Di malam yang dingin dan tenang. Di salah satu apartemen. Seorang pria dan wanita tengah di mabuk cinta. Mereka menikmati setiap permainan yang menghanyutkan jiwa.
Mereka saling menatap dengan lembut. Sentuhan lembut pria itu membuat hasrat sang wanita bergejolak. Sehingga suara lirihnya terdorong ke luar dari mulut manisnya. Pria itu semakin terprovokasi sehingga dia melakukan permainannya dengan cepat.
Bukannya rasa sakit yang dirasa sang wanita melainkan sebuah rasa yang membuat tubuhnya bergetar. Dia benar-benar menikmatinya. Hingga butiran keringat membasahi tubuh mereka berdua.
Saat mereka sudah berada di puncaknya. Seseorang mendobrak pintu. Seorang wanita menatap tajam mereka berdua. Tanpa berpikir lagi wanita itu memotret mereka berdua. Sebagai bukti jika mereka sudah melakukan perbuatan tidak senonoh.
“Sungguh menjijikkan. Mika, apakah ini yang dinamakan cinta dan kesetiaan?!” tanya wanita itu. Sembari menatap mereka berdua penuh dengan rasa kesal.
Dia membenci para pengkhianat. Terlebih lagi mereka berdua sudah mengkhianati sahabatnya. Di dalam benaknya berkata jika dia tidak akan melepaskan mereka berdua. Dan mereka harus mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka yang menjijikkan.
“Alena ... Alena apakah kamu mau bermain denganku juga?” Pria itu berkata. Sembari tertawa.
"Mika, apakah ini yang selalu kamu bela? Apa kamu tidak ingin melihat dengan matamu sendiri?!” Alena berkata dengan nada tinggi. Sebab dia benar-benar geram dengan perkataan pria itu.
Alena semakin kesal saja karena sahabatnya tidak kunjung masuk ke dalam kamar. Mungkin sahabatnya masih belum siap melihat kekasihnya sedang bermesraan bersama dengan wanita lain.
Pria itu terkekeh lalu berkata, “Mika, adalah kekasihku. Dia sangat mencintaiku. Kamu tidak bisa membohongiku dengan mengatakan jika dia ada di sini.”
“Cih, siapa yang bilang kalau aku sangat mencintaimu? Apa kamu pikir aku bodoh? Kamu pikir aku mau dengan pria busuk sepertimu?” Mika berkata pada kekasihnya. Dengan nada kesal sembari berjalan masuk ke dalam kamar.
“Benarkan itu, Sayang? Kamu tidak mencintaiku?” Pria itu kembali bertanya sembari tersenyum.
Alena tersenyum kecut. Melihat pria yang sama sekali tidak merasa bersalah meski sudah tertangkap basah. Andaikan dirinya tidak melihat sahabatnya. Mungkin saat ini dirinya sudah menghajarnya hingga babak belur.
“Mencintaimu? Aku memang mencintaimu. Namun, aku bukan wanita bodoh yang masih mau bertahan dengan pria sepertimu,” Mika berkata dengan nada tegas.
Alena melihat Beni turun dari atas ranjang. Pria itu begitu percaya diri tanpa mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya mendekat ke arahnya dan Mika.
“Putus?” Beni terkekeh lalu dia kembali berkata, “Baguslah karena aku juga sudah bosan bersama dengan wanita kuno sepertimu.”
Alena semakin geram saja dengan perkataan Beni. Tanpa berpikir panjang lagi dia melayangkan tendangan ke arah pria itu dengan sekuat tenaga. Sehingga Beni terhuyung ke belakang dan terjatuh. Dia merasa puas setelah mendengar suara rintihan kesakitan dari pria busuk itu.
“Alena, kamu ....”
"Pria menjijikkan sepertimu tidak pantas memanggil namaku. Terlebih lagi kamu sangat-sangat tidak pantas menjadi kekasih, Mika!” potong Alena. Sebelum Beni melanjutkan kalimatnya.
