Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke.
Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu. Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi. Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah. Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan kebencian. "Kau pikir kau bisa mendikte hidupku, Luke? Aku punya hak untuk pergi ke mana pun aku mau. Aku tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi. Mereka adalah nenek dan kakekku! Mereka juga yang memberikan posisi ini kepadamu, kan? Hingga menjadi seorang pemimpin yang ditakuti di beberapa wilayah!" Luke mengerutkan kening, tatapannya semakin tajam. "Ini bukan soal mendikte hidupmu, Berlian," balas Luke, berusaha menahan emosinya. "Ini soal keamanan dan kenyamananmu. Rumah kakek dan nenekmu tidak seaman mansion ini. Dan tentang posisi ini, aku mendapatkannya karena kerja kerasku, bukan karena belas kasihan." Berlian meletakkan sendoknya dengan kasar, membuat suara dentingan tajam menggema. "Keamanan? Kenyamanan? Sejak kapan kau peduli tentang itu? Selama dua tahun ini, aku merasa seperti tahanan di rumahku sendiri. Setiap langkahku diawasi, setiap gerakku dikendalikan. Aku tidak bisa bernapas, Luke. Aku butuh kebebasan!" Luke merasakan kemarahan dan keputusasaan yang semakin mendalam. "Aku peduli, Berlian. Mungkin aku tidak bisa menunjukkannya dengan cara yang benar, tapi aku peduli. Dan aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja." Berlian tertawa pahit, suara wanita itu penuh dengan sarkasme dan keputusasaan. "Peduli? Kau bahkan tidak pernah mencoba untuk benar-benar memahami perasaanku. Semua yang kau lakukan hanya untuk mengendalikan dan mengekangku. Kau tidak peduli pada kebahagiaanku, Luke. Kau hanya peduli pada kekuasaan dan kontrol." Luke merasakan kata-kata Berlian menusuk hatinya seperti pisau. "Itu tidak benar, Berlian. Aku hanya ingin melindungimu." "Melindungi?" Berlian memotong dengan nada sinis. "Melindungi dari apa, Luke? Dari kebahagiaan? Dari rasa bebas? Aku tidak butuh perlindungan yang membuatku merasa seperti tawanan. Aku butuh ruang untuk menemukan diriku sendiri." Luke bangkit dari kursinya, menatap Berlian dengan mata yang penuh dengan rasa sakit dan frustrasi. "Jangan pergi. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kita bisa mencoba lagi." Berlian menggelengkan kepala. "Sudah terlambat, Luke. Aku sudah memberikan banyak waktu dan kesempatan, tapi kau tidak pernah berusaha. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku butuh kebebasan, aku butuh ruang untuk bernapas." Luke mencoba berjalan mendekati Berlian, tetapi Berlian lagi-lagi melangkah mundur, menjaga jarak. "Tetap di sini. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu," pinta Luke. Berlian menatap Luke dengan mata yang tajam. "Sesuatu yang buruk sudah terjadi, Luke. Kau telah merampas kebebasanku dan kepercayaanku. Aku bukan boneka yang bisa kau kendalikan sesukamu." Luke merasakan hatinya berdenyut sakit, namun ia tetap berusaha mempertahankan sikap tegas. "Aku hanya ingin melindungimu, Berlian. Dunia luar terlalu berbahaya. Tolong mengerti!" "Berbahaya?" Berlian mengejek. "Lebih berbahaya daripada hidup di sini, terkurung dalam sangkar emasmu? Aku butuh kebebasan, Luke. Aku butuh kesempatan untuk menemukan diriku sendiri. Kau meminta aku mengerti? Haah!" Berlian membuang napas, bola matanya berputar jengah. "Mau berapa lama aku harus mengerti? Disaat aku mulai jengah kau memintaku untuk mengerti? Omong kosong apa yang kau minta, Luke? Pokoknya sekarang, aku hanya ingin bercerai denganmu. Agar kita sama-sama tidak saling menyakiti." Berlian menambahkan. "Berlian...." ucapan Luke tergantung di udara kala melihat Berlian berbalik badan. Berlian memutar tubuhnya, ia pun berjalan cepat menuju pintu. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari Luke, Berlian bergegas keluar rumah, rasa marah dan kecewa dengan sikap Luke membuat Berlian sudah tidak berpikir apapun lagi. Yang Berlian inginkan, pergi menjauh agar kebencian yang mulai tumbuh bisa ia kendalikan. Sementara Luke mengikuti Berlian dengan pandangan matanya, hati pria itu tersiksa oleh rasa bersalah dan ketakutan akan kehilangan Berlian selamanya. Namun, Luke tetap diam, membiarkan Berlian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata atau penjelasan apapun. Di depan , seorang pekerja sudah menyiapkan mobil untuk Berlian. Berlian masuk ke dalam mobil mewahnya, menyalakan mesin dengan tangan gemetar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menginjak pedal gas. Namun, saat ia mendekati gerbang utama, pandangan Berlian terhalang oleh beberapa petugas keamanan yang sedang menutup gerbang dengan sigap. Berlian memukul setir mobil dengan frustrasi. "Sial, apakah Luke benar-benar tidak mengizinkanku keluar dari penjara ini?" gumam Berlian. Titit, titit! klakson mobil Berlian meraung-raung, memecah keheningan pagi. "Apa-apaan ini? Buka gerbangnya sekarang juga!" teriaknya dengan penuh amarah, wajah Berlian merah karena emosi. Luke muncul di depan gerbang, berdiri di sana, di depan yang berjarak sepuluh meter dari mobil Berlian. "Berlian, sampai kapan pun, aku tidak akan mengizinkanmu keluar dan aku tidak akan pernah menceraikanmu!" teriak Luke. Berlian keluar dari mobil, menatap Luke dengan mata yang berkobar marah. "Kau pikir kau bisa mengurungku di sini selamanya? Kau pikir kau bisa mengendalikan hidupku? Buka gerbang itu sekarang, Luke!" "Berlian, Kau itu sedang emosi. Kita bisa membicarakan ini dengan tenang. Tidak baik jika kau pergi dengan perasaan yang kacau," jawab Luke dengan nada yang lebih lembut tetap terkontrol. "Oh... Luke Kendrick, kau peduli setelah rasaku telah mati? Itu percuma jika sikap pedulimu hadir disaat aku benar-benar muak. Jadi, tolong menyingkir! Kau tidak punya hak untuk menahan aku di sini! Aku berhak pergi kemana pun aku mau!" Berlian berteriak. Luke mengisyaratkan pada para petugas untuk tidak membuka gerbang. "Berlian, tenanglah. Kita bisa menyelesaikan ini dengan cara yang baik. Ayo masuk!" Luke meraih tangan Berlian. Berlian dengan cepat menepis tangan Luke dengan kasar. "Cara yang baik? Setelah dua tahun hidup dalam ketidakpedulianmu, kau sekarang berbicara tentang cara yang baik? Buka gerbang itu, atau aku akan memanggil polisi!" Keadaan semakin tegang, para petugas keamanan tampak ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Berlian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian terakhirnya. "Ini peringatanku yang terakhir, Luke. Buka gerbang itu, atau aku akan menghancurkan semua yang ada di sini." Luke tetap diam, wajahnya keras seperti batu. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Kau adalah tanggung jawabku." Berlian tersenyum sinis. "Tanggung jawab?" Berlian mencibir. "Oke. Jangan salahkan aku!" Berlian yang jengkel memutar tubuhnya. Berlian kembali ke dalam mobil dengan wajah yang memerah karena marah. "Brum, brum, brum!" Berlian menginjak pedal gas dengan keras, mobilnya melaju kencang menuju gerbang yang masih tertutup. "Whoaaa... Nyonya, hati-hati saat Anda mengemudi!" Seru para petugas, beberapa petugas keamanan itu dengan cepat berlari ke samping, menghindari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Luke tercengang melihat aksi nekad istrinya. "BERLIAN!" suara Luke menggema. Namun, mobil itu tidak berhenti. Berlian bertekad untuk menabrakkan mobilnya ke gerbang jika itu adalah satu-satunya cara untuk keluar dari Mansion yang ia anggap sebagai penjara baginya. Luke mengisyaratkan kepada petugas keamanan untuk membuka gerbang, tetapi gerakan mereka tampak terlalu lambat. Berlian mempercepat laju mobilnya, pandangan Berlian tajam dan penuh tekad. Ia tak peduli lagi, satu-satunya yang ia inginkan adalah kebebasan. Para petugas keamanan panik, berusaha keras membuka gerbang sebelum terlambat. Mereka berteriak dan berlari, mencoba menghindari tabrakan yang tampaknya tak terhindarkan. Luke berdiri di tengah jalan, matanya melebar dengan campuran ketakutan dan rasa bersalah. "Berlian, berhenti!" teriak Luke, namun suara pria itu tertelan oleh raungan mesin mobil. Berlian tidak mengendurkan tekanan pada pedal gas, hati Wanita itu terlanjur dipenuhi oleh kemarahan dan rasa frustasi. Dalam beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mobil Berlian melaju kencang menuju gerbang.Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap. Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menun
"Tuan, pelan-pelan, Tuan! Saya tahu Anda panik. Tapi... Ingatlah , Tuan. Bahwa nyawa tidak bisa disimpan di keranjang oren. Apalagi di cek-out, Tuan!" seru Julius, memegangi dadanya saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. "Jangan cerewet, Julius. Aku takut Berlian bertemu dengan Geral. Sudah dipastikan jika istriku dalam bahaya, Julius," jawab Luke dengan suara tegang. Luke melesat menuju kasino dengan perasaan campur aduk. Pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran tentang istrinya. Saat ini, Luke yang mengambil alih kemudi. Luke tidak mengizinkan asistennya itu untuk mengemudi. Luke sangat panik—cemas ketika ia mendapatkan laporan jika istrinya tengah berjudi dan mabuk di Kasino pusat kota. Jika demikian, Berlian tentu dalam bahaya. --- Sementara di dalam kasino, Geral duduk dengan angkuh di sebuah meja poker, Berlian di pangkuannya. Tangan Geral yang besar dan kasar mencengkeram pinggang Berlian dengan erat, seakan memastikan wanita itu tidak akan pergi ke mana-mana.
"Sudah kubilang lepaskan tangan menjijikanmu!" Berlian, dengan wajah memerah oleh amarah dan alkohol, menggigit lengan Geral sekuat tenaga. Geral tersentak oleh gigitan Berlian. "Argh! Brengsek!" pria itu menggeram kaget, melepaskan cengkeraman dengan cepat.Bruk!Refleks, Geral mendorong tubuh Berlian dengan kasar hingga tubuh wanita itu tersungkur ke lantai, membuat suara berdebam keras."Aduh, sakit!" Berlian meringis, tertelungkup di atas lantai.Melihat kesempatan itu, Luke segera berdiri, meraih kursi di dekatnya, dengan gerakan cepat, Luke menghantam kursi tersebut ke kepala Geral. "Brak!" Suara dentuman keras menggetarkan ruangan, membuat semua orang terdiam sejenak. Geral terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya. "Akkh ... Keparat!" umpat Geral memegangi kepalanya yang terasa berdenyut akibat hantaman yang ia terima.Berlian, meski kepalanya masih pusing akibat efek alkohol, mencoba merangkak menjauh, berusaha menyelamatkan diri. "Aku harus pergi. Ini urusan laki-la
"Tidak seperti biasanya. Ia akan menyambutku dengan senyum manis, menanyakan apakah aku sudah makan atau lelah. Perubahan Berlian terlalu mendadak," pikir Luke, menatap istrinya yang kini tertidur pulas menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Setelah mengoceh sepanjang perjalanan seperti burung parkit, akhirnya Berlian tertidur. Entah karena mabuk atau lelah setelah seharian meluapkan emosi. Luke menatap istrinya dengan wajah datar, tanpa berniat menyentuhnya. Jika terganggu, sang istri mungkin bereaksi keras. Apalagi, kondisi emosinya yang belum stabil membuat Luke memilih untuk membiarkan Berlian terlelap. "Julius, apakah kau sudah menanyakan kepada beberapa pelayan siapa yang datang ke kediaman semalam?" tanya Luke, pandangannya terarah ke kaca dasbor. Julius yang tengah menyetir, membalas kontak mata tuannya melalui kaca. "Kata Ana, Nyonya sangat kecewa malam itu. Nyonya beberapa kali menatap makanan yang dimasak untuk Tuan sambil menangis. Setelah itu, Andrew datang ber
"Andrew, aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," kata Luke, ketika ia duduk berhadapan dengan pria setengah baya. Pagi sekitar jam sembilan, Luke memutuskan menemui Andrew. Padahal pagi itu, Luke ingin meminta tanda tangan Berlian karena ada masalah di ladang opium. Berhubung Luke tidak menemukan Berlian di manapun, Luke mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Andrew. Andrew dengan ramah menyambut kedatangan Luke. Bibir pria itu terus mengambang dengan senyum yang merekah. "Tentu, Kakak Ipar. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dengan wajah datar, Luke meraih cerutu, membakar cerutu itu dan menghembuskan asapnya ke arah Andrew. "Aku tahu kau sering datang ke mansion, terutama ketika aku tidak ada. Dan aku mendengar dari beberapa pelayan bahwa kau sering berbicara dengan Berlian. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kalian bicarakan." Andrew menatap Luke dengan tenang. "Aku hanya mencoba memberikan semangat kepada Berlian, Luke. Dia terlihat sangat kesepian dan te
"Dari mana kau seharian ini?" tanya Luke dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Berlian. Berlian yang berjalan masuk ke dalam mansion mengabaikan pertanyaan Luke. Pria itu berdiri menyandarkan sisi tubuhnya pada sekat dinding antara ruang tamu menuju ke arah tangga sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Berlian melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan, meletakkan sepatu yang baru ia lepas dengan rapi di rak sepatu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata Berlian tidak menatap Luke sama sekali. Ia hanya meletakkan tas kecil yang ia tenteng di sofa dan mulai berjalan menuju tangga. "Jangan mengabaikanku, Berlian. Aku bertanya dari mana kau seharian ini!" desak Luke, suaranya semakin meninggi. Berlian berhenti di anak tangga pertama, lalu berbalik dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku punya urusan sendiri. Kenapa? Kau merasa terganggu?" "Aku mencoba menghubungimu berkali-kali. Kenapa tidak diangkat? Tidak membalas pesanku?" Luke melangkah mendekat, mata Luke masi
"Bibi Lucy, sepertinya obat yang Bibi berikan tidak mempan untukku. Aku terus merasa gelisah dan akhir-akhir ini sering mengalami emosi yang tidak stabil," ucap Berlian menatap resep yang diberikan Lucy, seorang psikiater pribadi keluarga Kenneth. Lucy menatap Berlian dengan simpati. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela besar menerangi kamar Berlian, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan dinginnya suasana hati Berlian. Lucy meletakkan resep yang ia tulis di atas meja kecil samping tempat tidur, menatap majikan kecilnya dengan sendu. "Nyonya Berlian, kau tahu aku ada di sini untuk membantu. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, jangan ragu untuk menceritakannya," kata Lucy, lembut. Lucy wanita paruh baya itu tidak pernah memaksa maupun mendesak kliennya. Lucy ingin jika kliennya itu merasa nyaman dan terbuka secara sukarela menceritakan apa yang kliennya alami. Berlian, wanita manja yang selalu merasa kuat itu menggeleng sambil tersenyum lebar. Ia meminta bibi Lucy data
"Luke, kau mendengarku?" Maximilian menjentikkan jari di depan wajah Luke, saat melihat rekannya itu dari tadi tampak tidak fokus. Di sudut lain aula, Luke terus memperhatikan wanita bertopeng emas. Wanita itu jelas tidak nyaman, dan itu membuat Luke semakin tertarik. Tidak biasanya Luke gampang tertarik oleh lawan jenis. Tetapi wanita yang duduk di pojokan sana membuat rasa penasaran Luke pun muncul. Entah bagaimana bisa wanita itu dapat memikat perhatian Luke, ada sebuah dorongan kuat yang membuat Luke ingin menghampiri wanita itu. Selama ia hidup, Luke baru merasa jika hanya Berlian yang mampu mengalihkan pandangan Luke kepada wanita-wanita di luar sana. Ternyata malam ini, ada satu wanita lagi yang mampu mencuri perhatian Luke. Maximilian yang melihat Luke seperti terkena sihir pun mendengkus kesal. "Luke! Sadar, kau itu sudah punya istri! Jika kau tidak lagi mencintai istrimu, di lelang saja di pasar gelap —"Bugh! Belum sempat Maximilian menyelesaikan kalimatnya, Luke sud
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara