Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap.
Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menunjukkan keberaniannya. "Aku lelah dengan semua ini, Luke! Aku lelah dengan sikap dinginmu dan semua kebohongan ini!" teriaknya kembali, tangannya gemetar di atas setir. Mobil semakin mendekat, jarak antara mereka semakin menyempit. Berlian bisa melihat dengan jelas ekspresi tak kenal takut di wajah Luke. Hati Berlian mulai berdebar kencang, penuh dengan campuran antara kemarahan dan ketakutan. Tetapi Berlian terus melaju. "Sial!" umpat Luke, dia berlari ke samping ketika melihat aksi istrinya semakin gila. Para petugas penjaga gerbang pun segera berlari ke pinggir, menghindari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Dengan satu gerakan cekatan, mereka berhasil membuka gerbang tepat waktu. Mobil Berlian melaju kencang melewati gerbang yang terbuka. "Whooaa! Aku bebas!" seru Berlian kegirangan. Namun napas Berlian masih tersengal-sengal saat ia melaju di jalan utama. "Aku tidak akan membiarkan diriku terkurung lagi," gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih berdetak kencang Di belakang, Luke masih tercengang di tengah jalan masuk mansion, masih berusaha mencerna kejadian yang baru saja berlangsung. Napas Luke memburu, sementara tatapan Luke tidak lepas dari punggung mobil Berlian yang semakin menjauh. "Astaga, dia benar-benar melakukannya," gumam Luke dengan suara bergetar, campuran antara kelegaan dan ketakutan mengguncang pria itu. Luke benar-benar tidak menyangka jika Berlian melakukan hal nekad seperti tadi. Para petugas keamanan saling pandang, bingung dan panik melihat tindakan Nyonya mereka yang pendiam dan selalu menjadi gadis yang penurut. Salah satu dari mereka pun memberanikan diri mendekati Luke. "Tuan, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Luke menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Biarkan dia pergi. Tapi tetap pantau pergerakan istriku. Aku ingin tahu ke mana dia pergi," perintah Luke dengan nada tegas meski hatinya masih kacau. Sementara Berlian, melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan mansion yang selama ini menjadi penjara baginya. Setiap meter yang ia tempuh terasa seperti beban berat yang perlahan terlepas dari pundak. Namun, di balik kebebasan itu, ada rasa cemas yang terus mengintai. Berlian mengambil jalan menuju pusat kota, berpikir keras tentang tujuan kemana ia akan pergi. "Aku butuh tempat di mana aku bisa melupakan semua ini, setidaknya untuk sementara," gumam Berlian pelan sambil terus menyetir. Akhirnya, Berlian memutuskan untuk menuju kasino. Tempat itu selalu menawarkan pelarian dari realita, meski hanya sesaat. Berlian tahu risiko yang ada di sana, tapi dia tidak peduli lagi. Saat ini, yang ia inginkan hanyalah melupakan semua beban dan sakit hati yang selama ini membelenggu dirinya. Sesampainya di kasino, Berlian langsung menuju ke meja poker. Tatapan Berlian tajam. Dia pun segera duduk di salah satu kursi, menarik napas dalam-dalam sebelum memulai permainan. "Mari kita lihat seberapa jauh aku bisa melarikan diri dari kenyataan ini," pikir Berlian. Di seberang meja, Seorang pria duduk dengan tatapan tajam yang memiliki seringai yang licik. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Geral, namun Berlian tidak menyadari bahwa dia adalah ketua dari sebuah organisasi mafia yang terkenal. "Mari kita mulai," kata Geral dengan nada santai namun penuh ancaman terselubung. Berlian mengangguk, meneguk minuman keras di depannya untuk mengusir rasa gugup yang merayap di dalam diri Berlian. "Ya, aku ingin semua ini cepat selesai. Aku bertaruh segalanya." Geral tersenyum, menyeringai penuh kepuasan. "Segalanya? Apa itu termasuk dirimu sendiri?" Berlian menatap Geral dengan mata penuh tekad. "Ya, termasuk diriku sendiri." Suasana di meja poker semakin tegang. Para penonton yang ada di sekitar meja memperhatikan dengan penuh minat, menyadari bahwa taruhan ini lebih dari sekadar uang. Berlian memegang kartu-kartu di tangannya yang gemetar, berusaha menyembunyikan ketegangan yang merambat ke seluruh tubuh wanita itu. Dan pada setiap putaran kartu, membuat keadaan semakin mendebarkan. Geral, di sisi lain, tetap tenang dan penuh percaya diri. "Taruhanmu menarik," kata Geral, menyeringai. "Tapi apa kau yakin bisa menang?" "Aku yakin. Kerena aku harus menang," gumam Berlian, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Geral. Putaran terakhir dimulai, dan Berlian merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Kartu demi kartu dibuka, dan akhirnya tiba waktunya bagi mereka untuk menunjukkan kartu mereka masing-masing. Geral tersenyum lebar, menunjukkan kartunya. "Full house." Geral melempar kartu itu pada meja poker. Deg! Berlian tertegun, dia melihat kartunya sendiri yang tidak cukup kuat untuk mengalahkan Geral. Wajah Berlian seketika memucat, sadar akan apa yang baru saja terjadi mulai meresap. "Sepertinya kau kalah," kata Geral dengan nada dingin. "Dan sekarang, kau adalah milikku." Berlian merasa seluruh dunianya runtuh. Ia terjebak, dan tidak ada jalan keluar oleh taruhan bodoh yang ia lakukan ketika ia sedang terjebak emosi sesaat. "Sial. Aku harus kabur dari sini. Aku tidak rela jika pria ini menyentuhku," pikir Berlian, matanya liar menelisik keadaan kasino. Berharap ada cela untuk melarikan diri. --- Sementara itu, di mansion, Luke merasa gelisah. Ia mencoba menelpon nomor Berlian berkali-kali namun tidak ada jawaban dari sang istri. "Kemana dia? Berlian, jangan membuatku cemas," gumam Luke, pria itu mondar-mandir tidak tenang. Luke merasakan kekhawatiran semakin memuncak. Hingga ia teringat dengan ucapan Berlian yang ingin ke rumah kakeknya. "Ya ... Kakek. Aku harus menghubungi Kakek." Luke mulai menekan nomor kediaman Ethan, berharap Berlian ada di sana. "Ethan Kenneth di sini," suara Ethan terdengar di ujung telepon. "Kakek, ini Luke. Apakah Berlian ada di sana?" tanya Luke dengan nada cemas. "Berlian? Tidak, Luke. Dia tidak di sini. Ada apa?" Ethan terdengar bingung. "Berlian meninggalkan mansion, Kek. Dia sangat marah. Aku pikir dia akan pergi ke kediaman kalian." "Oh Tuhan, Luke. Kami belum mendengar kabar dari Berlian. Apakah sesuatu terjadi?" Suara Ethan kini terdengar cemas. "Iya, kami bertengkar hebat. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya," kata Luke, suara pria itu penuh dengan rasa bersalah. "Kami akan mencari tahu. Jika Kakek mendapatkan informasi, Kakek akan segera menghubungimu, Luke." janji Ethan sebelum menutup telepon. Luke menutup telepon dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Pikiran tentang Berlian yang berkendara dalam keadaan emosi semakin membuat Luke khawatir. Dengan cepat, Luke mengambil blazer hitam dan bergegas menuju garasi, berniat untuk mencari keberadaan istrinya sendiri. Saat Luke menarik gagang pintu mobil, ponsel di dalam saku Luke berdering. Dengan cepat, Luke meraih ponselnya dan menggeser tombol jawab. "Halo," ucap Luke ketika sambungan teleponnya tersambung. "Tuan, kami mendapatkan informasi bahwa seorang wanita dengan ciri-ciri seperti Nyonya Berlian terlihat di sebuah kasino di pusat kota," kata suara dari ujung telepon. Luke merasa hatinya mencelos. "Kasino? Astaga. Aku akan segera ke sana. Terima kasih," jawab Luke, ia segera menutup telepon."Tuan, pelan-pelan, Tuan! Saya tahu Anda panik. Tapi... Ingatlah , Tuan. Bahwa nyawa tidak bisa disimpan di keranjang oren. Apalagi di cek-out, Tuan!" seru Julius, memegangi dadanya saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. "Jangan cerewet, Julius. Aku takut Berlian bertemu dengan Geral. Sudah dipastikan jika istriku dalam bahaya, Julius," jawab Luke dengan suara tegang. Luke melesat menuju kasino dengan perasaan campur aduk. Pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran tentang istrinya. Saat ini, Luke yang mengambil alih kemudi. Luke tidak mengizinkan asistennya itu untuk mengemudi. Luke sangat panik—cemas ketika ia mendapatkan laporan jika istrinya tengah berjudi dan mabuk di Kasino pusat kota. Jika demikian, Berlian tentu dalam bahaya. --- Sementara di dalam kasino, Geral duduk dengan angkuh di sebuah meja poker, Berlian di pangkuannya. Tangan Geral yang besar dan kasar mencengkeram pinggang Berlian dengan erat, seakan memastikan wanita itu tidak akan pergi ke mana-mana.
"Sudah kubilang lepaskan tangan menjijikanmu!" Berlian, dengan wajah memerah oleh amarah dan alkohol, menggigit lengan Geral sekuat tenaga. Geral tersentak oleh gigitan Berlian. "Argh! Brengsek!" pria itu menggeram kaget, melepaskan cengkeraman dengan cepat.Bruk!Refleks, Geral mendorong tubuh Berlian dengan kasar hingga tubuh wanita itu tersungkur ke lantai, membuat suara berdebam keras."Aduh, sakit!" Berlian meringis, tertelungkup di atas lantai.Melihat kesempatan itu, Luke segera berdiri, meraih kursi di dekatnya, dengan gerakan cepat, Luke menghantam kursi tersebut ke kepala Geral. "Brak!" Suara dentuman keras menggetarkan ruangan, membuat semua orang terdiam sejenak. Geral terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya. "Akkh ... Keparat!" umpat Geral memegangi kepalanya yang terasa berdenyut akibat hantaman yang ia terima.Berlian, meski kepalanya masih pusing akibat efek alkohol, mencoba merangkak menjauh, berusaha menyelamatkan diri. "Aku harus pergi. Ini urusan laki-la
"Tidak seperti biasanya. Ia akan menyambutku dengan senyum manis, menanyakan apakah aku sudah makan atau lelah. Perubahan Berlian terlalu mendadak," pikir Luke, menatap istrinya yang kini tertidur pulas menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Setelah mengoceh sepanjang perjalanan seperti burung parkit, akhirnya Berlian tertidur. Entah karena mabuk atau lelah setelah seharian meluapkan emosi. Luke menatap istrinya dengan wajah datar, tanpa berniat menyentuhnya. Jika terganggu, sang istri mungkin bereaksi keras. Apalagi, kondisi emosinya yang belum stabil membuat Luke memilih untuk membiarkan Berlian terlelap. "Julius, apakah kau sudah menanyakan kepada beberapa pelayan siapa yang datang ke kediaman semalam?" tanya Luke, pandangannya terarah ke kaca dasbor. Julius yang tengah menyetir, membalas kontak mata tuannya melalui kaca. "Kata Ana, Nyonya sangat kecewa malam itu. Nyonya beberapa kali menatap makanan yang dimasak untuk Tuan sambil menangis. Setelah itu, Andrew datang ber
"Andrew, aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," kata Luke, ketika ia duduk berhadapan dengan pria setengah baya. Pagi sekitar jam sembilan, Luke memutuskan menemui Andrew. Padahal pagi itu, Luke ingin meminta tanda tangan Berlian karena ada masalah di ladang opium. Berhubung Luke tidak menemukan Berlian di manapun, Luke mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Andrew. Andrew dengan ramah menyambut kedatangan Luke. Bibir pria itu terus mengambang dengan senyum yang merekah. "Tentu, Kakak Ipar. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dengan wajah datar, Luke meraih cerutu, membakar cerutu itu dan menghembuskan asapnya ke arah Andrew. "Aku tahu kau sering datang ke mansion, terutama ketika aku tidak ada. Dan aku mendengar dari beberapa pelayan bahwa kau sering berbicara dengan Berlian. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kalian bicarakan." Andrew menatap Luke dengan tenang. "Aku hanya mencoba memberikan semangat kepada Berlian, Luke. Dia terlihat sangat kesepian dan te
"Dari mana kau seharian ini?" tanya Luke dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Berlian. Berlian yang berjalan masuk ke dalam mansion mengabaikan pertanyaan Luke. Pria itu berdiri menyandarkan sisi tubuhnya pada sekat dinding antara ruang tamu menuju ke arah tangga sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Berlian melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan, meletakkan sepatu yang baru ia lepas dengan rapi di rak sepatu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata Berlian tidak menatap Luke sama sekali. Ia hanya meletakkan tas kecil yang ia tenteng di sofa dan mulai berjalan menuju tangga. "Jangan mengabaikanku, Berlian. Aku bertanya dari mana kau seharian ini!" desak Luke, suaranya semakin meninggi. Berlian berhenti di anak tangga pertama, lalu berbalik dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku punya urusan sendiri. Kenapa? Kau merasa terganggu?" "Aku mencoba menghubungimu berkali-kali. Kenapa tidak diangkat? Tidak membalas pesanku?" Luke melangkah mendekat, mata Luke masi
"Bibi Lucy, sepertinya obat yang Bibi berikan tidak mempan untukku. Aku terus merasa gelisah dan akhir-akhir ini sering mengalami emosi yang tidak stabil," ucap Berlian menatap resep yang diberikan Lucy, seorang psikiater pribadi keluarga Kenneth. Lucy menatap Berlian dengan simpati. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela besar menerangi kamar Berlian, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan dinginnya suasana hati Berlian. Lucy meletakkan resep yang ia tulis di atas meja kecil samping tempat tidur, menatap majikan kecilnya dengan sendu. "Nyonya Berlian, kau tahu aku ada di sini untuk membantu. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, jangan ragu untuk menceritakannya," kata Lucy, lembut. Lucy wanita paruh baya itu tidak pernah memaksa maupun mendesak kliennya. Lucy ingin jika kliennya itu merasa nyaman dan terbuka secara sukarela menceritakan apa yang kliennya alami. Berlian, wanita manja yang selalu merasa kuat itu menggeleng sambil tersenyum lebar. Ia meminta bibi Lucy data
"Luke, kau mendengarku?" Maximilian menjentikkan jari di depan wajah Luke, saat melihat rekannya itu dari tadi tampak tidak fokus. Di sudut lain aula, Luke terus memperhatikan wanita bertopeng emas. Wanita itu jelas tidak nyaman, dan itu membuat Luke semakin tertarik. Tidak biasanya Luke gampang tertarik oleh lawan jenis. Tetapi wanita yang duduk di pojokan sana membuat rasa penasaran Luke pun muncul. Entah bagaimana bisa wanita itu dapat memikat perhatian Luke, ada sebuah dorongan kuat yang membuat Luke ingin menghampiri wanita itu. Selama ia hidup, Luke baru merasa jika hanya Berlian yang mampu mengalihkan pandangan Luke kepada wanita-wanita di luar sana. Ternyata malam ini, ada satu wanita lagi yang mampu mencuri perhatian Luke. Maximilian yang melihat Luke seperti terkena sihir pun mendengkus kesal. "Luke! Sadar, kau itu sudah punya istri! Jika kau tidak lagi mencintai istrimu, di lelang saja di pasar gelap —"Bugh! Belum sempat Maximilian menyelesaikan kalimatnya, Luke sud
"Bau parfum dan suara ini...." Berlian mendongak, mencoba mengingat di mana dia pernah mencium bau parfum ini sebelumnya. 'Luke?' gumam Berlian, ia menggelengkan kepala, menepis bayangan suaminya yang menyebalkan itu. 'Come on, kau harus membuang bayangan Luke jauh-jauh. Bukankah kau ingin melupakan pria itu, Lian! Pria ini tidak mungkin Luke. Dia tidak akan berada di tempat ini. apalagi mengenalimu?' Berlian berusaha meyakinkan diri jika yang berdiri di hadapannya itu bukanlah suaminya. Pria bertopeng hitam itu tersenyum tipis di balik topeng. "Kau baik-baik saja?" tanya pria tersebut dengan suara berat. Suara pria itu begitu akrab di telinga Berlian. Membuat hati Berlian berdebar kencang, ada sebuah desiran hangat yang tiba-tiba mengalir dari suara itu. Suara yang sudah lama tidak menyapanya dengan kelembutan. Berlian mencoba mengatur napas. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut," jawab Berlian. "Hmm ... Terima kasih sudah menyelamatkanku." lanjut Berlian. Pria
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara