"Tuan, pelan-pelan, Tuan! Saya tahu Anda panik. Tapi... Ingatlah , Tuan. Bahwa nyawa tidak bisa disimpan di keranjang oren. Apalagi di cek-out, Tuan!" seru Julius, memegangi dadanya saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
"Jangan cerewet, Julius. Aku takut Berlian bertemu dengan Geral. Sudah dipastikan jika istriku dalam bahaya, Julius," jawab Luke dengan suara tegang. Luke melesat menuju kasino dengan perasaan campur aduk. Pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran tentang istrinya. Saat ini, Luke yang mengambil alih kemudi. Luke tidak mengizinkan asistennya itu untuk mengemudi. Luke sangat panik—cemas ketika ia mendapatkan laporan jika istrinya tengah berjudi dan mabuk di Kasino pusat kota. Jika demikian, Berlian tentu dalam bahaya. --- Sementara di dalam kasino, Geral duduk dengan angkuh di sebuah meja poker, Berlian di pangkuannya. Tangan Geral yang besar dan kasar mencengkeram pinggang Berlian dengan erat, seakan memastikan wanita itu tidak akan pergi ke mana-mana. "Sayang, apa yang kau pikirkan? Jangan menyusahkan otakmu menyusun rencana melarikan diri dari situasi ini. Karena hal itu percuma!" ujar Geral, memperhatikan Berlian dengan tatapan mencibir. Berlian merasa mual oleh bau alkohol yang menyengat dari napas Geral. "Lepaskan aku, sialan! Kau pikir aku mau duduk di sini?" Berlian mencoba melawan, tapi tubuh wanita itu terlalu lemah karena pengaruh alkohol. "Wahaha!" Geral tertawa keras, menarik Berlian lebih dekat. "Kau ini lucu sekali. Sudah mabuk tapi masih berani melawan. Kau tidak sadar sedang berada di mana, ya?" Berlian menggeram, matanya yang setengah tertutup menatap Geral dengan marah. "Aku hanya bercanda dengan taruhan tadi. Jangan diambil serius," ucap Berlian, tubuhnya bergetar ketakutan. Geral menyeringai, tangan Geral yang besar dan kasar mengelus pipi Berlian dengan gerakan mengancam. "Sayang, di dunia kita, taruhan adalah hal yang serius. Kau tahu itu, bukan?" Berlian mencoba mengangkat kepalanya yang terasa berat, bibirnya menggumamkan kata-kata tak jelas. "Aku tidak peduli dengan taruhan itu. Aku hanya ingin keluar dari sini," kata Berlian, suaranya pelan. Geral mencengkeram pipi Berlian lebih keras. "Aakkhh... Sakit, brengsek!" Berlian menjerit kesakitan, merasakan kedua pipinya remuk oleh telapak tangan Geral yang mencengkram kuat. Geral mendekatkan bibirnya di belakang telinga Berlian. "Dengar baik-baik. Kau sudah masuk ke dalam permainanku, dan kau harus menyelesaikannya. Saat kau memutuskan masuk ke tempat ini, itu artinya kau juga harus siap dengan peraturan dalam permainan ini," desis Geral. Tubuh Berlian refleks memberontak mendengar permintaan Geral. "Heh, melayani? Kau pikir aku costumer service? Tidak! Aku tidak mau! Pelayananku jelek. Tentu saja, aku tidak akan melayanimu dengan sepenuh hati. Sudah dengar, 'kan? Jadi biarkan aku pergi!" tolak Berlian, mendorong wajah Geral menjauh. Brak! Tidak terima dengan penolakan Berlian, Geral memukul meja poker dengan keras, membuat suara gemuruh yang menggetarkan dada Berlian. Suara nyaring dari hentakan tangan itu mengundang pandangan dari para pemain yang sedang bermain. Seolah menunjukkan kekuasaannya, Geral lebih mencengkram pipi Berlian yang duduk dipangkuan membelakanginya. "Kau hanya perlu melayaniku dan permasalahan kita aku anggap lunas—" belum sempat Geral menyelesaikan kalimatnya, dobrak pintu terdengar begitu keras. Brak! Pintu kasino terbuka. Luke masuk dengan langkah cepat, sorot mata Luke seketika menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Berlian, istrinya, duduk di pangkuan Geral, terlihat lemah dan tak berdaya. "Kurang ajar! Beraninya dia menyentuh istriku." geram Luke, kedua rahang pria berdarah Latin itu mengeras. Tanpa membuang waktu, Luke berjalan menghampiri Geral dengan tatapan membunuh. "Lepaskan dia, Geral," suara Luke menggema di aula kasino. Bibir Geral menyeringai lebih lebar melihat kehadiran Luke. "Ah, Luke Kendrick. Kau datang untuk menyelamatkan wanita murahan ini?" Geral mencengkram pipi Berlian, menempel pipinya di pipi mulus Berlian. Melihat Geral memperlakukan Berlian seperti itu, membuat pembuluh darah kapiler di dalam otak Luke pun mendidih. "Singkirkan wajah dan tanganmu, Geral. Atau aku benar-benar memecahkan kepalamu," hardik Luke. Berlian yang mendengar suara Luke, mencoba membuka mata. "Luke... Ah, si pinguin Alaska...," gumam Berlian pelan. Geral hanya tertawa keras, melihat wajah emosi Luke. Ia tampak senang karena dari dulu, ia ingin sekali membuat rivalnya itu cemas. Kali ini, Geral tidak menyangka jika Berlian, wanita yang sedang duduk di pangkuannya itu begitu berarti bagi Luke. Geral mencengkeram lebih erat, menciptakan ekspresi kesakitan di wajah Berlian. "Lihatlah wajah wanita ini, Luck. Kau datang untuknya, bukan? Bagaimana kalau kita bertaruh? Jika kau menang, kau bisa bawa wanita ini pergi. Tapi kalau kau kalah, kau harus menyerahkan satu daun telingamu." Luke menatap Geral dengan tatapan menantang. Luke tahu, jika Geral mengambil kesempatan tersebut. Salah satu alasan Luke tidak ingin membiarkan Berlian berkeliaran. Karena dunia Luke begitu sangat berbahaya. "Aku terima tantanganmu, Geral. Sebaliknya, Jika kau kalah dalam taruhan ini, maka aku akan meminta kepalamu!" Luke menantang, tatapannya nyaris menusuk "Hahaha...!" Geral tertawa lebih keras lagi, penuh dengan keyakinan bahwa Luke tidak akan bisa menang. "Sepakat! Mari kita mulai permainannya." Permainan dimulai dengan ketegangan yang menguar di udara. Luke duduk di seberang meja, matanya tak pernah lepas dari Berlian yang tampak semakin lemah. Geral masih mencengkeram Berlian di pangkuannya, tangannya yang kasar terus bergerak bebas. Berlian yang mabuk, mencoba mengangkat kepalanya yang berat, namun gagal. Kepala itu jatuh tergolek di atas meja poker sambil bibir Berlian bergumam dengan kata-kata tak jelas. "Hmm... Luke... Brengsek, si jantung batu, si pinguin menyebalkan! Mengapa kau mengabaikan rasaku? Iya ... Karena kau adalah pangeran Es, hatimu memang membeku, hingga kau tak pernah peduli padaku!" racau Berlian. Luke menatap Berlian yang merancau itu dengan alis bergetar, meski wajah pria itu tetap datar. 'Apa-apaan dengannya? Dalam kondisi tegang seperti ini, dia masih bisa mengumpatku? Wanita ceroboh ini, apa kau pikir aku ini es serut? Kenapa kau selalu mendeskripsikan diri ini seperti tuan tanah pemilik negeri Alaska?' Luke bergumam dalam hati. "Putaran terakhir!" suara bandar menyadarkan Luke untuk tetap fokus pada permainan. Geral menyeringai puas setiap kali Berlian meracau, memanfaatkan hal tersebut untuk mengintimidasi Luke. "Dengar, Luke. Wanita ini sudah lelah denganmu. Kenapa tidak kau biarkan saja dia bersamaku? Aku bisa memberikan apa yang kau tidak bisa." Tangan Luke mengepal di bawah meja, menahan amarah yang mendidih. "Jangan bicara omong kosong, Geral. Kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Fokus saja dengan permainan ini." Putaran terakhir dimulai. Kartu demi kartu dibuka, dan akhirnya tiba waktunya bagi mereka untuk menunjukkan kartu mereka masing-masing. Geral tersenyum lebar, menunjukkan kartunya. "Full house," kata Geral dengan nada angkuh. Deg! Luke tertegun mimik wajah Luke menjadi cemas. "Aku terkejut dengan kartu dewa yang kau tunjukkan, Geral," ucap Luke, membuka kartu ditangannya. "Straight flush!" seru Luke, bibir Luke terpatri senyum tipis yang menakutkan. Deg! Geral membeku, tidak percaya dengan kartu yang diperlihatkan oleh Luke. "Tidak mungkin," gumam Geral, tatapan Geral fokus pada kartu sakti yang Luke tunjukkan. "Sudah waktunya kau menepati janjimu, Geral," kata Luke dengan tegas. "Kepalamu." Geral tersenyum masam, tidak terima dengan kekalahan di dalam kasino milikinya sendiri. "Kau pikir aku akan menepati janji pada bajingan sepertimu? Kau bermimpi!" Geral mengangkat satu tangan, ia menjentikkan jari. Tiba-tiba, anak buah Geral mengeluarkan senjata mereka, mengarahkan senjata tersebut kepada Luke. "Bunuh dia! Jangan biarkan ada satu nyamuk pun yang keluar dari sini!" Perintah Geral."Sudah kubilang lepaskan tangan menjijikanmu!" Berlian, dengan wajah memerah oleh amarah dan alkohol, menggigit lengan Geral sekuat tenaga. Geral tersentak oleh gigitan Berlian. "Argh! Brengsek!" pria itu menggeram kaget, melepaskan cengkeraman dengan cepat.Bruk!Refleks, Geral mendorong tubuh Berlian dengan kasar hingga tubuh wanita itu tersungkur ke lantai, membuat suara berdebam keras."Aduh, sakit!" Berlian meringis, tertelungkup di atas lantai.Melihat kesempatan itu, Luke segera berdiri, meraih kursi di dekatnya, dengan gerakan cepat, Luke menghantam kursi tersebut ke kepala Geral. "Brak!" Suara dentuman keras menggetarkan ruangan, membuat semua orang terdiam sejenak. Geral terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya. "Akkh ... Keparat!" umpat Geral memegangi kepalanya yang terasa berdenyut akibat hantaman yang ia terima.Berlian, meski kepalanya masih pusing akibat efek alkohol, mencoba merangkak menjauh, berusaha menyelamatkan diri. "Aku harus pergi. Ini urusan laki-la
"Tidak seperti biasanya. Ia akan menyambutku dengan senyum manis, menanyakan apakah aku sudah makan atau lelah. Perubahan Berlian terlalu mendadak," pikir Luke, menatap istrinya yang kini tertidur pulas menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Setelah mengoceh sepanjang perjalanan seperti burung parkit, akhirnya Berlian tertidur. Entah karena mabuk atau lelah setelah seharian meluapkan emosi. Luke menatap istrinya dengan wajah datar, tanpa berniat menyentuhnya. Jika terganggu, sang istri mungkin bereaksi keras. Apalagi, kondisi emosinya yang belum stabil membuat Luke memilih untuk membiarkan Berlian terlelap. "Julius, apakah kau sudah menanyakan kepada beberapa pelayan siapa yang datang ke kediaman semalam?" tanya Luke, pandangannya terarah ke kaca dasbor. Julius yang tengah menyetir, membalas kontak mata tuannya melalui kaca. "Kata Ana, Nyonya sangat kecewa malam itu. Nyonya beberapa kali menatap makanan yang dimasak untuk Tuan sambil menangis. Setelah itu, Andrew datang ber
"Andrew, aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," kata Luke, ketika ia duduk berhadapan dengan pria setengah baya. Pagi sekitar jam sembilan, Luke memutuskan menemui Andrew. Padahal pagi itu, Luke ingin meminta tanda tangan Berlian karena ada masalah di ladang opium. Berhubung Luke tidak menemukan Berlian di manapun, Luke mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Andrew. Andrew dengan ramah menyambut kedatangan Luke. Bibir pria itu terus mengambang dengan senyum yang merekah. "Tentu, Kakak Ipar. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dengan wajah datar, Luke meraih cerutu, membakar cerutu itu dan menghembuskan asapnya ke arah Andrew. "Aku tahu kau sering datang ke mansion, terutama ketika aku tidak ada. Dan aku mendengar dari beberapa pelayan bahwa kau sering berbicara dengan Berlian. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kalian bicarakan." Andrew menatap Luke dengan tenang. "Aku hanya mencoba memberikan semangat kepada Berlian, Luke. Dia terlihat sangat kesepian dan te
"Dari mana kau seharian ini?" tanya Luke dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Berlian. Berlian yang berjalan masuk ke dalam mansion mengabaikan pertanyaan Luke. Pria itu berdiri menyandarkan sisi tubuhnya pada sekat dinding antara ruang tamu menuju ke arah tangga sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Berlian melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan, meletakkan sepatu yang baru ia lepas dengan rapi di rak sepatu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata Berlian tidak menatap Luke sama sekali. Ia hanya meletakkan tas kecil yang ia tenteng di sofa dan mulai berjalan menuju tangga. "Jangan mengabaikanku, Berlian. Aku bertanya dari mana kau seharian ini!" desak Luke, suaranya semakin meninggi. Berlian berhenti di anak tangga pertama, lalu berbalik dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku punya urusan sendiri. Kenapa? Kau merasa terganggu?" "Aku mencoba menghubungimu berkali-kali. Kenapa tidak diangkat? Tidak membalas pesanku?" Luke melangkah mendekat, mata Luke masi
"Bibi Lucy, sepertinya obat yang Bibi berikan tidak mempan untukku. Aku terus merasa gelisah dan akhir-akhir ini sering mengalami emosi yang tidak stabil," ucap Berlian menatap resep yang diberikan Lucy, seorang psikiater pribadi keluarga Kenneth. Lucy menatap Berlian dengan simpati. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela besar menerangi kamar Berlian, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan dinginnya suasana hati Berlian. Lucy meletakkan resep yang ia tulis di atas meja kecil samping tempat tidur, menatap majikan kecilnya dengan sendu. "Nyonya Berlian, kau tahu aku ada di sini untuk membantu. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, jangan ragu untuk menceritakannya," kata Lucy, lembut. Lucy wanita paruh baya itu tidak pernah memaksa maupun mendesak kliennya. Lucy ingin jika kliennya itu merasa nyaman dan terbuka secara sukarela menceritakan apa yang kliennya alami. Berlian, wanita manja yang selalu merasa kuat itu menggeleng sambil tersenyum lebar. Ia meminta bibi Lucy data
"Luke, kau mendengarku?" Maximilian menjentikkan jari di depan wajah Luke, saat melihat rekannya itu dari tadi tampak tidak fokus. Di sudut lain aula, Luke terus memperhatikan wanita bertopeng emas. Wanita itu jelas tidak nyaman, dan itu membuat Luke semakin tertarik. Tidak biasanya Luke gampang tertarik oleh lawan jenis. Tetapi wanita yang duduk di pojokan sana membuat rasa penasaran Luke pun muncul. Entah bagaimana bisa wanita itu dapat memikat perhatian Luke, ada sebuah dorongan kuat yang membuat Luke ingin menghampiri wanita itu. Selama ia hidup, Luke baru merasa jika hanya Berlian yang mampu mengalihkan pandangan Luke kepada wanita-wanita di luar sana. Ternyata malam ini, ada satu wanita lagi yang mampu mencuri perhatian Luke. Maximilian yang melihat Luke seperti terkena sihir pun mendengkus kesal. "Luke! Sadar, kau itu sudah punya istri! Jika kau tidak lagi mencintai istrimu, di lelang saja di pasar gelap —"Bugh! Belum sempat Maximilian menyelesaikan kalimatnya, Luke sud
"Bau parfum dan suara ini...." Berlian mendongak, mencoba mengingat di mana dia pernah mencium bau parfum ini sebelumnya. 'Luke?' gumam Berlian, ia menggelengkan kepala, menepis bayangan suaminya yang menyebalkan itu. 'Come on, kau harus membuang bayangan Luke jauh-jauh. Bukankah kau ingin melupakan pria itu, Lian! Pria ini tidak mungkin Luke. Dia tidak akan berada di tempat ini. apalagi mengenalimu?' Berlian berusaha meyakinkan diri jika yang berdiri di hadapannya itu bukanlah suaminya. Pria bertopeng hitam itu tersenyum tipis di balik topeng. "Kau baik-baik saja?" tanya pria tersebut dengan suara berat. Suara pria itu begitu akrab di telinga Berlian. Membuat hati Berlian berdebar kencang, ada sebuah desiran hangat yang tiba-tiba mengalir dari suara itu. Suara yang sudah lama tidak menyapanya dengan kelembutan. Berlian mencoba mengatur napas. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut," jawab Berlian. "Hmm ... Terima kasih sudah menyelamatkanku." lanjut Berlian. Pria
"Bagaimana, Nona Lilian? Setelah menyetujui syarat yang kau berikan apa kita bisa melanjutkan ini?" tanya Luke, mengelus dagu Berlian. Dua manusia yang duduk di bibir ranjang itu saling menatap dalam hening, cahaya lilin yang hampir redup bergoyang-goyang tertiup angin yang masuk melalui cela-cela ventilasi. Rasa cemas dan penasaran kini merayap dalam diri Berlian. Tangan wanita itu berkeringat, ini kali pertama ia akan melakukan hubungan badan dan memberikan kesuciannya kepada pria asing yang bukan suaminya sendiri. 'Luke, kenapa di saat aku ingin menyerah dan memberikan diriku seutuhnya kepada pria asing ini, namun kenapa bayangan Luke yang dingin dan sorot mata Luke kini terlintas saat aku melihat tatapan pria ini yang mirip sekali seperti Luke?' perasaan Berlian dilema, apakah dia akan melanjutkan langkah yang sudah terlanjur ia mulai atau kembali mundur dan melarikan diri dari situasi ini. Luke, atau Zee, mendekatkan wajahnya. "Apa kau ragu?" bisik Luke lembut, desiran