Share

2. Tamparan Keras

Alena terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Dia menyadari jika pria tua itu mengejarnya. Dia dengan lihainya meliuk-liukkan tubuhnya sehingga motor mengikuti arahannya untuk menyalip kendaraan yang ada di depannya. Hingga akhirnya dia berhasil lepas dari kejaran mereka. Setelah berhasil melewati lampu lalu lintas yang sekarang sudah berwarna merah.

“Kalian jangan meremehkan aku,” gumamnya. Sembari terus menaikkan kecepatan motornya. 

Alena akhirnya tiba di rumahnya. Dia masih duduk di atas motornya. Dia merasa enggan untuk masuk ke dalam rumah. Sebab dia sudah tahu sudah ada yang menunggunya dan akan menghukumnya.

Dia menghela napasnya lalu berkata, “Untuk apa aku takut? Bukankah itu sudah biasa.”

Alena berjalan masuk ke dalam rumah. Hatinya semakin tidak menentu saat dirinya sudah ada di depan pintu. Perlahan dia memegang gagang pintu dan membukanya pelan-pelan. 

“Masih ingat pulang kamu hah!” 

Alena sedikit terkejut mendengar suara sang ayah yang geram. Dia menatap ayahnya yang tengah menatapnya dengan tajam. Seperti seekor harimau yang sudah siap menerkamnya. 

“Ay—,” Belum selesai Alena menyebut ayah. Sang ayah langsung menampar pipi kananya dengan cukup keras. 

“Mengapa kamu tidak bisa seperti, Erica? Apakah begitu sulit untuk menjadi anak penurut?!” tanya sang ayah. Dengan nada kesal.

Alena hanya diam sembari memegang pipinya yang terasa panas. Setelah mendapatkan sebuah tamparan dari ayahnya. Dia menatap dan mendengar semua kemarahan ayahnya. Serta sang ayah selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya. 

“Sepertinya aku belum menghukummu dengan berat. Sehingga kamu terus saja tidak patuh,” Sang ayah kembali berkata. Lalu dia mengambil rotan yang ada di dekatnya. 

“Ayah, hentikan!”

Seorang wanita paruh baya menghentikan sang ayah untuk memukuli Alena dengan rotan. Dia tidak lain adalah sang ibu. Alena melihat sang ibu yang langsung melindungi dirinya menggunakan tubuhnya. 

“Minggir! Aku harus memberikannya hukuman! Kamu jangan ikut campur!” teriak sang ayah.

“Aku ibunya. Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya!”

“Menyakitinya? Jika dia seperti Erica mana mungkin aku bersikap tegas seperti ini.”

Alena tersenyum simpul. Saat mendengar perkataan sang ayah yang selalu membandingkannya dengan kakaknya. Sekarang ayah dan ibunya mulai berdebat dan itu membuat Alena semakin kecewa dan sedih.

Dia memegang tangan sang ibu. Dia tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk. Sebab beberapa hari ini kesehatan ibunya sedang tidak baik-baik saja. 

“Bu, sudahlah,” ucap Alena dengan nada lirih. Lalu dia tersenyum pada ibunya. Seraya memberitahukan jika dirinya tidak apa-apa. 

“Masuklah ke kamarmu!” perintah sang ibu. 

“Ayah, apakah aku boleh pergi?” tanya Alena. Sebelum dia menuruti perkataan ibunya. 

Alena tidak mendengar jawaban dari ayahnya. Akan tetapi, dia melihat ayahnya pergi dengan raut wajah kesal. Lalu diikuti oleh ibunya yang mengikuti sang ayah dari belakang. 

“Satu minggu! Selama itu kamu tidak boleh ke luar rumah!” Sang ayah berkata sembari terus berjalan.

Alena pun masuk ke dalam kamarnya. Sembari memegang pipinya yang masih terasa panas. Dia menutup pintu kamarnya dengan rapat. Dia melepaskan semua pakaiannya. Lalu melakukan rutinitas membersihkan diri. Setelah itu dia memutuskan untuk tidur. 

Hingga akhirnya dia terbangun saat mendengar suara seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Dia turun dari atas ranjang. Lalu berjalan mendekat ke arah pintu dan membukanya.

“Nona, sarapan Anda,” ucap seorang pelayan. Setelah dia melihat sang nona yang membuka pintu.

“Letakan di atas meja!” perintah Alena. Sembari membuka pintu kamarnya lebar-lebar. 

Dia melihat pelayan itu melakukan perintahnya. Lalu sang pelayan kembali mendekat ke arahnya. 

“Nona, apakah ada yang Anda perlukan lagi?” tanya sang pelayan. 

“Tidak ada.”

Alena melihat anggukkan pelayan dan pelayan itu pergi meninggalkan kamarnya. Dia menutup pintu kamar. Lalu mengambil segelas jus jeruk di atas meja. Dia berjalan menuju balkon. 

Dia berdiri di sana sembari melihat ke arah gazebo. Dia melihat kedua orang tuanya sedang sarapan di sana bersama dengan sang kakak. Dia terus memandangi mereka bertiga yang terlihat begitu bahagia. Meski dirinya tidak ada di sana.

“Terkadang aku berpikir mungkin aku bukan putri mereka.”

Gumam Alena sembari meminum jus jeruknya. Lalu dia kembali masuk ke dalam kamar. Dia mendekat ke arah nakas. Mengambil ponselnya yang bergetar. Sebab ada pesan yang masuk. Dia begitu geram saat membaca pesan singkat itu. Alena langsung menghubungi seseorang. 

“Lakukan sesuai yang aku katakan tadi! Hari ini juga aku ingin semuanya selesai!” perintah Alena. Lalu dia memutuskan sambungan teleponnya.

Dia duduk di atas sofa. Sembari menunggu hasil dari semua rencana yang sudah dibuat olehnya. Alena terus menunggu hingga siang hari. Namun, dia masih belum mendapatkan informasi dari temannya itu. 

Alena beranjak dan berjalan mendekat ke arah pintu. Dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat seorang wanita yang ditangannya ada sebuah gaun. 

“Ada apa?” tanya Alena pada wanita itu. Dengan nada datar.

“Gantikan aku untuk menghadiri pesta malam ini.”

“Mengapa? Bukankah itu undangan untukmu.”

“Ayolah, Alena! Aku sudah membantumu agar terhindar dari hukuman ayah. Lagi pula tuan rumahnya adalah temanmu juga.”

“Tidak, Erica! Bukankah kamu tahu jika aku tidak ....”

Sebelum Alena melanjutkan kalimatnya. Sang kakak pun langsung menyerahkan gaun dan kartu undangan kepadanya. Setelah itu dia melihat Erica pergi meninggalkannya. 

Dia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu dia melihat kartu undangan yang ada di tangannya. Dia menghela napasnya. Setelah itu dia masuk ke dalam kamarnya. 

“Erica, pasti sengaja melakukan semua ini. Meski dia mengatakannya agar aku terhindar dari hukuman ayah,” gumam Alena. 

Alena pun terpaksa menghadiri pesta itu. Sebab dia juga tidak ingin berlama-lama dalam hukuman sang ayah. Dia ingin segera menyelesaikan pendidikannya. Agar dia bisa mengejar impiannya. 

Sekarang dia sudah ada di ballroom salah satu hotel berbintang di Jakarta. Dia melihat sekeliling dan semua yang hadir rerata adalah temannya. Dia tersenyum saat melihat seseorang yang melambaikan tangan padanya. 

“Aku pikir kamu masih dihukum oleh ayahmu,” ucap seorang wanita. Yang tidak lain adalah Mika. 

Alena menghela napasnya lalu berkata, “Jika aku tidak hadir malam ini di sini. Itu artinya aku memilih hukuman yang masih beberapa hari ke depan.”

Alena mengambil segelas minuman yang ada di atas nampan seorang pelayan yang ada di hadapannya. Begitu juga dengan Mika. Mereka berdua menikmati musik yang sedang dimainkan oleh seorang pemusik.

“Alena, akhirnya kamu bisa hadir juga di pestaku,” ucap seorang pria.

“Bagaimana aku tidak datang. Jika kamu menyerahkan undangannya pada, Erica.”

Alena melihat pria itu terkekeh-kekeh. Dia juga yakin jika pria itu memang sengaja melakukan semua itu. Mereka pun mulai berbincang-bincang sejenak.

“Tom ....”

“Pergilah!” ucap Alena. Pada pria yang ada di depannya. Setelah mendengar seseorang memanggil pria itu. 

“Kamu nikmati pestaku malam ini oke,” timpal Tom. Lalu dia berjalan menjauh.

“Tom, selamat ulang tahun,” ucap Alena. Yang menghentikan langkah Tom sejenak.

“Oke.”

Pesta pun terus berjalan. Dia memberikan kebebasan bagi Mika yang ingin menari bersama dengan teman-teman yang lainnya. Sedangkan dia masih tetap berdiri sembari meminum minuman yang ada di gelasnya. 

“Apa kamu menikmatinya,” bisik seseorang. 

“Kamu ...,” sebelum melanjutkan kalimatnya. Dia sudah dibekap sehingga tidak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status