Maaf, jika selama ini aku salah. Terlalu mengekangmu, terlalu sering menyakitimu, sampai aku sadar bahwa perlahan-lahan cinta yang kita jaga, hubungan yang kita jalani, terasa begitu hampa.
—Paracetalove—
•••"Hello, masih ingat gue nggak? Temen sepopok lo waktu kecil?"
Bagaimana Arga bisa lupa, jika yang berdiri sekarang tidak lain adalah Dirga Refan Aldresta—sepupunya.
"Ingat." Arga menjawab seadanya, dia meraih bahu Dirga dan memeluknya. "Ngapain lo di sini?"
"Ya pengen ketemu lo lah, sob! emang ngapain lagi gue ke sini?"
"Kirain ngasih makan anjing," celetuk Arga. Dirga terkekeh, dia merangkul bahu sepupunya.
"Anjing pala lo! Gaba udah mati kali, tiga tahun gue tinggalin udah jadi mayat di apartemen, ahahaha."
Arga mendengus berat, Dirga memang tidak berubah sejak dulu, cowok itu masih petakilan, masih memakai anting sebelah kanan, rambutnya yang disemir pirang membuatnya seperti anak jalanan.
Padahal Dirga baru saja menyelesaikan sekolahnya di Amerika, anak pertama bibinya itu malah terlihat seperti anak tak berpendidikan. Toh, apa peduli Arga? Yang dipikirannya sekarang hanyalah Mery. Kedatangan Dirga seperti bukan apa-apa lagi.
"Berisik gila!" Arga hendak beranjak dari sana, saat Dirga meredakan tawa.
"Yaelah, cowok kok ngambekan, banci kali, Yan," celetuk Dirga, lagi, dengan cengiran merangkul bahu Arga. "Seharusnya ya, lo itu nyambut kedatangan gue, sepupu terganteng lo ini, kayak dulu tuh, inget nggak? Gue baru dateng sekolah lo udah rengek-rengek minta permen, terus lo bagi-bagi ke Ana. Ahahaha."
Arga memutar kedua bola matanya jengah, ngomong-ngomong soal Hana ia tidak mau membahas hal itu.
"Duh, sakit perut gue ketawa, btw, Ana mana? Gue denger-denger, sih udah balik ke Indone—"
"Ana meninggal," sela Arga. Malas membahas, dia sengaja berjalan melewati Dirga.
"What?!" Dirga menangkup kedua pipinya dengan histeris. "Lo serius, Ga? Kok gue baru tau, sih?! Perasaan dua bulan yang lalu dia sehat-sehat aja. Terus cewek yang lo intipin tadi? OMG! Gue nggak ngerti."
"Yang lo liat tadi itu Mery, cewek gue!" tukas Arga, berhenti melangkah guna menatap Dirga.
Dirga menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Ehehe, kirain, cewek lo masa nebeng sama cowok lain?"
"Nggak tau," ketus Arga.
"Dih, kebiasaan ngomongnya ketus mulu! Atau bener ya kata gue tadi, lo cemburu?"
Cemburu? Tentu, dalam hatinya sangat sakit melihat Mery di antar oleh sahabatnya. Ia memang bodoh tidak bisa mengatur waktu. Terlalu egois mementingkan pekerjaan sendiri.
Tak usah ditanya, dari gelagat Arga yang memalingkan muka Dirga sudah tau jawabannya.
"Bener, 'kan, kata gue. Cowok itu memang pinter sembunyiin rasa cemburu dari cewek, tapi sama gue? Big no!" cetus Dirga, mendekat lalu mengusap bahu Arga.
Sebelah tangan Arga terkepal, ia ingin marah entah kenapa. Cowok itu enggan menatap Dirga.
"Gue sepupu lo. Nemenin lo dari pakai popok umur satu tahun, lo bisa hitung sendiri berapa lama kita sama-sama. Saat tante Anggie keluar, gue yang jagain lo. Bahkan saat pertama kali lo mimpi basah, lo ceritanya ke gue, sambil nangis lagi. Gimana gue nggak tau gelagat lo coba?" jelas Dirga.
Arga menahan senyum mengingat masa kecil mereka.Dirga mengacak rambut Arga. "Dan gue nggak nyangka lo udah gede, sob. Lo boleh cerita apa aja. Masalah cinta? Oke, lo percayain sama gue."
Ada sedikit dorongan dari dalam hati Arga untuk menceritakan semuanya ke Dirga, tapi, juga ada keraguan lain yang membuatnya menelan kalimatnya kembali.
"Oke kalo lo masih nggak mau cerita, gue cuma ngasih saran, kalo lo cinta sama dia, lo perjuangin, lo harus minta maaf meskipun nggak ada salah. Cewek itu rumit, Yan. Kadang kita sebagai cowok, nggak bisa ngadepin mereka pake logika. Tapi, pa ke pe ra sa an," jelas Dirga.
Lagi, Arga mencerna semua kalimat cowok itu. Ada benarnya juga. Merespon dengan senyuman, Arga menepuk bahu Dirga sekali, lalu melesat pergi menuju parkiran.
Dirga ternganga. "WOI, SEPUPU LAKNAT LO MAU KEMANA? ANTERIN GUE PULANG DULU!"
★★★
Malam yang indah. Setelah menyelesaikan makan malamnya bersama Riko—papanya, kini Mery bersila di kasur ditemani beberapa buku paket pelajaran yang akan diujikan esok hari.
Kedua telinganya tersumpal headset, menikmati alunan lagu korea berjudul Let's kill this love.
Ngomong-ngomong, esok hari terakhir ujian, waktu berlalu terasa begitu cepat. Mery senang, sangat senang, membayangkan hari berikutnya dilalui dengan kebebasan. Setidaknya bersama Arga.
Mery bersyukur dipertemukan dengan Arga membuatnya belajar banyak hal. Seperti belajar setiap malam, sholat tepat waktu, dan perlahan berusaha menjadi anak yang patuh kepada orang tua. Intinya, cowok itu telah berhasil merubah dirinya.
Suara pintu diketuk, mengalihkan perhatian Mery dari buku.
"Masuk."
Tidak lama Riko—papanya menyembulkan kepala dari celah pintu, tersenyum. "Lagi sibuk?"
"Engh …" Mery canggung menatap papanya. "Enggak juga, cuma belajar buat ujian esok."
"Oh, maaf ganggu, kalo gitu papa kelu—" Pintu hampir tertutup penuh, tapi secepat mungkin Mery turun dari kasur dan menahan Papanya.
"Jangan. Papa nggak ganggu, kok, kita bisa ngobrol sambil belajar. Ayo masuk!" ajak Mery, cewek yang memakai setelan tidur bermotif beruang itu menarik tangan papanya.
Riko tersenyum, tangannya terulur mengacak gemas rambut putrinya. Jarang sekali mereka tampak akrab seperti ini.
Menduduki kasur, Mery kembali memasang headset di kedua telinganya. Sementara Riko sibuk mengedar pandangannya ke penjuru kamar Mery, jujur, ada sakit tersendiri di hatinya mengingat jarang sekali mengunjungi kamar ini—atau lebih tepatnya tidak pernah sama sekali.
"Papa, papa, liat deh, Meli gambar kita semuaa, itu di dinding," tunjuk Mery, pada lukisan yang ia buat di tembok kamarnya.
Riko tersenyum, mengusap rambut putri kecilnya, "Ini kamu yang buat sayang?"
"Iya. Bagus, 'kan, Pa? Meli buatnya pakai kasih sayang sama cinta," jawab Mery, antusias, menunjuk lagi gambarannya. "Ini waktu kita piknik dua minggu yang lalu, telus ini yang ada ayunan, waktu kita ke taman kota," lanjutnya. Mengalungkan tangan ke leher Riko. "Kapan lagi ya kita ke sana?"
Riko tersenyum samar, berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya, "Maunya kapan?""Besok?" pinta Mery. "Boleh ya, besok pas banget hali minggu, Bunda pasti libul keljanya."
"Nggak bisa, sayang, Papa besok ada kerjaan di kantor," tolak Riko halus, mengusap pipi putrinya. "Minggu depan aja ya?"
"Nggak mau!" Mery cemberut. Ia bersedekap menatap Riko. "Pokoknya besok kita liburan! Sama Bunda! Nggak ada penolakan! Kemalen bilangnya minggu depan juga, besok udah minggu, Papa nggak boleh ingkal janji."
"Sayang," Riko berusaha membujuk putri kecilnya yang baru berusia lima tahun itu, "Kerjaan papa itu banyak, jadi, Meli harus ngerti juga kalo kita nggak punya banyak waktu buat liburan. Kalo Papa nggak kerja, gajih Papa pasti dipotong, nanti nggak punya uang, kita makan apa? Mending kamu belajar di rumah."
"Gitu aja telus," Mery tidak setuju, memalingkan mukanya dari Riko. "Kata Bunda uang nggak akan habis kalo kita nggak kelja sehali aja. Mely juga nggak pellu uang, Mely pelunya Bunda sama Papa!"
Memejamkan matanya sejenak, agar terhindar dari emosi, Riko memegang kedua lengan Mery, "Kamu nggak akan ngerti masalah ini, sayang, kamu masih kecil."
"Meli memang masih kecil, tapi Meli juga mau libulan sama Papa Bunda kayak temen-temen. Meli bosan belajal telus, Pa!"
"Mery!" Emosi Riko tak tertahan lagi, ia berdiri dan mencubit lengan Mery. "Kamu itu tahu apa, hah?! Papa ini capek kerja, kamu sebagai seorang anak, hanya perlu belajar dan buat papa bangga! Jangan harap selalu liburan kayak mereka!"
"Meli cuma pengen libulan, Pa. Hiks, kayak temen-temen."
"Diam kamu! Jangan menjawab!"
"MAS!"
Seruan Marina dari ambang pintu membuat keduanya menoleh, Riko refleks melepaskan cubitannya dari Mery, sementara gadis itu berlari menghampiri Marina dan memeluknya.
"Bundaa, hiks, Papa cubit Mely Bunda, sakittt," adu Mery.
Marina menggeleng kepala, tak habis pada Riko yang tega mencubit putrinya, ralat—putri mereka.
"Kamu apaan, sih, Mas?! Mery itu masih kecil, nggak seharusnya kamu cubit dia kayak tadi!" protes Marina.
Riko terkekeh. Ia menunjuk wajah Marina, "Justru karena dia masih kecil, harus diajarin caranya bersikap sopan. Bukan ngebentak!"
"Benar kamu ngebentak Papa sayang?" Marina bertanya pada Mery. Gadis kecil berkepang dua itu menggeleng sambil menangis.
"Enggak, Bunda, hiks. Meli cuma bujuk Papa supaya kita libulan, Meli bosan disuruh belajal telus," jawabnya.
Riko mendengus. "Nyoba bohong lagi kamu, hah? Jelas-jelas kamu tadi ngebentak Papa, sini kamu! Papa kasih pelajaran!"
"Mas, jangan!" Marina menepis tangan Riko yang hendak meraih baju Mery.,"Biarin aja kenapa, sih? Wajar Mery itu minta liburan, kasihan, 'kan, dia disuruh belajar terus."
"Ck, kamu itu sama aja ya ternyata. Suka banget manjain dia!" Ucap Riko, seraya berlalu dia mendorong bahu Marina dengan telunjuk, "Udah sana! Urus anak kamu yang bandel itu!"
"Mas!"
Air mata Riko jatuh begitu saja, bersama isakan pelan yang keluar dari mulutnya, mengingat betapa bodohnya ia sebagai seorang ayah yang tidak peduli dengan apa yang diinginkan Mery.
Melihat Papanya meneteskan air mata Mery buru-buru melepas headset dan bertanya, "Papa kenapa nangis? Maaf, kalo ngerasa Mery cuekin, Mery tadi asik denger lagu—" Belum selesai kalimatnya, Riko lebih dulu menarik Mery ke dalam pelukan. Ia menangis sesegukan.
"Maafin Papa ya, Mery. Papa nggak pernah ngerti kebahagiaan kamu."
"Pa," Mery masih tidak mengerti situasi. Tapi perlahan tangannya membalas pelukan Riko, "Maksud Papa apa?"
Riko terisak, "Selama ini Papa salah sayang, Papa hanya bisa mengekang kamu dengan kemauan Papa. Dari kecil, Papa nggak pernah ngerti apa mau kamu sebenarnya. Papa udah gagal jadi ayah yang baik."
"Pa," Mery menyela, meski ia akui ucapan Riko ada benarnya. Namun, ia juga tak ingin berlama-lama membenci papanya. "Aku udah maafin Papa dari dulu, kata pacar aku, nggak ada orang tua yang jahat, adanya orang tua yang pengen anaknya bahagia di masa tua kelak."
"Tapi Papa sering cuekin kamu, Papa sering nolak kalo kamu minta apa pun."
"Itu nggak masalah, anggap aja kesalahan kecil yang Papa lakukan dulu, sekarang Mery udah gede. Aku bisa mengerti situasi."
Senyum Riko mengembang sempurna, ia melepas pelukan dan mengacak gemas rambut putrinya, "Putri Papa pinter banget ngomongnya, diajarin sama siapa?"
"Pacar aku, dong," jawabnya.
"Yang sering anterin kamu pulang itu?"
"Iya. Ganteng, 'kan, orangnya?'
"Ganteng, sih, tapi lebih gantengan Papa," ujar Riko, tertawa pelan. "Bener nggak?"
"Ish," Mery terkekeh ringan lalu memeluk Papanya erat. "Iya-iya bener, Papa aku yang paling ganteng."
Setelahnya keheningan menyelimuti suasana, Mery sangat nyaman berada dalam pelukan Papanya, sedangkan Riko berulang kali mengusap rambut Mery. Jika saja bel rumah tidak berbunyi, pelukan keduanya tidak akan lepas seperti ini.
"Biar Papa yang buka," ucap Riko. Mery mengangguk. Pria paruhbaya bersetelan santai itu menuju pintu luar.
Sampai di sana, Riko membuka pintu, betapa terkejut ia menemukan cowok berjaket coklat yang ternyata …
"Kamu?"
"Selamat malam, Om."
Kita hanya sebatas rindu yang berujung temu.—Paracetalove—•••"Selamat malam, Om."Riko mengernyitkan dahi, mendapati cowok berhoodie putih datang ke rumahnya malam-malam seperti ini."Mau ketemu siapa?" tanya Riko ketus.Arga meneguk salivanya kasar, ini pertama kali ia berinteraksi dengan Riko. Rasanya gugup, tentu, dalam dua bulan menjalani hubungan dengan Mery. Arga sangat jarang melihat pria itu di rumah."Saya mau ketemu Mery, Om. Boleh?" tanyanya, alis Riko bertaut tanda tidak suka, melihat itu Arga buru-buru berkata, "Cuma sebentar, saya janji nggak akan ganggu Mery belajar."Riko
Kata mereka, waktu sangat berharga, tapi bagiku, kamu lebih dari segalanya. -Mery Thevania-•••Mereka pun akhirnya berpelukan, Arga mengusap rambut Mery dengan nyaman. "Kangen."Tiba-tiba deheman dari luar membuat keduanya refleks melepas pelukan."Papa?"Riko berdiri tepat di ambang pintu, matanya memicing menatap Arga. Tatapan seperti itu, benar-benar membuat Mery maupun Arga gelagapan, terutama Arga—ia takut Riko salah paham, jadilah cowok itu bersuara."Om kami tadi—"Belum selesai kalimatnya, Riko lebih dulu berjalan melewati Arga. Pandangan pria itu beralih pada pakaian Mery, menelitinya dari atas ke bawah dengan mata berkaca-kaca."Pa Mery—""I
Bahkan, jika semesta menginginkan kita berpisah, aku akan menentangnya.-Paracetalove-•••"Buset Ry, lo kenapa?" tanya Arlan, dia menghentikkan langkah saat hendak menuruni tangga. Tak sengaja berpapasan dengan Mery yang menangis sambil mengusap pipinya. "Gue nggak Papa." Arlan yang curiga tidak membiarkan Mery pergi begitu saja, ia lantas menahan lengan cewek itu dan menepikkannya. Arlan mengernyit, "Lo nangis?""Gue udah bilang gue nggak papa.""Gara-gara pacar lo lagi?""Lan," cicit Mery. Ia menepis perlahan tangan Arlan dari lengannya. Kemudian m
Aku takut kehilanganmu dirimu. Dirimu yang selalu menjagaku tanpa kenal waktu. Jangan pergi, meski hubungan ini terasa sulit dilalui.-Arga Adyasta-•••Bel istirahat kedua berbunyi. Surga dunia untuk seluruh murid SMA Bakti Buana. Terutama untuk Mery, dia hampir ketiduran saking membosankannya pelajaran Bu Wulan tadi. Selain membosankan, efek pelajaran bu Wulan juga membuatnya kepanasan. Mery menempelkan sebelah pipinya ke meja."Kantin, kuy!" Ajak Gafa. Ketua kelas yang duduk dipojokan."Kuy-kuy! Nyari cewek cantik sekalian!" balas Cavin, yang mengedipkan sebelah mata."Cewek cantik cewek cantik! Itu si Citra mau lo kemanain, bang?" G
Cinta itu sederhana, manusia aja yang membuatnya rumit.-Paracetalove-•••Mery menempelkan sebelah pipi ke bahu Arga, tangannya melingkar di perut cowok itu. Ia kira pacarnya itu menggunakan mobil tapi ternyata pakai motor sport hijau milik cowok itu.Kalau begini, Mery jadi double seneng. Selain bisa modusin Arga ia juga berasa jadi Dilan sama Milea. Senyum-senyum sendiri nggak jelas di belakang. Pikirannya berkelana jauh, membayangkan mereka nanti di pelaminan.Huftt. Pasti menyenangkan. Mery menghirup udara dalam-dalam."Pacarrr hauss," adu Mery manja, "Ke minimarket dulu ya.""Padahal baru setengah jalan, udah hausan aja.""Yamau gimana lagi, kamu mau aku mati gara-gara dehidrasi?""Nggak gitu juga kali, Ry. Oke kita
Kita masih punya waktu untuk bersama, setidaknya hari ini saja. -Mery Thevania-•••"Asik banget ya pacarannya?" Mery dan Arga lantas menjauhkan mulut mereka dari perman kapas tadi, lalu saling berpandangan. Mery menunduk malu-malu, sedangkan Arga mengusap tengkuk salah tingkah. Sial, kenapa harus ketahuan sih? Marina dan Riko tersenyum geli, sebelum mereka sampai Mery lebih dulu berlari menghampiri lalu memeluk bundanya. "Huwaa, Bundaa, kangenn." "Lho kenapa nggak dilanjutin yang tadi?"
Kadang, yang datang bukan untuk bertahan. Tapi cuma singgah, terus pulang menyisakan sebuah kenangan.•••Setengah jam perjalanan pulang, akhirnya motor Arga tiba di rumah Mery. Cewek itu sendiri sudah tertidur pulas, Arga terpaksa membangunkannya. Menepuk-nepuk pipi pacarnya pelan, tak lama suara khas orang bangun tidur terdengar.Mery menguap sebentar, lalu membenarkan tatanan rambutnya. "Sudah sampai?"Arga bergumam sebagai jawaban, dia menurunkan standar motor. "Ayo turun.""Gendong.""Jangan manja."Mery nyengir singkat. Ia turun dari motor kemudian menghadap Arga. "Makasih pacarrr. Kira-kira sekarang udah jam berapa ya?""Jam delapan," jawab Arga, melirik jam tangan hitamnya."Oh. Pacar nggak mau mampir dulu?""Enggak. Aku buru-
Kalau dia benar-benar sayang, nggak mungkin tiba-tiba ngilang.•••Setelah mendapat telepon dari rumah sakit cewek itu bergegas meninggalkan kelas. Sempat dilarang oleh pengawas, namun seorang guru berhasil membujuknya membuat cewek itu buru-buru menuju parkiran.Rasa panik mendominasi perasaannya saat ini, cewek itu terus berdoa dalam hati. Sialnya, mobil cewek itu terjebak hingga mengeluarkannya cukup menyita waktu. Selamatkan Papa Ya Tuhan, selamatkan Papa.. batin cewek itu.Berhasil mengeluarkan mobilnya, cewek itu melewati gerbang sekolah dengan menjalankan mobil di atas kecepatan rata-rata. Membelah jalanan kota Bandung yang masih ramai pagi ini.Akibatnya, tidak sampai sepuluh menit, cewek itu berhasil tiba di rumah sakit lebih awal. Dia langsung menuju kamar pasien nomor 20, dimana seorang pria paruhbaya terbaring lemah di sana