Seketika Alena melihat ke arah belakang. Dia menatap seorang pria yang terlihat geram dengan kejadian barusan. Namun, entah mengapa dia merasa tidak sedang dengan kehadiran pria itu di kafenya. “Pergi! Jika kalian masih ingin tetap hidup bebas!” perintah pria itu dengan nada mengancam. Terlihat pria yang tadi bertengkar menarik wanita yang ada di sampingnya lalu pergi meninggalkan kafe. Sedangkan wanita yang memukul Alena masih ada di sana. “Apa kamu masih belum puas?” tanya Alena pada wanita itu. “Semua ini salahmu! Andaikan kamu tidak ikut campur mungkin aku tidak akan kehilangan kontrol dan menyerangmu!” timpal wanita itu yang masih tampak kesal. “Pergilah! Aku juga tidak ingin kehilangan kontrolku sebab itu bisa membuatmu tidak bisa berjalan lagi.” Kali ini Alena berkata dengan nada dingin. Sehingga membuat wanita itu pergi meninggalkan kafe. Namun, dia ikut merasakan betapa kecewa, sakit hatinya wanita itu dengan pengkhianatan kekasihnya. “Alena, kamu tidak apa-apa?”
“Jangan berteriak!” geram pria itu sembari menutup pintu mobilnya. “Dasar pria tidak tahu berterima kasih! Padahal aku sudah membantumu!” Alena berkata dengan nada kesal. Alena berusaha membuka pintu mobil tetapi tidak bisa karena pria yang duduk di depan langsung menguncinya. Tidak begitu lama mobil pun meninggalkan lokasi saat ini. Tidak begitu lama ponselnya berdering. Dia mengambil ponselnya dari saku jaketnya. Alena mengangkat teleponnya karena yang menghubunginya adalah Caca. “Ca, bisa kamu membantuku? Ada orang gila yang menculik aku!” Alena langsung meminta tolong pada Caca. Alena terkejut karena pria yang ada di sampingnya langsung mengambil ponselnya. Dia mau merebutnya tetapi pria itu menjauhkan ponselnya. “Kamu jangan ikut campur! Aku tidak akan memaafkanmu jika membuat masalah untukku!” Pria itu berkata kepada Caca yang ada di ujung telepon. Dengan nada mengancam, setelah itu dia menutup sambungan teleponnya. “Kembalikan ponselku!” ujar Alena sembari terus ber
Alena turun dari atas ranjang dan berjalan ke luar dari dalam kamarnya. Dia melihat ada seseorang yang tengah berjalan mengendap-endap. “Seperti pencuri saja. Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alena setelah dia tahu siapa yang masuk ke dalam apartemennya. “Tante Kecil, izinkan aku tidur di sini malam ini ya?” “Tidak.” “Kenapa? Apa aku berbuat salah padamu?” “Kamu pikir saja sendiri.” Setelah mengatakan itu Alena pun masuk ke dalam kamarnya. Dia mengabaikan Caca yang baru saja tiba di apartemennya. Dia masih merasa kesal dengan wanita itu karena sudah memberikan alamat apartemennya pada Brian. Serta memberikan nomor ponselnya yang baru pada Theo. “Keluarga yang menyebalkan!” gerutu Alena sembari melihat Brian yang tertidur pulas di atas ranjangnya. Dia termenung sejenak lalu kembali berkata, “Mengapa aku masuk ke sini?” Dia pun kembali ke luar dan melihat Caca yang masuk ke dalam kamar yang ada di seberang kamarnya. Alena terus menatap keponakan dari suaminya itu. “Tante K
“Kamu tunggu aku di sana!” perintah Alena pada orang yang ada di ujung telepon. Lalu dia memutuskan sambungan teleponnya. Dia pun bergegas menuju ke kamarnya. Dia mengabaikan Brian yang sedang memandanginya. Alena mengambil pakaian dari almari lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Alena ke luar dari dalam kamar mandi dan langsung mengambil kunci mobilnya. Kali ini dia tidak bisa menggunakan motornya karena semalam dia meninggalkannya di pinggir jalan.
“Apa masalahmu dengan, Theo?” tanya pria yang tadi memanggil nama Alena. Alena terkejut saat melihat pria itu bukanlah Theo melainkan Brian. Namun, rasa kesal dan geram yang ada di hatinya malah semakin besar tatkala melihat Brian yang ada di hadapannya. “Untuk apa kamu datang ke sini?” jawab Alena dengan sebuah pertanyaan pada Brian. “Apa hubunganmu dengan, Theo?!” Brian kembali bertanya dengan nada sedikit menekan.“Itu bukan urusanmu! Kamu urus saja keluargamu sendiri!”Setelah mengatakan itu Alena pergi dan menuju ke ruang kerjanya dengan rasa kesal di hatinya. Dia tidak memedulikan pandangan orang-orang dan juga tidak memedulikan pertanyaan yang dilayangkan oleh Brian kepadanya. Dia membalikkan tubuhnya saat mendengar seseorang membuka pintu ruang kerjanya. Alena menatap orang itu yang tidak lain adalah Brian yang terlihat marah. “Ada apa lagi? Apakah masih belum cukup masalah yang keluargamu timbulkan padaku?!” Alena bertanya dengan nada
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Brian dengan nada dingin. Pada orang yang saat ini sudah ada di hadapannya.“Yakin tidak ingin tahu mengapa dia membenci keluargamu?” Orang itu kembali bertanya pada Brian. Dengan nada menggoda. Brian mengabaikan orang itu dan mengambil dokumen yang ada di atas meja. Dia kembali fokus memeriksa dokumennya, meski orang itu masih memperhatikannya. “Ayolah, Brian ... jangan bersikap dingin kepadaku.” Brian benar-benar mengabaikannya. Dia menekan sebuah tombol dan tidak begitu lama Ethan masuk ke dalam ruangan. “Ethan, lain kali lebih ketat lagi siapa yang boleh masuk ke dalam ruanganku!” ujar Brian dengan nada ketus. “Kamu menyebalkan, Brian! Mengapa kamu tidak mau mendengarkan aku? Aku lebih tahu siapa wanita yang menjadi istrimu itu!” “Aku juga tahu bagaimana sifatmu, Erica!” timpal Brian dengan nada kesal. “Sebaiknya kamu pergi! Jika tidak ingin mendapatkan masalah lebih besar lagi,” sambung Ethan dengan
“Jangan ikut campur urusanku!” pekik Theo sembari melihat ke arah orang yang sudah menghentikannya. “Aku tidak akan membiarkanmu melakukah hal sebodoh ini! Dia adalah istri dari pamanmu? Mengapa kamu melakukan semua ini?” “A
Orang itu terus menekan bel apartemen dan dia membuka topinya. Dia melihat ke arah kamera kecil yang ada di dekat pintu. Dia menunjukkan benda yang ada di tangannya. Alena terus saja memperhatikan orang itu yang merupakan seorang pria. Dia tidak kenal dengan pria itu dan entah mengapa hatinya melarangnya untuk membuka pintunya. “Perasaanku tidak enak. Lebih baik aku tidak membuka pintu karena aku juga tidak ingat sudah memesan barang secara online,” ucapnya sembari terus menatap pria itu dari layar yang ada di dekat pintu. Tidak begitu lama ada seseorang yang menghampiri pria itu dan bicara dengannya. Alena tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan tetapi pria yang sedari tadi menekan bel apartemennya akhirnya pergi. Begitu juga dengan orang yang tadi bicara dengannya. “Untung saja aku tidak membuka pintu. Mungkin pria itu tidak sendiri,” Alena bergumam lalu dia menyimpan tongkat pemukulnya di dekat rak sepatu dekat pintu apartemennya. Alena pun kembali berjalan me