Kata mereka, waktu sangat berharga, tapi bagiku, kamu lebih dari segalanya.
-Mery Thevania-
•••Mereka pun akhirnya berpelukan, Arga mengusap rambut Mery dengan nyaman. "Kangen."
Tiba-tiba deheman dari luar membuat keduanya refleks melepas pelukan.
"Papa?"
Riko berdiri tepat di ambang pintu, matanya memicing menatap Arga. Tatapan seperti itu, benar-benar membuat Mery maupun Arga gelagapan, terutama Arga—ia takut Riko salah paham, jadilah cowok itu bersuara.
"Om kami tadi—"
Belum selesai kalimatnya, Riko lebih dulu berjalan melewati Arga. Pandangan pria itu beralih pada pakaian Mery, menelitinya dari atas ke bawah dengan mata berkaca-kaca.
"Pa Mery—"
"Ini baju hadiah dari Papa?" tanyanya, Mery menganggukan kepala.
Sesuatu yang Riko tunggu-tunggu sejak dulu, dimana Mery mengenakan pakaian yang dihadiahkan satu tahun lalu. Riko menunggu hari itu, dan sekarang putrinya itu memakainya. Saking terharunya Riko sampai meneteskan air mata.
"Putri papa tambah cantik. Dari dulu Papa pengen banget liat kamu pakai baju ini," ucap Riko, satu tangannya mengusap pipi Mery, sementara tangan lainnya menyentuh pundak cewek itu, "Kamu tau? Baju ini sering Marina pakai saat awal-awal pernikahan kami. Tepatnya, saat kami menunggu kehadiran kamu. Marina bilang dia suka pake ini karena bentuk perutnya yang kelihatan banget."
Mery menarik napasnya, ia tak menyangka pakaian ini milik Bunda. Sekali lagi, ia merasa sangat bersalah, telah menyiakan-nyiakan kado yang tak ternilai harganya.
"Jadi baju ini punya Bunda?"
Riko mengangguk, "Iya. Papa kadang kangen sama Marina. Dengan melihat baju ini, setidaknya rindu Papa terobati. Tapi nggak mungkin kan bajunya papa bawa kemana-mana? Makanya papa putuskan menghadiahkannya untuk kamu," jelas Riko lagi, Mery tertegun dibuatnya, tanpa sadar air matanya ikut jatuh ketika Riko memeluknya.
"Maaf kalo hadiahnya bekas, Papa—"
"Shht," Mery segera melepas pelukan dan membekap mulut Riko dengan tangannya, "Kata pacar aku nilai suatu hadiah itu nggak dilihat dari seberapa mahal harganya atau sebagus apa modelnya, tapi seberapa tulus niat orang itu memberikannya buat kita."
Lagi-lagi, Riko tertegun oleh perubahan Mery yang begitu drastis. Putrinya itu menjadi anak yang ramah, terlebih lagi Mery sekarang sangat menghargai hal-hal sederhana.
Riko tersenyum, mengusap sayang rambut Mery, tahu siapa yang berhasil merubah putrinya Riko berbalik menatap orang itu.
Arga kepergok mengusap air mata, Mery dan Riko lantas mengulum senyumnya.
"Jadi cowok ini yang berhasil bikin putri papa lebih dewasa?" Riko mendekat, merangkul bahu Arga.
Arga salah tingkah dibuatnya, "Enggak begitu kok Om. Saya cuma nasehatin Mery sedikit aja. Justru Om yang berperan lebih besar."
"Enggak kebalik? Kamu yang berperan lebih besar, Om sendiri gagal menjadi ayah yang baik," koreksi Riko, lalu memeluk Arga.
Membalas pelukan Riko, Arga merasa canggung sekali, pasalnya ini pertama kali ia memeluk Papa Mery.
"Makasih."
"Sama-sama, Om." Kemudian pelukan kedua terlepas, Arga menatap canggung ke arah Riko, "Kalo gitu, saya pamit pulang, takut kemaleman."
"Yah, cepet banget sih, Ga?" tukas Mery, mengerucutkan bibirnya.
"Besok kan masih ujian, Ry. Lagian udah hampir jam sembilan, nggak baik buat kamu begadang."
Mery mengangguk dengan berat hati.
