“Sedang apa kamu di sini?” tanya Brian dengan nada dingin. Pada orang yang saat ini sudah ada di hadapannya.
“Yakin tidak ingin tahu mengapa dia membenci keluargamu?” Orang itu kembali bertanya pada Brian. Dengan nada menggoda.Brian mengabaikan orang itu dan mengambil dokumen yang ada di atas meja. Dia kembali fokus memeriksa dokumennya, meski orang itu masih memperhatikannya.“Ayolah, Brian ... jangan bersikap dingin kepadaku.”Brian benar-benar mengabaikannya. Dia menekan sebuah tombol dan tidak begitu lama Ethan masuk ke dalam ruangan.“Ethan, lain kali lebih ketat lagi siapa yang boleh masuk ke dalam ruanganku!” ujar Brian dengan nada ketus.“Kamu menyebalkan, Brian! Mengapa kamu tidak mau mendengarkan aku? Aku lebih tahu siapa wanita yang menjadi istrimu itu!”“Aku juga tahu bagaimana sifatmu, Erica!” timpal Brian dengan nada kesal.“Sebaiknya kamu pergi! Jika tidak ingin mendapatkan masalah lebih besar lagi,” sambung Ethan dengan“Jangan ikut campur urusanku!” pekik Theo sembari melihat ke arah orang yang sudah menghentikannya. “Aku tidak akan membiarkanmu melakukah hal sebodoh ini! Dia adalah istri dari pamanmu? Mengapa kamu melakukan semua ini?” “A
Orang itu terus menekan bel apartemen dan dia membuka topinya. Dia melihat ke arah kamera kecil yang ada di dekat pintu. Dia menunjukkan benda yang ada di tangannya. Alena terus saja memperhatikan orang itu yang merupakan seorang pria. Dia tidak kenal dengan pria itu dan entah mengapa hatinya melarangnya untuk membuka pintunya. “Perasaanku tidak enak. Lebih baik aku tidak membuka pintu karena aku juga tidak ingat sudah memesan barang secara online,” ucapnya sembari terus menatap pria itu dari layar yang ada di dekat pintu. Tidak begitu lama ada seseorang yang menghampiri pria itu dan bicara dengannya. Alena tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan tetapi pria yang sedari tadi menekan bel apartemennya akhirnya pergi. Begitu juga dengan orang yang tadi bicara dengannya. “Untung saja aku tidak membuka pintu. Mungkin pria itu tidak sendiri,” Alena bergumam lalu dia menyimpan tongkat pemukulnya di dekat rak sepatu dekat pintu apartemennya. Alena pun kembali berjalan me
Alena kembali mendengarkan perkataan sang ayah. Dia sedikit merasa kesal juga karena hingga detik ini tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu. “Bukankah di sana ada putri kesayanganmu? Mengapa meminta aku untuk kembali? Lagi pula aku sudah menyerahkan semua aset yang ditinggalkan kakek untuk putri kesayangan kalian,” Alena kembali berkata sang ayah yang ada di ujung telepon. Setelah mengatakan itu dia memutuskan sambungan teleponnya. Dia menarik napas panjang lalu membuangnya. Dia berusaha untuk menahan emosi yang ada di dalam hatinya. “Kali ini aku tidak akan mengikuti drama kalian,” Alena bergumam lalu dia melihat ke arah dinding kaca yang ada di depannya. Dia melihat sudah banyak orang-orang yang memang akan menggunakan kafenya untuk acara kantor mereka. Alena juga melihat Carla dan dua orang karyawannya bekerja dengan baik. “Astaga aku melupakan, Caca.” Alena kembali menekan nomor ponsel Brian. Terdengar nada sambung dan tidak begitu lama pria itu mengangk
"Siapa tuanmu itu? Mengapa dia tidak menemuiku secara langsung saja? Malah mengirimu dan mengancamku?” tanya Alena pada pria yang ada di belakangnya. “Jangan banyak bicara!” Pria itu menimpali Alena sembari menekan senjata yang ada di tangannya ke punggung Alena. Alena ingin tahu siapa orang yang ingin bertemu dengannya. Dia akhirnya mengikuti arahan pria itu hingga masuk ke dalam sebuah mobil. Dia masuk ke dalam mobil itu dan mobil itu pun berjalan meninggalkan kafenya. “Pakai ini!” perintah pria yang duduk di samping Alena. Sembari menyerahkan sebuah penutup mata. Alena mengikuti semua hal yang diperintahkan oleh pria yang duduk di sampingnya. Meski itu membuatnya tidak bisa melihat jalan yang dilewatinya. Dia berpikir mungkin mereka tidak ingin dirinya tahu lokasi tujuannya. Tidak berselang lama mobil pun berhenti. Alena ke luar dari dalam mobil dan pria itu memerintahkannya untuk membuka penutup matanya. ‘Di mana ini? Siapa orang yang ingin bertemu denganku?’ tanya Alena
