“Alena, bangunlah!” perintah pria yang menghentikan sang ayah memukulinya.
Alena mendongak. Dia pun menerima uluran tangan pria itu. Dia menatapnya lalu memeluknya. Dia begitu merindukan pria itu dan hanya pria itu yang selalu melindunginya.
“Kakek ....”
“Gadis tengil. Mengapa kamu tidak melawan? Apakah kamu ingin dihajar habis-habisan oleh ayahmu yang bodoh itu.”
Alena hanya diam dan masih memeluk kakeknya. Dengan berada di dalam pelukan sang kakek bisa membuatnya begitu tenang dan hangat. Hanya berada di dekat sang kakek yang bisa membuatnya merasa aman.
Dia melepaskan pelukannya. Setelah itu dia melihat Brian yang berdiri di belakang sang kakek. Dia melupakan jika pria itu ada di depan rumah sedang menunggunya.
“Ayah, dia sudah membuatku malu. Serta nama baik kita tercemar karena dia!”
“Pram, sejak awal kamu memang tidak adil pada, Alena. Kamu hanya mengikuti apa yang kamu pikirkan dan tidak pernah mau mendengarkan penjelasannya. Sehingga bagimu Alena hanya putri tidak berguna dan hanya membuat malu,” timpal sang ayah.
Perhatiannya kembali tertuju pada ayah dan kakeknya yang tengah beradu argumentasi. Terlihat jika sang ayah sama sekali tidak ingin disalahkan karena cara didiknya terhadap kedua putrinya. Yang selalu dibanding-bandingkan.
“Sayang, bukankah kamu akan mengambil sesuatu? Ambillah!” Sang kakek berkata pada Alena.
Alena mengangguk. Dia berjalan meninggalkan ayahnya dan menuju ke kamarnya. Sembari terus berjalan dia juga kembali mendengar sang ayah yang terus menyalahkan dirinya karena sudah membuat nama baiknya hancur.
Dia sudah ada di dalam kamarnya dan mencari flash drive yang diinginkan oleh Brian. Di berpikir mungkin flash drive itu sangat penting sehingga membuat pria itu ikut bersama dengannya.
“Ini dia. Aku harus langsung menyerahkannya dan menyuruhnya pergi,” ucapnya. Lalu dia berjalan keluar.
Langkahnya terhenti saat dia merasakan sakit di tubuhnya akibat pukulan sang ayah. Dia melihat lengannya yang ternyata memerah bahkan ada yang berdarah.
“Jika kakek tidak datang mungkin hari ini adalah hari terakhirku.”
Dia kembali berjalan. Sembari menahan rasa sakitnya. Dia berada di anak tangga dan mendengar apa yang sedang dibicarakan ayah, kakek dan juga Brian. Dia sama sekali tidak setuju dengan keputusan yang mereka setujui.
“Aku tidak setuju! Aku tidak akan menikah dengannya! Kami tidak melakukan hal yang tidak senonoh!” ujar Alena. Sembari terus berjalan mendekat ke arah Brian.
“Sayang ....”
“Kakek, bukankah sudah tahu jika aku sangat mencintai Theo. Aku hanya ingin menikah dengannya.”
Alena masih bersikeras mempertahankan hubungannya dengan sang kekasih. Sudah cukup baginya selalu menyerah dengan apa yang diinginkannya.
“Ini yang kamu inginkan. Sekarang pergilah dan jangan memikirkan apa yang kalian bahas barusan,” Alena berkata pada Brian. Sembari menyerahkan flash drive.
“Sepertinya kamu harus berjuang sangat keras.”
Alena tidak menimpali lagi perkataan Brian yang beranjak pergi meninggalkan rumah. Sembari membawa barang yang diinginkannya. Mungkin yang dikatakan pria itu benar. Namun, dia akan berjuang dengan kuat untuk mempertahankan cintanya.
“Kakek ... aku mohon ... jangan memaksaku menikah dengannya. Aku bersumpah tidak terjadi sesuatu dengannya. Aku sangat mencintai, Theo.”
Dia terus memohon pada sang kakek. Sebab hanya kakeknya yang bisa membantunya. Sedangkan sang ibu tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah pasti akan kalah oleh ayah.
“Apa kamu yakin? Apa kamu benar-benar percaya jika pria itu akan menerimamu setelah foto-fotomu tersebarluas?” tanya sang kakek.
“Aku yakin. Theo, pasti percaya padaku dan mencintaiku.”
“Kamu pikirkan kembali baik-baik. Selama beberapa hari ini Kakek akan tinggal di sini. Kakek akan berusaha menyelesaikan masalahmu.”
“Terima kasih, Kakek.”
“Sita, obati semua luka, Alena! Dan kamu Pram ikut denganku!” Sang kakek berkata. Sembari beranjak pergi.
“Sayang, ayo!” imbuh sang ibu.
Alena mengangguk. Dia berjalan bersama ibunya ke kamar. Sang ibu mulai mengolesi luka-luka yang ada di tubuhnya.
“Maafkan ibumu ini,” ucap sang ibu. Dengan nada sedih.
“Tidak perlu meminta maaf. Aku tahu Ibu sudah berusaha keras untuk melindungiku. Seharusnya aku yang meminta maaf karena belum bisa menjadi putri terbaik untukmu.
Alena pun tidak mendengar ibunya bicara. Dia yakin jika saat ini di hati sang ibu sedang memikirkan rencana ayahnya. Namun, kali ini dia tidak akan menyerah dengan cintanya dan akan mempertahankannya.
“Kamu istirahatlah! Untuk beberapa hari ini jangan membuat ayahmu marah. Sebab, Erica pergi ke luar kota,” ucap sang ibu. Sembari berjalan pergi meninggalkan kamar Alena.
Alena masih duduk di atas ranjang, dia teringat kembali semua fotonya malam tadi. Dia masih memikirkan siapa yang sudah memotretnya malam itu.
Lamunannya pecah saat dia mendengar suara dering ponselnya. Dia mencari di mana ponselnya. Dia berjalan menuju ke arah meja dan melihat tas miliknya ada di sana.
“Mengapa tasku ada di sini? Bukankah semalam ....”
Alena menghentikan kalimatnya. Dia mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Dia langsung mengangkatnya karena yang menghubunginya adalah sang kekasih.
“Halo,” sapa Alena.
Dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Theo. Dan pria itu memintanya untuk menemuinya. Tanpa berpikir panjang Alena menyetujuinya. Sebab dia memang harus bertemu dengan kekasihnya untuk membicarakan masalah yang tengah dihadapinya saat ini.
“Kirimkan lokasinya. Aku akan menemuimu!” Alena kembali berkata pada Theo. Lalu dia memutuskan sambungan teleponnya. Setelah pria itu mengatakan ya.
Alena mengabaikan luka di sekejur tubuhnya. Dia mengganti pakaiannya dan berniat untuk pergi menemui Theo. Dia juga mengabaikan apa yang barusan dikatakan oleh ibunya. Dia sudah bersiap dan ke luar dari kamarnya. Dia melihat seorang pelayan.
“Apa ayahku ada di rumah?” tanya Alena. Pada sang pelayan.
“Tuan pergi kira-kira sepuluh menit yang lalu.”
Setelah mendengar itu Alena langsung pergi. Dia mengendarai motornya. Dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi agar bisa tiba di tempat yang sudah diberikan oleh Thoe.
Di tengah perjalanan. Dia menghentikan motornya karena merasakan ponselnya yang bergetar. Dia mengambil ponselnya dari saku jaketnya. Lalu melihat pesan yang dikirimkan oleh sang kekasih.
“Dia membatalkannya,” gumamnya. Sembari terdiam sejenak.
Dia tidak tahu harus ke mana lagi saat ini. Sebuah pesan singkat kembali masuk. Pesan itu berasal dari salah satu temannya yang meminta bantuan padanya. Dia membalas pesan itu dan menyetujui akan membantu temannya itu.
Dia menjalankan kembali motornya menuju tempat temannya. Hingga akhirnya dia tiba di salah satu apartemen. Dia memarkirkan motornya lalu berjalan menuju apartemen temannya.
“Theo, sedang apa dia di sini?” gumam Alena. Saat melihat Theo tengah berjalan di depannya.
Dia hendak memanggil kekasihnya. Akan tetapi, diurungkannya. Sebab dia melihat ada seorang pria dan wanita yang mendekat pada sang kekasih. Ponselnya berdering dan dia mengangkatnya.
“Aku di area parkir. Aku akan segera ke sana!” ucap Alena. Lalu dia memutuskan sambungan teleponnya. Sembari berjalan menuju ke apartemen temannya.
Dia sudah ada di dekat apartemen temannya. Saat dia hendak mengetuk pintu apartemen. Pandangannya teralihkan saat dirinya melihat seseorang yang dikenalnya yaitu Mika yang masuk ke dalam salah satu apartemen.
“Alena, maafkan aku sudah merepotkanmu. Namun, semua masalahku sudah selesai,” ucap seseorang yang baru membuka pintu apartemen.
“Syukurlah. Kalau begitu aku ....”
Alena menghentikan ucapannya setelah mendengar ponselnya berdering. Dia mengambil ponselnya dan langsung mengangkatnya karena yang menghubunginya adalah nomor ponsel sang kakek.
“Siapa kamu? Mengapa ponsel kakekku ada di kamu?!” tanya Alena. Pada orang yang ada di ujung telepon.
Dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang itu. Sembari berjalan. Dia begitu terkejut saat ada di dekat apartemen yang tadi dimasuki oleh Mika. Rupanya pintu apartemen itu tidak ditutup rapat.
Alena mengepalkan kedua tangannya. Dia menahan emosi di dalam hatinya. Dia terhenyak saat mendengar orang yang ada di ujung telepon mengatakan jika sang kakek berada di rumah sakit.
“Brian, jika terjadi sesuatu pada kakekku maka aku tidak akan melepaskanmu!” ancam Alena. Lalu dia berjalan meninggalkan apartemen dan mengabaikan apa yang barusan dilihatnya.
Alena sudah tiba di rumah sakit. Dia bergegas menuju ruangan di mana sang kakek berada. Dia menghentikan langkahnya saat melihat sang ibu yang tengah berdiri di depan sebuah ruangan. “Bu, bagaimana keadaan kakek?” tanya Alena pada sang ibu. Akan tetapi sang ibu tidak menjawabnya dan hanya melihat ke dalam ruangan dari kaca yang menempel di pintu. Tanpa banyak tanya lagi Alena masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat sang kakek yang terbaring di atas ranjang. Di sampingnya ada sang ayah serta pria yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang kakek. “Kakek ...,” panggil Alena sembari mendekat ke arah ranjang. Dia menghentikan langkahnya saat sudah ada di samping ranjang. Dia memegang tangan kakeknya dan mencium punggung telapak tangannya. Dia memandangi wajah sang kakek yang terlihat begitu lemah serta kepalanya pun di perban. “Jangan tinggalkan aku,” Alena kembali berkata dengan nada sedih. “Alena ... menikahlah dengan, Brian.” Alena tidak menimpali sang kakek karena dia ti
Alena mendongak. Dia berdiri dan menatap orang yang ada di hadapannya. Dia bisa melihat dengan jelas ada kebencian dari sorot matanya terhadapnya. “Mengapa Om Andi berkati seperti itu?” tanya Alena. Pada pria yang baru saja menuduhnya sebagai penyebab kematian sang kakek. “Iya. Jika bukan karena untuk melindungimu mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kamu sudah tahu bukan jika ayahmu itu begitu busuk.” Alena mendengarkan semua kemarahan sang paman serta kebenciannya pada sang ayah. Memang sudah sejak lama hubungan sang ayah dan adiknya itu tidak baik-baik saja. Bahkan mereka berdua sering bertengkar. Dia tidak mengira jika semua yang terjadi pada sang kakek semuanya disebabkan olehnya. Sang paman terus saja mengatakan kekesalannya pada Alena karena dia juga kesal pada kakaknya yang begitu egois. “Jadi semuanya salah aku. Lantas apa yang harus aku lakukan? Apakah, Om Andi juga ingin aku pergi menyusul kakek?” “Cih ... kamu sama saja seperti ayahmu. Namun, tenang saja. Kamu t
"Kamu pikir dengan kematianmu bisa membuat ayahku kembali hidup?!” tanya sang ayah dengan nada dingin. Alena terkejut dengan sikap dan nada bicara sang ayah. Sehingga tanpa sadar dia mundur beberapa langkah untuk menghindari ayahnya. Baru kali ini dia merasakan aura yang berbeda dari ayahnya. Dia berpikir mungkinkan sang ayah menginginkan kematiannya. Dia menatap sang ayah dan dia tidak bisa membendung rasa takut di hatinya. Ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang selalu menghukumnya dengan bentakan dan juga pukulan. “Jika bukan kematian lantas apa?” Alena memberanikan diri untuk bertanya lagi pada ayahnya. “Penuhi keinginan terakhirnya.” “Menikah. Apakah itu yang harus aku lakukan?” “Iya. Kamu harus menikah dengan, Brian. Meski sebenarnya aku tidak menyukainya. Namun, kamu sudah membuat masalah bersama dengannya.” Bila mendengarkan perkataan ayahnya terasa jelas jika dirinya tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Brian. Dia berpikir untuk bicara dengan pria itu dan
"Siapa kamu? Mengapa kamu masuk ke kamarku tanpa izin dariku?” tanya Alena yang terkejut dengan orang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. “Aku bisa masuk di semua ruangan ini tanpa izin darimu.” Alena turun dari atas ranjang dan dia menatap wanita yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak mengerti mengapa wanita itu begitu penuh percaya diri dan menyebalkan. Dia masih berusaha untuk menahan rasa kesal di hatinya dengan sikap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu terus memandanginya dengan tatapan yang terlihat penuh dengan kebencian. “Aku tidak mengira jika Brian mau menikah dengan wanita sepertimu,” Wanita itu kembali berkata dan kali ini dengan nada menghina. Tidak cukup satu kali wanita itu terus melontarkan kata-kata yang membuat Alena semakin geram saja. Namun, Alena masih berusaha untuk mengontrol emosinya. “Brian ... Brian ... hanya itu yang terus kamu sebut. Apakah kamu mencintainya? Sehingga kamu begitu membenciku?” tanya Alena. Yang membuat wanita itu akhirny
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku terlihat tidak senang menikah dengannya?” Alena balik bertanya pada wanita yang ada di depannya.Alena berpikir entah berapa wanita lagi yang harus dihadapinya karena dirinya sudah menikah dengan Brian. Dia terus menatap wanita yang sedang menatapnya dengan tajam.
Alena sudah ada di depan pintu masuk rumahnya. Dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Dia melihat rumahnya begitu sepi seperti tidak terjadi sesuatu yang menyedihkan. “Nona, Anda ada di sini?” tanya seorang pelayan yang melihat kedatangan Alena. “Bagaimana keadaan ibuku?” "Nyonya baik-baik saja,” jawab sang pelayan dengan raut wajah kebingungan. “Di mana ibuku sekarang?” Alena kembali bertanya. “Nyonya ada di kamarnya dan ....” Alena langsung menuju kamar sang ibu tanpa mendengarkan sang pelayan menyelesaikan kalimatnya. Dia berhenti sejenak saat sudah ada di depan pintu kamar yang ternyata sedikit terbuka. Sehingga dia bisa mendengar sang ibu yang tengah bicara dengan seseorang. Dia berniat untuk masuk tetapi diurungkannya karena dia sedikit terkejut dengan perkataan sang ibu. Dia memutuskan untuk tetap berdiri di balik pintu dan mendengarkan semua pembicaraan ibunya dengan seseorang yang ada di ujung telepon. Dia tersenyum sedih saat mendengar ibunya yang sedang membicarak
Alena tersenyum lalu dia berkata, “Aku tidak peduli lagi.”Tanpa membalikkan tubuhnya dan dia juga tidak peduli dengan orang yang ada di belakangnya. Dia masuk ke dalam mobilnya dan menjalankannya ke luar area rumahnya. Sebenarnya dia sudah tahu s
“Kamu ada di sini?” Alena kembali bertanya pada orang yang ada di sampingnya saat ini. “Tante muda ....”“Tante muda ... tante mudah ... apakah kamu tidak bisa memanggilku Alena saja? Panggilanmu itu terasa tidak mengenakan telingaku saja!” Alen