Jatuh dan cinta adalah dua hal berbeda, namun keduanya sama-sama menghasilkan luka.
•••Ketika sampai di teras Arga berpapasan dengan mamanya, Anggie terlihat sibuk mengusap punggung tangan. Arga mengernyit melihat hal itu, kadang mengusap kadang mencium punggung tangannya sendiri, Arga jadi bingung apa yang mamanya lakukan.
"Ma, Mery tadi bilang apa?" tanya Arga.
Anggie tersadar, ia buru-buru menyimpan tangan. "Oh-eh, Mery? Mau pulang katanya, takut Om Riko nyariin, memangnya kenapa?"
"Pulang?" Arga mengernyit. "Om Riko lembur malam ini, nggak mungkin dia nyariin Mery. Kenapa Mama nggak cegat?"
"Lah, mana Mama tau, tapi sini deh, tangan mama basah habis dicium sama Mery."
Mata Arga membulat, semakin yakin jika Mery sakit hati hingga cewek itu menitikkan air mata. Arga tidak membuang waktu lagi, tanpa merespon ucapan Anggie, ia menuju garasi dan segera melaju keluar gerbang rumah bersama motornya.
"Lah, tuh anak diajak ngomong malah pergi," gerutu Anggie.
★★★
Hembusan angin yang berhembus melalui jendela kamar menemani sore Mery, air mata yang sejak tadi membasahi pipi menambah haru suasana hati. Sampai di rumah, ia tidak langsung mandi namun malah menyendiri sambil memeluk lututnya sendiri.
Hatinya sakit, matanya sembab, sudah lima menit berlalu ia menangisi perkataan Arga tadi. Dengan bersandar pada dinding kamar, menatap ke arah jendela, dari situ Mery bisa melihat padatnya jalanan kota Bandung meski sudah sore.
Ponselnya bergetar, Mery menghela napas, diambilnya ponsel yang terletak di nakas. Layar itu menampilkan nama Diangin dengan 20 panggilan tidak terjawab. Mungkin, saking asiknya melamun ia baru menyadari ponselnya bergetar.
Air matanya kembali tumpah, jujur, ia ingin sekali menjawab panggilan Arga namun apa daya, dadanya masih sesak mengingat perkataan cowok berhidung mancung itu.
Ponselnya kembali bergetar, tapi kali ini panggilan itu atas nama Raya.
Sore, sahabat guee. Gimana kencan lo bedua, romantis? Seru?
"B aja," jawab Mery.
Yah, gue berharap dia grepe-grepe lo. Biar langsung kawin.
"Ya."
Hm?
"Kok lo makin bangsat?"
Si anying. Elo kali yang makin bucin.
Mery terkekeh. "Au ah."
Lu mau ikut nggak, Ry? Gue sama Tasya otw clubbing, nih. Udah lama dong kita nggak ke sana. Elo sih ngebucin mulu.
"Kenapa lo jadi nyalahin gue, kutil?!"
Terserah gue lah, jawab aja bego.
Mery menimbang-nimbang, dia melirik jam weker bermotif hello kitty di nakas, menunjukkan pukul 5.15 sore. Itu artinya, dia masih punya waktu banyak sebelum Riko pulang.
Mery menghela napas, diliriknya jam weker pemberian Arga. Dia masih ingat, Arga memberikan itu agar tidak terlambat bangun pagi. Namun, untuk apa ia menyimpan jam itu ketika dia sendiri bukanlah prioritas lagi?
Mery tersenyum kecut, dihempasnya jam weker itu hingga pecahan beling berserakan di lantai.
"Bahkan waktu udah menjawab, Ga. Kalau kita udah nggak cocok bersama lagi."
★★★
"Ayo, Ry. Angkat, aku mohon."
Arga berdecak, tidak terhitung sudah berapa kali ia menghubungi Mery. Hasilnya nihil, satu panggilan pun tidak cewek itu jawab.
Salahkan dirinya yang belum bisa mengontrol emosi, padahal sudah dua bulan menjalin hubungan bersama Mery.
Motornya kini melaju dengan kecepatan tinggi, sesampainya di rumah Mery cowok itu mendapati pagarnya terbuka. Arga turun dari motor lalu mendekati pintu. Tidak terkunci, kebiasaan.
Arga masuk, bukan tidak sopan, tapi dia sering melakukan ini ketika Mery tidak sengaja tertidur di motornya. Dilihatnya kamar Mery, kosong. Sama sekali tidak ada orang, ruang tamu, toilet, dapur bahkan kamar mandi sudah ia cek. Hasilnya sama.
Kembali lagi ke kamar, Arga justru menginjak sesuatu yang membuat kakinya perih. Arga meringis, matanya seketika membulat, pecahan kaca dari jam weker pemberiannya. Apakah Mery sekecewa itu padanya?
"Lo nggak tau, Ry. Ini bukan sekedar jam, gue kasih ini supaya lo ngerti, waktu gue cuman buat lo, bukan yang lain."
★★★
"Ini mau nyari kemana lagi, bos? Elah. Gue capek nih. Kita udah muter taman kota, nyari sekeliling komplek, ke rumah Tasya sama Raya apalagi," kekeh Arlan. Cowok itu memijit pangkal hidung.
Arga tidak menjawab, dia duduk di sofa ruang tamu Mery lalu mengusap wajah gusar. Sulit rasanya berpikir kemana cewek itu pergi.
"Lo sakitin dia lagi?" tanya Kevin.
Arga mengangguk singkat. Hilangnya Mery seolah membuatnya tidak berdaya.
"Yan, tuh cewek salah apa sih, tadi gue liat di sekolah lo bedua baik-baik aja?" tanya Arlan.
"Dia nggak salah, gue yang salah," jawab Arga.
"Terus kenapa lo nggak minta maaf? Emang ya, lo itu susah banget berubah. Setidaknya lo enyahin gengsi lo itu. Lo egois, Ga."
"Iya, gue emang egois, gue bodoh. Mau apa lo?!" ucap Arga, nadanya naik satu oktaf. Apalagi yang dapat dia lakukan selain menyalahkan diri sendiri. Dia memang tipe cowok egois dan sulit mengontrol diri.
Kevin berdecak, "Bos, jangan mancing. Sekarang kita fokus cari Mery."
"Mau cari kemana lagi, Vin?" tanya Arlan, dia duduk di sofa seberang Arga kemudian mendesah lelah. "Gue capek, mending gue pulang."
"Lan, jangan gitu nyet, sahabat lagi butuh lo malah pergi. Kata nenek gue itu nggak baik."
"Bodoh lah. Sahabat apa yang nggak ngedengerin sahabatnya sendiri."
"Maksud lo apa, Lan?" tanya Arga, cowok itu mendekati Arlan dengan dahi mengernyit tidak suka.
Arlan pun berdiri dari duduknya menghadap Arga. "Ga, lo sadar nggak sih. Mery itu sekarang beda, dan itu karena lo. Lo penyebabnya, lo yang bikin cewek urakan itu jadi teladan, lo yang bikin dia berhenti bolak-balik ke ruang BP kayak setrikaan, lo yang bikin dia bangga sama piala terus mempertemukan dengan Bundanya. Pikir, dia hidup karena lo, dia cinta mati sama lo, dan satu-satunya penyemangat dia adalah lo. Sedangkan lo sendiri? Lo egois, lo harusnya bisa ngontrol emosi." Arlan menghela napas berat, dadanya naik turun mengatakan itu.
Sementara Arga hanya membuang muka, dia tahu dia salah, dia tahu perkataannya tadi menohok hati Mery.
"Dan, jangan sampai gue nyesel kedua kali karena udah ngelepas Mery."
Bugh.
Satu bogeman berhasil mendarat di sudut bibir Arlan, dia meringis, bibirnya seketika perih, darah segar lantas menetes di sudut bibirnya.
Napas Arga memburu, dia kalap bahkan berhasil memukul sahabatnya sendiri.
"Gue nggak akan biarin itu, Lan. Lo ... " Telunjuk Arga mengarah pada Arlan. Mata tajamnya menatap tidak suka. "Pengkhianat!"
"Bangsat!" Bugh. Arlan maju dan memukul rahang Arga, belum sempat mengelak cowok itu akhirnya bernasib sama.
"Dalam keadaan seperti ini, lo yang lebih cocok disebut pengkhianat, Ga. Lo janji buat jaga Mery. Tapi hasilnya apa?!"
Bugh.
Pukulan berlanjut, mereka saling memaki sambil sesekali menyebut nama Mery. Kevin mengacak rambut frustasi, berulang kali cowok itu melerai hingga berhasil jadi korban pukulan.
"UDAH WOI UDAH! Duh, sakit bahu gue kena pukul lu bedua."
Bukannya berhenti, malah semakin jadi. Keduanya kini penuh luka lebam.
Mendadak ponsel Kevin bergetar, satu panggilan masuk dari Raya.
Lelet banget, sih lu jadi cowok. Angkat dari tadi dong.
"Bacot ah. Napa lo nelpon gue?"
Gue nggak ada urusan sama lo ya, mana Arga? Kasih tau Mery lagi mabok sambil ngeracau nama dia. Kita bedua nggak sanggup mapah ke mobil.
"APA?! MERY MABOK?!"
Kevin sengaja mengencangkan suara, lantas saja perkelahian kedua sahabatnya berhenti. Mata Arga membola, dengan sisa tenaga, dia mendorong bahu Arlan lalu beranjak pergi meski penuh luka.
★★★
"Pacar, kamu jahat! Argaa. Haa, Argaa. Aku sayang kamu, tapi kamu jahat!"
Mery meracau tidak jelas seraya menyebut nama Arga berkali-kali, dengan tiga gelas vodka di hadapannya yang sudah kosong. Sementara satu gelas di tangannya tersisa setengah.
"Lagi!"
"Ry, lo udah minum empat gelas. Gue takut lo sakit," ucap Tasya.
"Biar! Biar gue sakit! Emang siapa yang peduli?!" bentak Mery. "Nggak ada!"
Raya mendesah lelah. Club sudah begitu ramai, padahal ini baru sore. Ia menyentuh bahu Mery prihatin. "Ry, gue tau lo ada masalah. Lo mending cerita ke kita, bukan kayak gini. Kita aja belum minum sama sekali."
"Bomat! Lo nggak bakalan ngerti perasaan gue. Sini botolnya."
"Enggak, Ry. Gue masih peduli sama lo." Tasya menjauhkan botol vodkanya.
"Cepet siniin!"
Mery berdiri menghampiri Tasya lalu merebut botolnya, Tasya tidak sempat mengelak, dia pasrah melihat Mery menuang vodka itu lagi ke gelasnya.
Baru saja gelas itu menyentuh bibir, seseorang datang menepis tangan Mery hingga gelasnya berakhir pecah di lantai.
Musik club terhenti, semua pasang mata menatap ke arah Mery. Terutama Arga, cowok penuh luka itu menatap nyalang Mery.
"Apa yang kamu lakuin, Ry. Sadar!"
"Lo ... Arga? Arga? Ini." Mery tertawa meremehkan. Dia menyentuh pipi Arga, lalu melangkah mundur tidak percaya. "Nggak mungkin! Lo pasti penjahat kan. Haha, Arga nggak mungkin peduli sama gue, dia jahat!"
"Ry, ini aku, Arga. Aku minta maaf udah bentak kamu." Arga memegang kedua lengan Mery.
"Nggak! Lepasin!"
"Ry, aku mohon jangan kayak gini. Dengerin penjelasan aku dulu."
"Lepas- emm."
Arga mencium lembut bibir Mery, dibaliknya posisi hingga cewek itu menjauh dari kursi, Arga duduk, sementara Mery berada di pangkuannya.
Ditekannya tengkuk cewek itu agar bibir mereka tetap menyatu, Mery meronta minta dilepaskan, Arga tetap tidak peduli, dia memperdalam ciumannya meski beberapa orang memperhatikan. Termasuk Raya dan Tasya yang membekap mulut terkejut.
Dirasa sudah kehabisan napas, Arga melepas ciumannya, bibir Mery basah, dapat ia rasakan bau alkohol menyeruak dari cewek itu.
"Maafin aku ya, Ry. Maaf." Arga kembali menyatukan dahi mereka, cowok berhoodie abu itu meneteskan air mata. Sedangkan Mery hanya diam, menunduk lemas. Pengaruh alkohol membuat kepalanya pusing.
Arga menatap Tasya. "Bawa mobil?"
"Ba-bawa kok."
"Gue pake nganter Mery pulang. Lo pake motor gue bisa, kan?"
"Bi-bisa. Nih kuncinya."
Setelah menerima kuncinya, Arga berdiri bersama Mery yang masih di pangkuannya, dilingkarkannya tangan Mery ke lehernya, sementara kedua kaki gadis itu melingkari pinggangnya.
"Ke... mana?" tanya Mery lirih.
"Pulang. Kamu bisa sakit."
"Engh-gak mau! Kamu jahat!"
"Ry."
"Turunin! Lepasin! Gue nggak mau ikut sama lo! Lo jahat! Lo siapa sok peduli sama gue?!"
Plak!
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Mery. Rasa perih seketika menjalari pipi bahkan tubuhnya. Linangan air mata kembali jatuh, Mery menatap Arga berang, kemudian memukul sekeras mungkin dada Arga.
"Sakit! Sakit! Sakit!"
Tangan Arga bergetar, ia menatap tangan yang berhasil menampar Mery, dasar bodoh! Bodoh! Apa yang dilakukannya tadi?
Arga memejamkan mata sejenak, setelah sampai, dibukanya pintu mobil dan di dudukannya pelan cewek mungil itu. Bersamaan setelahnya Arga masuk melalui pintu satunya. Dilihatnya Mery sedang bersandar sambil berkata, "Sakit Ga! Sakit... "
Hati Arga seolah tertusuk ribuan jarum, kesal, ia menggebrak setir mobil.
"Gue emang jahat, Ry. Jahat!"
Cinta sama seperti keadaan, kita nggak bisa maksa keadaan itu sendiri mengikuti posisi kita. Tapi, kita sendiri yang harus pintar mengatur posisi agar keadaan nggak menyebabkan kesalahpahaman.•••Keesokan harinya...Mata Mery perlahan membuka, cahaya dari gorden yang disingkap membuat cewek itu silau, kepalanya masih pening, mungkin efek alkohol malam tadi yang belum hilang.Beralih ke mata cewek itu yang terlihat bengkak efek menangis semalaman. Ia tidak bisa tidur nyenyak, sesekali meracaukan nama Arga lalu menangis sesegukan.Ingatannya pun masih belum penuh, Mery hanya ingat ketika Arga mencium bibirnya, lalu membawanya ke mobil, setelah itu... ia tidak ingat apa-apa lagi.Rasanya sakit jika harus mengingat semua, tak mau ambil pusing, Mery bersandar pada
Kata rindu itu nyata, tidak bisa disembunyikan, tidak bisa dihilangkan, ia hanya ingin kamu melepaskan semua rasa yang pernah ada, agar semua kenangan itu tertulis kembali dalam sebuah cerita.-Paracetalove-•••Perasaan canggung kembali menghampiri ketika Mery duduk di boncengan motor Arga. Ia berdehem singkat, suasana jalan begitu padat, berpotensi bagi mereka berdua telat.Entah itu saat Arga merem motornya secara mendadak, atau tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Perasaan canggung sekaligus bimbang itu kembali. Pagi ini keduanya berangkat bersama, meski jauh dalam lubuk hati mereka, ada rasa bersalah mendera.Sebab kini, tangan Mery ragu-ragu meraih ujung seragam Arga untuk berpegangan. Bersamaan itu pula Arga merem mendadak, membuat jidat Mery mentok di bahu lebar cowok itu.
Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan.—Arga Adyasta—•••Mery bingung harus bereaksi seperti apa, di satu sisi hatinya menghangat sementara di sisi lain ia masih kecewa. Jujur, ada rasa takut saat Arga menggebrak meja yang membuat penghuni kantin menghentikan aktivitas mereka dan memilih menatap Arga.Dari dadanya yang naik turun, napasnya yang tersengal, hidungnya yang kembang kempis. Bahkan, kuku Arga seperti menancap pada mangkok bakso yang ia bawa. Dirundung rasa takut, Mery berjalan sambil menatap ke bawah hingga tanpa sadar jidatnya mentok ke bahu lebar cowok itu.Entah berapa kali sudah Mery meringis, jidatnya terasa ngilu. Tapi aneh, bahu Arga tidak mungkin sekeras itu. Arga termasuk cowok yang menjaga postur tubuh. Meski baru kelas sebelas, otot-otot di lengannya sudah menonjol, dan jangan lupa
Maaf, jika selama ini aku salah. Terlalu mengekangmu, terlalu sering menyakitimu, sampai aku sadar bahwa perlahan-lahan cinta yang kita jaga, hubungan yang kita jalani, terasa begitu hampa. —Paracetalove—•••"Cemburu?" Arga menoleh ke belakang, mendapati seorang cowok jangkung bertinggi badan sama dengannya menyunggikan senyum tipis. "Dirga?'"Hello, masih ingat gue nggak? Temen sepopok lo waktu kecil?"Bagaimana Arga bisa lupa, jika yang berdiri sekarang tidak lain adalah Dirga Refan Aldresta—sepupunya."Ingat." Arga menjawab seadanya, dia meraih bahu Dirga dan memeluknya. "Ngapain lo di sini?""Ya pengen ketemu lo lah, sob! emang ngapain lagi gue ke sini?""Kirain ng
Kita hanya sebatas rindu yang berujung temu.—Paracetalove—•••"Selamat malam, Om."Riko mengernyitkan dahi, mendapati cowok berhoodie putih datang ke rumahnya malam-malam seperti ini."Mau ketemu siapa?" tanya Riko ketus.Arga meneguk salivanya kasar, ini pertama kali ia berinteraksi dengan Riko. Rasanya gugup, tentu, dalam dua bulan menjalani hubungan dengan Mery. Arga sangat jarang melihat pria itu di rumah."Saya mau ketemu Mery, Om. Boleh?" tanyanya, alis Riko bertaut tanda tidak suka, melihat itu Arga buru-buru berkata, "Cuma sebentar, saya janji nggak akan ganggu Mery belajar."Riko
Kata mereka, waktu sangat berharga, tapi bagiku, kamu lebih dari segalanya. -Mery Thevania-•••Mereka pun akhirnya berpelukan, Arga mengusap rambut Mery dengan nyaman. "Kangen."Tiba-tiba deheman dari luar membuat keduanya refleks melepas pelukan."Papa?"Riko berdiri tepat di ambang pintu, matanya memicing menatap Arga. Tatapan seperti itu, benar-benar membuat Mery maupun Arga gelagapan, terutama Arga—ia takut Riko salah paham, jadilah cowok itu bersuara."Om kami tadi—"Belum selesai kalimatnya, Riko lebih dulu berjalan melewati Arga. Pandangan pria itu beralih pada pakaian Mery, menelitinya dari atas ke bawah dengan mata berkaca-kaca."Pa Mery—""I
Bahkan, jika semesta menginginkan kita berpisah, aku akan menentangnya.-Paracetalove-•••"Buset Ry, lo kenapa?" tanya Arlan, dia menghentikkan langkah saat hendak menuruni tangga. Tak sengaja berpapasan dengan Mery yang menangis sambil mengusap pipinya. "Gue nggak Papa." Arlan yang curiga tidak membiarkan Mery pergi begitu saja, ia lantas menahan lengan cewek itu dan menepikkannya. Arlan mengernyit, "Lo nangis?""Gue udah bilang gue nggak papa.""Gara-gara pacar lo lagi?""Lan," cicit Mery. Ia menepis perlahan tangan Arlan dari lengannya. Kemudian m
Aku takut kehilanganmu dirimu. Dirimu yang selalu menjagaku tanpa kenal waktu. Jangan pergi, meski hubungan ini terasa sulit dilalui.-Arga Adyasta-•••Bel istirahat kedua berbunyi. Surga dunia untuk seluruh murid SMA Bakti Buana. Terutama untuk Mery, dia hampir ketiduran saking membosankannya pelajaran Bu Wulan tadi. Selain membosankan, efek pelajaran bu Wulan juga membuatnya kepanasan. Mery menempelkan sebelah pipinya ke meja."Kantin, kuy!" Ajak Gafa. Ketua kelas yang duduk dipojokan."Kuy-kuy! Nyari cewek cantik sekalian!" balas Cavin, yang mengedipkan sebelah mata."Cewek cantik cewek cantik! Itu si Citra mau lo kemanain, bang?" G
"Mery, sudah siap?" tanya Arga yang berada di ambang pintu kamar mereka. Cowok itu sudah selesai bersiap-siap untuk menemani Mery check up sore ini."Belum, Ga. Tunggu bentar lagi." Mery mendelik sekilas Arga, tangannya sibuk memilah pakaian yang berjejer di kasur. Sesekali gadis itu mencocokkan bajunya di cermin. Lagi-lagi, Mery dibuat heran karena banyak dress kesukaannya menjadi terasa sesak saat dipakai. Padahal, sebagian dari dress itu baru ia beli minggu kemarin.Mery mendengus, satu lagi dress putih yang ia coba terasa sesak dibagian lengan. Ditambah bagian perutnya terlihat lebih menonjol. Sadar akan sesuatu, Mery membulatkan mata lalu memekik heboh. "HUWAA ARGA AKU GENDUTANNNN," teriaknya.
Mery menjilat bibir bawahnya ketika melihat isi kulkas, banyak sekali es krim, donat, pancake dan makanan dingin yang lain tersusun rapi di dalam sana. Ya, siapa lagi yang membelikannya kalo bukan Arga. Suaminya itu selalu menyiapkan persediaan makanan bahkan sebelum habis.Mery menyipitkan matanya sambil mengetuk telunjuk ke dagu, memilih makanan mana yang akan ia bawa ke ruang tamu. Semuanya tampak enak dan membangkitkan jiwa rakusnya. Rasanya Mery ingin membawa kulkasnya sekalian, jadi dia tidak perlu capek-capek bolak-balik ke ruang makan."Kamu mau yang mana sih, nak? Enak semua ini," tanya Mery sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ia terkikik, seolah bayi dalam perutnya bisa menjawab pertanyaanya.Efek ngidam membuat nafsu makannya melonjak. Bahkan, setiap jam Mery merasa lapar, ia ingin makan nasi lagi tapi takut perutnya yang sudah buncit ini makin tambah buncit. Sehingga Mery takut bayinya nanti kesesakan d
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Hari dimana dua insan yang saling mencintai akan hidup bersama melalui ikatan yang sah. Saling menyayangi. Saling menjaga apa pun keadaannya. Mereka adalah Mery dan Arga. Waktu bergulir begitu cepat. Perasaan, baru kemarin mereka bertemu di sekolah yang sama, lalu lama-kelamaan perasaan cinta perlahan tumbuh di hati keduanya. Dan hari ini, Mery mengambil keputusan untuk menerima Arga menjadi pasangan hidupnya. Dulu, Mery membenci cowok itu karena sifatnya yang begitu gengsi, dingin, galak, judes dan menyebalkan. Tapi sekarang, ia mencintai semua yang ada pada diri Arga. Toh, hati manusia tidak ada yang tahu, 'kan? Cinta Mery akan bertambah atau berkurang? Semua itu hanya diketahui oleh Tuhan. Yang pasti, Mery akan mencintai dan menyayangi Arga semampu dan setulus hatinya.
"Aku memang pengen punya pacar lagi. Tapi ceweknya kamu. Mau?"Deg. Perkataan itu sukses membuat Mery mematung di tempat. Pipinya bersemu merah bak kepiting rebus. Kedua sudut bibirnya bergetar menahan senyuman. Andai dia berada di kasur, Mery pasti guling-guling saking senangnya.Jantungnya sendiri? Jangan ditanya lagi. Jedag-jedug tidak karuan. Mery bungkam. Lidahnya dibuat kelu untuk mengucap satu kata pun."Mery. Mau nggak? Atau permintaan aku kurang jelas?" tanya Arga sebab Mery belum menjawab permintaannya.Dengan mata terpejam, Mery berbalik menatap Arga yang masih duduk. "Ih iya-iya! Aku mauuu!Aku mau kita balikannn!"Arga mengulum senyum melihat tingkah gadis itu. "Bukan balikan. Tapi jadi pacar aku lagi. Anggap kita nggak pernah jadi mantan. Setuju?""Kenapa gitu?" Mery membuka matanya."Karena... aku mau kita mulai awal yang baru. Dan ja
Mery mengecek sekali lagi penampilannya di cermin. Siang ini dia akan pergi ke studio milik Arga. Mery sangat berharap cowok itu mau diajak balikan olehnya. Nyaris satu bulan mereka memiliki kedekatan, namun statusnya hanya teman. Entah, Arga yang memang tidak ingin menjalin hubungan lagi dengannya atau dirinya yang terlalu banyak berharap.Akan tetapi, Mery tidak akan menyerah. Dia harus berusaha meraih hati Arga lagi meskipun rasanya susah."Oke, perfect!" gumam Mery. Senyum mengembang di wajah cantiknya. Gadis itu memakai rok sebatas lutut dan juga kaos.Di tengah kesibukannya memoles bedak, Aileen tiba-tiba muncul
