Usai dua puluh menit meramaikan taman kota Bandung dengan nyanyiannya, Arga mengajak Mery pulang, cewek itu tampak sudah kelelahan. Jelas, terlihat dari pelipis Mery yang terus menitikkan keringat.
Kini, mereka sudah dalam perjalanan, menggunakan motor cowok itu. Seperti biasa, Mery akan bersandar di bahu Arga sambil menempelkan pipinya.
"Pacar, pulangnya ke rumah kamu aja, ya. Papa pasti lembur malam lagi. Aku takut sendirian di rumah," rengek Mery. Dia melingkarkan tangan di perut Arga.
Arga menjawab dengan anggukan, dia memelankan laju motor saat melirik kaca spion—mendapati Mery mulai memejamkan mata. Dia tahu, Mery pasti akan memulai aksi tidurnya.
Arga menghela napas, sebulan semenjak kematian Hana, dia merasakan banyak hal yang berubah dari Mery. Mulai dari penampilan cewek itu, sikap, hingga perilaku yang awalnya urakan menjadi sedikit teladan.
Tidak masalah, jika itu yang terbaik untuk Mery, Arga tidak punya hak untuk melarang.
Sepuluh menit berlalu, sampailah Arga di depan rumahnya, dia menoleh ke belakang, Mery masih tidur pulas. Dilihatnya Pak Husni sedang menyiram tanaman, Arga tanpa pikir panjang meminta pria berumur 40 tahun itu memarkirkan motornya.
"Pak," panggil Arga. Pak Husni menoleh dan langsung menghampiri cowok itu.
"Kenapa ya, Den?"
"Tolong masukkin motor saya, ya, Pak. Saya mau bawa masuk Mery."
Pak Husni mengacungkan jempol. "Siap, Den. Hati-hati bawa ceweknya."
Arga tersenyum tipis, dia memutar badan perlahan sampai tangannya menangkap kedua lengan Mery. Menyangga tubuh cewek itu, melepas perlahan lingkaran tangan dari perutnya.
Sampai ia pastikan sudah menyangga tubuh Mery secara penuh, Arga mulai menyelipkan tangan di belakang lutut dan tengkuk Mery. Membopong cewek itu masuk. Dan ketika sampai di ruang tengah, Arga mendapati Anggie sedang menonton TV.
Anggie menggidikan dagu ke arah Mery. Paham apa maksud mamanya, Arga menjawab. "Tidur." Setelahnya, cowok itu berlalu menaiki tangga. Menuju kamarnya dan merebahkan Mery di sana.
Setelah menarik selimut hingga sebatas dada Mery, Arga mulai membuka satu persatu kancing seragamnya bersiap mandi. Namun, sempat saja ia melirik ke arah Mery lalu berkata,"Te amo."
★★★
Hal pertama yang Mery lihat ketika membuka mata adalah langit-langit kamar berwarna biru, beberapa poster superhero buatan Marvel Studios, lalu beberapa foto yang dipajang berbingkai di sisi ruangan.
Mery menguap lebar sembari menutup mulut, dia melirik sekeliling, merasa sangat asing dengan ruangan ini. Dan ketika mencoba bersandar pada sandaran kasur, pintu terbuka, menampilkan wanita paruhbaya bersama segelas susu di nampan berjalan mendekat.
"Masih capek?" tanya Anggie. Dia tersenyum.
Mery menggeleng. Dia mengedar pandang, Anggie yang mengerti pergerakan Mery lantas bersuara. "Arganya lagi mandi. Kamu tunggu aja dulu, mandinya paling sebentar, minum susu dulu gih. Tante udah buatin khusus buat kamu." Anggie duduk di sisi kasur dan mengusap rambut cewek itu.
"Makasih, Tante." Mery meminum susunya hingga tersisa setengah.
"Sama-sama. Gimana ujiannya?"
"Lancar kok, Tan. Berkat Arga juga ngejelasin semua materinya. Aku jadi paham."
"Bagus, dong. Mau keluar nggak? Kita makan sama-sama. Habis ini, kamu boleh belajar bareng lagi sama Arga," ucap Anggie. Mery segera menyibak selimut dan mengikuti Anggie menuju ruang makan.
Meski begitu, matanya tidak berhenti mengagumi setiap sisi kamar Arga. Dan ketika sampai di ambang pintu, Mery berat hati menutup pintunya.
Sampai di ruang makan, Mery menghela napas dan langkahnya terhenti saat mendapati Arga duduk sambil meminum segelas susu yang sama seperti di tangannya sekarang.
"Arga udah selesai mandi ternyata, samperin, tuh."
Mery mengangguk, segera saja ia menghampiri Arga, mengambil duduk samping cowok bersetelan santai itu. "Hai, pacar!"
Arga mendelik. "Hm."
"Gitu aja? Nggak nanya aku masih capek? Dih, nggak peka amat," sungut Mery mengerucutkan bibir.
"Dari muka keliatan."
Mery menaikkan alisnya. "Keliatan. Keliatan apa?"
"Nggak ada capeknya."
"Uuh. Jadi, gemes deh. Unch-unch." Mery gemas, dia mencubit kedua pipi Arga.
Arga meringis, wajahnya berubah berbagai bentuk. "Sakit, Ry. Lepasin!"
"Ish. Gitu aja ngambek." Mery membuang muka.
Arga mendengus, dia menghela napas lalu mencubit balik dengan gemas pipi Mery. "Siapa bilang ngambek?"
"Dari muka keliatan," jawab Mery, menekuk wajah.
"Pake copas segala. Aku nggak ngambek kok." Arga berusaha membujuk Mery, cewek itu tetap tidak menurut, malah semakin menekuk wajah.
"Au ah. Bete. Kamu bikin kesel."
Arga terkekeh geli, dia mengalihkan pandangan ketika Anggie sudah menyiapkan dua piring sate di meja makan. Dia tidak peduli pada Mery. Toh, cewek itu pasti ngambeknya sebentar aja.
Arga pun mulai makan, sementara Mery yang merasa dicuekin pasrah, ia mengambil piring satenya lalu memakan dengan setengah kesal. Dasar nggak peka!
"Tante keluar dulu ya, Mery," ujar Anggie, lalu menatap Arga. "Kamu jaga Mery. Jangan ngapa-ngapain anak orang." Setelahnya, Anggie mencium puncak kepala Mery dan Arga bergantian.
Arga memutar bola matanya jengah. Mery tersenyum tipis merespon Anggie. Dirasa wanita paruhbaya itu sudah menghilang di balik tembok, Mery melanjutkan aktivitas makannya. Masih dengan raut kesal.
Bunyi gelas yang ditaruh, membuat cewek itu menoleh ke samping, ia mendapati Arga beranjak begitu saja setelah memakan satenya. Mery mengernyit, labil banget, sih!
Cewek itu lalu memutuskan mengikuti Arga masuk ke dalam kamar. Dan tepat di ambang pintu Arga tiba-tiba berhenti hingga jidat Mery membentur belakang tubuh cowok itu.
"Auh," ringis Mery.
Mendengar itu, Arga memutar tubuh. Dia menaikkan satu alis, kala melihat Mery mengelus jidatnya.
"Ngapain?" tanya Arga.
"Ya belajar bareng lah, lupa lagi kan. Uh ngeselin banget," jawab Mery tidak kalah ketus. Ia mengibas rambut lalu duduk di sisi kasur Arga.
Arga mendengus geli, dia mendekati meja belajar. Tidak jauh dari tempatnya berdiri Mery mengamati. Dia tahu, tapi seakan tidak peduli.
Cewek itu mengerucutkan bibir. Duh, kapan sih Arga pekanya kalau dia sedang marah?
Mendadak Arga menaiki kasur bersama tiga buku paket, tanpa sepatah kata sedikitpun, siku mereka bersentuhan membuat Mery terkesiap dan menoleh. Detik selanjutnya, cewek itu melihat cengiran tipis dari Arga.
Arga menepuk space kosong di depannya. "Mau belajar, kan? Sini duduk."
Mata Mery membelalak, tak lama senyumnya terbit. Cewek itu beringsut menghadap Arga.
★★★
"HORE! GA, AKU BISA! AKU BISA!" Mery memekik girang dari atas tempat tidur, gara-gara berhasil menyelesaikan satu soal Kimia selama hampir tiga puluh menit, senangnya minta ampun.
Arga tersenyum lebar, tangannya tergerak mengacak gemas rambut Mery. Padahal, dia merasa sangat-sangat terganggu karena pekikan cewek itu membuyarkan konsentrasinya.
"Bagus. Satu soal lagi, tapi jangan teriak-teriak lagi ya, Ry. Konsentrasi aku hilang."
Mery nyengir singkat. "Oh. Hehe. Kasih satu lagi, Ga. Satu lagi."
Arga mengangguk, dia meraih kertas di hadapan Mery lalu menuliskan satu soal lagi di sana. Selesai, Arga mengembalikannya.
"Nih. Kalau sudah. Kasih aku aja," ucap Arga.
Mery mengangguk, pulpennya sesekali mengetuk pada dagu. Pikirannya berkelana mengingat materi kimia yang diajarkan Arga.
Lima menit. Delapan menit. Hingga menit ke sepuluh Mery membulatkan mata. Kertas yang tadinya hanya berisi soal itu kini penuh coretan dengan jawaban di bawahnya.
"YEAY! YUHUU. ARGA AKU BISA! AKU BISA! INI MUSTAHIL SUMPAH." Mery loncat-loncat di atas kasur, senang bercampur bahagia.
Arga yang merasa fokusnya buyar kedua kali mengacak rambut frustasi, dia sudah mencoba bersabar dengan membiarkan Mery loncat-loncat. Tapi, cewek itu semakin berulah. Hingga Arga habis kesabaran, kertasnya tercoret lumayan panjang.
"BERISIK MERY! NGGAK USAH KEKANAKAN KAYAK GITU! GAK LIAT AKU BELAJAR?!" ujar Arga, dadanya naik turun mengatakan itu dan wajahnya memerah.
Loncatan Mery seketika terhenti, matanya berkaca-kaca, bahunya bergetar, pensil di tangannya berakhir di kasur. Kakinya lemas, kepalanya menunduk.
"Maaf, Ga. Maaf." Mery menyeka air matanya, dia menunduk malu sudah membuat Arga kesal. Dia memilih turun dari kasur dan menyambar tasnya.
Masih tersulut amarah, Arga seakan buta pada keadaan ini, dia membiarkan Mery pergi setelah dicaci maki. Diambilnya kertas jawaban Mery tadi, seketika mengernyit, ternyata jawabannya benar dan semua hitungan di sana lengkap.
Arga merenggut rambutnya kesal. "Sial! Apa yang gue lakuin?! Dasar bodoh!"
Cowok itu turun dari kasur, sial, setan apa yang merasukinya tadi?
★★★
Di sisi lain, dengan mata berkaca-kaca, Mery menuruni anak tangga, dia tidak pernah berpikir Arga akan mengatakan hal yang sangat menyakiti hati. Mery tahu Arga terganggu, tapi, dia sama sekali tidak berniat melakukan itu.
Apalagi mengingat kalimat Arga yang membuatnya bisu, dan hidup gue bukan cuman tentang lo. Seketika hati Mery seolah tertusuk ribuan jarum.
Sekarang dia mengerti, kehadirannya bukanlah prioritas lagi, namun hanya sebagai pengganti sosok Hana yang telah pergi. Seharusnya ia mengerti itu sejak dulu.
Dengan langkah cepat, bahu masih bergetar, Mery melewati Pak Husni yang menatapnya bingung. Tepat setelah itu, Anggie muncul dari taksi yang ia tumpangi.
Langkah Mery terhenti, buru-buru dia menyeka air matanya.
"Loh, Mery. Belajarnya udah selesai?" tanya Anggie, tangannya membawa dua bungkus plastik putih.
"U-udah Tante," jawab Mery tergagap. Tidak mau Anggie melihat jejak menangis dari matanya, cewek itu berusaha menghindari kontak mata.
"Tumben cepet. Masuk dulu gih, Tante bawain sop buah ini. Kita makan sama-sama."
Mery menggeleng. "Eng-gak usah Tante. Aku mau pulang. Takut Papa nyariin."
Anggie hanya mengangguk tanpa curiga. "Oh. Kalau gitu mau dianterin?"
"Enggak usah, Tan. Arganya lagi fokus belajar, aku nggak mau ganggu," ucap Mery, bergegas dia menyalami tangan Anggie. "Assalamualaikum."
"Waalaikum salam. Hati-hati ya."
Mery pun mengangguk lalu berlalu begitu saja. Anggie berbalik dan melihat Mery melambai pada sebuah taksi biru yang lewat. Cewek itu kemudian masuk dan pergi bersama taksi tadi.
Anggie menghela napas, sejak kematian Hana, dia berusaha menerima kehadiran Mery meski sempat tidak suka. Lambat laun, Anggie mengerti jika dia tidak bisa membuat putranya terus menangisi kematian Hana.
Melangkah ke dalam rumah, Anggie merasakan tangannya basah. Dia mengangkat tangannya yang sempat dicium Mery tadi.
"Loh, kok basah?"
—p a r a c e t a l o ve —
Jatuh dan cinta adalah dua hal berbeda, namun keduanya sama-sama menghasilkan luka.•••Arga mengacak rambutnya frustasi saat menuruni tangga, tergesa-gesa ia meraih kunci motor di nakas ruang tamu. Ia yakin Mery marah dan sakit hati, tapi ketahuilah, Arga mengatakan itu saat emosi, wajar ia tidak bisa mengontrol diri.Ketika sampai di teras Arga berpapasan dengan mamanya, Anggie terlihat sibuk mengusap punggung tangan. Arga mengernyit melihat hal itu, kadang mengusap kadang mencium punggung tangannya sendiri, Arga jadi bingung apa yang mamanya lakukan."Ma, Mery tadi bilang apa?" tanya Arga.Anggie tersadar, ia buru-buru menyimpan tangan. "Oh-eh, Mery? Mau pulang katanya, takut Om Riko nyariin, memangnya kenapa?""Pulang?" Arga mengernyit. "Om Riko lembur malam ini, nggak mun
Cinta sama seperti keadaan, kita nggak bisa maksa keadaan itu sendiri mengikuti posisi kita. Tapi, kita sendiri yang harus pintar mengatur posisi agar keadaan nggak menyebabkan kesalahpahaman.•••Keesokan harinya...Mata Mery perlahan membuka, cahaya dari gorden yang disingkap membuat cewek itu silau, kepalanya masih pening, mungkin efek alkohol malam tadi yang belum hilang.Beralih ke mata cewek itu yang terlihat bengkak efek menangis semalaman. Ia tidak bisa tidur nyenyak, sesekali meracaukan nama Arga lalu menangis sesegukan.Ingatannya pun masih belum penuh, Mery hanya ingat ketika Arga mencium bibirnya, lalu membawanya ke mobil, setelah itu... ia tidak ingat apa-apa lagi.Rasanya sakit jika harus mengingat semua, tak mau ambil pusing, Mery bersandar pada
Kata rindu itu nyata, tidak bisa disembunyikan, tidak bisa dihilangkan, ia hanya ingin kamu melepaskan semua rasa yang pernah ada, agar semua kenangan itu tertulis kembali dalam sebuah cerita.-Paracetalove-•••Perasaan canggung kembali menghampiri ketika Mery duduk di boncengan motor Arga. Ia berdehem singkat, suasana jalan begitu padat, berpotensi bagi mereka berdua telat.Entah itu saat Arga merem motornya secara mendadak, atau tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Perasaan canggung sekaligus bimbang itu kembali. Pagi ini keduanya berangkat bersama, meski jauh dalam lubuk hati mereka, ada rasa bersalah mendera.Sebab kini, tangan Mery ragu-ragu meraih ujung seragam Arga untuk berpegangan. Bersamaan itu pula Arga merem mendadak, membuat jidat Mery mentok di bahu lebar cowok itu.
Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan.—Arga Adyasta—•••Mery bingung harus bereaksi seperti apa, di satu sisi hatinya menghangat sementara di sisi lain ia masih kecewa. Jujur, ada rasa takut saat Arga menggebrak meja yang membuat penghuni kantin menghentikan aktivitas mereka dan memilih menatap Arga.Dari dadanya yang naik turun, napasnya yang tersengal, hidungnya yang kembang kempis. Bahkan, kuku Arga seperti menancap pada mangkok bakso yang ia bawa. Dirundung rasa takut, Mery berjalan sambil menatap ke bawah hingga tanpa sadar jidatnya mentok ke bahu lebar cowok itu.Entah berapa kali sudah Mery meringis, jidatnya terasa ngilu. Tapi aneh, bahu Arga tidak mungkin sekeras itu. Arga termasuk cowok yang menjaga postur tubuh. Meski baru kelas sebelas, otot-otot di lengannya sudah menonjol, dan jangan lupa
Maaf, jika selama ini aku salah. Terlalu mengekangmu, terlalu sering menyakitimu, sampai aku sadar bahwa perlahan-lahan cinta yang kita jaga, hubungan yang kita jalani, terasa begitu hampa. —Paracetalove—•••"Cemburu?" Arga menoleh ke belakang, mendapati seorang cowok jangkung bertinggi badan sama dengannya menyunggikan senyum tipis. "Dirga?'"Hello, masih ingat gue nggak? Temen sepopok lo waktu kecil?"Bagaimana Arga bisa lupa, jika yang berdiri sekarang tidak lain adalah Dirga Refan Aldresta—sepupunya."Ingat." Arga menjawab seadanya, dia meraih bahu Dirga dan memeluknya. "Ngapain lo di sini?""Ya pengen ketemu lo lah, sob! emang ngapain lagi gue ke sini?""Kirain ng
Kita hanya sebatas rindu yang berujung temu.—Paracetalove—•••"Selamat malam, Om."Riko mengernyitkan dahi, mendapati cowok berhoodie putih datang ke rumahnya malam-malam seperti ini."Mau ketemu siapa?" tanya Riko ketus.Arga meneguk salivanya kasar, ini pertama kali ia berinteraksi dengan Riko. Rasanya gugup, tentu, dalam dua bulan menjalani hubungan dengan Mery. Arga sangat jarang melihat pria itu di rumah."Saya mau ketemu Mery, Om. Boleh?" tanyanya, alis Riko bertaut tanda tidak suka, melihat itu Arga buru-buru berkata, "Cuma sebentar, saya janji nggak akan ganggu Mery belajar."Riko
Kata mereka, waktu sangat berharga, tapi bagiku, kamu lebih dari segalanya. -Mery Thevania-•••Mereka pun akhirnya berpelukan, Arga mengusap rambut Mery dengan nyaman. "Kangen."Tiba-tiba deheman dari luar membuat keduanya refleks melepas pelukan."Papa?"Riko berdiri tepat di ambang pintu, matanya memicing menatap Arga. Tatapan seperti itu, benar-benar membuat Mery maupun Arga gelagapan, terutama Arga—ia takut Riko salah paham, jadilah cowok itu bersuara."Om kami tadi—"Belum selesai kalimatnya, Riko lebih dulu berjalan melewati Arga. Pandangan pria itu beralih pada pakaian Mery, menelitinya dari atas ke bawah dengan mata berkaca-kaca."Pa Mery—""I
Bahkan, jika semesta menginginkan kita berpisah, aku akan menentangnya.-Paracetalove-•••"Buset Ry, lo kenapa?" tanya Arlan, dia menghentikkan langkah saat hendak menuruni tangga. Tak sengaja berpapasan dengan Mery yang menangis sambil mengusap pipinya. "Gue nggak Papa." Arlan yang curiga tidak membiarkan Mery pergi begitu saja, ia lantas menahan lengan cewek itu dan menepikkannya. Arlan mengernyit, "Lo nangis?""Gue udah bilang gue nggak papa.""Gara-gara pacar lo lagi?""Lan," cicit Mery. Ia menepis perlahan tangan Arlan dari lengannya. Kemudian m