"Cari tahu korban jiwa. Apakah semua orang selamat atau tidak!" perintah Maximilian. Di pelabuhan tempat meledaknya kapal pengangkut heroin menjadi sorotan para penduduk pesisir pantai. Dermaga itu terpencil dan tersembunyi di antara tebing-tebing karang yang menjulang tinggi, sehingga sulit dijangkau oleh pihak berwenang tanpa informasi yang akurat. Asap tebal masih mengepul dari puing-puing kapal yang hancur, sementara api yang tersisa terus membara, menjilat-jilat udara sore itu.Beberapa anak buah Maximilian sudah berada di lokasi, mengamati dengan seksama situasi sekitar. Wajah mereka tegang, berusaha memahami dampak dari ledakan tersebut."Tuan Max, kita menemukan beberapa mayat. Tapi, sebagian besar kru sepertinya berhasil melompat ke laut sebelum kapal meledak," lapor salah satu anak buahnya, suaranya serak akibat asap yang terhirup.Maximilian menghela napas panjang, menatap reruntuhan kapal dengan pandangan tajam. "Apa ada tanda-tanda polisi atau penjaga pantai?" tanyanya
"Mumpung Luke sedang pergi, aku harus mengambil kesempatan ini." Berlian keluar dari kamar. Baru membuka pintu, Eliona sudah berdiri di depan pintu kamar dengan berbagai menu makanan dan juga obat yang ia dorong menggunakan troli makanan. "Nyonya Berlian, Anda mau kemana?" tanya Eliona.Berlian menatap Eliona dengan tatapan curiga, alisnya sedikit terangkat. Ada sesuatu yang tidak beres menurutnya. "Eliona, di mana Fiona? Kenapa kamu yang datang membawakan makanan dan obat-obatanku? Bukankah ini tugas Fiona?" tanya Berlian dengan nada datar. Eliona mengangkat kepala dan matanya seketika bertemu dengan tatapan tajam Berlian. "Fiona sedang tidak enak badan, Nyonya. Tuan Luke meminta saya untuk sementara waktu menggantikan tugasnya mengurus Anda."Berlian mengerutkan alisnya. "Tidak enak badan? Fiona jarang sekali sakit. Dan tadi siang dia masih terlihat sehat-sehat saja." Eliona tampak gugup sejenak, tetapi ia segera menenangkan dirinya dan mencoba menjelaskan dengan suara yang le
"Ayah, kamu ini sungguh tidak berguna. Bagaimana bisa Ayah terang-terangan menyatakan rencana Ayah kepada Luke?" ucap Eliona.Galen yang terikat menjadi tahanan di ruangan rahasia paviliun Luke itu hanya tertunduk. Wajahnya lebam dan bengkak-bengkak saat putrinya itu datang membawakan makanan. "Luke harus tahu, Eli. Jika ibunya mati karena keluarga yang mengadopsinya," jawab Galen. Eliona mendengus kesal, ia meletakkan nampan makanan yang dia bawa di depan ayahnya. "Ayah, kamu tahu bagaimana sifat Luke. Aku berupaya mempertahankan diriku di sini. Itu karena Ayah yang terlalu gegabah!" ujar Eliona kesal. Hembusan napas berat terdengar dari pria paruh baya itu. "Eli, kamu harus meyakinkan Luke. Buat Luke berpihak pada kita. Dengan begitu, kekuasaan yang di miliki Kenneth, bisa kita manfaatkan," ucap Galen. "Tapi Ayah yang tidak bermain dengan pintar. Sekarang, Ayah makanlah dulu." Eliona meraih piring berisikan makanan. Galen berupaya mengangkat wajahnya, menatap Eliona. "Nak, kamu
"Julius, tolong mampir ke toko kue dan juga boneka." Luke memerintah. Julius yang tengah menyetir mengerutkan dahi. Mimpi apa tuannya ingin ke toko boneka? Jangan katakan jika tuan mulai gila karena tidak pernah mendapatkan belaian dari nyonya muda Berlian. "Julius! Apa kamu mendengarkanku?" Julius tersentak. Dia dengan cepat mengangguk. "Iya, Tuan. Maaf, saya kaget. Boneka dan kue?" tanya Julius, memastikan dia tidak salah mendengar.Luke hanya mengangguk, memandang keluar jendela dengan wajah yang tampak sedikit lembut. "Ya, boneka dan kue. Dan satu lagi, mampir ke toko perhiasan. Aku juga ingin membeli kalung untuk Berlian."Julius semakin terkejut mendengar itu. Biasanya, Luke lebih fokus pada pekerjaan dan jarang menunjukkan sisi romantisnya. Namun, dia segera mengendalikan ekspresinya dan berkata, "Baik, Tuan."Setelah beberapa saat, mereka tiba di toko kue. Luke memilih kue kecil dengan hiasan sederhana namun elegan. Tidak lama kemudian, mereka mampir ke toko boneka, dan Lu