Arga galau. Ia masih tak percaya hubungannya berakhir secepat ini. Apalagi dengan cara bertengkar hebat kemarin sore. Semalaman, cowok itu hanya bisa tidur kurang lebih dua jam. Selebihnya Arga menggunakan waktu tidurnya untuk melamun, sesekali memandangi kalung MeryDian di genggaman tangannya.Tidak sedikitpun Arga berniat menghubungi Mery, pasalnya ia ingin memberikan waktu gadis itu menenangkan diri.Mungkin, Mery benar. Mereka sudah tidak cocok lagi. Sehingga hubungan ini tidak pantas dilanjutkan.Arga meringkuk di kasurnya seperti orang kedinginan. Jangan katakan ia lemah. Karena cowok itu sekarang sedang,menangis dalam diam.☆☆☆Mery sesegukan. Setelah mendengar semua fakta yang diceritakan Marina tentang Aileen dan Arga. Gadis itu tak dapat menahan air matanya. Mery terguncang, sy
Mery terus berlari. Ia tak peduli pada Arga yang mengejar dan meneriaki namanya di belakang. Air mata gadis itu bercucuran. Ia bahkan tak segan menabrak bahu siapa pun yang menghalanginya.Tiba di luar apartemen, Mery semakin mempercepat langkahnya. Pandangannya memburam oleh air mata. Tanpa gadis itu sadari bahwa di depannya adalah jalan besar. Mery pun menerobos jalan itu dan ternyata..."MERY!!"Sempat mengira ia akan tetabrak, beruntung tangan Mery diraih cepat oleh Arga, sehingga tubuh cewek itu berakhir dalam dekapannya.Mery yang syok hanya pasrah ketika Arga memeluk lalu memarahinya."KAMU GILA?! KAMU HAMPIR AJA KETABRAK, RY!" tanya Arga membentak. "BISA NGGAK SIH KAMU NGGAK USAH LARI-LARI?! KALO AKU TELAT SEDIKIT AJA KAMU UDAH DITABRAK TRUK ITU, MERY!""Biarin! Biarin aku mati, Ga! Memang siapa
Jika hubungan yang tidak cocok terus dipaksakan, maka hanya akan menimbulkan kesakitan.•••Ada satu hal yang membuat Arga bisa menghembuskan napas lega sekarang, yaitu kabar bahwa Aileen diperbolehkan pulang. Meski begitu, Aileen belum pulih penuh. Ia masih butuh perawatan."Aku pulangnya kemana?" tanya Aileen pada Marina. Gadis itu duduk di kursi roda. Sementara Marina mengemas semua pakaian Aileen ke dalam tas miliknya. "Ke rumah tante?"Dipanggil seperti itu, Marina lantas menoleh. Ia tersenyum samar. "Hari ini kamu tinggal di apartemen kamu dulu ya. Besok baru deh kita tinggal bareng-bareng.""Bedua?"Marina menggeleng. Satu tangannya tergerak mengusap rambut Aileen. "Nambah satu lagi. Mery. Dia, 'kan adik kamu," ujarnya lembut.Aileen langsung membuang muka. Tidak suka.
Setidaknya, katakan jika kamu sudah bosan. Supaya aku tidak mengharapkan yang lebih lagi. Karena itu menyakitkan.-Ignore-•••Mery lelah.Bukan lelah batinnya saja, tapi hatinya lebih.Gadis itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi bertepatan ketika mobil Dirga berhenti di depan pagar rumahnya.Dirga paham, Mery sedang kecewa. Ia tahu betapa sakitnya diabaikan oleh orang yang kita cinta secara perlahan."Ry," panggil Dirga.Sejurus kemudian Mery menoleh. Senyum paksa terukir di bibir mungilnya."Thanks udah nganterin, Kak," ucap Mery. Sebelum turun, dia melepas jaket Dirga namun ditahan oleh cowok itu."Pake aja, lagian masih gerimis. Jarak antara mobil gue sama teras rumah lo lumayan jauh tuh," titah Di