“Kalian para lelaki sama saja. Sama-sama kotor,” jawab Alena dengan nada datar. Alena mengernyit saat melihat pria yang ada di sampingnya tersenyum. Ingin rasanya menghajar pria yang sudah menculik lalu mengancamnya. Dia terus menggerutu di dalam benaknya. “Sepertinya dia menjagamu dengan baik,” ucap seseorang yang membuat Alena mengalihkan fokusnya dari pria yang ada di sampingnya. “Aku pikir kamu akan mengkhawatirkan istrimu yang sudah aku culik ini,” sambung pria yang ada di samping Alena. “Edward, jangan menguji kesabaranku!” timpal Brian dengan nada menekan. Alena hanya memandangi kedua pria yang ada di hadapannya. Dia juga mendengar tawa Edward setelah mendengar Brian yang terlihat geram. Tidak berselang lama dia melihat seorang wanita berjalan mendekat ke arahnya. Wanita itu melayangkan senyumannya pada Alena lalu berhenti tepat di samping Brian.“Jangan memancingnya, Edward! Apakah kamu tahu betapa sulitnya aku membuatnya tenang?” ucap wanita itu. Seraya menghentika
“Jangan ikut campur, Ethan!” teriak Brian yang masih kesal. “Kamu sudah gila! Dia istrimu! Jangan buat dia membenci kamu!” timpal Ethan sembari menarik tangan Brian. Alena terdiam sejenak dan mendengar perdebatan Brian dan Ethan. Dia mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk dan merapikan gaun yang sudah terkoyak. Dia menatap Brian yang terlihat begitu geram dan hendak memukul Ethan. “Apa aku membuat kesalahan? Sehingga kamu memperlakukan aku sehina ini, Brian Oliver?” tanya Alena pada pria yang ada di depannya. Alena berdiri dan maju dua langkah. Saat ini dirinya ada tepat di hadapan pria yang merupakan suaminya. Dia hanya tidak mengira jika Brian bisa melakukan hal yang sangat dibencinya. “Katakan! Apa yang sudah aku lakukan? Mengapa kamu memperlakukan aku seperti ini?!” teriak Alena. “Jangan berteriak padaku!” timpal Brian lalu tangannya mencekik leher Alena. Alena tidak melawan. Dia hanya ingin tahu sejauh mana pria itu bertindak. Dia juga tidak peduli jika harus mati di
Alena melepaskan gaun yang masih melekat di tubuhnya. Dia menatap luka yang ada di tubuhnya. Dia teringat kembali dengan apa yang sudah terjadi. Dia langsung berjalan menuju shower. Dia berdiri di bawah keran shower dan menyalakannya.Air dingin mulai membasahi tubuhnya. Dia sengaja menggunakan air dingin untuk menenangkan pikirannya. Setelah itu dia mengambil sabun dan membersihkan tubuhnya dengan sabun itu.“Meski aku tahu jika ini adalah sebuah jebakan tetap saja aku tidak ingin bertemu lagi
"Apa kamu yakin?” tanya Alena pada Brian yang ada di sampingnya.“Iya. Ini adalah yang terbaik untuk kita,” jawab Brian dengan yakin.Alena hanya diam mendengar keinginan Brian. Meski sebenarnya dia memang ingin berpisah dengannya. Namun, entah mengapa hatinya sedikit kecewa.“Ada apa?” tanya Brian setelah sopir menambahkan kecepatan mobilnya. “Sepertinya ada yang mengikuti kita sedari kita ke luar dari bandara,” jawab sang sopir. Alena melihat ke arah belakang dan benar saja ada sebuah mobil yang terus mengikuti. Dia berusaha bersikap tenang dengan situasi seperti ini karena dia harus berpikir dengan jernih. Dia melihat ke arah Brian yang sedang menghubungi seseorang. Dia mendengarkan pria itu yang meminta Ethan dan Juan untuk bersiap di titik yang sudah ditentukan olehnya. “Ethan, kamu ingat jangan sampai gagal!” ujar Brian pada Ethan yang ada di ujung telepon. Setelah itu dia memutuskan sambungan teleponnya. Alena kembali menatap ke ar