Alena terus memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Dia menyadari jika pria tua itu mengejarnya. Dia dengan lihainya meliuk-liukkan tubuhnya sehingga motor mengikuti arahannya untuk menyalip kendaraan yang ada di depannya. Hingga akhirnya dia berhasil lepas dari kejaran mereka. Setelah berhasil melewati lampu lalu lintas yang sekarang sudah berwarna merah.
“Kalian jangan meremehkan aku,” gumamnya. Sembari terus menaikkan kecepatan motornya.
Alena akhirnya tiba di rumahnya. Dia masih duduk di atas motornya. Dia merasa enggan untuk masuk ke dalam rumah. Sebab dia sudah tahu sudah ada yang menunggunya dan akan menghukumnya.
Dia menghela napasnya lalu berkata, “Untuk apa aku takut? Bukankah itu sudah biasa.”
Alena berjalan masuk ke dalam rumah. Hatinya semakin tidak menentu saat dirinya sudah ada di depan pintu. Perlahan dia memegang gagang pintu dan membukanya pelan-pelan.
“Masih ingat pulang kamu hah!”
Alena sedikit terkejut mendengar suara sang ayah yang geram. Dia menatap ayahnya yang tengah menatapnya dengan tajam. Seperti seekor harimau yang sudah siap menerkamnya.
“Ay—,” Belum selesai Alena menyebut ayah. Sang ayah langsung menampar pipi kananya dengan cukup keras.
“Mengapa kamu tidak bisa seperti, Erica? Apakah begitu sulit untuk menjadi anak penurut?!” tanya sang ayah. Dengan nada kesal.
Alena hanya diam sembari memegang pipinya yang terasa panas. Setelah mendapatkan sebuah tamparan dari ayahnya. Dia menatap dan mendengar semua kemarahan ayahnya. Serta sang ayah selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya.
“Sepertinya aku belum menghukummu dengan berat. Sehingga kamu terus saja tidak patuh,” Sang ayah kembali berkata. Lalu dia mengambil rotan yang ada di dekatnya.
“Ayah, hentikan!”
Seorang wanita paruh baya menghentikan sang ayah untuk memukuli Alena dengan rotan. Dia tidak lain adalah sang ibu. Alena melihat sang ibu yang langsung melindungi dirinya menggunakan tubuhnya.
“Minggir! Aku harus memberikannya hukuman! Kamu jangan ikut campur!” teriak sang ayah.
“Aku ibunya. Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya!”
“Menyakitinya? Jika dia seperti Erica mana mungkin aku bersikap tegas seperti ini.”
Alena tersenyum simpul. Saat mendengar perkataan sang ayah yang selalu membandingkannya dengan kakaknya. Sekarang ayah dan ibunya mulai berdebat dan itu membuat Alena semakin kecewa dan sedih.
Dia memegang tangan sang ibu. Dia tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk. Sebab beberapa hari ini kesehatan ibunya sedang tidak baik-baik saja.
“Bu, sudahlah,” ucap Alena dengan nada lirih. Lalu dia tersenyum pada ibunya. Seraya memberitahukan jika dirinya tidak apa-apa.
“Masuklah ke kamarmu!” perintah sang ibu.
“Ayah, apakah aku boleh pergi?” tanya Alena. Sebelum dia menuruti perkataan ibunya.
Alena tidak mendengar jawaban dari ayahnya. Akan tetapi, dia melihat ayahnya pergi dengan raut wajah kesal. Lalu diikuti oleh ibunya yang mengikuti sang ayah dari belakang.
“Satu minggu! Selama itu kamu tidak boleh ke luar rumah!” Sang ayah berkata sembari terus berjalan.
Alena pun masuk ke dalam kamarnya. Sembari memegang pipinya yang masih terasa panas. Dia menutup pintu kamarnya dengan rapat. Dia melepaskan semua pakaiannya. Lalu melakukan rutinitas membersihkan diri. Setelah itu dia memutuskan untuk tidur.
Hingga akhirnya dia terbangun saat mendengar suara seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Dia turun dari atas ranjang. Lalu berjalan mendekat ke arah pintu dan membukanya.
“Nona, sarapan Anda,” ucap seorang pelayan. Setelah dia melihat sang nona yang membuka pintu.
“Letakan di atas meja!” perintah Alena. Sembari membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
Dia melihat pelayan itu melakukan perintahnya. Lalu sang pelayan kembali mendekat ke arahnya.
“Nona, apakah ada yang Anda perlukan lagi?” tanya sang pelayan.
“Tidak ada.”
Alena melihat anggukkan pelayan dan pelayan itu pergi meninggalkan kamarnya. Dia menutup pintu kamar. Lalu mengambil segelas jus jeruk di atas meja. Dia berjalan menuju balkon.
Dia berdiri di sana sembari melihat ke arah gazebo. Dia melihat kedua orang tuanya sedang sarapan di sana bersama dengan sang kakak. Dia terus memandangi mereka bertiga yang terlihat begitu bahagia. Meski dirinya tidak ada di sana.
“Terkadang aku berpikir mungkin aku bukan putri mereka.”
Gumam Alena sembari meminum jus jeruknya. Lalu dia kembali masuk ke dalam kamar. Dia mendekat ke arah nakas. Mengambil ponselnya yang bergetar. Sebab ada pesan yang masuk. Dia begitu geram saat membaca pesan singkat itu. Alena langsung menghubungi seseorang.
“Lakukan sesuai yang aku katakan tadi! Hari ini juga aku ingin semuanya selesai!” perintah Alena. Lalu dia memutuskan sambungan teleponnya.
Dia duduk di atas sofa. Sembari menunggu hasil dari semua rencana yang sudah dibuat olehnya. Alena terus menunggu hingga siang hari. Namun, dia masih belum mendapatkan informasi dari temannya itu.
Alena beranjak dan berjalan mendekat ke arah pintu. Dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat seorang wanita yang ditangannya ada sebuah gaun.
“Ada apa?” tanya Alena pada wanita itu. Dengan nada datar.
“Gantikan aku untuk menghadiri pesta malam ini.”
“Mengapa? Bukankah itu undangan untukmu.”
“Ayolah, Alena! Aku sudah membantumu agar terhindar dari hukuman ayah. Lagi pula tuan rumahnya adalah temanmu juga.”
“Tidak, Erica! Bukankah kamu tahu jika aku tidak ....”
Sebelum Alena melanjutkan kalimatnya. Sang kakak pun langsung menyerahkan gaun dan kartu undangan kepadanya. Setelah itu dia melihat Erica pergi meninggalkannya.
Dia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu dia melihat kartu undangan yang ada di tangannya. Dia menghela napasnya. Setelah itu dia masuk ke dalam kamarnya.
“Erica, pasti sengaja melakukan semua ini. Meski dia mengatakannya agar aku terhindar dari hukuman ayah,” gumam Alena.
Alena pun terpaksa menghadiri pesta itu. Sebab dia juga tidak ingin berlama-lama dalam hukuman sang ayah. Dia ingin segera menyelesaikan pendidikannya. Agar dia bisa mengejar impiannya.
Sekarang dia sudah ada di ballroom salah satu hotel berbintang di Jakarta. Dia melihat sekeliling dan semua yang hadir rerata adalah temannya. Dia tersenyum saat melihat seseorang yang melambaikan tangan padanya.
“Aku pikir kamu masih dihukum oleh ayahmu,” ucap seorang wanita. Yang tidak lain adalah Mika.
Alena menghela napasnya lalu berkata, “Jika aku tidak hadir malam ini di sini. Itu artinya aku memilih hukuman yang masih beberapa hari ke depan.”
Alena mengambil segelas minuman yang ada di atas nampan seorang pelayan yang ada di hadapannya. Begitu juga dengan Mika. Mereka berdua menikmati musik yang sedang dimainkan oleh seorang pemusik.
“Alena, akhirnya kamu bisa hadir juga di pestaku,” ucap seorang pria.
“Bagaimana aku tidak datang. Jika kamu menyerahkan undangannya pada, Erica.”
Alena melihat pria itu terkekeh-kekeh. Dia juga yakin jika pria itu memang sengaja melakukan semua itu. Mereka pun mulai berbincang-bincang sejenak.
“Tom ....”
“Pergilah!” ucap Alena. Pada pria yang ada di depannya. Setelah mendengar seseorang memanggil pria itu.
“Kamu nikmati pestaku malam ini oke,” timpal Tom. Lalu dia berjalan menjauh.
“Tom, selamat ulang tahun,” ucap Alena. Yang menghentikan langkah Tom sejenak.
“Oke.”
Pesta pun terus berjalan. Dia memberikan kebebasan bagi Mika yang ingin menari bersama dengan teman-teman yang lainnya. Sedangkan dia masih tetap berdiri sembari meminum minuman yang ada di gelasnya.
“Apa kamu menikmatinya,” bisik seseorang.
“Kamu ...,” sebelum melanjutkan kalimatnya. Dia sudah dibekap sehingga tidak sadarkan diri.
“Akhirnya kamu siuman juga,” ucap seorang pria. Setelah melihat Alena membuka matanya. Alena begitu terkejut saat melihat pria itu sudah ada di atas tubuhnya. Dia juga melihat pria itu tersenyum dan itu sangat menjijikkan. Senyuman pria itu menyiratkan penuh dengan hasrat. “Bagaimana apakah kamu masih ingin aku melanjutkannya lagi,” Pria itu kembali berkata. Sembari menyentuh bibir Alena. Lalu menjalar ke lehernya. “Jangan macam-macam denganku, Beni!” ujar Alena. Dengan nada lirih. “Bukankah kamu yang mencari masalah denganku! Kamu yang sudah menyebarkan semuanya bukan?! Itulah sebabnya aku semakin menikmati setiap lekuk tubuhmu yang begitu menggoda hasratku,” Beni kembali berkata. Lalu dia berusaha untuk mencium bibir Alena. Alena berusaha menghindari Beni. Dia tidak ingin pria seperti Beni mengambil ciuman pertamanya. Dia juga sangat membenci Beni karena begitu tidak senonoh. “Semakin kamu membenci dan menolak aku. Maka aku semakin menginginkanmu,” Beni kembali berkata. Ben
Alena membuka matanya. Dia memegang kepalanya yang masih terasa berat. Dia melihat sekeliling dan dia sama sekali tidak mengenali ruangan. Lalu dia melihat ke sampingnya. Seketika dia melihat ke arah tubuhnya. Dia semakin terkejut karena saat ini tubuhnya mengenakan kemeja putih. “Dasar pria tua mesum!” teriak Alena. Teriakannya itu membangunkan pria yang ada di sampingnya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi Alena mengambil bantal dan memukuli pria itu. Dia tidak akan melepaskan pria yang sudah menyentuhnya. “Berhenti!” perintah pria itu. Dengan nada tinggi juga. Sembari memegang tangan Alena. “Apa yang sudah kamu lakukan padaku?!” “Apa kamu mau aku ceritakan atau kita ulang kembali adegan semalam yang begitu panas?” jawab pria itu. “Kamu ....” Namun, sebelum Alena melanjutkan kalimatnya. Ada seseorang yang mengetuk pintu kamar. Pria itu pun turun dari atas ranjang dan memerintahkan orang itu untuk masuk. Pintu terbuka dan terlihat seorang pelayan wanita sembari membawa gaun yan
“Alena, bangunlah!” perintah pria yang menghentikan sang ayah memukulinya. Alena mendongak. Dia pun menerima uluran tangan pria itu. Dia menatapnya lalu memeluknya. Dia begitu merindukan pria itu dan hanya pria itu yang selalu melindunginya. “Kakek ....” “Gadis tengil. Mengapa kamu tidak melawan? Apakah kamu ingin dihajar habis-habisan oleh ayahmu yang bodoh itu.” Alena hanya diam dan masih memeluk kakeknya. Dengan berada di dalam pelukan sang kakek bisa membuatnya begitu tenang dan hangat. Hanya berada di dekat sang kakek yang bisa membuatnya merasa aman. Dia melepaskan pelukannya. Setelah itu dia melihat Brian yang berdiri di belakang sang kakek. Dia melupakan jika pria itu ada di depan rumah sedang menunggunya. “Ayah, dia sudah membuatku malu. Serta nama baik kita tercemar karena dia!” “Pram, sejak awal kamu memang tidak adil pada, Alena. Kamu hanya mengikuti apa yang kamu pikirkan dan tidak pernah mau mendengarkan penjelasannya. Sehingga bagimu Alena hanya putri tidak ber
Alena sudah tiba di rumah sakit. Dia bergegas menuju ruangan di mana sang kakek berada. Dia menghentikan langkahnya saat melihat sang ibu yang tengah berdiri di depan sebuah ruangan. “Bu, bagaimana keadaan kakek?” tanya Alena pada sang ibu. Akan tetapi sang ibu tidak menjawabnya dan hanya melihat ke dalam ruangan dari kaca yang menempel di pintu. Tanpa banyak tanya lagi Alena masuk ke dalam ruangan itu. Dia melihat sang kakek yang terbaring di atas ranjang. Di sampingnya ada sang ayah serta pria yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang kakek. “Kakek ...,” panggil Alena sembari mendekat ke arah ranjang. Dia menghentikan langkahnya saat sudah ada di samping ranjang. Dia memegang tangan kakeknya dan mencium punggung telapak tangannya. Dia memandangi wajah sang kakek yang terlihat begitu lemah serta kepalanya pun di perban. “Jangan tinggalkan aku,” Alena kembali berkata dengan nada sedih. “Alena ... menikahlah dengan, Brian.” Alena tidak menimpali sang kakek karena dia ti
Alena mendongak. Dia berdiri dan menatap orang yang ada di hadapannya. Dia bisa melihat dengan jelas ada kebencian dari sorot matanya terhadapnya. “Mengapa Om Andi berkati seperti itu?” tanya Alena. Pada pria yang baru saja menuduhnya sebagai penyebab kematian sang kakek. “Iya. Jika bukan karena untuk melindungimu mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kamu sudah tahu bukan jika ayahmu itu begitu busuk.” Alena mendengarkan semua kemarahan sang paman serta kebenciannya pada sang ayah. Memang sudah sejak lama hubungan sang ayah dan adiknya itu tidak baik-baik saja. Bahkan mereka berdua sering bertengkar. Dia tidak mengira jika semua yang terjadi pada sang kakek semuanya disebabkan olehnya. Sang paman terus saja mengatakan kekesalannya pada Alena karena dia juga kesal pada kakaknya yang begitu egois. “Jadi semuanya salah aku. Lantas apa yang harus aku lakukan? Apakah, Om Andi juga ingin aku pergi menyusul kakek?” “Cih ... kamu sama saja seperti ayahmu. Namun, tenang saja. Kamu t
"Kamu pikir dengan kematianmu bisa membuat ayahku kembali hidup?!” tanya sang ayah dengan nada dingin. Alena terkejut dengan sikap dan nada bicara sang ayah. Sehingga tanpa sadar dia mundur beberapa langkah untuk menghindari ayahnya. Baru kali ini dia merasakan aura yang berbeda dari ayahnya. Dia berpikir mungkinkan sang ayah menginginkan kematiannya. Dia menatap sang ayah dan dia tidak bisa membendung rasa takut di hatinya. Ini benar-benar berbeda dengan ayahnya yang selalu menghukumnya dengan bentakan dan juga pukulan. “Jika bukan kematian lantas apa?” Alena memberanikan diri untuk bertanya lagi pada ayahnya. “Penuhi keinginan terakhirnya.” “Menikah. Apakah itu yang harus aku lakukan?” “Iya. Kamu harus menikah dengan, Brian. Meski sebenarnya aku tidak menyukainya. Namun, kamu sudah membuat masalah bersama dengannya.” Bila mendengarkan perkataan ayahnya terasa jelas jika dirinya tidak bisa menghindari pernikahannya dengan Brian. Dia berpikir untuk bicara dengan pria itu dan
"Siapa kamu? Mengapa kamu masuk ke kamarku tanpa izin dariku?” tanya Alena yang terkejut dengan orang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. “Aku bisa masuk di semua ruangan ini tanpa izin darimu.” Alena turun dari atas ranjang dan dia menatap wanita yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak mengerti mengapa wanita itu begitu penuh percaya diri dan menyebalkan. Dia masih berusaha untuk menahan rasa kesal di hatinya dengan sikap wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu terus memandanginya dengan tatapan yang terlihat penuh dengan kebencian. “Aku tidak mengira jika Brian mau menikah dengan wanita sepertimu,” Wanita itu kembali berkata dan kali ini dengan nada menghina. Tidak cukup satu kali wanita itu terus melontarkan kata-kata yang membuat Alena semakin geram saja. Namun, Alena masih berusaha untuk mengontrol emosinya. “Brian ... Brian ... hanya itu yang terus kamu sebut. Apakah kamu mencintainya? Sehingga kamu begitu membenciku?” tanya Alena. Yang membuat wanita itu akhirny
"Bagaimana menurutmu? Apakah aku terlihat tidak senang menikah dengannya?” Alena balik bertanya pada wanita yang ada di depannya.Alena berpikir entah berapa wanita lagi yang harus dihadapinya karena dirinya sudah menikah dengan Brian. Dia terus menatap wanita yang sedang menatapnya dengan tajam.