Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam ini, Berlian berdiri di ruang makan besar keluarga Kenneth, memandangi meja makan kaca yang telah ia siapkan dengan hati-hati. Setiap detail ditata dengan penuh harapan—bunga mawar merah segar di tengah meja, lilin-lilin yang menyala lembut, dan hidangan lezat yang menunggu untuk dinikmati. "Mengapa tidak diangkat? Apakah paman begitu sibuk?" keluh Berlian, sesekali mendesah pelan ketika Berlian menekan nomor suaminya, berharap ada jawaban. "Nyonya, mungkin Anda ingin minum sedikit sementara menunggu Tuan pulang atau makan sesuatu terlebih dulu?" Ana menawarkan sambil menyodorkan gelas anggur. Berlian menggeleng, mencoba tersenyum. "Tidak, Ana. Aku akan menunggu. Mungkin Paman sedang dalam perjalanan. Sebentar lagi pasti akan sampai." "Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membantu? Mungkin menyiapkan makanan lain atau menghubungi Tuan melalui nomor lain, Nyonya?" "Tidak, Ana. Kau sudah banyak membantu," jawab Berlian tertunduk. Berlian Kenneth adalah seorang wani
"Tidak, itu tidak benar, 'kan? Keluargaku sudah memberikan tempat yang nyaman untukmu, Paman. Aku harap, kau tidak seperti itu. Kamu menerima perjodohan ini karena kamu sudah mengenalku sejak kecil. Tentu Paman juga merasakan hal yang sama 'kan? Mungkin kita masih canggung karena ada ikatan saudara. Meski hanya saudara angkat." Berlian bergumam tanpa bisa ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Selama dua tahun menikah, Luke tidak pernah menyentuh Berlian. Alasannya, tidak pernah jelas. Luke selalu mengatakan bahwa dia sibuk atau terlalu lelah, dan Berlian selalu menerima alasan itu, meskipun hatinya terus bertanya-tanya. Dengan langkah berat, Berlian menuju balkon. Ia membuka pintu kaca dengan hati-hati, membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya yang kini berubah kelabu. "Aku sudah mencoba segala cara untuk mendekatimu, Luke. Tapi kamu selalu menjauh, seakan ada tembok yang tidak bisa kupecahkan," lirih Berlian, merasa semakin terpuruk. "Kenapa kau tidak pern
"Bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian dalam hati. Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kamu mendengarkanku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kamu hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu melengking. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kamu tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak bisa terus hidup dengan perasaan hampa ini, Luke. Apa kamu memang seorang pria pecundang?
Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke. Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu. Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi. Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah. Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan k
Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap. Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menun
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara