Alena sudah tiba di rumah sakit. Dia bergegas menuju ruangan di mana sang kakek berada. Dia menghentikan langkahnya saat melihat sang ibu yang tengah berdiri di depan sebuah ruangan.
“Bu, bagaimana keadaan kakek?” tanya Alena pada sang ibu.
Akan tetapi sang ibu tidak menjawabnya dan hanya melihat ke dalam ruangan dari kaca yang menempel di pintu. Tanpa banyak tanya lagi Alena masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat sang kakek yang terbaring di atas ranjang. Di sampingnya ada sang ayah serta pria yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang kakek.
“Kakek ...,” panggil Alena sembari mendekat ke arah ranjang.
Dia menghentikan langkahnya saat sudah ada di samping ranjang. Dia memegang tangan kakeknya dan mencium punggung telapak tangannya. Dia memandangi wajah sang kakek yang terlihat begitu lemah serta kepalanya pun di perban.
“Jangan tinggalkan aku,” Alena kembali berkata dengan nada sedih.
“Alena ... menikahlah dengan, Brian.”
Alena tidak menimpali sang kakek karena dia tidak mengira jika kakeknya masih saja memintanya untuk menikah dengan pria itu. Dia belum bisa menerima permintaan sang kakek karena di hatinya tidak ada cinta untuk Brian.
“Maafkan kakekmu ini, Alena ...,” ucap sang kakek dengan nada lemas. Napasnya semakin berat dan dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
“Kakek ...,” teriak Alena yang melihat sang kakek mengembuskan napas terakhirnya.
Alena menggoyang-goyangkan tubuh sang kakek guna membangunkannya. Dia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan orang yang begitu menyayanginya dan selalu ada untuknya. Tangisnya semakin menggema di dalam ruangan.
Bahkan sang ibu pun berusaha menenangkannya. Namun, dia terus histeris dan berteriak memanggil nama kakeknya. Hingga akhirnya dia terkulai lemas tidak sadarkan diri.
“Alena, akhirnya kamu bangun juga,” ucap seorang wanita yang saat ini ada di sampingnya.
Alena hanya diam dan dia melihat sekeliling. Dia menyadari jika saat ini dirinya ada di sebuah ruangan perawatan. Dia mengingat tentang kakeknya dan langsung melihat ke arah wanita itu.
“Mika, di mana kakekku? Bawa aku ke tempatnya sekarang juga!” pinta Alena.
“Kakekmu sudah dimakamkan saat kamu masih belum siuman.”
“Apa?”
Alena melihat Mika mengangguk dan menceritakan semuanya. Dia tidak mengerti mengapa sang ayah begitu kejam padanya. Sampai-sampai tidak memberikan kesempatan terakhir baginya untuk melihat kakeknya.
“Alena ...,” panggil Mika sembari memegang tangannya.
“Aku tahu ayahku membenciku tetapi mengapa tidak memberikan aku sedikit saja waktu untuk melihat kakek untuk terakhir kalinya.”
Tanpa berpikir lagi Alena melepaskan jarum infus. Dia turun dari atas ranjang lalu berjalan ke luar. Dia tidak mendengarkan Mika yang memintanya untuk tetap tenang.
“Alena, tenangkan dirimu! Jika kamu seperti ini ....”
“Tenang? Apakah kamu bisa tenang setelah semua yang terjadi padaku?!” bentak Alena.
“Kali ini percayalah padaku. Tetaplah di sini tunggu hingga semuanya tenang.”
Alena tidak memedulikan perkataan Mika. Dia masih tetap ingin pergi dari rumah sakit. Dia harus tahu alasan mengapa ayahnya begitu kejam padanya.
“Lepaskan aku, Mika!” pekik Alena yang membuat semua orang di dekatnya memandanginya.
“Tidak. Aku tidak ingin terjadi hal buruk padamu.”
Mereka berdua pun mulai berdebat dan mulai mengganggu pasien yang ada di rumah sakit. Ada beberapa perawat yang mendekat dan berusaha untuk menenangkan Alena. Serta menghentikan perdebatan mereka berdua.
“Lepaskan dia!” perintah seorang pria dengan nada tegas.
Perawat yang memegangi tangan Alena perlahan melepaskannya. Begitu juga dengan Mika. Mereka semua menatap ke arah pria yang saat ini sudah ada di dekat.
Alena menatap pria itu. Dia teringat kembali dengan kejadian sebelum kakeknya tiada. Dia mengepalkan tangannya dan langsung menyerang pria itu.
“Ini semua salahmu, Brian Oliver! Kamu penyebab kematian kakekku!” pekik Alena.
Dia terus menyerang Brian dan pria itu hanya menghindari atau menangkisnya. Terlihat jelas jika Brian tidak ingin menyerang balik. Namun, itu semua itu membuat Alena semakin geram. Dan melayangkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi pada Brian.
“Berhenti! Jika kamu ingin pergi dari sini maka ikutlah denganku!”
“Aku tidak peduli! Jika bukan karena kamu aku tidak akan kehilangan kakekku!”
“Menyebalkan!” tukas Brian. Lalu dia memegang tangan Alena dan menariknya hingga masuk ke dalam pelukannya.
“Lepaskan! Jika tidak kamu akan berakhir sekarang juga!” ancam Alena.
“Jadilah anak penurut!” timpal Brian. Sembari dia menggendong Alena di atas pundaknya.
Alena berusaha melepaskan dirinya dan berteriak agar Brian melepaskannya. Akan tetapi, semua yang dilakukannya sama sekali tidak membuahkan hasil. Brian terus saja berjalan dan menghiraukan orang-orang yang sedang memandangi mereka.
Brian menghempaskan Alena ke dalam mobil. Setelah itu dia masuk ke dalam mobil. Terlihat sangat jelas jika dia sangat kesal dengan sikap Alena yang begitu berapi-api.
“Tenangkan dirimu! Aku sudah lelah dengan yang kamu lakukan barusan,” ucap Brian dengan nada sedikit kesal. Sembari melonggarkan dasinya.
Alena terdiam saat mendengar perkataan Brian. Entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya tidak melawan kali ini. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya.
“Ini milikmu,” ucap Brian. Sembari memberikan sebuah ponsel pada Alena.
“Bagaimana ponselku ada di kamu?”
“Ponselmu terjatuh saat kamu tidak sadarkan diri dan aku mengambilnya.”
Alena mengambil ponselnya. Lalu dia memandang ke luar kaca pintu mobil. Dia masih memikirkan mengapa ayahnya bisa bersikap tidak adil padanya.
Tidak berselang lama mobil pun berhenti tepat di sebuah area pemakaman. Alena mengenal dengan baik area pemakaman ini sebab dirinya sering ke sana untuk mengunjungi sang nenek bersama dengan kakeknya.
“Aku ingin sendiri,” ucap Alena. Lalu dia ke luar dari dalam mobil. Setelah seorang pria membukakan pintu mobil.
Alena berjalan menuju makan sang nenek sebab dia yakin jika kakeknya di makamkan tepat di samping makan neneknya. Yang dipikirkannya memang benar. Terlihat makan yang baru tepat di samping makam sang nenek.
Dia terduduk tepat di samping batu nisan kakeknya. Dia hanya memandangi makam kakeknya sembari memegang batu nisannya. Sekarang sudah tidak ada lagi orang yang menyayanginya dengan tulus. Serta membelanya dari sang ayah yang begitu keras padanya.
“Kakek, apakah sudah bertemu dengan kekasih sejatimu di sana? Bersikap baiklah di sana padanya karena nenek begitu mencintaimu,” ucap Alena sembari tersenyum.
Alena berusaha untuk merelakan sang kakek karena sekarang sang kakek bisa kembali bertemu dengan neneknya. Meski jauh di lubuk hatinya masih merasakan kesedihan.
“Kakek tenang saja di sana. Aku bukan cucumu yang lemah dan aku yakin bisa melaluinya dengan baik,” Alena kembali berkata di depan batu nisan sang kakek.
“Semua ini karenamu! Seharusnya kamu saja yang mati! Mengapa kamu begitu kejam?!”
Alena mendongak. Dia berdiri dan menatap orang yang ada di hadapannya. Dia bisa melihat dengan jelas ada kebencian dari sorot matanya terhadapnya. “Mengapa Om Andi berkati seperti itu?” tanya Alena. Pada pria yang baru saja menuduhnya sebagai penyebab kematian sang kakek. “Iya. Jika bukan karena untuk melindungimu mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kamu sudah tahu bukan jika ayahmu itu begitu busuk.” Alena mendengarkan semua kemarahan sang paman serta kebenciannya pada sang ayah. Memang sudah sejak lama hubungan sang ayah dan adiknya itu tidak baik-baik saja. Bahkan mereka berdua sering bertengkar. Dia tidak mengira jika semua yang terjadi pada sang kakek semuanya disebabkan olehnya. Sang paman terus saja mengatakan kekesalannya pada Alena karena dia juga kesal pada kakaknya yang begitu egois. “Jadi semuanya salah aku. Lantas apa yang harus aku lakukan? Apakah, Om Andi juga ingin aku pergi menyusul kakek?” “Cih ... kamu sama saja seperti ayahmu. Namun, tenang saja. Kamu t
"Kamu pikir dengan kematianmu bisa membuat ayahku kembali hidup?!” tanya sang ayah dengan nada dingin. Alena terkejut dengan sikap dan nada bicara sang ayah. Sehingga tanpa sadar dia mundur beberapa langkah untuk menghindari ayahnya. Baru kali ini dia merasakan aura yang berbeda dari ayahnya. Dia berpikir mungkinkan sang ayah menginginkan kematiannya. Dia menatap sang ayah dan dia tidak bisa membendung rasa takut di hatinya. Ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang selalu menghukumnya dengan bentakan dan juga pukulan. “Jika bukan kematian lantas apa?” Alena memberanikan diri untuk bertanya lagi pada ayahnya. “Penuhi keinginan terakhirnya.” “Menikah. Apakah itu yang harus aku lakukan?” “Iya. Kamu harus menikah dengan, Brian. Meski sebenarnya aku tidak menyukainya. Namun, kamu sudah membuat masalah bersama dengannya.” Bila mendengarkan perkataan ayahnya terasa jelas jika dirinya tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Brian. Dia berpikir untuk bicara dengan pria itu dan
"Siapa kamu? Mengapa kamu masuk ke kamarku tanpa izin dariku?” tanya Alena yang terkejut dengan orang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. “Aku bisa masuk di semua ruangan ini tanpa izin darimu.” Alena turun dari atas ranjang dan dia menatap wanita yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak mengerti mengapa wanita itu begitu penuh percaya diri dan menyebalkan. Dia masih berusaha untuk menahan rasa kesal di hatinya dengan sikap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu terus memandanginya dengan tatapan yang terlihat penuh dengan kebencian. “Aku tidak mengira jika Brian mau menikah dengan wanita sepertimu,” Wanita itu kembali berkata dan kali ini dengan nada menghina. Tidak cukup satu kali wanita itu terus melontarkan kata-kata yang membuat Alena semakin geram saja. Namun, Alena masih berusaha untuk mengontrol emosinya. “Brian ... Brian ... hanya itu yang terus kamu sebut. Apakah kamu mencintainya? Sehingga kamu begitu membenciku?” tanya Alena. Yang membuat wanita itu akhirny
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku terlihat tidak senang menikah dengannya?” Alena balik bertanya pada wanita yang ada di depannya.Alena berpikir entah berapa wanita lagi yang harus dihadapinya karena dirinya sudah menikah dengan Brian. Dia terus menatap wanita yang sedang menatapnya dengan tajam.
Alena sudah ada di depan pintu masuk rumahnya. Dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Dia melihat rumahnya begitu sepi seperti tidak terjadi sesuatu yang menyedihkan. “Nona, Anda ada di sini?” tanya seorang pelayan yang melihat kedatangan Alena. “Bagaimana keadaan ibuku?” "Nyonya baik-baik saja,” jawab sang pelayan dengan raut wajah kebingungan. “Di mana ibuku sekarang?” Alena kembali bertanya. “Nyonya ada di kamarnya dan ....” Alena langsung menuju kamar sang ibu tanpa mendengarkan sang pelayan menyelesaikan kalimatnya. Dia berhenti sejenak saat sudah ada di depan pintu kamar yang ternyata sedikit terbuka. Sehingga dia bisa mendengar sang ibu yang tengah bicara dengan seseorang. Dia berniat untuk masuk tetapi diurungkannya karena dia sedikit terkejut dengan perkataan sang ibu. Dia memutuskan untuk tetap berdiri di balik pintu dan mendengarkan semua pembicaraan ibunya dengan seseorang yang ada di ujung telepon. Dia tersenyum sedih saat mendengar ibunya yang sedang membicarak
Alena tersenyum lalu dia berkata, “Aku tidak peduli lagi.”Tanpa membalikkan tubuhnya dan dia juga tidak peduli dengan orang yang ada di belakangnya. Dia masuk ke dalam mobilnya dan menjalankannya ke luar area rumahnya. Sebenarnya dia sudah tahu s
“Kamu ada di sini?” Alena kembali bertanya pada orang yang ada di sampingnya saat ini. “Tante muda ....”“Tante muda ... tante mudah ... apakah kamu tidak bisa memanggilku Alena saja? Panggilanmu itu terasa tidak mengenakan telingaku saja!” Alen
"Sepertinya memang ada yang tidak beres,” gumam Alena. Lalu dia menjalankan motornya untuk mendekati Caca. Dia menghentikan motornya setelah ada di dekat Caca. Dia membuka helmnya. Lalu melihat ke arah Caca yang terkejut saat melihat dirinya. “Sebaiknya kamu pergi! Jika tidak kamu akan menyesalinya!” ancam seorang pria yang mengenakan anting di hidungnya. “Aku ingin lihat siapa yang akan menyesal nantinya.” Alena menimpali pria itu dan memperlihatkan jika dirinya sama sekali tidak takut dengan mereka semua. Dia juga melihat ke arah Caca yang saat ini sudah ada di dekatnya. “Tante, sebaiknya pergi saja! Aku bisa menyelesaikannya,” ucap Caca. “Siapa mereka sebenarnya? Mengapa kamu berhubungan dengan mereka? Apakah mereka mengancam kamu?” Alena melayangkan banyak pertanyaan pada keponakan suaminya itu. Meski dirinya belum mengenal baik Caca tetapi dia tidak membiarkannya dalam bahaya. “Jelaskan padaku!” Alena kembali berkata dengan nada sedikit menekan pada Caca yang ada di s