Alena mendongak. Dia berdiri dan menatap orang yang ada di hadapannya. Dia bisa melihat dengan jelas ada kebencian dari sorot matanya terhadapnya.
“Mengapa Om Andi berkati seperti itu?” tanya Alena. Pada pria yang baru saja menuduhnya sebagai penyebab kematian sang kakek.
“Iya. Jika bukan karena untuk melindungimu mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kamu sudah tahu bukan jika ayahmu itu begitu busuk.”
Alena mendengarkan semua kemarahan sang paman serta kebenciannya pada sang ayah. Memang sudah sejak lama hubungan sang ayah dan adiknya itu tidak baik-baik saja. Bahkan mereka berdua sering bertengkar.
Dia tidak mengira jika semua yang terjadi pada sang kakek semuanya disebabkan olehnya. Sang paman terus saja mengatakan kekesalannya pada Alena karena dia juga kesal pada kakaknya yang begitu egois.
“Jadi semuanya salah aku. Lantas apa yang harus aku lakukan? Apakah, Om Andi juga ingin aku pergi menyusul kakek?”
“Cih ... kamu sama saja seperti ayahmu. Namun, tenang saja. Kamu tidak perlu mati tapi kamu hanya perlu memenuhi keinginan terakhir kakekmu.”
Alena termenung sejenak dan mengingat kembali permintaan sang kakek sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Dia pun akhirnya teringat dengan keinginan sang kakek yang memintanya untuk menikah dengan Brian.
“Om, apa Om juga setuju akan hal itu?”
“Aku tidak peduli denganmu. Yang aku inginkan adalah kamu memenuhi keinginan ayahku sebelum tiada,” jawab Om Andi. Lalu dia berjalan meninggalkan Alena.
Alena memandangi pamannya yang menjauh darinya. Namun, dia melihat sang paman berhenti melangkah.
“Kamu ingat semua yang sudah dilakukan oleh kakekmu dari dulu hingga sekarang,” Sang paman kembali berkata lalu dia kembali berjalan meninggalkan Alena.
Alena hanya diam mendengar perkataan sang paman. Dia tidak paham mengapa harus menikah dengan Brian. Padahal antara dirinya dan pria itu sama sekali tidak terjadi apa-apa.
Dia melihat ke arah layar ponselnya yang berdering. Dia enggan mengangkatnya karena yang menghubunginya adalah sang ayah. Dia menghela napasnya dan mengakta teleponnya karena tidak berhenti berdering.
“Halo,” sapa Alena setelah mengangkat teleponnya.
Dia sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya sebab suara sang ayah begitu kuat. Alena mendengarkan perkataan sang ayah yang menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah.
“Aku akan segera ...,” Belum saja selesai bicara sang ayah sudah memutuskan sambungan teleponnya.
Alena tersenyum dengan sikap sang ayah padanya. Dia pun berjalan meninggalkan makam sang kakek. Dari kejauhan dia masih melihat mobil Brian. Rupanya pria itu masih menunggunya sedari tadi.
Dia sama sekali tidak ingin meminta bantuan dari pria itu untuk mengantarnya ke rumah. Dia memutuskan untuk memanggil taksi online saja. Dia pun mengambil jalan yang tidak melewati mobil pria itu. Namun, langkahnya terhenti tatkala dia melihat mobil Brian yang berhenti tepat di depannya.
Terlihat seorang pria yang ke luar dari dalam mobil dan membukakan pintu. Terlihat juga Brian yang menatapnya dengan dingin.
“Masuklah! Dan aku tidak ingin mendengar penolakan untuk saat ini!” perintah Brian.
“Nona ...,” sambung pria yang sudah membukakan pintu mobil. Seraya dia mempersilakan Alena untuk masuk ke dalam mobil.
Alena akhirnya masuk ke dalam mobil. Dia sudah tidak bisa menolak lagi dan tidak ingin membuat masalah. Sebab saat ini begitu banyak hal yang ada di dalam benaknya. Dia juga sedang memikirkan keinginan sang kekek dan juga semua perkataan pamannya barusan.
Selama di dalam perjalanan Alena tidak banyak bicara begitu juga dengan Brian. Mereka berdua tengah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya mobil berhenti tepat di depan pintu masuk rumah Alena.
“Apa kamu tidak ingin keluar?” tanya Brian. Yang sudah menyadari jika saat ini sudah tiba di rumah Alena.
Alena melihat ke luar kaca mobil. Mengapa di benaknya saat ini terasa enggan untuk masuk ke rumahnya sendiri. Dia merasa jika dirinya sama sekali bukan bagian dari keluarga itu.
“Apa kamu bisa membawaku ke tempat lain?” jawab Alena dengan sebuah pertanyaan pada Brian.
“Apa kamu yakin?”
Alena berpikir sejenak lalu dia menjawab, “Tidak jadi.”
Setelah mengatakan itu dia membuka pintu mobil dan keluar. Dia berjalan memasuki rumahnya. Dia sama sekali tidak melihat sang ayah yang biasanya sudah menunggunya dengan penuh kemarahan di dekat sofa.
“Alena, dari mana saja kamu? Mengapa kamu pergi begitu saja dari rumah sakit?” tanya sang ibu.
“Bu, di mana ayah?”
“Ayahmu ada di ruang kerjanya. Sebaiknya kamu jangan menemuinya sekarang. Suasana hatinya sedang tidak baik dan kamu kembalilah ke kamarmu!”
Alena pun mengangguk dan dia menuruti semua perkataan ibunya. Dia langsung menuju ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti saat dia menaiki anak tangga karena melihat ayahnya yang sedang menatapnya dingin.
“Alena, ikut denganku!” perintah sang ayah dengan nada tegas.
Mendengar itu Alena mengangguk dan dia berjalan menuju ruang kerja ayahnya. Dia masuk ke dalam ruangan kerja sang ayah dan merasakan aura yang begitu dingin karena saat ini sang ayah tengah memandanginya.
“Apa kamu belum puas membuat masalah?” tanya sang ayah.
“Apa lagi yang aku perbuat?”
Alena terkejut saat sang ayah langsung melemparkannya beberapa lembar foto, potongan majalah dan koran ke wajahnya. Dia mengambil semua itu dan melihatnya serta membaca potongan majalah dan koran.
Betapa terkejutnya Alena saat melihat berita dan foto-foto itu. Dia merasa tidak melakukan semua itu. Dia berpikir jika sudah ada yang menjebaknya.
“Asal kamu tahu jika semua itu adalah penyebab kematian kakekmu. Apakah ini yang namanya mencintai? Mengapa kamu tega pada kekek yang sudah sangat menyayangimu?!” ujar sang ayah dengan nada tinggi.
Sang ayah terus meluapkan semua rasa kesalnya dan terus saja menyalahkan Alena atas semua yang sudah terjadi. Sekali lagi Alena pun mendengar sang ayah yang membandingkannya dengan sang kakak. Dia tersenyum simpul. Dia merasa jika dirinya sudah tidak bisa lagi membela diri atas berita bohong itu.
“Sekarang apa yang Ayah inginkan dariku? Apakah, Ayah juga ingin aku mati? Jika itu yang Ayah inginkan maka aku menyetujuinya."
“Mati ...,” ucap sang ayah tanpa melanjutkan kalimatnya. Lalu dia beranjak dan berjalan mendekat ke arah Alena dengan tatapan penuh kekesalan. Karena putrinya secara tidak langsung menantangnya.
"Kamu pikir dengan kematianmu bisa membuat ayahku kembali hidup?!” tanya sang ayah dengan nada dingin. Alena terkejut dengan sikap dan nada bicara sang ayah. Sehingga tanpa sadar dia mundur beberapa langkah untuk menghindari ayahnya. Baru kali ini dia merasakan aura yang berbeda dari ayahnya. Dia berpikir mungkinkan sang ayah menginginkan kematiannya. Dia menatap sang ayah dan dia tidak bisa membendung rasa takut di hatinya. Ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang selalu menghukumnya dengan bentakan dan juga pukulan. “Jika bukan kematian lantas apa?” Alena memberanikan diri untuk bertanya lagi pada ayahnya. “Penuhi keinginan terakhirnya.” “Menikah. Apakah itu yang harus aku lakukan?” “Iya. Kamu harus menikah dengan, Brian. Meski sebenarnya aku tidak menyukainya. Namun, kamu sudah membuat masalah bersama dengannya.” Bila mendengarkan perkataan ayahnya terasa jelas jika dirinya tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Brian. Dia berpikir untuk bicara dengan pria itu dan
"Siapa kamu? Mengapa kamu masuk ke kamarku tanpa izin dariku?” tanya Alena yang terkejut dengan orang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. “Aku bisa masuk di semua ruangan ini tanpa izin darimu.” Alena turun dari atas ranjang dan dia menatap wanita yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak mengerti mengapa wanita itu begitu penuh percaya diri dan menyebalkan. Dia masih berusaha untuk menahan rasa kesal di hatinya dengan sikap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu terus memandanginya dengan tatapan yang terlihat penuh dengan kebencian. “Aku tidak mengira jika Brian mau menikah dengan wanita sepertimu,” Wanita itu kembali berkata dan kali ini dengan nada menghina. Tidak cukup satu kali wanita itu terus melontarkan kata-kata yang membuat Alena semakin geram saja. Namun, Alena masih berusaha untuk mengontrol emosinya. “Brian ... Brian ... hanya itu yang terus kamu sebut. Apakah kamu mencintainya? Sehingga kamu begitu membenciku?” tanya Alena. Yang membuat wanita itu akhirny
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku terlihat tidak senang menikah dengannya?” Alena balik bertanya pada wanita yang ada di depannya.Alena berpikir entah berapa wanita lagi yang harus dihadapinya karena dirinya sudah menikah dengan Brian. Dia terus menatap wanita yang sedang menatapnya dengan tajam.
Alena sudah ada di depan pintu masuk rumahnya. Dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Dia melihat rumahnya begitu sepi seperti tidak terjadi sesuatu yang menyedihkan. “Nona, Anda ada di sini?” tanya seorang pelayan yang melihat kedatangan Alena. “Bagaimana keadaan ibuku?” "Nyonya baik-baik saja,” jawab sang pelayan dengan raut wajah kebingungan. “Di mana ibuku sekarang?” Alena kembali bertanya. “Nyonya ada di kamarnya dan ....” Alena langsung menuju kamar sang ibu tanpa mendengarkan sang pelayan menyelesaikan kalimatnya. Dia berhenti sejenak saat sudah ada di depan pintu kamar yang ternyata sedikit terbuka. Sehingga dia bisa mendengar sang ibu yang tengah bicara dengan seseorang. Dia berniat untuk masuk tetapi diurungkannya karena dia sedikit terkejut dengan perkataan sang ibu. Dia memutuskan untuk tetap berdiri di balik pintu dan mendengarkan semua pembicaraan ibunya dengan seseorang yang ada di ujung telepon. Dia tersenyum sedih saat mendengar ibunya yang sedang membicarak
Alena tersenyum lalu dia berkata, “Aku tidak peduli lagi.”Tanpa membalikkan tubuhnya dan dia juga tidak peduli dengan orang yang ada di belakangnya. Dia masuk ke dalam mobilnya dan menjalankannya ke luar area rumahnya. Sebenarnya dia sudah tahu s
“Kamu ada di sini?” Alena kembali bertanya pada orang yang ada di sampingnya saat ini. “Tante muda ....”“Tante muda ... tante mudah ... apakah kamu tidak bisa memanggilku Alena saja? Panggilanmu itu terasa tidak mengenakan telingaku saja!” Alen
"Sepertinya memang ada yang tidak beres,” gumam Alena. Lalu dia menjalankan motornya untuk mendekati Caca. Dia menghentikan motornya setelah ada di dekat Caca. Dia membuka helmnya. Lalu melihat ke arah Caca yang terkejut saat melihat dirinya. “Sebaiknya kamu pergi! Jika tidak kamu akan menyesalinya!” ancam seorang pria yang mengenakan anting di hidungnya. “Aku ingin lihat siapa yang akan menyesal nantinya.” Alena menimpali pria itu dan memperlihatkan jika dirinya sama sekali tidak takut dengan mereka semua. Dia juga melihat ke arah Caca yang saat ini sudah ada di dekatnya. “Tante, sebaiknya pergi saja! Aku bisa menyelesaikannya,” ucap Caca. “Siapa mereka sebenarnya? Mengapa kamu berhubungan dengan mereka? Apakah mereka mengancam kamu?” Alena melayangkan banyak pertanyaan pada keponakan suaminya itu. Meski dirinya belum mengenal baik Caca tetapi dia tidak membiarkannya dalam bahaya. “Jelaskan padaku!” Alena kembali berkata dengan nada sedikit menekan pada Caca yang ada di s
Alena masih merasa kesal dan dia orang yang memintanya untuk bertemu. Padahal sudah tidak ada lagi yang perlu dibahas dengan orang itu. Dia berusaha memejamkan matanya tetap saja tidak bisa. “Sungguh menyebalkan,” gerutu Alena. Lalu dia turun dari atas ranjang dan berjalan menuju balkon. Dia berdiri di sana. Dia menatap langit yang gelap tanpa ada bulan dan bintang-bintang. Setelah itu dia melihat jalanan yang ada di bawahnya. “Mengapa aku tidak bisa hidup dengan tenang? Apakah aku memang tidak pantas mendapatkannya?” gumam Alena. Alena menghela napasnya lalu kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia berjalan mendekat ke arah ranjang dan kembali merebahkan tubuhnya. Dia memejamkan matanya dan tidak begitu lama dia pun akhirnya terlelap. Dia terbangun saat mendengar alarm ponselnya. Dia mengambil ponselnya dan mematikan alarmnya. Alena mendengar suara seseorang yang mengetuk pintu kamarnya dan mendengar suara Caca yang meminta izin untuk masuk. “Masuklah!” perintah Alena sembari tu