Alena pun kembali mengatakan beberapa hal pada pria itu. Semua hal yang diucapkannya adalah ancaman yang tidak bisa diabaikan. Sebab dia benar-benar akan melakukan semuanya jika pria busuk itu kembali mengganggu sahabatnya.
“Satu lagi. Aku tidak segan-segan menempel semua fotomu di papan pengumuman kampus.”
Alena pun pergi meninggalkan apartemen yang membuatnya merasa muak. Hatinya masih merasa geram dengan Beni yang begitu penuh percaya diri dan menjijikkan.
“Apa yang aku katakan benar bukan? Sekarang kamu harus bisa melupakan pria busuk itu,” ujar Alena. Pada Mika yang ada di sampingnya.
“Aku tidak mengira saja dia begitu busuk.”
Alena terus berjalan dan dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mika. Dia tahu dengan pasti jika saat ini sahabatnya begitu sedih dan kecewa karena melihat dengan matanya sendiri pengkhianatan kekasih yang sangat dicintainya.
“Alena, apakah aku bisa melupakannya?”
“Bodoh saja jika kamu tidak bisa melupakannya!” jawab Alena dengan nada kesal.
Kekesalan Alena bertambah pada sahabatnya. Dia berpikir jika sahabatnya itu sudah menjadi wanita lemah dan bodoh. Dia pun mempercepat langkahnya hingga dirinya berada di dekat sepeda motornya.
“Mika, apakah kamu bisa pulang sendiri? Atau mau aku antar?” tanya Alena. Yang memang mereka berdua ke apartemen itu menggunakan kendaraan masing-masing.
"Aku bisa pulang sendiri.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Besok kita bisa bertemu di kampus.
Alena mengangguk. Dia pun melihat Mika yang berjalan menuju ke mobilnya. Lalu masuk ke dalamnya. Dia menunggu hingga sang sahabat pergi meninggalkan apartemen. Dia menyalakan mesin motornya lalu menjalankannya ke luar area apartemen.
Dia memacu motornya semakin cepat karena teringat kembali dengan semua perkataan dan ekspresi Beni. Namun, dia juga merasa kesal pada Mika yang selalu saja percaya dengan kebohongan pria itu.
“Sepertinya dia sudah terpojok. Apakah aku harus membantunya?” gumam Alena. Saat dia melihat seorang pria yang dikeliling oleh lima orang pria.
Alena menghentikan motornya sedikit jauh dari mereka. Dia berpikir sejenak karena jika dia ikut campur maka dirinya akan semakin terlambat pulang ke rumah. Sudah pasti dirinya akan kembali terkena hukuman dari sang ayah.
“Ah ... sudahlah. Aku bantu saja dia dulu.”
Dia tancap gas dan saat sudah dekat dengan salah satu pria dia menendangnya. Lalu dia memutari mereka semua. Dia bisa melihat dengan jelas jika mereka semua geram dengan apa yang dilakukan olehnya.
Alena kembali menendang salah satu dari kelima orang yang bertampang sangar. Dia sama sekali tidak takut dengan mereka. Dan akhirnya dia menghentikan motornya. Dia memandangi mereka satu per satu. Lalu pandangannya terhenti pada seorang pria berjambang yang sudah terlihat kelelahan.
“Ternyata kalian pengecut. Berani mengeroyok seorang pria tua,” kata Alena setelah dia melepaskan helmnya.
“Berengsek! Kamu sudah mencari masalah! Habisi dia juga!” teriak pria bertubuh kekar pada keempat temannya.
Alena tersenyum tipis saat melihat dua orang pria yang menyerangnya. Dia sama sekali tidak merasa gentar dan menghadapi mereka berdua. Dia berhasil menangkis atau menghindari serangan mereka berdua. Bahkan dia juga berhasil membuat mereka terhuyung ke belakang.
“Awas!” teriak seorang pria.
Alena sedikit terkejut dengan teriakan pria itu. Dia hanya memandangi punggung seorang pria yang saat ini sedang menangkis tangan musuh yang hendak memukulnya dengan tongkat pemukul.
“Dasar bodoh! Bagaimana kamu bisa tidak waspada!” Pria berjambang itu berkata dengan nada tinggi. Pada Alena.
Alena tertegun. Sebab ini kali pertama ada orang lain yang membentaknya. Rasa kesal di dalam benaknya muncul pada pria tua yang sudah diselamatkan olehnya itu. Karena sudah berani membentaknya dan mengatakan jika dirinya bodoh.
“Kita pergi dari sini!” perintah pria dengan tubuh kekar pada teman-temannya. Sebab dia melihat ada dua mobil yang baru saja berhenti.
Alena masih tetap berdiri di depan pria berjambang itu. Hatinya masih geram dengan pria itu. Dia menatapnya dengan tajam dan hatinya menyuruhnya untuk menyerang pria tua yang tidak tahu berterima kasih itu.
“Kamu bilang aku bodoh? Apa kamu sudah pikun jika aku yang menyelamatkanmu?” tukas Alena.
“Kamu memang bodoh!”
Alena semakin kesal karena pria itu kembali mengatakan bodoh padanya. Dia pun akhirnya menyerang pria itu tanpa memedulikan jika di dekatnya sudah ada enam pria yang siap untuk menyerangnya juga. Sebab yang ada di benaknya saat ini adalah meluapkan kekesalan pada pria tua yang tidak tahu berterima kasih itu. Hingga akhirnya dia berhasil mengunci pergerakan pria tua itu.
“Lindungi, Tuan!” perintah seorang pria.
Alena tersenyum kecut. Lalu dia mengeluarkan sebuah senjata dai saku jaketnya. Dia mengarahkannya ke leher pria itu.
“Jangan mendekat! Jika tidak ingin pria tua ini berakhir!” ancam Alena. Setelah dia mengeluarkan senjata dari saku jaketnya.
Alena tersenyum tipis, dia melihat pria tua itu memberikan tanda agar tidak ada yang bergerak. Dia berjalan mundur sembari terus waspada dengan pergerakan orang-orang yang ada di depannya. Hingga dirinya sudah ada di dekat motornya.
“Aku bukan wanita bodoh! Ingat itu pria tua,” ujar Alena. Sembari menusukkan senjata tajam ke leher pria itu.
Seketika dia mendengar suara teriakan pria yang ada di depannya. Dia pun mendorong pria itu dengan sangat kuat. Hingga terjatuh ke jalanan beraspal. Kemudian dia langsung menaiki motornya. Dia melempar pisau yang merupakan sebuah mainan.
Dia juga memperlihatkan sebuah flash drive yang tadi terjatuh dari saku celana pria itu. Tanpa berkata lagi dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi.
“Kejar dia! Hidup atau mati aku tidak peduli!” perintah pria berjambang pada semua anak buahnya. Dia begitu geram sudah dipermainkan oleh seorang wanita. Serta mengambil barang penting miliknya.
Alena terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Dia menyadari jika pria tua itu mengejarnya. Dia dengan lihainya meliuk-liukkan tubuhnya sehingga motor mengikuti arahannya untuk menyalip kendaraan yang ada di depannya. Hingga akhirnya dia berhasil lepas dari kejaran mereka. Setelah berhasil melewati lampu lalu lintas yang sekarang sudah berwarna merah. “Kalian jangan meremehkan aku,” gumamnya. Sembari terus menaikkan kecepatan motornya. Alena akhirnya tiba di rumahnya. Dia masih duduk di atas motornya. Dia merasa enggan untuk masuk ke dalam rumah. Sebab dia sudah tahu sudah ada yang menunggunya dan akan menghukumnya. Dia menghela napasnya lalu berkata, “Untuk apa aku takut? Bukankah itu sudah biasa.” Alena berjalan masuk ke dalam rumah. Hatinya semakin tidak menentu saat dirinya sudah ada di depan pintu. Perlahan dia memegang gagang pintu dan membukanya pelan-pelan. “Masih ingat pulang kamu hah!” Alena sedikit terkejut mendengar suara sang ayah yang geram. Dia menatap ay
“Akhirnya kamu siuman juga,” ucap seorang pria. Setelah melihat Alena membuka matanya. Alena begitu terkejut saat melihat pria itu sudah ada di atas tubuhnya. Dia juga melihat pria itu tersenyum dan itu sangat menjijikkan. Senyuman pria itu menyiratkan penuh dengan hasrat. “Bagaimana apakah kamu masih ingin aku melanjutkannya lagi,” Pria itu kembali berkata. Sembari menyentuh bibir Alena. Lalu menjalar ke lehernya. “Jangan macam-macam denganku, Beni!” ujar Alena. Dengan nada lirih. “Bukankah kamu yang mencari masalah denganku! Kamu yang sudah menyebarkan semuanya bukan?! Itulah sebabnya aku semakin menikmati setiap lekuk tubuhmu yang begitu menggoda hasratku,” Beni kembali berkata. Lalu dia berusaha untuk mencium bibir Alena. Alena berusaha menghindari Beni. Dia tidak ingin pria seperti Beni mengambil ciuman pertamanya. Dia juga sangat membenci Beni karena begitu tidak senonoh. “Semakin kamu membenci dan menolak aku. Maka aku semakin menginginkanmu,” Beni kembali berkata. Ben
Alena membuka matanya. Dia memegang kepalanya yang masih terasa berat. Dia melihat sekeliling dan dia sama sekali tidak mengenali ruangan. Lalu dia melihat ke sampingnya. Seketika dia melihat ke arah tubuhnya. Dia semakin terkejut karena saat ini tubuhnya mengenakan kemeja putih. “Dasar pria tua mesum!” teriak Alena. Teriakannya itu membangunkan pria yang ada di sampingnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi Alena mengambil bantal dan memukuli pria itu. Dia tidak akan melepaskan pria yang sudah menyentuhnya. “Berhenti!” perintah pria itu. Dengan nada tinggi juga. Sembari memegang tangan Alena. “Apa yang sudah kamu lakukan padaku?!” “Apa kamu mau aku ceritakan atau kita ulang kembali adegan semalam yang begitu panas?” jawab pria itu. “Kamu ....” Namun, sebelum Alena melanjutkan kalimatnya. Ada seseorang yang mengetuk pintu kamar. Pria itu pun turun dari atas ranjang dan memerintahkan orang itu untuk masuk. Pintu terbuka dan terlihat seorang pelayan wanita sembari membawa gaun yan
“Alena, bangunlah!” perintah pria yang menghentikan sang ayah memukulinya. Alena mendongak. Dia pun menerima uluran tangan pria itu. Dia menatapnya lalu memeluknya. Dia begitu merindukan pria itu dan hanya pria itu yang selalu melindunginya. “Kakek ....” “Gadis tengil. Mengapa kamu tidak melawan? Apakah kamu ingin dihajar habis-habisan oleh ayahmu yang bodoh itu.” Alena hanya diam dan masih memeluk kakeknya. Dengan berada di dalam pelukan sang kakek bisa membuatnya begitu tenang dan hangat. Hanya berada di dekat sang kakek yang bisa membuatnya merasa aman. Dia melepaskan pelukannya. Setelah itu dia melihat Brian yang berdiri di belakang sang kakek. Dia melupakan jika pria itu ada di depan rumah sedang menunggunya. “Ayah, dia sudah membuatku malu. Serta nama baik kita tercemar karena dia!” “Pram, sejak awal kamu memang tidak adil pada, Alena. Kamu hanya mengikuti apa yang kamu pikirkan dan tidak pernah mau mendengarkan penjelasannya. Sehingga bagimu Alena hanya putri tidak ber
Alena sudah tiba di rumah sakit. Dia bergegas menuju ruangan di mana sang kakek berada. Dia menghentikan langkahnya saat melihat sang ibu yang tengah berdiri di depan sebuah ruangan. “Bu, bagaimana keadaan kakek?” tanya Alena pada sang ibu. Akan tetapi sang ibu tidak menjawabnya dan hanya melihat ke dalam ruangan dari kaca yang menempel di pintu. Tanpa banyak tanya lagi Alena masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat sang kakek yang terbaring di atas ranjang. Di sampingnya ada sang ayah serta pria yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang kakek. “Kakek ...,” panggil Alena sembari mendekat ke arah ranjang. Dia menghentikan langkahnya saat sudah ada di samping ranjang. Dia memegang tangan kakeknya dan mencium punggung telapak tangannya. Dia memandangi wajah sang kakek yang terlihat begitu lemah serta kepalanya pun di perban. “Jangan tinggalkan aku,” Alena kembali berkata dengan nada sedih. “Alena ... menikahlah dengan, Brian.” Alena tidak menimpali sang kakek karena dia ti
Alena mendongak. Dia berdiri dan menatap orang yang ada di hadapannya. Dia bisa melihat dengan jelas ada kebencian dari sorot matanya terhadapnya. “Mengapa Om Andi berkati seperti itu?” tanya Alena. Pada pria yang baru saja menuduhnya sebagai penyebab kematian sang kakek. “Iya. Jika bukan karena untuk melindungimu mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kamu sudah tahu bukan jika ayahmu itu begitu busuk.” Alena mendengarkan semua kemarahan sang paman serta kebenciannya pada sang ayah. Memang sudah sejak lama hubungan sang ayah dan adiknya itu tidak baik-baik saja. Bahkan mereka berdua sering bertengkar. Dia tidak mengira jika semua yang terjadi pada sang kakek semuanya disebabkan olehnya. Sang paman terus saja mengatakan kekesalannya pada Alena karena dia juga kesal pada kakaknya yang begitu egois. “Jadi semuanya salah aku. Lantas apa yang harus aku lakukan? Apakah, Om Andi juga ingin aku pergi menyusul kakek?” “Cih ... kamu sama saja seperti ayahmu. Namun, tenang saja. Kamu t
"Kamu pikir dengan kematianmu bisa membuat ayahku kembali hidup?!” tanya sang ayah dengan nada dingin. Alena terkejut dengan sikap dan nada bicara sang ayah. Sehingga tanpa sadar dia mundur beberapa langkah untuk menghindari ayahnya. Baru kali ini dia merasakan aura yang berbeda dari ayahnya. Dia berpikir mungkinkan sang ayah menginginkan kematiannya. Dia menatap sang ayah dan dia tidak bisa membendung rasa takut di hatinya. Ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang selalu menghukumnya dengan bentakan dan juga pukulan. “Jika bukan kematian lantas apa?” Alena memberanikan diri untuk bertanya lagi pada ayahnya. “Penuhi keinginan terakhirnya.” “Menikah. Apakah itu yang harus aku lakukan?” “Iya. Kamu harus menikah dengan, Brian. Meski sebenarnya aku tidak menyukainya. Namun, kamu sudah membuat masalah bersama dengannya.” Bila mendengarkan perkataan ayahnya terasa jelas jika dirinya tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Brian. Dia berpikir untuk bicara dengan pria itu dan
"Siapa kamu? Mengapa kamu masuk ke kamarku tanpa izin dariku?” tanya Alena yang terkejut dengan orang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. “Aku bisa masuk di semua ruangan ini tanpa izin darimu.” Alena turun dari atas ranjang dan dia menatap wanita yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak mengerti mengapa wanita itu begitu penuh percaya diri dan menyebalkan. Dia masih berusaha untuk menahan rasa kesal di hatinya dengan sikap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu terus memandanginya dengan tatapan yang terlihat penuh dengan kebencian. “Aku tidak mengira jika Brian mau menikah dengan wanita sepertimu,” Wanita itu kembali berkata dan kali ini dengan nada menghina. Tidak cukup satu kali wanita itu terus melontarkan kata-kata yang membuat Alena semakin geram saja. Namun, Alena masih berusaha untuk mengontrol emosinya. “Brian ... Brian ... hanya itu yang terus kamu sebut. Apakah kamu mencintainya? Sehingga kamu begitu membenciku?” tanya Alena. Yang membuat wanita itu akhirny