"Julius, tolong mampir ke toko kue dan juga boneka." Luke memerintah. Julius yang tengah menyetir mengerutkan dahi. Mimpi apa tuannya ingin ke toko boneka? Jangan katakan jika tuan mulai gila karena tidak pernah mendapatkan belaian dari nyonya muda Berlian. "Julius! Apa kamu mendengarkanku?" Julius tersentak. Dia dengan cepat mengangguk. "Iya, Tuan. Maaf, saya kaget. Boneka dan kue?" tanya Julius, memastikan dia tidak salah mendengar.Luke hanya mengangguk, memandang keluar jendela dengan wajah yang tampak sedikit lembut. "Ya, boneka dan kue. Dan satu lagi, mampir ke toko perhiasan. Aku juga ingin membeli kalung untuk Berlian."Julius semakin terkejut mendengar itu. Biasanya, Luke lebih fokus pada pekerjaan dan jarang menunjukkan sisi romantisnya. Namun, dia segera mengendalikan ekspresinya dan berkata, "Baik, Tuan."Setelah beberapa saat, mereka tiba di toko kue. Luke memilih kue kecil dengan hiasan sederhana namun elegan. Tidak lama kemudian, mereka mampir ke toko boneka, dan Lu
"Heh ... Paman, untuk apa kamu masuk?" kaget Berlian, dia mencoba menutupi tubuhnya di dalam bathtub. Luke yang berdiri di ambang pintu hanya tersenyum nakal. Handuk putih, masih melingkar di pinggang pria itu. "Aku pikir, kamu tidak bisa mandi sendiri. Jadi aku kemari ingin membantumu mandi." Berlian memberikan senyum canggung pada suaminya itu. Selesai makan malam di Gazebo, Berlian memutuskan untuk mandi dan tidur. Sebab besok ia berencana ingin pergi menemui Sarah. Sudah lama Berlian tidak masuk kampus. Entah, dia harus remedial berapa mata kuliah agar dapat mengajukan syarat wisuda. Berlian merapatkan tubuhnya ke sisi bathtub, air yang hangat membelai kulitnya, tapi kehadiran Luke membuatnya sedikit canggung."Paman, aku bisa mandi sendiri. Paman keluarlah." Berlian mencoba menyembunyikan rasa gugup dengan senyum kecil, sambil tetap berusaha menutupi tubuhnya dengan busa sabun.Luke berjalan mendekat, menyingkirkan handuk dari pinggangnya dan melemparkannya ke kursi terdekat
Sepasang manusia itu tengah bergumul panas di atas ranjang king size. Setelah selesai mandi, Luke dan Berlian memutuskan untuk melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda di dalam kamar tadi.Di ranjang yang sudah berantakan, Luke tengah sibuk mengulum puncak dada Berlian. Mulut Luke dengan rakus menyusu di salah satu bukit Berlian. "Ouhh ... Paman ... Do Not Stop Doing This ...," racau Berlian, sementara tangan kanan Berlian berulang kali menggaruk-garuk punggung Luke.Luke semakin liar, tak henti menyusu. Sementara tubuh Luke bergerak maju-mundur, menggempur bagian bawah Berlian, basoka itu mengepak-ngepak dengan liar di dalam sana yang terasa sempit dan sudah sangat basah. "Aaa ... Aaa ... Lian, kamu sungguh mengigit...," leguh Luke.Di bawah kungkungan Luke, dengan napas tersengal disertai kenikmatan yang menjalar, Berlian pun menjawab, "Apanya ... yang ... mengigit, Paman?" goda Berlian. "Lubangmu ... Ahh ... Aku ingin lebih!" jawab Luke terus memompa basokanya. Berlia
"Paman, aku pergi ke kampus!" Berlian menuruni tangga sambil berteriak. Luke yang baru selesai mengambil beberapa berkas di ruang kerjanya buru-buru mengejar Berlian. "Lian, tunggu!" Berlian berhenti, dia mendongak. "Ada apa?" "Sarapan dulu. Nanti aku yang antar. Tidak boleh pergi sendirian!" Luke melangkah menghampiri istrinya itu. Dua alis Berlian bertautan, tidak biasanya Luke seperti ini. "Aku bisa sendiri. Lagipula, Sarah juga sudah menunggu. Kalau Paman ikut, Paman akan jadi pusat perhatian," ujar Berlian, setengah merengut wajah.Luke mencubit ujung hidung Berlian saat bertatap. "Kamu itu masih kurang sehat. Kenapa? Kamu takut ada yang tertarik denganku?" Berlian mengerucutkan bibirnya seperti cocor bebek. Meski sudah kepala tiga, pesona paman angkatnya itu memang tidak bisa anggap remeh. "Ish ... Kan orang-orang tidak tahu aku sudah menikah—""Mulai sekarang, mereka harus tahu. Ingat, melawan suami nanti dikutuk. Katanya mau berubah." potong Luke. Berlian mengerlingkan
"Dasar, perempuan sialan!" Eliona mengumpat sambil menendang kursi di kamarnya. "Selalu saja dia mengacaukan rencanaku!" Suaranya terdengar marah dan frustrasi, bergema di seluruh ruangan yang sunyi. Eliona menghempaskan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit dengan mata yang penuh kebencian."Kenapa selalu dia? Kenapa selalu Berlian yang menang?" gumamnya sambil meremas botol kecil berisi cairan yang tadi gagal ia gunakan untuk meracuni jus Berlian. "Dia pikir bisa menang terus-terusan? Tidak akan, aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"Eliona bangkit, berjalan dengan langkah cepat ke arah cermin, menatap bayangannya sendiri dengan mata penuh tekad. "Berlian boleh punya Luke, tapi aku akan pastikan hidupnya jadi neraka. Dan Luke... cepat atau lambat, kamu akan jadi milikku," ujarnya sambil tersenyum licik.Eliona membuka ponselnya, memeriksa pesan dari Juju yang sudah lama ia abaikan. Ada satu pesan baru yang singkat namun jelas, "Kita harus bicara. Ada sesuatu yang bisa kita man
"Paman, aku ingin Paman tahu sesuatu," Berlian membuka obrolan. Saat ini mereka berdua sudah berada di dalam mobil setelah urusan di kampus sudah selesai. Mobil itu melaju ke arah pemakaman Kenneth untuk berziarah."Apa itu?" tanya Luke saat ia tengah menyetir. "Hmm ... Apakah Paman pernah menyuruh Eliona pergi ke ruang bawah?" Luke tampak terkejut mendengar pernyataan istrinya. Selama menikah, ia tidak pernah memberi tahu mengenai ruangan penyekapan itu. "Kamu pergi ke ruang yang tidak sehat itu? Siapa yang memberi izin? Ruang itu adalah penjara orang-orang berbahaya, Lian.""Termaksud ayahnya Eliona?""Iya, dia pamanku. Namanya Galen yang menjadi kunci keberadaan Juju."Berlian tampak berpikir. Apakah ini berhubungan dengan Eliona? Paman dari tadi tidak menjawab. Ia lebih memilih mengalihkan pembicaraan. "Paman, sepertinya Eliona punya niat tidak baik."Luke yang tengah menyetir itu mengerutkan alis. "Eliona tidak seperti ayahnya, Lian. Dia hanya mencari pekerjaan. Karena orang
Luke dan Berlian berdiri di depan makam keluarga Kenneth, tempat peristirahatan terakhir dari generasi yang telah lama berlalu. Angin sejuk sore hari menyapu lembut wajah mereka, seakan menyampaikan salam sunyi dari masa lalu yang tak terlupakan. Berlian memandang deretan nama yang terpahat di batu nisan, berusaha menyelami kenangan pahit yang melekat pada setiap sosok yang dimakamkan di sana. Nama-nama itu tidak hanya mewakili leluhur mereka, tetapi juga sejarah kelam yang penuh dengan pengkhianatan, konflik, dan penebusan. Vannet Kenneth, Daniel Wilson, Alaric Kenneth, Nayla Kendrick, Matteo Kenneth, Xavier Kendrick, dan Celine Kendrick—semua orang yang meninggalkan jejak dalam kehidupan Luke dan Berlian, baik leluhur, orang tua, dan paman. Berlian menatap nisan Vannet Kenneth dan Daniel Wilson, seketika air matanya berlinang mengalir di pipinya. Ia Berjongkok, menaburi bunga yang baru saja ia beli. "Ibu, ayah, apakah aku sudah membuat kalian bangga?" suara Berlian bergetar, pe
"Lian, sayang... Akhirnya kamu datang berkunjung!" Vania menyambut kedatangan cucunya dengan kedua tangan terbuka lebar, senyum wanita sepuh itu merekah. Tak ada yang lebih bahagia daripada melihat generasi yang tersisa sehat seperti saat ini. "Nenek, aku rindu!" Berlian memeluk erat tubuh Vania. "Kamu sehat, 'kan, sayang? Kepalanya sudah tidak sakit lagi?" Vania mengelus rambut sang cucu dengan sayang. Lama sekali Berlian tak merasakan perasaan ini. Kebenciannya dan kecurigaan sudah menghapus perasaan lembut Berlian. Merasakan usapan tulus dari sang Nenek, Berlian akhirnya menjatuhkan air mata. "Nek, maafkan Lian, Nek. Aku jahat, aku tidak sopan, dan pernah membentak Nenek," ucap Berlian mulai terisak dalam pelukan Vania. Luke tersenyum, melihat momen hangat antara Berlian dan neneknya. Luke berdiri sedikit di belakang, memberi ruang bagi Berlian untuk merasakan kedekatan yang begitu ia rindukan. Ethan melangkah ke arah Luke, ia langsung memeluk cucu menantunya. "Terima kasih,