Arga tersenyum menanggapi, lalu menyalimi tangan Riko. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Usai berpamitan Arga langsung keluar kamar, Mery mengerucutkan bibir menatap kepergian pacarnya.
Melihat itu Riko terkekeh ringan, ia meraih kepala Mery untuk bersandar di pundaknya, "Kalo emang jodoh nggak bakalan kemana, kamu mah berlebihan banget," ujarnya, Mery mendongak, ia mencubit pelan lengan Riko.
"Papa ih!"
"Besok ikut papa ya?"
"Kemana?"
"Ketemu seseorang."
"Siapa? Temen papa?"
"Nanti kamu tau sendiri."
"Oh. Emmm ngajak pacar boleh dong?"
"Boleh. Asal jangan dibawa pulang."
"Siap papa. Sekalian mau jalan-jalan pakai baju ini. Ehehehe," cengir Mery.
Riko menganggukan kepala, justru itu yang ia tunggu-tunggu.
☆☆☆
Seperti seorang cowok yang sibuk menghitung absensi anggota eskul fotografi. Tangannya cekatan meluruskan penggaris ke setiap baris nama dan kelas, kemudian menghitung berapa centang kehadiran di sana.
Namun, tanpa disangka sebungkus keripik ubi di lempar mengenai pulpennya.
"Kecoret bego!" Arga mengumpat kesal, tanpa menoleh pun ia tahu siapa sang pelaku, "Keluar, Lan."
Terdengar ledakan tawa dari belakangnya, Arga mengernyit, bukan, itu bukan gelak tawa dari Arlan, tapi ...
"Mery? Nggak mungkin lah, dia pasti chat dulu sebelum ke sini," gumamnya meyakinkan diri, berniat menulis lagi namun matanya mendadak ditutup oleh tangan seseorang.
Arga melepas pulpennya dan segera meraba pemilik tangan.
"Lepasin, Ry. Aku masih banyak kerjaan. Mainnya nanti," ucapnya lembut.
Si pemilik tangan langsung menunduk, menumpukan dagu di bahu Arga, "Maunya sekarang."
Arga tercekat, itu bukan suara Mery, buru-buru dia melepas kasar tangan cewek itu dan berbalik.
"Lo? Lo ngapain di sini? Lo gila ya kalo ada yang salah paham gimana?!" Arga bertanya, suaranya naik satu oktaf.
Cewek yang berambut selengan dengan bagian bawah bergelombang dan agak sedikit pirang itu tertawa.
"Emang siapa yang liat? Pacar lo nggak ada, temen lo nggak ada, cuma ada gue di sini. Kita bisa ngapain aja."
"Nggak!" Arga segera menepis kasar tangan centil yang ingin menyentuh bahunya, "Lo kira gue bakal tergoda? Keluar dari sini cepetan! Dasar gak tahu diri, gue ternyata salah udah nolongin cewek jalang kayak lo kemaren."
"Kenapa baru nyadar? Kenapa kemarin lo nggak tinggalin gue aja?" tanyanya, mengibaskan rambut, memperlihatkan leher putih serta dua kancing atas yang terbuka.
"Karena gue manusia, gue ngerti arti simpati. Sementara lo? Lo cewek murahan yang nggak tau diri. Seharusnya lo ingat siapa yang mohon sampai berlutut di kaki gue kemaren," kesal Arga.
"Cih. Nggak usah ya lo ingetin gue sama kejadian itu. Yah, anggap aja khilaf. Lo sih banci banget. Ngeliat cewek kesusahan dikit langsung nolong."
"Lo!" Arga semakin geram, ia tidak mau masalah semakin panjang, diraihnya lengan cewek itu kemudian diseretnya kasar keluar ruangan, "Sana! Gue gak akan biarin cewek macam lo ngerusak hubungan gue sama Mery!"
"Gue bukan perusak ya asal lo tau!"
"Terus apa kalo bukan perusak? Jalang?"
"Shit! Lo sendiri nggak mungkin lupa cewek lo itu mantan jalang?"
Arga memejamkan mata, dadanya terasa sesak detik itu juga. Andai, orang di depannya ini bukan wanita sudah pasti ia hajar habis-habisan.
Salahkan dirinya telah menolong cewek bernama Aileen itu kemarin malam.
Saat pulang dari rumah Mery, hujan sedang deras-derasnya, Arga menemukan Aileen bertekuk lutut sambil menangis di tengah jalan. Baju cewek itu bisa dikatakan luput dari kata baik, bagian bahu dan perutnya robek.
Aileen bilang, ia hampir diperkosa, dan berhasil ke tengah jalan untuk meminta pertolongan. Sayangnya, kakinya menginjak paku, membuat Aileen terjatuh dengan bertekuk lutut.
Persis. Kejadian malam tadi persis seperti pertama kali ia bertemu Mery. Parahnya lagi, Aileen ternyata satu sekolah dengannya.
Cup.
Kecupan, tiba-tiba mendarat di pipinya. Arga lantas membuka mata lalu memelototi Aileen yang tertawa puas.
"Lo keterlaluan, Len!"
"Satu sama. Ahahaha." Aileen tertawa puas, telunjuknya mengusap bibir Arga, "Tunggu saatnya gue ngerasain ini, kita mulai dari yang kecil aja dulu ya?"
"Sinting!" ejek Arga. Menepis telunjuk Aileen dari bibirnya.
Aileen tertawa lagi, "Iya. Gue emang sinting, Aileen Bramantha siswi kelas XI IPS-5. Anggota eskul modeling, jatuh cinta sama lo! Arga Adyasta. Ahaha. Catet itu!"
Tentu. Arga terkejut mendengarnya, siswi bernama Aileen itu benar-benar Gila. Mereka baru dua kali bertemu, dan dengan seenaknya mengatakan telah jatuh cinta padanya? Sinting!
Memilih masuk untuk menenangkan diri, ponsel Arga tiba-tiba berbunyi, panggilan masuk dari Mery.
"Hai pacarrrr. Gimana kerjaannya udah selesai belum?"
"Hmm."
"Hmm? Hmm apaan sih pacar? Yang jelas dong. Aku bukan cenayang!"
"Udah, Ry."
"Oh. Hehehe, aku ke sana, kamu jangan kemana-mana. Jodoh mau nyamperin. Hihihi."
"Hm."
"Hm doang. Nggak senengnya aku dateng?"
"Bukan gitu, Ry. Aku malah seneng banget kamu ke sini. Kebetulan aku lagi sendiri."
"Oke oce. Sebelum tutup, passwordnya dulu dong."
"I love you."
"Hehehe, me too."
Senyum tipis terulas di bibir Arga, kekonyolan Mery berhasil membuatnya melupakan masalah Aileen tadi. Cewek itu memang gila. Memakai cara yang hina untuk mendekatinya.
Arga akui, dulu Mery memang seperti itu, namun sejalang-jalangnya pacarnya, Mery tidak pernah bersikap seagresif itu. Meski kadang mesum Mery mencapai level tinggi.
Menghela napas, Arga duduk di sofa, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Entahlah, rasanya sangat lelah, menghadapi hubungan mereka yang selalu terancam masalah.
Tidak. Arga tak pernah berpikir menyudahi hubungan mereka. Justru, ia sangat berharap hubungan mereka bisa sampai ke jenjang yang lebih serius.
Suara pintu diketuk, membuyarkan lamunan Arga, ia lantas bersuara. "Masuk."
Pintu terbuka, menampilkan Mery—pacarnya. Cewek itu membawa bekal makanan pink dan botol aqua.
"Hai, hehe," sapanya. Arga tersenyum. Mery hendak menutup pintu tetapi Arga menahannya.
"Jangan ditutup, Ry."
"Oh iya, lupa, hehe," cengirnya. Arga memang seperti itu, sangat melarang menutup pintu jika mereka hanya berdua. Katanya takut khilaf karena setan ada dimana saja. Duh, Mery jadi makin cinta! Makin bingung juga nanti gimana malam pertama mereka? Aish. Canda.
"Lama nunggu ya pacar?" tanya Mery, dia mendekat, duduk samping Arga.
Arga menggeleng lemah.
Mery khawatir dan menempelkan punggung tangan ke dahi cowok itu.
"Kamu sakit? Kenapa keringetan gini?"
"Enggak. Aku sehat, Ry. Cuma telat makan pasti keringetan gini."
"Ohh. Lucu ya? Tapi nggak papa, setelah kita nikah, tiap malam pasti kamu keringatan terus nanti," ucapnya, penuh sorot jenaka.
Arga yang baru saja paham maksud Mery lantas menoyor kepala cewek itu, "Mesumnya udahin deh."
"Ih. Sakit tau! Kamu tuh yang pikirannya mesum. Maksud aku, kamu keringatan karena aku ajak nonton film horor. Kan biasanya gituuu," goda Mery, menaikkan alisnya berkali-kali.
Arga membuang muka, tengsin.
Mery tertawa, "Iya canda pacar, gemesin deh, pen nyubit."
Hanya sebentar, senyum Arga kembali terulas, ia mengacak rambut Mery gemas.
Pipi Mery merona, ia segera membuka bekalnya, "Tadaaa! Nasi padang spesial buat pacar plus telur dadar plus dada pacar. Eh, dada ayam maksudnya. Ehehe."
Sesaat, Arga ingin sekali ngakak. Pasalnya, nama bekal yang Mery bawa membuat lidahnya terasa terikat. Berdehem singkat, Arga menatap bekal itu. Sangat menggugah selera.
"Kamu yang bikin?"
Mery menggeleng. Arga mengerjap, "Bukan. Ini beli tadi, hehe. Aku nggak bisa bikinnya. Susah. Lama lagi. Nggak papa, 'kan?"
"Ya masa aku tolak? Udah kebeli juga, ayo suapin. Aaa."
Lantas Mery mengeluarkan sendok berbalut tisu dari sakunya lalu menyuapi Arga.
"Gimana? Enak nggak?"
"Hmm. Enak. Besok ganti menu deh. Kamu bawa kue aja, aku kangen kue kering buatan kamu itu."
"Oke. Mau rasa apa? Coklat? Stoberi? Keju? Atau ... kamu mau mochi nggak? Kalo nggak salah, adek kelas siapa ya namanya? Emm ... oh iya Nabilla. Dia nitip mochi buatan bundanya di kantin. Enak lho, Ga," jelas Mery. Arga manggut-manggut saja. Cowok itu kemudian meminum airnya.
"Nggak usah punya orang. Apa pun buatan kamu pasti aku makan."
Rona merah menyerbu pipi Mery lagi, cewek itu menyelipkan anak rambut ke telinga. Arga mengacak gemas rambutnya.
"Gimana ujiannya tadi? Lancar? Ada soal yang nggak kamu mengerti?"
Mery menggeleng, "Alhamdulillah mudah semua, kok. Yakin aja sih ya aku naik ke ... las."
Sorot jenaka Mery berubah menjadi pias kecewa, mengingat, tahun depan ia harus meninggalkan sekolah ini dan melanjutkan sekolah kedokteran di Amerika.
"Ry," Arga menaikkan dagu Mery, cewek itu menunduk kecewa, "Jangan sedih. Ini liburan, harusnya kita nikmati, bukan bersedih kayak gini. Kita masih punya banyak waktu kok untuk bersama."
"Ga," Mery menatap pacarnya penuh harapan.
"Ya?"
"Kamu janji nggak akan berpaling dari aku kan setelah aku pergi ke Amerika nanti?"
"Janji."
"Kamu nggak akan lupain aku, kan?"
"Enggak, Ry."
"Kamu jangan ganjen ya sama cewek lain? Terutama fans-fans kamu yang centil itu."
"Iya sayangg," jawab Arga datar. Seraya meminum kembali aquanya.
Entahlah, usai mengiyakan ucapan Mery. Tenggorokannya terasa tercekik tiba-tiba. Takut, bila suatu hari nanti ia melanggar janjinya pada Mery.
"Sekarang aku yang suapin kamu, ayo buka mulutnya," pinta Arga, Mery membuka mulut dan menerima suapan cowok itu.
"Ih, baru tau aku, ini enak banget, Ga," pekik Mery. Baru pertama kali mencicipi nasi padang.
Arga tertawa pelan, "Tuh kan aku bilang, bukan makanan restoran aja yang enak, makanan pinggir jalan juga," jelasnya, mendapati nasi nyangkut di dagu Mery, cowok itu segera mengambilnya. "Belepotan."
"Ehehe," cengir Mery. Saat keduanya bertatapan, pandangannya tertuju pada pipi cowok itu. Ada yang aneh, seperti warna merah, dan bentuknya seperti ... bibir?
