Arga mengernyit melihat hal itu, kadang mengusap kadang mencium punggung tangannya sendiri, Arga jadi bingung apa yang mamanya lakukan."Ma, Mery tadi bilang apa?" tanya Arga.Anggie tersadar, ia buru-buru menyimpan tangan. "Oh-eh, Mery? Mau pulang katanya, takut Om Riko nyariin, memangnya kenapa?""Pulang?" Arga mengernyit. "Om Riko lembur malam ini, nggak mun
Cinta sama seperti keadaan, kita nggak bisa maksa keadaan itu sendiri mengikuti posisi kita. Tapi, kita sendiri yang harus pintar mengatur posisi agar keadaan nggak menyebabkan kesalahpahaman.•••Keesokan harinya...Mata Mery perlahan membuka, cahaya dari gorden yang disingkap membuat cewek itu silau, kepalanya masih pening, mungkin efek alkohol malam tadi yang belum hilang.Beralih ke mata cewek itu yang terlihat bengkak efek menangis semalaman. Ia tidak bisa tidur nyenyak, sesekali meracaukan nama Arga lalu menangis sesegukan.Ingatannya pun masih belum penuh, Mery hanya ingat ketika Arga mencium bibirnya, lalu membawanya ke mobil, setelah itu... ia tidak ingat apa-apa lagi.Rasanya sakit jika harus mengingat semua, tak mau ambil pusing, Mery bersandar pada
Kata rindu itu nyata, tidak bisa disembunyikan, tidak bisa dihilangkan, ia hanya ingin kamu melepaskan semua rasa yang pernah ada, agar semua kenangan itu tertulis kembali dalam sebuah cerita.-Paracetalove-•••Perasaan canggung kembali menghampiri ketika Mery duduk di boncengan motor Arga. Ia berdehem singkat, suasana jalan begitu padat, berpotensi bagi mereka berdua telat.Entah itu saat Arga merem motornya secara mendadak, atau tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Perasaan canggung sekaligus bimbang itu kembali. Pagi ini keduanya berangkat bersama, meski jauh dalam lubuk hati mereka, ada rasa bersalah mendera.Sebab kini, tangan Mery ragu-ragu meraih ujung seragam Arga untuk berpegangan. Bersamaan itu pula Arga merem mendadak, membuat jidat Mery mentok di bahu lebar cowok itu.
Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan.—Arga Adyasta—•••Mery bingung harus bereaksi seperti apa, di satu sisi hatinya menghangat sementara di sisi lain ia masih kecewa. Jujur, ada rasa takut saat Arga menggebrak meja yang membuat penghuni kantin menghentikan aktivitas mereka dan memilih menatap Arga.Dari dadanya yang naik turun, napasnya yang tersengal, hidungnya yang kembang kempis. Bahkan, kuku Arga seperti menancap pada mangkok bakso yang ia bawa. Dirundung rasa takut, Mery berjalan sambil menatap ke bawah hingga tanpa sadar jidatnya mentok ke bahu lebar cowok itu.Entah berapa kali sudah Mery meringis, jidatnya terasa ngilu. Tapi aneh, bahu Arga tidak mungkin sekeras itu. Arga termasuk cowok yang menjaga postur tubuh. Meski baru kelas sebelas, otot-otot di lengannya sudah menonjol, dan jangan lupa
Maaf, jika selama ini aku salah. Terlalu mengekangmu, terlalu sering menyakitimu, sampai aku sadar bahwa perlahan-lahan cinta yang kita jaga, hubungan yang kita jalani, terasa begitu hampa. —Paracetalove—•••"Cemburu?" Arga menoleh ke belakang, mendapati seorang cowok jangkung bertinggi badan sama dengannya menyunggikan senyum tipis. "Dirga?'"Hello, masih ingat gue nggak? Temen sepopok lo waktu kecil?"Bagaimana Arga bisa lupa, jika yang berdiri sekarang tidak lain adalah Dirga Refan Aldresta—sepupunya."Ingat." Arga menjawab seadanya, dia meraih bahu Dirga dan memeluknya. "Ngapain lo di sini?""Ya pengen ketemu lo lah, sob! emang ngapain lagi gue ke sini?""Kirain ng
Kita hanya sebatas rindu yang berujung temu.—Paracetalove—•••"Selamat malam, Om."Riko mengernyitkan dahi, mendapati cowok berhoodie putih datang ke rumahnya malam-malam seperti ini."Mau ketemu siapa?" tanya Riko ketus.Arga meneguk salivanya kasar, ini pertama kali ia berinteraksi dengan Riko. Rasanya gugup, tentu, dalam dua bulan menjalani hubungan dengan Mery. Arga sangat jarang melihat pria itu di rumah."Saya mau ketemu Mery, Om. Boleh?" tanyanya, alis Riko bertaut tanda tidak suka, melihat itu Arga buru-buru berkata, "Cuma sebentar, saya janji nggak akan ganggu Mery belajar."Riko