Share

6. Kamu Penyebab Kematiannya

Alena sudah tiba di rumah sakit. Dia bergegas menuju ruangan di mana sang kakek berada. Dia menghentikan langkahnya saat melihat sang ibu yang tengah berdiri di depan sebuah ruangan.

“Bu, bagaimana keadaan kakek?” tanya Alena pada sang ibu.

Akan tetapi sang ibu tidak menjawabnya dan hanya melihat ke dalam ruangan dari kaca yang menempel di pintu. Tanpa banyak tanya lagi Alena masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat sang kakek yang terbaring di atas ranjang. Di sampingnya ada sang ayah serta pria yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang kakek.

“Kakek ...,” panggil Alena sembari mendekat ke arah ranjang.

Dia menghentikan langkahnya saat sudah ada di samping ranjang. Dia memegang tangan kakeknya dan mencium punggung telapak tangannya. Dia memandangi wajah sang kakek yang terlihat begitu lemah serta kepalanya pun di perban.

“Jangan tinggalkan aku,” Alena kembali berkata dengan nada sedih.

“Alena ... menikahlah dengan, Brian.”

Alena tidak menimpali sang kakek karena dia tidak mengira jika kakeknya masih saja memintanya untuk menikah dengan pria itu. Dia belum bisa menerima permintaan sang kakek karena di hatinya tidak ada cinta untuk Brian.

“Maafkan kakekmu ini, Alena ...,” ucap sang kakek dengan nada lemas. Napasnya semakin berat dan dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

“Kakek ...,” teriak Alena yang melihat sang kakek mengembuskan napas terakhirnya.

Alena menggoyang-goyangkan tubuh sang kakek guna membangunkannya. Dia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan orang yang begitu menyayanginya dan selalu ada untuknya. Tangisnya semakin menggema di dalam ruangan.

Bahkan sang ibu pun berusaha menenangkannya. Namun, dia terus histeris dan berteriak memanggil nama kakeknya. Hingga akhirnya dia terkulai lemas tidak sadarkan diri.

“Alena, akhirnya kamu bangun juga,” ucap seorang wanita yang saat ini ada di sampingnya.

Alena hanya diam dan dia melihat sekeliling. Dia menyadari jika saat ini dirinya ada di sebuah ruangan perawatan. Dia mengingat tentang kakeknya dan langsung melihat ke arah wanita itu.

“Mika, di mana kakekku? Bawa aku ke tempatnya sekarang juga!” pinta Alena.

“Kakekmu sudah dimakamkan saat kamu masih belum siuman.”

“Apa?”

Alena melihat Mika mengangguk dan menceritakan semuanya. Dia tidak mengerti mengapa sang ayah begitu kejam padanya. Sampai-sampai tidak memberikan kesempatan terakhir baginya untuk melihat kakeknya.

“Alena ...,” panggil Mika sembari memegang tangannya.

“Aku tahu ayahku membenciku tetapi mengapa tidak memberikan aku sedikit saja waktu untuk melihat kakek untuk terakhir kalinya.”

Tanpa berpikir lagi Alena melepaskan jarum infus. Dia turun dari atas ranjang lalu berjalan ke luar. Dia tidak mendengarkan Mika yang memintanya untuk tetap tenang.

“Alena, tenangkan dirimu! Jika kamu seperti ini ....”

“Tenang? Apakah kamu bisa tenang setelah semua yang terjadi padaku?!” bentak Alena.

“Kali ini percayalah padaku. Tetaplah di sini tunggu hingga semuanya tenang.”

Alena tidak memedulikan perkataan Mika. Dia masih tetap ingin pergi dari rumah sakit. Dia harus tahu alasan mengapa ayahnya begitu kejam padanya.

“Lepaskan aku, Mika!” pekik Alena yang membuat semua orang di dekatnya memandanginya.

“Tidak. Aku tidak ingin terjadi hal buruk padamu.”

Mereka berdua pun mulai berdebat dan mulai mengganggu pasien yang ada di rumah sakit. Ada beberapa perawat yang mendekat dan berusaha untuk menenangkan Alena. Serta menghentikan perdebatan mereka berdua.

“Lepaskan dia!” perintah seorang pria dengan nada tegas.

Perawat yang memegangi tangan Alena perlahan melepaskannya. Begitu juga dengan Mika. Mereka semua menatap ke arah pria yang saat ini sudah ada di dekat.

Alena menatap pria itu. Dia teringat kembali dengan kejadian sebelum kakeknya tiada. Dia mengepalkan tangannya dan langsung menyerang pria itu.

“Ini semua salahmu, Brian Oliver! Kamu penyebab kematian kakekku!” pekik Alena.

Dia terus menyerang Brian dan pria itu hanya menghindari atau menangkisnya. Terlihat jelas jika Brian tidak ingin menyerang balik. Namun, itu semua itu membuat Alena semakin geram. Dan melayangkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi pada Brian.

“Berhenti! Jika kamu ingin pergi dari sini maka ikutlah denganku!”

“Aku tidak peduli! Jika bukan karena kamu aku tidak akan kehilangan kakekku!”

“Menyebalkan!” tukas Brian. Lalu dia memegang tangan Alena dan menariknya hingga masuk ke dalam pelukannya.

“Lepaskan! Jika tidak kamu akan berakhir sekarang juga!” ancam Alena.

“Jadilah anak penurut!” timpal Brian. Sembari dia menggendong Alena di atas pundaknya.

Alena berusaha melepaskan dirinya dan berteriak agar Brian melepaskannya. Akan tetapi, semua yang dilakukannya sama sekali tidak membuahkan hasil. Brian terus saja berjalan dan menghiraukan orang-orang yang sedang memandangi mereka.

Brian menghempaskan Alena ke dalam mobil. Setelah itu dia masuk ke dalam mobil. Terlihat sangat jelas jika dia sangat kesal dengan sikap Alena yang begitu berapi-api. 

“Tenangkan dirimu! Aku sudah lelah dengan yang kamu lakukan barusan,” ucap Brian dengan nada sedikit kesal. Sembari melonggarkan dasinya.

Alena terdiam saat mendengar perkataan Brian. Entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya tidak melawan kali ini. Dia berusaha untuk menenangkan dirinya.

“Ini milikmu,” ucap Brian. Sembari memberikan sebuah ponsel pada Alena.

“Bagaimana ponselku ada di kamu?”

“Ponselmu terjatuh saat kamu tidak sadarkan diri dan aku mengambilnya.”

Alena mengambil ponselnya. Lalu dia memandang ke luar kaca pintu mobil. Dia masih memikirkan mengapa ayahnya bisa bersikap tidak adil padanya.

Tidak berselang lama mobil pun berhenti tepat di sebuah area pemakaman. Alena mengenal dengan baik area pemakaman ini sebab dirinya sering ke sana untuk mengunjungi sang nenek bersama dengan kakeknya.

“Aku ingin sendiri,” ucap Alena. Lalu dia ke luar dari dalam mobil. Setelah seorang pria membukakan pintu mobil.

Alena berjalan menuju makan sang nenek sebab dia yakin jika kakeknya di makamkan tepat di samping makan neneknya. Yang dipikirkannya memang benar. Terlihat makan yang baru tepat di samping makam sang nenek.

Dia terduduk tepat di samping batu nisan kakeknya. Dia hanya memandangi makam kakeknya sembari memegang batu nisannya. Sekarang sudah tidak ada lagi orang yang menyayanginya dengan tulus. Serta membelanya dari sang ayah yang begitu keras padanya.

“Kakek, apakah sudah bertemu dengan kekasih sejatimu di sana? Bersikap baiklah di sana padanya karena nenek begitu mencintaimu,” ucap Alena sembari tersenyum.

Alena berusaha untuk merelakan sang kakek karena sekarang sang kakek bisa kembali bertemu dengan neneknya. Meski jauh di lubuk hatinya masih merasakan kesedihan.

“Kakek tenang saja di sana. Aku bukan cucumu yang lemah dan aku yakin bisa melaluinya dengan baik,” Alena kembali berkata di depan batu nisan sang kakek.

“Semua ini karenamu! Seharusnya kamu saja yang mati! Mengapa kamu begitu kejam?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status