"Tidak, itu tidak benar, 'kan? Keluargaku sudah memberikan tempat yang nyaman untukmu, Paman. Aku harap, kau tidak seperti itu. Kamu menerima perjodohan ini karena kamu sudah mengenalku sejak kecil. Tentu Paman juga merasakan hal yang sama 'kan? Mungkin kita masih canggung karena ada ikatan saudara. Meski hanya saudara angkat." Berlian bergumam tanpa bisa ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Selama dua tahun menikah, Luke tidak pernah menyentuh Berlian. Alasannya, tidak pernah jelas. Luke selalu mengatakan bahwa dia sibuk atau terlalu lelah, dan Berlian selalu menerima alasan itu, meskipun hatinya terus bertanya-tanya. Dengan langkah berat, Berlian menuju balkon. Ia membuka pintu kaca dengan hati-hati, membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya yang kini berubah kelabu. "Aku sudah mencoba segala cara untuk mendekatimu, Luke. Tapi kamu selalu menjauh, seakan ada tembok yang tidak bisa kupecahkan," lirih Berlian, merasa semakin terpuruk. "Kenapa kau tidak pernah melihat usahaku? Kenapa kau tidak pernah menghargainya? Apa? Kenapa? Tolong berikan aku jawaban." Saat itulah, dari sudut mata wanita itu, Berlian melihat lampu mobil yang mendekat. Mobil Luke. Berlian tidak bergerak, ia sama sekali tidak ada gairah maupun dorongan untuk menyambut kedatangan suaminya. Berlian hanya berdiri mematung, menyaksikan mobil suaminya itu memasuki area mansion. Sementara di depan mansion, Luke turun dari mobil didampingi oleh seorang asisten yang bernama Julius. Saat melangkah turun dari mobil, wajah Luke tanpa ekspresi seperti biasa berjalan memasuki mansion dengan langkah tegap. "Selamat datang, Tuan!" beberapa pelayan yang berjajar di sana menyambut kedatangan Luke. Dan ada beberapa pelayan segera menghampiri pria itu, membuka jas blazer yang Luke kenakan dengan gerakan cepat dan terlatih. "Tuan, ada agenda yang harus Anda hadiri besok pagi," Julius mengingatkan sambil menyerahkan agenda harian kepada Luke. Luke mengangguk singkat tanpa berkata-kata. Wajah Luke tetap dingin dan acuh. Pelayan setia mereka, Ana, mendekati Luke dengan langkah hati-hati. "Tuan, nyonya sedari tadi menunggu Anda untuk makan malam bersama. Nyonya terlihat sangat sedih dan meminta kami untuk membuang semua makanan yang sudah nyonya masak untuk Anda, Tuan," lapor Ana dengan nada hormat, berharap mendapatkan sedikit perhatian dari majikannya. Luke berhenti sejenak, mata tajam itu menatap kosong ke depan sebelum melangkah lagi. "Aku sudah makan di luar," jawab Luke. singkat, tanpa emosi. Ana Hanya bisa membuang napas berat mendengar jawaban Luke sambil memperhatikan punggung Luke melangkah melewati tubuhnya. "Tuan, bisakah Anda sedikit peduli kepada Nyonya? Kenapa Anda begitu dingin kepada istri Anda sendiri?" gumam Ana kecewa dengan sikap Luke. Luke Bergegas menaiki tangga ke lantai atas, pria itu melangkah dengan cepat tanpa menoleh ke belakang. Sementara itu, di balkon, Berlian masih berdiri memandangi langit malam yang penuh bintang. Suara langkah kaki Luke yang mendekat semakin jelas terdengar, namun Berlian tidak berbalik. Ia terlalu sibuk menikmati udara malam yang dingin seakan menyatu dengan perasaan Berlian yang kini telah beku. Krek! Pintu balkon terbuka, dan Luke muncul di ambang pintu. Dia berdiri sejenak, menatap punggung Berlian yang tak bergerak menyambut kedatangannya. Tidak seperti biasa, istri itu akan bertanya banyak dan bercerita banyak hal tentang apa yang ia lakukan selama Luke tidak ada bersamanya. "Kau masih di sini? Kenapa belum tidur?" suara Luke terdengar datar, tanpa nada hangat. "Aku menunggumu," jawab Berlian, suara wanita itu nyaris berbisik. Luke menghela napas, melangkah mendekati Berlian. "Aku sudah bilang, jangan menungguku. Banyak urusan dan juga pekerjaan yang harus aku selesaikan." Berlian berbalik perlahan, menatap suaminya dengan pelupuk mata yang kini telah tergenang oleh air yang nyaris tumpah. "Apakah urusanmu lebih penting daripada aku? Daripada pernikahan kita?" tanya Berlian, mencoba mencari jawaban di mata coklat suaminya. Luke terdiam sejenak, tidak menjawab langsung. Wajah itu masih tetap dingin dan tanpa ekspresi. "Kau tahu betapa pentingnya pekerjaanku, Berlian. Kita hidup dalam dunia yang penuh tekanan dan tanggung jawab. Kau harus mengerti itu." Berlian menggelengkan kepala pelan, rasa frustasi mulai menguasai dirinya. "Aku mengerti, Luke. Tapi apakah itu alasan untuk selalu mengabaikanku? Apakah itu alasan untuk tidak pernah menyentuhku selama dua tahun ini?" suara Berlian bergetar, menahan emosi yang meluap. Luke menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Ini bukan tentang tidak menyentuhmu, Berlian. Ini tentang tanggung jawab dan prioritas. Kita semua punya peran masing-masing. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan? Dan aku di sini untuk bekerja mengurus bisnis keluargamu, Lian." "Tanggung jawab dan prioritas?" Berlian menatap Luke dengan tatapan tak percaya. "Apakah aku tidak termasuk dalam prioritasmu, Paman? Apakah aku hanya bagian dari tanggung jawab yang kau bebankan di punggungmu? Atau aku hanya sekedar simbol jika kamu memiliki istri? Tapi kenyataannya, kita tidak saling mengenal!" Luke tidak menjawab, hanya menatap Berlian dengan tatapan kosong. Berlian merasakan hatinya semakin hancur melihat sikap suaminya yang tidak peduli. "Aku sudah berusaha, Luke. Ya, awalnya aku keberatan. Karena kamu sudah seperti orang tuaku yang menjagaku. Tapi asal kamu tahu, aku mengalah untuk bisa memberikan arti dari pernikahan ini. Tapi apa? Apa yang aku terima? Sikapmu yang acuh tak acuh dan mengabaikan semua usahaku. Aku lantas bertanya-tanya. Apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu rahasiakan dariku, Luke Kendrick?!" teriak Berlian. Luke tertegun sejenak, kembali ia memasang wajah yang datar. "Tidak ada yang kusembunyikan darimu, Berlian. Aku hanya... sibuk." "Sibuk," Berlian mengulang kata itu dengan nada pahit. "Apakah itu saja alasanmu? Atau ada hal lain yang tidak bisa aku ketahui? Kamu punya wanita lain? Atau... Sebuah rahasia yang sedang kamu tutupi dariku?" Luke menghindari tatapan Berlian. "Aku tidak punya jawaban untukmu sekarang. Aku lelah. Aku ingin tidur." Luke memutar tubuhnya, hendak berlalu. Kerena ia tidak ingin berdebat. Air mata yang ia tahan-tahan akhirnya tumpah juga, mengalir di pipi putih Berlian seperti air sungai di musim banjir. Sakit? Jelas, dua tahun dalam keadaan rumah tangga mereka yang seperti ini. Saling diam dan tertutup. Meski barada di dalam satu atap yang sama, mereka seperti dua orang asing yang tidak bisa terbuka satu sama lain. "Luke!" Berlian menarik tangan Luke, memaksa pria itu menatapnya. Mata Berlian memancarkan keputusasaan yang mendalam, memaksa Luke untuk menghadapi kebenaran yang pria itu ingin hindari. "Jangan pergi begitu saja, Luke. Aku butuh kepastian dalam pernikahan ini," suara Berlian terdengar serak, penuh dengan rasa sakit yang telah lama terpendam. "Kepastian?" Luke menatap Berlian dengan mata yang dingin. "Kepastian seperti apa yang kau inginkan?" Berlian menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan tangis yang semakin membanjiri pipi mulusnya. "Aku ingin tahu, apakah kamu benar-benar peduli padaku, Luke. Aku ingin tahu, apakah pernikahan kita ini lebih dari sekadar tanggung jawab? Atau hanya sekedar pencapaianmu dalam mengambil alih ladang opium dan bisnis keluargaku?" tanya Berlian tajam. Luke terdiam, sorot mata Luke kosong dengan wajah datar yang Berlian terima dari reaksi suaminya. Berlian merasa hatinya semakin luluh lantah mendapati sikap suaminya yang seakan mengabaikan usaha yang ia lakukan untuk memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Berlian menarik napas yang terasa sesak, seakan ia juga menghirup ribuan jarum setiap kali ia menarik napas. "Oke. Aku mengerti sekarang. Aku benar-benar tidak sanggup menjalani pernikahan seperti ini. Mari kita bercerai, Paman. Karena Paman tidak tahu bagaimana cara mencintaiku dengan semua usaha yang telah aku lakukan," kata Berlian tercekat oleh rasa sesak."Bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian dalam hati. Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kamu mendengarkanku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kamu hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu melengking. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kamu tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak bisa terus hidup dengan perasaan hampa ini, Luke. Apa kamu memang seorang pria pecundang?
Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke. Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu. Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi. Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah. Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan k
Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap. Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menun
"Tuan, pelan-pelan, Tuan! Saya tahu Anda panik. Tapi... Ingatlah , Tuan. Bahwa nyawa tidak bisa disimpan di keranjang oren. Apalagi di cek-out, Tuan!" seru Julius, memegangi dadanya saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. "Jangan cerewet, Julius. Aku takut Berlian bertemu dengan Geral. Sudah dipastikan jika istriku dalam bahaya, Julius," jawab Luke dengan suara tegang. Luke melesat menuju kasino dengan perasaan campur aduk. Pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran tentang istrinya. Saat ini, Luke yang mengambil alih kemudi. Luke tidak mengizinkan asistennya itu untuk mengemudi. Luke sangat panik—cemas ketika ia mendapatkan laporan jika istrinya tengah berjudi dan mabuk di Kasino pusat kota. Jika demikian, Berlian tentu dalam bahaya. --- Sementara di dalam kasino, Geral duduk dengan angkuh di sebuah meja poker, Berlian di pangkuannya. Tangan Geral yang besar dan kasar mencengkeram pinggang Berlian dengan erat, seakan memastikan wanita itu tidak akan pergi ke mana-mana.
"Sudah kubilang lepaskan tangan menjijikanmu!" Berlian, dengan wajah memerah oleh amarah dan alkohol, menggigit lengan Geral sekuat tenaga. Geral tersentak oleh gigitan Berlian. "Argh! Brengsek!" pria itu menggeram kaget, melepaskan cengkeraman dengan cepat.Bruk!Refleks, Geral mendorong tubuh Berlian dengan kasar hingga tubuh wanita itu tersungkur ke lantai, membuat suara berdebam keras."Aduh, sakit!" Berlian meringis, tertelungkup di atas lantai.Melihat kesempatan itu, Luke segera berdiri, meraih kursi di dekatnya, dengan gerakan cepat, Luke menghantam kursi tersebut ke kepala Geral. "Brak!" Suara dentuman keras menggetarkan ruangan, membuat semua orang terdiam sejenak. Geral terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya. "Akkh ... Keparat!" umpat Geral memegangi kepalanya yang terasa berdenyut akibat hantaman yang ia terima.Berlian, meski kepalanya masih pusing akibat efek alkohol, mencoba merangkak menjauh, berusaha menyelamatkan diri. "Aku harus pergi. Ini urusan laki-la
"Tidak seperti biasanya. Ia akan menyambutku dengan senyum manis, menanyakan apakah aku sudah makan atau lelah. Perubahan Berlian terlalu mendadak," pikir Luke, menatap istrinya yang kini tertidur pulas menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Setelah mengoceh sepanjang perjalanan seperti burung parkit, akhirnya Berlian tertidur. Entah karena mabuk atau lelah setelah seharian meluapkan emosi. Luke menatap istrinya dengan wajah datar, tanpa berniat menyentuhnya. Jika terganggu, sang istri mungkin bereaksi keras. Apalagi, kondisi emosinya yang belum stabil membuat Luke memilih untuk membiarkan Berlian terlelap. "Julius, apakah kau sudah menanyakan kepada beberapa pelayan siapa yang datang ke kediaman semalam?" tanya Luke, pandangannya terarah ke kaca dasbor. Julius yang tengah menyetir, membalas kontak mata tuannya melalui kaca. "Kata Ana, Nyonya sangat kecewa malam itu. Nyonya beberapa kali menatap makanan yang dimasak untuk Tuan sambil menangis. Setelah itu, Andrew datang ber
"Andrew, aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," kata Luke, ketika ia duduk berhadapan dengan pria setengah baya. Pagi sekitar jam sembilan, Luke memutuskan menemui Andrew. Padahal pagi itu, Luke ingin meminta tanda tangan Berlian karena ada masalah di ladang opium. Berhubung Luke tidak menemukan Berlian di manapun, Luke mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Andrew. Andrew dengan ramah menyambut kedatangan Luke. Bibir pria itu terus mengambang dengan senyum yang merekah. "Tentu, Kakak Ipar. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dengan wajah datar, Luke meraih cerutu, membakar cerutu itu dan menghembuskan asapnya ke arah Andrew. "Aku tahu kau sering datang ke mansion, terutama ketika aku tidak ada. Dan aku mendengar dari beberapa pelayan bahwa kau sering berbicara dengan Berlian. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kalian bicarakan." Andrew menatap Luke dengan tenang. "Aku hanya mencoba memberikan semangat kepada Berlian, Luke. Dia terlihat sangat kesepian dan te
"Dari mana kau seharian ini?" tanya Luke dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Berlian. Berlian yang berjalan masuk ke dalam mansion mengabaikan pertanyaan Luke. Pria itu berdiri menyandarkan sisi tubuhnya pada sekat dinding antara ruang tamu menuju ke arah tangga sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Berlian melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan, meletakkan sepatu yang baru ia lepas dengan rapi di rak sepatu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata Berlian tidak menatap Luke sama sekali. Ia hanya meletakkan tas kecil yang ia tenteng di sofa dan mulai berjalan menuju tangga. "Jangan mengabaikanku, Berlian. Aku bertanya dari mana kau seharian ini!" desak Luke, suaranya semakin meninggi. Berlian berhenti di anak tangga pertama, lalu berbalik dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku punya urusan sendiri. Kenapa? Kau merasa terganggu?" "Aku mencoba menghubungimu berkali-kali. Kenapa tidak diangkat? Tidak membalas pesanku?" Luke melangkah mendekat, mata Luke masi
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara