Alena membuka matanya. Dia memegang kepalanya yang masih terasa berat. Dia melihat sekeliling dan dia sama sekali tidak mengenali ruangan. Lalu dia melihat ke sampingnya. Seketika dia melihat ke arah tubuhnya. Dia semakin terkejut karena saat ini tubuhnya mengenakan kemeja putih.
“Dasar pria tua mesum!” teriak Alena.
Teriakannya itu membangunkan pria yang ada di sampingnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi Alena mengambil bantal dan memukuli pria itu. Dia tidak akan melepaskan pria yang sudah menyentuhnya.
“Berhenti!” perintah pria itu. Dengan nada tinggi juga. Sembari memegang tangan Alena.
“Apa yang sudah kamu lakukan padaku?!”
“Apa kamu mau aku ceritakan atau kita ulang kembali adegan semalam yang begitu panas?” jawab pria itu.
“Kamu ....”
Namun, sebelum Alena melanjutkan kalimatnya. Ada seseorang yang mengetuk pintu kamar. Pria itu pun turun dari atas ranjang dan memerintahkan orang itu untuk masuk. Pintu terbuka dan terlihat seorang pelayan wanita sembari membawa gaun yang selama dikenakan oleh Alena.
Alena melihat pria itu berjalan ke luar dari dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata. Sedangkan pelayan wanita itu masih ada di dalam kamar.
“Nona, saya sudah membersihkan gaun Anda dan juga sudah memperbaikinya. Apakah Anda ingin mengenakannya atau mengenakan pakaian yang sudah disiapkan oleh, Tuan Brian?”
‘Rupanya pria tua itu namanya adalah, Brian,” ucap Alena dalam hatinya.
“Nona, Anda beruntung sudah diselamatkan oleh, Tuan Brian,” Pelayan itu kembali berkata. Dengan nada lembut.
“Beruntung apanya? Dia sudah berbuat tidak senonoh padaku. Dia sudah mengambil kesempatan di saat aku tidak sadar.”
Alena terus menggerutu layaknya seperti anak kecil yang kesal. Sehingga dia tidak menyadari jika saat ini pelayan wanita itu sudah ada di dekatnya.
“Nona, sudah salah paham. Semalan tidak terjadi apa-apa pada Anda.”
“Kamu pelayannya. Kamu tidak tahu apa yang sudah dilakukan olehnya padaku semalam.”
“Apa, Nona tahu jika semalam saya ada di kamar ini? Saya juga yang sudah membantu Anda mengganti gaun yang sudah sobek dan basah.”
Alena mendengarkan semua perkataan pelayan wanita itu. Awalnya dia tidak mempercayai pelayan itu. Sebab pelayan pasti akan membela tuannya dan akan mengatakan yang baik-baik saja.
“Saya tahu jika Nona tidak percaya dengan saya. Namun, saya bisa bersumpah demi Tuhan jika tuan saya tidak melakukan hal yang akan merugikan seorang wanita. Jika, Nona masih tidak percaya Anda bisa bertanya pada, Tuan Juan.”
“Siapa lagi, Tuan Juan?”
“Tuan Juan, adalah teman Tuan Brian sekaligus seorang dokter.”
Alena mendengar seseorang yang mengetuk pintu kamar. Pelayan wanita itu pun membukakan pintu dan terlihat seorang pelayan pria. Mereka pun berbicara sejenak lalu pelayan pria itu pergi. Pelayan wanita itu menutup pintu dan mendekat kembali padanya.
“Nona, sebaiknya Anda segera bersiap. Tuan sudah menunggu dia gazebo.”
“Baiklah,” jawab Alena. Lalu dia turun dari atas ranjang.
Dia melihat gaun yang semalam dikenakan olehnya. Serta kaus dan celana jin. Dia memilih kaus dan celana dibandingkan dengan gaun.
“Kamu buang saja gaun itu!” perintah Alena. Yang sudah tidak ingin melihat bahkan mengenakan gaun itu lagi.
“Baik. Nona, bisa ke ruangan di sana untuk bersiap,” timpal sang pelayan. Sembari menunjuk ke arah kamar mandi.
Alena mengangguk. Dia berjalan ke sana dan langsung mengenakan pakaian yang sudah dipilihnya. Tidak berselang lama dia pun ke luar dan dia masih melihat pelayan wanita itu.
“Tunjukkan aku jalannya!”
Pelayan itu mengangguk. Alena mengikuti pelayan itu dari belakang. Sembari melihat setiap sudut jalan yang dilewatinya. Dia juga melihat ada beberapa orang dengan setelan jas serba hitam. Dia berpikir jika mereka adalah para penjaga yang ada di rumah itu.
Alena melihat dua orang pria yang tengah duduk di gazebo. Hingga akhirnya dia ada di hadapan mereka berdua. Pelayan yang mengantarnya tadi pun memberi hormat dan pergi meninggalkannya.
“Duduklah!” perintah seorang pria. Dengan nada tegas.
Tanpa menimpalinya Alena duduk. Dia melihat ke arah pria yang mengenakan kaca mata. Dia berpikir apakah pria itu adalah Juan.
“Jangan memandanginya terus!”
“Terserah aku mau memandanginya atau tidak! Lagi pula dia lebih terlihat muda dari pada kamu pria tua!”
Seketika pria dengan kacamata terkekeh-kekeh. Alena sekilas menatap ke arah Brian yang terlihat kesal. Namun, dia tidak peduli akan hal itu, di benaknya saat ini adalah memberikan pelajaran pada pria itu.
“Hentikan tawa menyebalkanmu itu, Juan!” tegas Brian.
“Ayolah, Brian. Apa yang dikatakan oleh wanitamu itu memang benar. Kamu tampak tua,” timpal Juan. Lalu dia kembali tertawa.
“Jangan asal bicara! Mana mungkin aku wanitanya! Aku sudah memiliki kekasih dan aku akan menikah dengannya!” sergah Alena.
Alena merasakan aura yang dingin. Perlahan dia melihat ke arah Brian yang saat ini sedang menatap tajam dirinya.
“Kembalikan barangku yang kamu ambil malam itu!” Brian kembali berkata. Dengan nada dingin.
Terlihat jelas jika Brian tidak ingin berbasa-basi lagi. Alena pun memang tidak berniat untuk mengambil barang milik pria itu.
“Biarkan aku pulang dan aku akan mengambilkannya untukmu.”
“Setelah sarapan aku akan menyuruh sopir untuk mengantarmu pulang.”
Alena mengangguk. Dia melihat Brian beranjak lalu pergi bersama Juan meninggalkannya. Dia tidak memedulikan itu dan melanjutkan sarapannya hingga selesai. Setelah itu seorang pelayan mengantarkannya menuju sebuah mobil yang akan membawanya kembali ke rumah.
“Kamu ....”
“Cepat duduk! Aku tidak punya waktu banyak untukmu!” timpal Brian.
“Apa kamu tidak percaya denganku? Sehingga kamu juga harus mengikutiku.”
“Jalankan mobilnya!” perintah Brian pada sang sopir. Tanpa menjawab pertanyaan Alena.
Mobil pun melaju meninggalkan kediaman. Jalanan ibu kota mulai padat. Selama di dalam perjalanan suasana di dalam begitu hening dan dingin. Membuat Alena sesak hingga tiba di rumahnya.
“Aku akan mengambilnya untukmu. Tunggu di sini!” ucap Alena. Lalu dia ke luar dari dalam mobil.
Alena berdiri sejenak sembari melihat ke arah pintu rumahnya. Dia bisa memprediksikan apa yang akan terjadi saat dirinya masuk ke dalam rumahnya.
Dia menghela napasnya lalu berkata, “Mungkin hukumanku bertambah lagi.”
Dia berjalan masuk. Alena terdiam sejenak karena melihat ayahnya yang menatap ke arahnya penuh dengan kemarahan. Dia pun mengepalkan tangannya seraya bersiap untuk menerima semua kemarahan ayahnya.
“Wanita tidak tahu malu! Apakah ini yang aku ajarkan padamu!” teriak sang ayah. Sembari melemparkan beberapa lembar foto ke wajah Alena.
Alena terpaku melihat ke bawah. Ada foto dirinya yang tengah digendong oleh Brian malam tadi. Ada juga fotonya saat dirinya mengecup leher Brian. Hingga dirinya masuk ke dalam mobil.
“Mengapa diam?! Kamu sudah membuatku malu! Mereka semua menghubungiku dan mengatakan jika kamu adalah wanita murahan!”
“Ayah ....”
“Bu, apa kamu tahu apa yang mereka tanyakan padaku? Mereka bertanya berapa harganya untuk semalam!” potong sang ayah pada istrinya.
Perlahan Alena mengambil semua foto yang ada di atas lantai. Dia tidak tahu mengapa foto itu bisa ada di tangan ayahnya. Serta tersebar ke rekan-rekan bisnis ayahnya.
Alena hanya memandangi foto itu sembari mendengarkan ayahnya yang sedang meluapkan emosinya. Dia sama sekali tidak membela diri.
“Kali ini aku tidak akan mengampunimu! Lebih baik aku mengakhiri semuanya!” pekik sang ayah. Lalu dia mengambil sebuah rotan.
Alena bergeming saat sang ayah memukulinya. Dia juga tidak menangis meski tubuhnya sudah terasa pedih dan sakit. Bahkan kulitnya sudah memerah.
“Ayah, sudah cukup! Dia bisa tiada!” teriak sang ibu. Sembari berusaha menghentikan suaminya.
“Diam! Kamu juga selalu memanjakannya! Sehingga dia seperti ini!” bentak sang ayah. Sembari mendorong istrinya.
Alena akhirnya terkulai di atas lantai. Meski begitu sang ayah tidak berhenti memukulinya. Sembari mengatakan penyesalannya karena memiliki putri yang hanya bisa membuatnya malu. Serta menghancurkan nama baik yang sudah dijaga olehnya selama ini.
“Hentikan! Jika kamu tidak ingin menyesal!”
Suara bariton terdengar dan mengejutkan sang ayah. Dan menghentikannya karena dia melihat seseorang yang begitu diseganinya.
“Alena, bangunlah!” perintah pria yang menghentikan sang ayah memukulinya. Alena mendongak. Dia pun menerima uluran tangan pria itu. Dia menatapnya lalu memeluknya. Dia begitu merindukan pria itu dan hanya pria itu yang selalu melindunginya. “Kakek ....” “Gadis tengil. Mengapa kamu tidak melawan? Apakah kamu ingin dihajar habis-habisan oleh ayahmu yang bodoh itu.” Alena hanya diam dan masih memeluk kakeknya. Dengan berada di dalam pelukan sang kakek bisa membuatnya begitu tenang dan hangat. Hanya berada di dekat sang kakek yang bisa membuatnya merasa aman. Dia melepaskan pelukannya. Setelah itu dia melihat Brian yang berdiri di belakang sang kakek. Dia melupakan jika pria itu ada di depan rumah sedang menunggunya. “Ayah, dia sudah membuatku malu. Serta nama baik kita tercemar karena dia!” “Pram, sejak awal kamu memang tidak adil pada, Alena. Kamu hanya mengikuti apa yang kamu pikirkan dan tidak pernah mau mendengarkan penjelasannya. Sehingga bagimu Alena hanya putri tidak ber
Alena sudah tiba di rumah sakit. Dia bergegas menuju ruangan di mana sang kakek berada. Dia menghentikan langkahnya saat melihat sang ibu yang tengah berdiri di depan sebuah ruangan. “Bu, bagaimana keadaan kakek?” tanya Alena pada sang ibu. Akan tetapi sang ibu tidak menjawabnya dan hanya melihat ke dalam ruangan dari kaca yang menempel di pintu. Tanpa banyak tanya lagi Alena masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat sang kakek yang terbaring di atas ranjang. Di sampingnya ada sang ayah serta pria yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang kakek. “Kakek ...,” panggil Alena sembari mendekat ke arah ranjang. Dia menghentikan langkahnya saat sudah ada di samping ranjang. Dia memegang tangan kakeknya dan mencium punggung telapak tangannya. Dia memandangi wajah sang kakek yang terlihat begitu lemah serta kepalanya pun di perban. “Jangan tinggalkan aku,” Alena kembali berkata dengan nada sedih. “Alena ... menikahlah dengan, Brian.” Alena tidak menimpali sang kakek karena dia ti
Alena mendongak. Dia berdiri dan menatap orang yang ada di hadapannya. Dia bisa melihat dengan jelas ada kebencian dari sorot matanya terhadapnya. “Mengapa Om Andi berkati seperti itu?” tanya Alena. Pada pria yang baru saja menuduhnya sebagai penyebab kematian sang kakek. “Iya. Jika bukan karena untuk melindungimu mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kamu sudah tahu bukan jika ayahmu itu begitu busuk.” Alena mendengarkan semua kemarahan sang paman serta kebenciannya pada sang ayah. Memang sudah sejak lama hubungan sang ayah dan adiknya itu tidak baik-baik saja. Bahkan mereka berdua sering bertengkar. Dia tidak mengira jika semua yang terjadi pada sang kakek semuanya disebabkan olehnya. Sang paman terus saja mengatakan kekesalannya pada Alena karena dia juga kesal pada kakaknya yang begitu egois. “Jadi semuanya salah aku. Lantas apa yang harus aku lakukan? Apakah, Om Andi juga ingin aku pergi menyusul kakek?” “Cih ... kamu sama saja seperti ayahmu. Namun, tenang saja. Kamu t
"Kamu pikir dengan kematianmu bisa membuat ayahku kembali hidup?!” tanya sang ayah dengan nada dingin. Alena terkejut dengan sikap dan nada bicara sang ayah. Sehingga tanpa sadar dia mundur beberapa langkah untuk menghindari ayahnya. Baru kali ini dia merasakan aura yang berbeda dari ayahnya. Dia berpikir mungkinkan sang ayah menginginkan kematiannya. Dia menatap sang ayah dan dia tidak bisa membendung rasa takut di hatinya. Ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang selalu menghukumnya dengan bentakan dan juga pukulan. “Jika bukan kematian lantas apa?” Alena memberanikan diri untuk bertanya lagi pada ayahnya. “Penuhi keinginan terakhirnya.” “Menikah. Apakah itu yang harus aku lakukan?” “Iya. Kamu harus menikah dengan, Brian. Meski sebenarnya aku tidak menyukainya. Namun, kamu sudah membuat masalah bersama dengannya.” Bila mendengarkan perkataan ayahnya terasa jelas jika dirinya tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Brian. Dia berpikir untuk bicara dengan pria itu dan
"Siapa kamu? Mengapa kamu masuk ke kamarku tanpa izin dariku?” tanya Alena yang terkejut dengan orang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. “Aku bisa masuk di semua ruangan ini tanpa izin darimu.” Alena turun dari atas ranjang dan dia menatap wanita yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak mengerti mengapa wanita itu begitu penuh percaya diri dan menyebalkan. Dia masih berusaha untuk menahan rasa kesal di hatinya dengan sikap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu terus memandanginya dengan tatapan yang terlihat penuh dengan kebencian. “Aku tidak mengira jika Brian mau menikah dengan wanita sepertimu,” Wanita itu kembali berkata dan kali ini dengan nada menghina. Tidak cukup satu kali wanita itu terus melontarkan kata-kata yang membuat Alena semakin geram saja. Namun, Alena masih berusaha untuk mengontrol emosinya. “Brian ... Brian ... hanya itu yang terus kamu sebut. Apakah kamu mencintainya? Sehingga kamu begitu membenciku?” tanya Alena. Yang membuat wanita itu akhirny
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku terlihat tidak senang menikah dengannya?” Alena balik bertanya pada wanita yang ada di depannya.Alena berpikir entah berapa wanita lagi yang harus dihadapinya karena dirinya sudah menikah dengan Brian. Dia terus menatap wanita yang sedang menatapnya dengan tajam.
Alena sudah ada di depan pintu masuk rumahnya. Dia membuka pintu dan masuk ke dalam. Dia melihat rumahnya begitu sepi seperti tidak terjadi sesuatu yang menyedihkan. “Nona, Anda ada di sini?” tanya seorang pelayan yang melihat kedatangan Alena. “Bagaimana keadaan ibuku?” "Nyonya baik-baik saja,” jawab sang pelayan dengan raut wajah kebingungan. “Di mana ibuku sekarang?” Alena kembali bertanya. “Nyonya ada di kamarnya dan ....” Alena langsung menuju kamar sang ibu tanpa mendengarkan sang pelayan menyelesaikan kalimatnya. Dia berhenti sejenak saat sudah ada di depan pintu kamar yang ternyata sedikit terbuka. Sehingga dia bisa mendengar sang ibu yang tengah bicara dengan seseorang. Dia berniat untuk masuk tetapi diurungkannya karena dia sedikit terkejut dengan perkataan sang ibu. Dia memutuskan untuk tetap berdiri di balik pintu dan mendengarkan semua pembicaraan ibunya dengan seseorang yang ada di ujung telepon. Dia tersenyum sedih saat mendengar ibunya yang sedang membicarak
Alena tersenyum lalu dia berkata, “Aku tidak peduli lagi.”Tanpa membalikkan tubuhnya dan dia juga tidak peduli dengan orang yang ada di belakangnya. Dia masuk ke dalam mobilnya dan menjalankannya ke luar area rumahnya. Sebenarnya dia sudah tahu s