Dada Mery langsung sesak, napasnya seolah tercekat, tanpa perlu penjelasan lagi ia tahu bercak apa itu, bercak hasil kecupan seseorang.
Mery menepis tangan Arga lalu tanpa babibu menjauh dari cowok itu dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Ry, kenapa?" tanya Arga panik, saat Mery melangkah mundur menjauhinya.
"Kamu tega, Ga. Kamu larang aku untuk cium kamu. Tapi ... kamu biarin cewek lain ngelakuin itu," katanya serak, menahan isak tangis keluar.
Arga membelalak, kontan membuatnya berjalan menuju cermin di sisi ruangan.
"Aileen Brengsek," umpatnya. Mendapati bercak lipstik di pipi, Arga dengan kasar menghapusnya. Ia kembali menghampiri Mery, "Ry, aku bisa jelasin, ini salah paham, ini nggak seperti apa yang kamu bayangin."
"Lepas!" Mery dengan kesal menepis tangan Arga yang menggenggam tangannya, "Aku benci kamu! Kamu pembohong, Ga!" Kemudian pergi dari sana bersama air matanya yang mengucur deras.
Arga hendak mengejar namun sudah terlambat, cewek itu berbelok di ujung lorong dan menaiki tangga.
Mengusap wajah frustasi, Arga tidak menduga hal ini akan terjadi. Ia bersumpah tidak berniat menyakiti hati Mery.
Kesal? Pasti. Arga meninju tembok sekuat mungkin. Tangannya berdarah? Ia tak peduli, sakit itu tidak sebanding dari sakit yang Mery terima ketika terjadi kesalahpahaman antara mereka.
Lagi dan lagi.
"Arghh. Sialan Aileen!"
Bahkan, jika semesta menginginkan kita berpisah, aku akan menentangnya.-Paracetalove-•••"Buset Ry, lo kenapa?" tanya Arlan, dia menghentikkan langkah saat hendak menuruni tangga. Tak sengaja berpapasan dengan Mery yang menangis sambil mengusap pipinya. "Gue nggak Papa." Arlan yang curiga tidak membiarkan Mery pergi begitu saja, ia lantas menahan lengan cewek itu dan menepikkannya. Arlan mengernyit, "Lo nangis?""Gue udah bilang gue nggak papa.""Gara-gara pacar lo lagi?""Lan," cicit Mery. Ia menepis perlahan tangan Arlan dari lengannya. Kemudian m
Aku takut kehilanganmu dirimu. Dirimu yang selalu menjagaku tanpa kenal waktu. Jangan pergi, meski hubungan ini terasa sulit dilalui.-Arga Adyasta-•••Bel istirahat kedua berbunyi. Surga dunia untuk seluruh murid SMA Bakti Buana. Terutama untuk Mery, dia hampir ketiduran saking membosankannya pelajaran Bu Wulan tadi. Selain membosankan, efek pelajaran bu Wulan juga membuatnya kepanasan. Mery menempelkan sebelah pipinya ke meja."Kantin, kuy!" Ajak Gafa. Ketua kelas yang duduk dipojokan."Kuy-kuy! Nyari cewek cantik sekalian!" balas Cavin, yang mengedipkan sebelah mata."Cewek cantik cewek cantik! Itu si Citra mau lo kemanain, bang?" G
Cinta itu sederhana, manusia aja yang membuatnya rumit.-Paracetalove-•••Mery menempelkan sebelah pipi ke bahu Arga, tangannya melingkar di perut cowok itu. Ia kira pacarnya itu menggunakan mobil tapi ternyata pakai motor sport hijau milik cowok itu.Kalau begini, Mery jadi double seneng. Selain bisa modusin Arga ia juga berasa jadi Dilan sama Milea. Senyum-senyum sendiri nggak jelas di belakang. Pikirannya berkelana jauh, membayangkan mereka nanti di pelaminan.Huftt. Pasti menyenangkan. Mery menghirup udara dalam-dalam."Pacarrr hauss," adu Mery manja, "Ke minimarket dulu ya.""Padahal baru setengah jalan, udah hausan aja.""Yamau gimana lagi, kamu mau aku mati gara-gara dehidrasi?""Nggak gitu juga kali, Ry. Oke kita
Kita masih punya waktu untuk bersama, setidaknya hari ini saja. -Mery Thevania-•••"Asik banget ya pacarannya?" Mery dan Arga lantas menjauhkan mulut mereka dari perman kapas tadi, lalu saling berpandangan. Mery menunduk malu-malu, sedangkan Arga mengusap tengkuk salah tingkah. Sial, kenapa harus ketahuan sih? Marina dan Riko tersenyum geli, sebelum mereka sampai Mery lebih dulu berlari menghampiri lalu memeluk bundanya. "Huwaa, Bundaa, kangenn." "Lho kenapa nggak dilanjutin yang tadi?"
Kadang, yang datang bukan untuk bertahan. Tapi cuma singgah, terus pulang menyisakan sebuah kenangan.•••Setengah jam perjalanan pulang, akhirnya motor Arga tiba di rumah Mery. Cewek itu sendiri sudah tertidur pulas, Arga terpaksa membangunkannya. Menepuk-nepuk pipi pacarnya pelan, tak lama suara khas orang bangun tidur terdengar.Mery menguap sebentar, lalu membenarkan tatanan rambutnya. "Sudah sampai?"Arga bergumam sebagai jawaban, dia menurunkan standar motor. "Ayo turun.""Gendong.""Jangan manja."Mery nyengir singkat. Ia turun dari motor kemudian menghadap Arga. "Makasih pacarrr. Kira-kira sekarang udah jam berapa ya?""Jam delapan," jawab Arga, melirik jam tangan hitamnya."Oh. Pacar nggak mau mampir dulu?""Enggak. Aku buru-
Kalau dia benar-benar sayang, nggak mungkin tiba-tiba ngilang.•••Setelah mendapat telepon dari rumah sakit cewek itu bergegas meninggalkan kelas. Sempat dilarang oleh pengawas, namun seorang guru berhasil membujuknya membuat cewek itu buru-buru menuju parkiran.Rasa panik mendominasi perasaannya saat ini, cewek itu terus berdoa dalam hati. Sialnya, mobil cewek itu terjebak hingga mengeluarkannya cukup menyita waktu. Selamatkan Papa Ya Tuhan, selamatkan Papa.. batin cewek itu.Berhasil mengeluarkan mobilnya, cewek itu melewati gerbang sekolah dengan menjalankan mobil di atas kecepatan rata-rata. Membelah jalanan kota Bandung yang masih ramai pagi ini.Akibatnya, tidak sampai sepuluh menit, cewek itu berhasil tiba di rumah sakit lebih awal. Dia langsung menuju kamar pasien nomor 20, dimana seorang pria paruhbaya terbaring lemah di sana
Bagian terpenting dari menjalani sebuah hubungan bukan cuman kepercayaan. Tapi juga kejujuran. Kalau saling percaya tapi sering bohong. Ya percuma.●●●"Yan, pliss. Hari ini aja. Gue yakin Aileen bisa naikin rating majalah sekolah kita, apalagi kalau difoto sama lo. Terus makin banyak deh yang ikut eskul ini. Dan secara nggak langsung, kita juga bantu eskul modelling nambah anggota.""Dengan make gue?""Bukan!! Elo mah sotoy!""Terus apaan?"Arga mengambil duduk di salah satu sofa. Dia sudah malas meladeni Kevin yang sedari tadi mengungkit soal Aileen. Cowok itu mengambil kameranya, membersihkan lensanya dengan hati-hati.Mengingat waktunya sekarang, bagi cowok itu mengajari junior-juniornya. Meski eskul fotografi pernah dip
Ruangan eskul modelling penuh riuh sore ini. Penyebabnya tidak lain adalah kedatangan ketua eskul fotografi. Meski bukan pertama kali datang ke sini, tetap saja Arga merasa risih. Dalam sekejap, cowok itu menjadi pusat perhatian para siswi yang sedang menggosip di bilik pemotretan. Mereka saling berbisik-bisik lalu melihat Arga. Mengedipkan sebelah mata atau melempar senyuman semanis mungkin. Dan yah, Arga tidak terpengaruh sama sekali. Ia tetap fokus memotret seorang siswi yang tengah berpose di depan background shoot berwarna kuning. "Berapa lama lagi sih?" tanya Arga, mendelik pada Kevin, cowok itu duduk di depan laptop yang telah terhubung dengan kameranya.