Mery menjilat bibir bawahnya ketika melihat isi kulkas, banyak sekali es krim, donat, pancake dan makanan dingin yang lain tersusun rapi di dalam sana. Ya, siapa lagi yang membelikannya kalo bukan Arga. Suaminya itu selalu menyiapkan persediaan makanan bahkan sebelum habis.
Mery menyipitkan matanya sambil mengetuk telunjuk ke dagu, memilih makanan mana yang akan ia bawa ke ruang tamu. Semuanya tampak enak dan membangkitkan jiwa rakusnya. Rasanya Mery ingin membawa kulkasnya sekalian, jadi dia tidak perlu capek-capek bolak-balik ke ruang makan.
"Kamu mau yang mana sih, nak? Enak semua ini," tanya Mery sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ia terkikik, seolah bayi dalam perutnya bisa menjawab pertanyaanya.
Efek ngidam membuat nafsu makannya melonjak. Bahkan, setiap jam Mery merasa lapar, ia ingin makan nasi lagi tapi takut perutnya yang sudah buncit ini makin tambah buncit. Sehingga Mery takut bayinya nanti kesesakan d
"Mery, sudah siap?" tanya Arga yang berada di ambang pintu kamar mereka. Cowok itu sudah selesai bersiap-siap untuk menemani Mery check up sore ini."Belum, Ga. Tunggu bentar lagi." Mery mendelik sekilas Arga, tangannya sibuk memilah pakaian yang berjejer di kasur. Sesekali gadis itu mencocokkan bajunya di cermin. Lagi-lagi, Mery dibuat heran karena banyak dress kesukaannya menjadi terasa sesak saat dipakai. Padahal, sebagian dari dress itu baru ia beli minggu kemarin.Mery mendengus, satu lagi dress putih yang ia coba terasa sesak dibagian lengan. Ditambah bagian perutnya terlihat lebih menonjol. Sadar akan sesuatu, Mery membulatkan mata lalu memekik heboh. "HUWAA ARGA AKU GENDUTANNNN," teriaknya.
Kepercayaan itu seperti sebuah kaca, jika sudah pecah, tidak ada yang bisa membuatnya kembali sempurna.•••Seorang cewek berambut selengan berjalan santai menuju tangga, senyum terpapar di wajahnya kala melihat seorang cowok dengan kedua tangan masuk ke saku celana menghampirinya. Itu Arga, pacarnya. "Udah lama nunggu, ya?" tanya Mery.Arga tersenyum lebar. Disampirkannya anak rambut Mery ke telinga. "Enggak kok. Gimana ujian kamu? Lancar?"Mery menggangguk. Cewek yang memiliki tinggi hanya sebatas dadanya itu tersenyum. "Lancar kok, berkat olimpiade bulan lalu aku jadi mudah banget ingat sama materinya. Makasih ya, Ga.""Iy--""Iya sama-sama. Alga nanti ajalin Mely bikin anak juga ya." Suara itu milik Arlan, Mery tersenyum malu sementara Arga terkekeh.Ya, hari ini-atau lebih tepatnya tiga hari ke depan murid kelas XII akan melaksanakan ujian kelulusan. Jika semua murid bersorak ria, berbeda untuk Arga, jauh dalam lubuk hatinya, ia justru merasa takut kehilangan Mery. Mengingat kepu
"Kak Mery?"Mery menoleh, sementara Arga membuang napas berat."Eh, Syifa? Sini-sini, duduk sama kakak." Mery menepuk space kosong di sampingnya.Syifa tengah berdiri tidak jauh sambil merekah senyum. Gadis berkepang itu kemudian mendekat bersama boneka teddy bearnya.Arga hanya bisa menghela berat, padahal sore ini ia berniat menghabiskan waktu bersama Mery. Tapi, enyahlah niat itu karena ada Syifa di sini."Kak Mery lagi pacaran ya di sini? Hayo ngaku ... " goda Syifa, matanya memicing, sementara Arga terkekeh.Pipi Mery memerah malu. "Eng ... enggak kok. Kakak mampir aja tadi beli es-krim. Terus karena capek, kita milih duduk deh.""Oh. Terus kakak ini ... siapa
Usai dua puluh menit meramaikan taman kota Bandung dengan nyanyiannya, Arga mengajak Mery pulang, cewek itu tampak sudah kelelahan. Jelas, terlihat dari pelipis Mery yang terus menitikkan keringat.Kini, mereka sudah dalam perjalanan, menggunakan motor cowok itu. Seperti biasa, Mery akan bersandar di bahu Arga sambil menempelkan pipinya."Pacar, pulangnya ke rumah kamu aja, ya. Papa pasti lembur malam lagi. Aku takut sendirian di rumah," rengek Mery. Dia melingkarkan tangan di perut Arga.Arga menjawab dengan anggukan, dia memelankan laju motor saat melirik kaca spion—mendapati Mery mulai memejamkan mata. Dia tahu, Mery pasti akan memulai aksi tidurnya.Arga menghela napas, sebulan semenjak kematian Hana, dia merasakan banyak hal yang berubah dari Mery. Mulai dari penampilan cewek itu, sikap, hingga perilaku yang awalnya urakan menjadi sedikit teladan.Tidak masalah, jika itu yang terbaik untuk
Jatuh dan cinta adalah dua hal berbeda, namun keduanya sama-sama menghasilkan luka.•••Arga mengacak rambutnya frustasi saat menuruni tangga, tergesa-gesa ia meraih kunci motor di nakas ruang tamu. Ia yakin Mery marah dan sakit hati, tapi ketahuilah, Arga mengatakan itu saat emosi, wajar ia tidak bisa mengontrol diri.Ketika sampai di teras Arga berpapasan dengan mamanya, Anggie terlihat sibuk mengusap punggung tangan. Arga mengernyit melihat hal itu, kadang mengusap kadang mencium punggung tangannya sendiri, Arga jadi bingung apa yang mamanya lakukan."Ma, Mery tadi bilang apa?" tanya Arga.Anggie tersadar, ia buru-buru menyimpan tangan. "Oh-eh, Mery? Mau pulang katanya, takut Om Riko nyariin, memangnya kenapa?""Pulang?" Arga mengernyit. "Om Riko lembur malam ini, nggak mun
Cinta sama seperti keadaan, kita nggak bisa maksa keadaan itu sendiri mengikuti posisi kita. Tapi, kita sendiri yang harus pintar mengatur posisi agar keadaan nggak menyebabkan kesalahpahaman.•••Keesokan harinya...Mata Mery perlahan membuka, cahaya dari gorden yang disingkap membuat cewek itu silau, kepalanya masih pening, mungkin efek alkohol malam tadi yang belum hilang.Beralih ke mata cewek itu yang terlihat bengkak efek menangis semalaman. Ia tidak bisa tidur nyenyak, sesekali meracaukan nama Arga lalu menangis sesegukan.Ingatannya pun masih belum penuh, Mery hanya ingat ketika Arga mencium bibirnya, lalu membawanya ke mobil, setelah itu... ia tidak ingat apa-apa lagi.Rasanya sakit jika harus mengingat semua, tak mau ambil pusing, Mery bersandar pada
Kata rindu itu nyata, tidak bisa disembunyikan, tidak bisa dihilangkan, ia hanya ingin kamu melepaskan semua rasa yang pernah ada, agar semua kenangan itu tertulis kembali dalam sebuah cerita.-Paracetalove-•••Perasaan canggung kembali menghampiri ketika Mery duduk di boncengan motor Arga. Ia berdehem singkat, suasana jalan begitu padat, berpotensi bagi mereka berdua telat.Entah itu saat Arga merem motornya secara mendadak, atau tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Perasaan canggung sekaligus bimbang itu kembali. Pagi ini keduanya berangkat bersama, meski jauh dalam lubuk hati mereka, ada rasa bersalah mendera.Sebab kini, tangan Mery ragu-ragu meraih ujung seragam Arga untuk berpegangan. Bersamaan itu pula Arga merem mendadak, membuat jidat Mery mentok di bahu lebar cowok itu.
Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan.—Arga Adyasta—•••Mery bingung harus bereaksi seperti apa, di satu sisi hatinya menghangat sementara di sisi lain ia masih kecewa. Jujur, ada rasa takut saat Arga menggebrak meja yang membuat penghuni kantin menghentikan aktivitas mereka dan memilih menatap Arga.Dari dadanya yang naik turun, napasnya yang tersengal, hidungnya yang kembang kempis. Bahkan, kuku Arga seperti menancap pada mangkok bakso yang ia bawa. Dirundung rasa takut, Mery berjalan sambil menatap ke bawah hingga tanpa sadar jidatnya mentok ke bahu lebar cowok itu.Entah berapa kali sudah Mery meringis, jidatnya terasa ngilu. Tapi aneh, bahu Arga tidak mungkin sekeras itu. Arga termasuk cowok yang menjaga postur tubuh. Meski baru kelas sebelas, otot-otot di lengannya sudah menonjol, dan jangan lupa