Kata rindu itu nyata, tidak bisa disembunyikan, tidak bisa dihilangkan, ia hanya ingin kamu melepaskan semua rasa yang pernah ada, agar semua kenangan itu tertulis kembali dalam sebuah cerita.
-Paracetalove-•••Perasaan canggung kembali menghampiri ketika Mery duduk di boncengan motor Arga. Ia berdehem singkat, suasana jalan begitu padat, berpotensi bagi mereka berdua telat.
Entah itu saat Arga merem motornya secara mendadak, atau tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Perasaan canggung sekaligus bimbang itu kembali. Pagi ini keduanya berangkat bersama, meski jauh dalam lubuk hati mereka, ada rasa bersalah mendera.
Sebab kini, tangan Mery ragu-ragu meraih ujung seragam Arga untuk berpegangan. Bersamaan itu pula Arga merem mendadak, membuat jidat Mery mentok di bahu lebar cowok itu.
"Auh," ringis Mery mengelus jidat.
Arga berbalik lalu mengernyit menatap Mery. "Kenapa?"
Pertanyaan itu datar, Mery menerka jika tidak ada unsur khawatir di sana. Ia memilih menggeleng pelan.
"Nggak papa."
Kernyitan Arga semakin dalam, kala ia menemukan tangan Mery bergetar, sambil memainkan sisi rok. Cewek itu mencuri pandangan.
Arga membuang napas berat, tanpa aba-aba dia meraih kedua tangan Mery lalu melingkarkan di perutnya.
"Aku nunggu kamu ngelakuin ini, dan ternyata… harus cowok ya yang selalu peka?"
★★★
"Mery awas jatuh, jangan lari!" Arga berusaha menyeimbangkan langkah dengan Mery, baru saja sampai di parkiran, melihat kondisi koridor sudah sepi cewek itu bergegas turun dari motor menuju kelas.
"Mery, kamu denger nggak?! Jangan lari aku bilang! Keramiknya licin, bisa jatuh!" tegas Arga. "Mery, kalo kenapa-napa gimana?!"
Mery tidak peduli, dia terus berlari, dalam pikirannya saat ini hanyalah bagaimana caranya masuk kelas tanpa telat. Namun sial, tiba di depan papan mading, cewek itu nyaris jatuh jika sebuah tangan tidak cepat menahan bahunya.
"MERY!"
Arga mengenyit dalam, ekspresi tidak sukanya muncul, ini bukan sinetron India, dimana si cowok akan bertatapan dengan si cewek lumayan lama, lalu jatuh cinta. Ini Arga, cowok beriris coklat itu justru emosi.
"Kenapa dikasih tau susah banget?! Ini koridor sekolah, bukan jalanan aspal Mery! Coba tadi aku telat dikit aja, kamu pasti terluka!" jelas Arga.
Mery menepis tangan cowok itu dari lengannya. Kaget dengan perubahan Arga yang tiba-tiba. "Apaan sih?! Kok jadi marah-marah? Lengan aku sakit dicekal kayak gitu. Aku larinya nggak kenceng tadi, lantainya yang licin. Kamu juga, nggak usah teriak-teriak, aku ngerti kok, aku bukan anak kecil."
Arga bersedekap, dia membuang napas berat. "Terus tadi apa? Kalau aku telat datang, mungkin pantat kamu udah mendarat di lantai."
Mery membuang muka sambil mengerucutkan bibir. "Au ah, bete! Aku nggak suka ya kamu terlalu protektif."
Arga berdecak seb. "Siapa yang protektif? Tadi itu—"
"Bomat. Aku nggak pernah suka dikekang, aku masih punya kebebasan. Aku pacar kamu bukan berarti aku harus nurutin semua permintaan kamu!" potong Mery. Detik setelahnya Arga masih bisa mengontrol diri.
"Tadi itu bukan permintaan aku cuma takut—"
"Terus apa?! Aku males Ga sama sikap kamu yang kayak gini, kadang perhatian, kadang ngebentak. Kamu bisa nggak sih jadi satu orang yang tetap. Aku capek! Aku capek kalau setiap detik harus selalu beradaptasi sama sikap kamu." Mery kesal, dia mengeluarkan semua isi hatinya. Mengapa Arga begitu berbeda?
Mery merindukan Arga yang dulu, yang dia kenal sebelum Hana kembali di antara mereka.
"Maksud kamu apa, Ry? Aku ngekang kamu? Itu salah, Aku cuma ngasih perhatian sama kamu, aku nggak mau kamu terluka. Sikap aku juga tergantung sama kamu, kamu ngelawan aku bakal ngebentak. Kamu menurut aku bakal diam," ujar Arga.
Aktivitas mereka memancing para siswa keluar kelas, bahkan ada yang mengintip di balik daun pintu.
"Terus kalau kamu salah? Apa aku nggak boleh marah? Aku punya hak ngelakuin itu." Mery tidak mau kalah.
Arga memegang kedua pundak Mery, berusaha meredam amarah yang akan membeludak di batinnya kini.
"Salah aku dimana?! Coba sebutin."
"Kamu beda, kamu bukan Arga yang aku kenal, dan kamu terlalu protektif, aku nggak suka, Ga. Aku masih mau bebas," sahut Mery, detik selanjutnya Arga menghela napas, dia memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi.
"Aku rindu kamu yang dulu, Ga. Dulu kamu nggak ngekang aku kayak gini."
"Ngekang gimana sih? Aku itu perhatian Mery."
"Tapi perhatian kamu itu—"
"Oke fine, kamu mau bebas, kan?"
Mery menggangguk, dilihatnya dada Arga naik turun, cowok itu menggigit bibir bawahnya sampai berdarah.
Mengacak rambut frustasi, Arga tersenyum meski darah menetes ke dagunya, lalu bersedekap menatap Mery.
"Aku kasih waktu kamu bebas buat mikir, mau pertahanin hubungan kita? Atau enggak?"
★★★
"Baiklah, waktu tinggal lima menit, silahkan kalian cek ulang lembar jawabannya sebelum dikumpul."
Suara itu milik Pak Yoshi—pengawas ujian hari ini. Beliau menaikkan kacamata setelah mengetuk meja dua kali. Semua siswa lantas gelagapan, trik licik pun hadir tanpa diingini. Ada yang pura-pura batuk lalu melempar kertas jawaban.
Ada yang berdehem guna memberikan kode pada teman. Di saat semuanya sibuk mengharapkan keajaiban, seorang cewek justru melamun sambil memutar pulpen di tangan.
"Shtt, Ry. Lo nomer 26 udah nggak? Gue lupa nih. Bagi jawaban dong," bisik Raya dari belakang.
Namun tidak ada jawaban.
"Yaelah, Ry. Mendadak dungu lo? Cepetan nih, kepepet."
Masih tidak ada jawaban.
"Yaudah gue pake cara lain, siap-siap ya, Ry."
Pluk.
"Aduh," ringis Mery saat gumpalan kertas mengenai kepalanya. Menoleh ke belakang, ia mendapati Raya nyengir.
"Sorry."
"Apaan, sih lo?!"
"Cielah, pelan-pelan, bego. Entar ketahuan, baperan amat. Kertas jawaban lo dong, geseran dikit Biar gue bisa nyontek."
Tanpa pikir panjang, mendengus, Mery sedikit menggeser lembar jawabannya ke kanan. Dia dalam mode badmood saat ini, jadi tidak mau ambil pusing permintaan Raya.
Entahlah, setelah ucapan Arga tadi seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya.
★★★
"Yan, geseran dikit dong elah, gue di ujung nih, jatoh entar lo yang tanggung jawab." Arlan ngomel-ngomel, sambil membawa semangkuk bakso di tangannya.
Arga tidak menjawab, dia terus menatap kosong ke depan. Dengan tangan terus mengaduk segelas orange juice, cowok itu seperti manekin hidup.
Arlan dan Kevin saling berpandangan, mereka hanya bisa menghembuskan napas berat. Dengan cepat, Kevin menoyor kepala Arga hingga cowok itu terhuyung ke samping.
"Sakit, bangsat!"
"Etdah, sorry, Bos. Elo sih dipanggil nggak nyahut. Geseran dikit, Arlan mesum mau duduk," ucap Kevin.
Arga bergegas menggeser duduk sementara Arlan melotot, lalu duduk di samping Kevin.
"Ada masalah lagi?" tanya Kevin.
Dengusan pelan respon Arga, tanpa kedip dia menatap seorang cewek yang sedang mengantri bakso berjarak lima meter darinya.
"Gue bingung nih ya, kenapa lo bedua sering banget ribut akhir-akhir ini. Beda banget sebelum Hana meninggal, lo bedua so sweet, suap-suapan sering di kantin. Dan sekarang…" Kevin menggantung kalimatnya.
"Menurut lo gue berubah?" tanya Arga tiba-tiba.
"180°, kalo kata gue. Gue lebih sering liat lu bedua ributin hal sepele dibanding romantisan kayak dulu. Ye nggak, Lan?" tanya Kevin, satu tangannya merangkul bahu Arga sementara tangan lainnya menyikut Arlan.
"Hm," sahut Arlan singkat.
"Tuh, kan bener gue. Jones-jones gini gue ngerti soal cinta. Haha."
"Gila lu, Vin?" cibir Arlan.
"Enggak, kurang belaian aja."
"Si goblok!"
Kevin terkekeh, ia menyugar rambut ke belakang, sekarang mereka jadi bahan tontonan karena Kevin melempar kedipan centil pada meja seberang.
"Eh, ada Mery," celetuk Kevin. Menyadari Mery ada di sebelah Arlan, sepertinya cewek itu kesulitan mencari tempat duduk, Kevin inisiatif bergeser mendekati Arlan. "Duduk sini dong, pas banget nih di sebelah ada pacar. Ayo suap-suapan, kalau abang Aga nggak mau yaudah suapin gue aja."
Mery terdiam, ia menggigit bibir bawah ragu, Arga masih tidak bereaksi apa pun. Cewek itu menghela napas, lalu menggeleng.
"Nggak usah, deh. Gue makan di kelas aja," jawab Mery, belum juga dia melangkah Arlan menahan tangannya.
"Atau mau gue suapin pake mulut?" tanya Arlan.
Brak!
Arga menggebrak meja kantin menimbulkan suara begitu nyaring, seisi kantin refleks menatapnya. Termasuk Mery, tangannya mendadak bergetar mendapati tangan Arga terkepal dan wajah memerah.
Dengan gerakan cepat, Arga berdiri dari duduknya lalu menghampiri Mery, merebut bakso dari tangan cewek itu.
"Ikut gue, kita makan di taman belakang."
Mery mematung sesaat, sedikit ragu dengan perubahan Arga yang begitu tiba-tiba. Tadi tidak bereaksi apa-apa, tapi lihat sekarang, dia seperti singa kelaparan kalau sedang marah.
Enggan membuat suasana runyam, Mery pun mengikuti langkah Arga menuju taman belakang.
"Lo gila tadi, Lan ngomong gitu? Lihat dong reaksi bos kayak apa?" ujar Kevin cemas. "Lo bedua bisa berantem lagi."
"Kalau itu yang bisa buat dia nurunin gengsi buat Mery, gue oke-oke aja," sahut Arlan, ia menyeruput kuah bakso. Saking kenyangnya Arlan bersendawa nyaring.
"Ih jorok! Arlan mesum!"
Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan.—Arga Adyasta—•••Mery bingung harus bereaksi seperti apa, di satu sisi hatinya menghangat sementara di sisi lain ia masih kecewa. Jujur, ada rasa takut saat Arga menggebrak meja yang membuat penghuni kantin menghentikan aktivitas mereka dan memilih menatap Arga.Dari dadanya yang naik turun, napasnya yang tersengal, hidungnya yang kembang kempis. Bahkan, kuku Arga seperti menancap pada mangkok bakso yang ia bawa. Dirundung rasa takut, Mery berjalan sambil menatap ke bawah hingga tanpa sadar jidatnya mentok ke bahu lebar cowok itu.Entah berapa kali sudah Mery meringis, jidatnya terasa ngilu. Tapi aneh, bahu Arga tidak mungkin sekeras itu. Arga termasuk cowok yang menjaga postur tubuh. Meski baru kelas sebelas, otot-otot di lengannya sudah menonjol, dan jangan lupa
Maaf, jika selama ini aku salah. Terlalu mengekangmu, terlalu sering menyakitimu, sampai aku sadar bahwa perlahan-lahan cinta yang kita jaga, hubungan yang kita jalani, terasa begitu hampa. —Paracetalove—•••"Cemburu?" Arga menoleh ke belakang, mendapati seorang cowok jangkung bertinggi badan sama dengannya menyunggikan senyum tipis. "Dirga?'"Hello, masih ingat gue nggak? Temen sepopok lo waktu kecil?"Bagaimana Arga bisa lupa, jika yang berdiri sekarang tidak lain adalah Dirga Refan Aldresta—sepupunya."Ingat." Arga menjawab seadanya, dia meraih bahu Dirga dan memeluknya. "Ngapain lo di sini?""Ya pengen ketemu lo lah, sob! emang ngapain lagi gue ke sini?""Kirain ng
Kita hanya sebatas rindu yang berujung temu.—Paracetalove—•••"Selamat malam, Om."Riko mengernyitkan dahi, mendapati cowok berhoodie putih datang ke rumahnya malam-malam seperti ini."Mau ketemu siapa?" tanya Riko ketus.Arga meneguk salivanya kasar, ini pertama kali ia berinteraksi dengan Riko. Rasanya gugup, tentu, dalam dua bulan menjalani hubungan dengan Mery. Arga sangat jarang melihat pria itu di rumah."Saya mau ketemu Mery, Om. Boleh?" tanyanya, alis Riko bertaut tanda tidak suka, melihat itu Arga buru-buru berkata, "Cuma sebentar, saya janji nggak akan ganggu Mery belajar."Riko
Kata mereka, waktu sangat berharga, tapi bagiku, kamu lebih dari segalanya. -Mery Thevania-•••Mereka pun akhirnya berpelukan, Arga mengusap rambut Mery dengan nyaman. "Kangen."Tiba-tiba deheman dari luar membuat keduanya refleks melepas pelukan."Papa?"Riko berdiri tepat di ambang pintu, matanya memicing menatap Arga. Tatapan seperti itu, benar-benar membuat Mery maupun Arga gelagapan, terutama Arga—ia takut Riko salah paham, jadilah cowok itu bersuara."Om kami tadi—"Belum selesai kalimatnya, Riko lebih dulu berjalan melewati Arga. Pandangan pria itu beralih pada pakaian Mery, menelitinya dari atas ke bawah dengan mata berkaca-kaca."Pa Mery—""I
Bahkan, jika semesta menginginkan kita berpisah, aku akan menentangnya.-Paracetalove-•••"Buset Ry, lo kenapa?" tanya Arlan, dia menghentikkan langkah saat hendak menuruni tangga. Tak sengaja berpapasan dengan Mery yang menangis sambil mengusap pipinya. "Gue nggak Papa." Arlan yang curiga tidak membiarkan Mery pergi begitu saja, ia lantas menahan lengan cewek itu dan menepikkannya. Arlan mengernyit, "Lo nangis?""Gue udah bilang gue nggak papa.""Gara-gara pacar lo lagi?""Lan," cicit Mery. Ia menepis perlahan tangan Arlan dari lengannya. Kemudian m
Aku takut kehilanganmu dirimu. Dirimu yang selalu menjagaku tanpa kenal waktu. Jangan pergi, meski hubungan ini terasa sulit dilalui.-Arga Adyasta-•••Bel istirahat kedua berbunyi. Surga dunia untuk seluruh murid SMA Bakti Buana. Terutama untuk Mery, dia hampir ketiduran saking membosankannya pelajaran Bu Wulan tadi. Selain membosankan, efek pelajaran bu Wulan juga membuatnya kepanasan. Mery menempelkan sebelah pipinya ke meja."Kantin, kuy!" Ajak Gafa. Ketua kelas yang duduk dipojokan."Kuy-kuy! Nyari cewek cantik sekalian!" balas Cavin, yang mengedipkan sebelah mata."Cewek cantik cewek cantik! Itu si Citra mau lo kemanain, bang?" G
Cinta itu sederhana, manusia aja yang membuatnya rumit.-Paracetalove-•••Mery menempelkan sebelah pipi ke bahu Arga, tangannya melingkar di perut cowok itu. Ia kira pacarnya itu menggunakan mobil tapi ternyata pakai motor sport hijau milik cowok itu.Kalau begini, Mery jadi double seneng. Selain bisa modusin Arga ia juga berasa jadi Dilan sama Milea. Senyum-senyum sendiri nggak jelas di belakang. Pikirannya berkelana jauh, membayangkan mereka nanti di pelaminan.Huftt. Pasti menyenangkan. Mery menghirup udara dalam-dalam."Pacarrr hauss," adu Mery manja, "Ke minimarket dulu ya.""Padahal baru setengah jalan, udah hausan aja.""Yamau gimana lagi, kamu mau aku mati gara-gara dehidrasi?""Nggak gitu juga kali, Ry. Oke kita
Kita masih punya waktu untuk bersama, setidaknya hari ini saja. -Mery Thevania-•••"Asik banget ya pacarannya?" Mery dan Arga lantas menjauhkan mulut mereka dari perman kapas tadi, lalu saling berpandangan. Mery menunduk malu-malu, sedangkan Arga mengusap tengkuk salah tingkah. Sial, kenapa harus ketahuan sih? Marina dan Riko tersenyum geli, sebelum mereka sampai Mery lebih dulu berlari menghampiri lalu memeluk bundanya. "Huwaa, Bundaa, kangenn." "Lho kenapa nggak dilanjutin yang tadi?"
"Mery, sudah siap?" tanya Arga yang berada di ambang pintu kamar mereka. Cowok itu sudah selesai bersiap-siap untuk menemani Mery check up sore ini."Belum, Ga. Tunggu bentar lagi." Mery mendelik sekilas Arga, tangannya sibuk memilah pakaian yang berjejer di kasur. Sesekali gadis itu mencocokkan bajunya di cermin. Lagi-lagi, Mery dibuat heran karena banyak dress kesukaannya menjadi terasa sesak saat dipakai. Padahal, sebagian dari dress itu baru ia beli minggu kemarin.Mery mendengus, satu lagi dress putih yang ia coba terasa sesak dibagian lengan. Ditambah bagian perutnya terlihat lebih menonjol. Sadar akan sesuatu, Mery membulatkan mata lalu memekik heboh. "HUWAA ARGA AKU GENDUTANNNN," teriaknya.
Mery menjilat bibir bawahnya ketika melihat isi kulkas, banyak sekali es krim, donat, pancake dan makanan dingin yang lain tersusun rapi di dalam sana. Ya, siapa lagi yang membelikannya kalo bukan Arga. Suaminya itu selalu menyiapkan persediaan makanan bahkan sebelum habis.Mery menyipitkan matanya sambil mengetuk telunjuk ke dagu, memilih makanan mana yang akan ia bawa ke ruang tamu. Semuanya tampak enak dan membangkitkan jiwa rakusnya. Rasanya Mery ingin membawa kulkasnya sekalian, jadi dia tidak perlu capek-capek bolak-balik ke ruang makan."Kamu mau yang mana sih, nak? Enak semua ini," tanya Mery sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Ia terkikik, seolah bayi dalam perutnya bisa menjawab pertanyaanya.Efek ngidam membuat nafsu makannya melonjak. Bahkan, setiap jam Mery merasa lapar, ia ingin makan nasi lagi tapi takut perutnya yang sudah buncit ini makin tambah buncit. Sehingga Mery takut bayinya nanti kesesakan d
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Hari dimana dua insan yang saling mencintai akan hidup bersama melalui ikatan yang sah. Saling menyayangi. Saling menjaga apa pun keadaannya. Mereka adalah Mery dan Arga. Waktu bergulir begitu cepat. Perasaan, baru kemarin mereka bertemu di sekolah yang sama, lalu lama-kelamaan perasaan cinta perlahan tumbuh di hati keduanya. Dan hari ini, Mery mengambil keputusan untuk menerima Arga menjadi pasangan hidupnya. Dulu, Mery membenci cowok itu karena sifatnya yang begitu gengsi, dingin, galak, judes dan menyebalkan. Tapi sekarang, ia mencintai semua yang ada pada diri Arga. Toh, hati manusia tidak ada yang tahu, 'kan? Cinta Mery akan bertambah atau berkurang? Semua itu hanya diketahui oleh Tuhan. Yang pasti, Mery akan mencintai dan menyayangi Arga semampu dan setulus hatinya.
"Aku memang pengen punya pacar lagi. Tapi ceweknya kamu. Mau?"Deg. Perkataan itu sukses membuat Mery mematung di tempat. Pipinya bersemu merah bak kepiting rebus. Kedua sudut bibirnya bergetar menahan senyuman. Andai dia berada di kasur, Mery pasti guling-guling saking senangnya.Jantungnya sendiri? Jangan ditanya lagi. Jedag-jedug tidak karuan. Mery bungkam. Lidahnya dibuat kelu untuk mengucap satu kata pun."Mery. Mau nggak? Atau permintaan aku kurang jelas?" tanya Arga sebab Mery belum menjawab permintaannya.Dengan mata terpejam, Mery berbalik menatap Arga yang masih duduk. "Ih iya-iya! Aku mauuu!Aku mau kita balikannn!"Arga mengulum senyum melihat tingkah gadis itu. "Bukan balikan. Tapi jadi pacar aku lagi. Anggap kita nggak pernah jadi mantan. Setuju?""Kenapa gitu?" Mery membuka matanya."Karena... aku mau kita mulai awal yang baru. Dan ja
Mery mengecek sekali lagi penampilannya di cermin. Siang ini dia akan pergi ke studio milik Arga. Mery sangat berharap cowok itu mau diajak balikan olehnya. Nyaris satu bulan mereka memiliki kedekatan, namun statusnya hanya teman. Entah, Arga yang memang tidak ingin menjalin hubungan lagi dengannya atau dirinya yang terlalu banyak berharap.Akan tetapi, Mery tidak akan menyerah. Dia harus berusaha meraih hati Arga lagi meskipun rasanya susah."Oke, perfect!" gumam Mery. Senyum mengembang di wajah cantiknya. Gadis itu memakai rok sebatas lutut dan juga kaos.Di tengah kesibukannya memoles bedak, Aileen tiba-tiba muncul
Arga galau. Ia masih tak percaya hubungannya berakhir secepat ini. Apalagi dengan cara bertengkar hebat kemarin sore. Semalaman, cowok itu hanya bisa tidur kurang lebih dua jam. Selebihnya Arga menggunakan waktu tidurnya untuk melamun, sesekali memandangi kalung MeryDian di genggaman tangannya.Tidak sedikitpun Arga berniat menghubungi Mery, pasalnya ia ingin memberikan waktu gadis itu menenangkan diri.Mungkin, Mery benar. Mereka sudah tidak cocok lagi. Sehingga hubungan ini tidak pantas dilanjutkan.Arga meringkuk di kasurnya seperti orang kedinginan. Jangan katakan ia lemah. Karena cowok itu sekarang sedang,menangis dalam diam.☆☆☆Mery sesegukan. Setelah mendengar semua fakta yang diceritakan Marina tentang Aileen dan Arga. Gadis itu tak dapat menahan air matanya. Mery terguncang, sy
Mery terus berlari. Ia tak peduli pada Arga yang mengejar dan meneriaki namanya di belakang. Air mata gadis itu bercucuran. Ia bahkan tak segan menabrak bahu siapa pun yang menghalanginya.Tiba di luar apartemen, Mery semakin mempercepat langkahnya. Pandangannya memburam oleh air mata. Tanpa gadis itu sadari bahwa di depannya adalah jalan besar. Mery pun menerobos jalan itu dan ternyata..."MERY!!"Sempat mengira ia akan tetabrak, beruntung tangan Mery diraih cepat oleh Arga, sehingga tubuh cewek itu berakhir dalam dekapannya.Mery yang syok hanya pasrah ketika Arga memeluk lalu memarahinya."KAMU GILA?! KAMU HAMPIR AJA KETABRAK, RY!" tanya Arga membentak. "BISA NGGAK SIH KAMU NGGAK USAH LARI-LARI?! KALO AKU TELAT SEDIKIT AJA KAMU UDAH DITABRAK TRUK ITU, MERY!""Biarin! Biarin aku mati, Ga! Memang siapa
Jika hubungan yang tidak cocok terus dipaksakan, maka hanya akan menimbulkan kesakitan.•••Ada satu hal yang membuat Arga bisa menghembuskan napas lega sekarang, yaitu kabar bahwa Aileen diperbolehkan pulang. Meski begitu, Aileen belum pulih penuh. Ia masih butuh perawatan."Aku pulangnya kemana?" tanya Aileen pada Marina. Gadis itu duduk di kursi roda. Sementara Marina mengemas semua pakaian Aileen ke dalam tas miliknya. "Ke rumah tante?"Dipanggil seperti itu, Marina lantas menoleh. Ia tersenyum samar. "Hari ini kamu tinggal di apartemen kamu dulu ya. Besok baru deh kita tinggal bareng-bareng.""Bedua?"Marina menggeleng. Satu tangannya tergerak mengusap rambut Aileen. "Nambah satu lagi. Mery. Dia, 'kan adik kamu," ujarnya lembut.Aileen langsung membuang muka. Tidak suka.
Setidaknya, katakan jika kamu sudah bosan. Supaya aku tidak mengharapkan yang lebih lagi. Karena itu menyakitkan.-Ignore-•••Mery lelah.Bukan lelah batinnya saja, tapi hatinya lebih.Gadis itu menyandarkan punggung ke sandaran kursi bertepatan ketika mobil Dirga berhenti di depan pagar rumahnya.Dirga paham, Mery sedang kecewa. Ia tahu betapa sakitnya diabaikan oleh orang yang kita cinta secara perlahan."Ry," panggil Dirga.Sejurus kemudian Mery menoleh. Senyum paksa terukir di bibir mungilnya."Thanks udah nganterin, Kak," ucap Mery. Sebelum turun, dia melepas jaket Dirga namun ditahan oleh cowok itu."Pake aja, lagian masih gerimis. Jarak antara mobil gue sama teras rumah lo lumayan jauh tuh," titah Di