"Heh ... Paman, untuk apa kamu masuk?" kaget Berlian, dia mencoba menutupi tubuhnya di dalam bathtub. Luke yang berdiri di ambang pintu hanya tersenyum nakal. Handuk putih, masih melingkar di pinggang pria itu. "Aku pikir, kamu tidak bisa mandi sendiri. Jadi aku kemari ingin membantumu mandi." Berlian memberikan senyum canggung pada suaminya itu. Selesai makan malam di Gazebo, Berlian memutuskan untuk mandi dan tidur. Sebab besok ia berencana ingin pergi menemui Sarah. Sudah lama Berlian tidak masuk kampus. Entah, dia harus remedial berapa mata kuliah agar dapat mengajukan syarat wisuda. Berlian merapatkan tubuhnya ke sisi bathtub, air yang hangat membelai kulitnya, tapi kehadiran Luke membuatnya sedikit canggung."Paman, aku bisa mandi sendiri. Paman keluarlah." Berlian mencoba menyembunyikan rasa gugup dengan senyum kecil, sambil tetap berusaha menutupi tubuhnya dengan busa sabun.Luke berjalan mendekat, menyingkirkan handuk dari pinggangnya dan melemparkannya ke kursi terdekat
Sepasang manusia itu tengah bergumul panas di atas ranjang king size. Setelah selesai mandi, Luke dan Berlian memutuskan untuk melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda di dalam kamar tadi.Di ranjang yang sudah berantakan, Luke tengah sibuk mengulum puncak dada Berlian. Mulut Luke dengan rakus menyusu di salah satu bukit Berlian. "Ouhh ... Paman ... Do Not Stop Doing This ...," racau Berlian, sementara tangan kanan Berlian berulang kali menggaruk-garuk punggung Luke.Luke semakin liar, tak henti menyusu. Sementara tubuh Luke bergerak maju-mundur, menggempur bagian bawah Berlian, basoka itu mengepak-ngepak dengan liar di dalam sana yang terasa sempit dan sudah sangat basah. "Aaa ... Aaa ... Lian, kamu sungguh mengigit...," leguh Luke.Di bawah kungkungan Luke, dengan napas tersengal disertai kenikmatan yang menjalar, Berlian pun menjawab, "Apanya ... yang ... mengigit, Paman?" goda Berlian. "Lubangmu ... Ahh ... Aku ingin lebih!" jawab Luke terus memompa basokanya. Berlia
"Paman, aku pergi ke kampus!" Berlian menuruni tangga sambil berteriak. Luke yang baru selesai mengambil beberapa berkas di ruang kerjanya buru-buru mengejar Berlian. "Lian, tunggu!" Berlian berhenti, dia mendongak. "Ada apa?" "Sarapan dulu. Nanti aku yang antar. Tidak boleh pergi sendirian!" Luke melangkah menghampiri istrinya itu. Dua alis Berlian bertautan, tidak biasanya Luke seperti ini. "Aku bisa sendiri. Lagipula, Sarah juga sudah menunggu. Kalau Paman ikut, Paman akan jadi pusat perhatian," ujar Berlian, setengah merengut wajah.Luke mencubit ujung hidung Berlian saat bertatap. "Kamu itu masih kurang sehat. Kenapa? Kamu takut ada yang tertarik denganku?" Berlian mengerucutkan bibirnya seperti cocor bebek. Meski sudah kepala tiga, pesona paman angkatnya itu memang tidak bisa anggap remeh. "Ish ... Kan orang-orang tidak tahu aku sudah menikah—""Mulai sekarang, mereka harus tahu. Ingat, melawan suami nanti dikutuk. Katanya mau berubah." potong Luke. Berlian mengerlingkan
"Dasar, perempuan sialan!" Eliona mengumpat sambil menendang kursi di kamarnya. "Selalu saja dia mengacaukan rencanaku!" Suaranya terdengar marah dan frustrasi, bergema di seluruh ruangan yang sunyi. Eliona menghempaskan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit dengan mata yang penuh kebencian."Kenapa selalu dia? Kenapa selalu Berlian yang menang?" gumamnya sambil meremas botol kecil berisi cairan yang tadi gagal ia gunakan untuk meracuni jus Berlian. "Dia pikir bisa menang terus-terusan? Tidak akan, aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"Eliona bangkit, berjalan dengan langkah cepat ke arah cermin, menatap bayangannya sendiri dengan mata penuh tekad. "Berlian boleh punya Luke, tapi aku akan pastikan hidupnya jadi neraka. Dan Luke... cepat atau lambat, kamu akan jadi milikku," ujarnya sambil tersenyum licik.Eliona membuka ponselnya, memeriksa pesan dari Juju yang sudah lama ia abaikan. Ada satu pesan baru yang singkat namun jelas, "Kita harus bicara. Ada sesuatu yang bisa kita man
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara