"Bau parfum dan suara ini...." Berlian mendongak, mencoba mengingat di mana dia pernah mencium bau parfum ini sebelumnya. 'Luke?' gumam Berlian, ia menggelengkan kepala, menepis bayangan suaminya yang menyebalkan itu. 'Come on, kau harus membuang bayangan Luke jauh-jauh. Bukankah kau ingin melupakan pria itu, Lian! Pria ini tidak mungkin Luke. Dia tidak akan berada di tempat ini. apalagi mengenalimu?' Berlian berusaha meyakinkan diri jika yang berdiri di hadapannya itu bukanlah suaminya. Pria bertopeng hitam itu tersenyum tipis di balik topeng. "Kau baik-baik saja?" tanya pria tersebut dengan suara berat. Suara pria itu begitu akrab di telinga Berlian. Membuat hati Berlian berdebar kencang, ada sebuah desiran hangat yang tiba-tiba mengalir dari suara itu. Suara yang sudah lama tidak menyapanya dengan kelembutan. Berlian mencoba mengatur napas. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut," jawab Berlian. "Hmm ... Terima kasih sudah menyelamatkanku." lanjut Berlian. Pria
"Bagaimana, Nona Lilian? Setelah menyetujui syarat yang kau berikan apa kita bisa melanjutkan ini?" tanya Luke, mengelus dagu Berlian. Dua manusia yang duduk di bibir ranjang itu saling menatap dalam hening, cahaya lilin yang hampir redup bergoyang-goyang tertiup angin yang masuk melalui cela-cela ventilasi. Rasa cemas dan penasaran kini merayap dalam diri Berlian. Tangan wanita itu berkeringat, ini kali pertama ia akan melakukan hubungan badan dan memberikan kesuciannya kepada pria asing yang bukan suaminya sendiri. 'Luke, kenapa di saat aku ingin menyerah dan memberikan diriku seutuhnya kepada pria asing ini, namun kenapa bayangan Luke yang dingin dan sorot mata Luke kini terlintas saat aku melihat tatapan pria ini yang mirip sekali seperti Luke?' perasaan Berlian dilema, apakah dia akan melanjutkan langkah yang sudah terlanjur ia mulai atau kembali mundur dan melarikan diri dari situasi ini. Luke, atau Zee, mendekatkan wajahnya. "Apa kau ragu?" bisik Luke lembut, desiran
"Kemana wanita itu? Perasaan, tadi dia lari ke arah sini!" ujar seorang pria bertopeng kepada rekan-rekannya dengan napas tersengal-sengal. Pria-pria bertopeng itu saling memandang, mencoba mencari petunjuk di lorong remang-remang. Mereka tampak kebingungan, tidak tahu ke mana arah wanita yang mereka kejar. Sementara mereka kebingungan, Julius datang menghampiri mereka dengan senyum lebar yang terpatri di wajah Julius. "Sedang mencari siapa, Tuan-tuan?" tanya Julius dengan nada santai. Pria-pria bertopeng itu menoleh dengan pandangan curiga. "Ada urusan apa denganmu? Pergi sana, urus saja urusanmu sendiri!" sentak seorang pria dengan suara meninggi. Julius tertawa kecil. "Oh, aku hanya penasaran. Kalian terlihat begitu bingung. Mungkin aku bisa membantu?" Julius melirik ke arah sudut lorong, di mana beberapa anak buah Luke berdiri di sana dengan tenang. Seorang pria mendengus. "Dia lari ke sini. Seorang wanita dengan gaun biru. Kamu melihatnya?" tanya pria bertopeng yang la
"Ada apa? Jika tidak ada hal yang penting, kau tidak akan mungkin mengetuk pintu," tanya Luke ketika pria itu sudah rapi dengan setelan jas masih dengan topeng yang ia kenakan. Julius merasa bersalah telah mengganggu aktivitas tuannya. Tetapi, ada sesuatu yang mendesak yang harus ia sampaikan. "Maaf, Tuan. Saya hanya ingin menyampaikan hasil penyelidikan mengenai surat misterius yang dikirimkan waktu itu." Luke menyimak sambil melangkah melewati koridor remang-remang. Pikirannya masih terus tertuju kepada gadis di dalam kamar yang ia tinggalkan. Meskipun malam ini tidak terjadi apa-apa antara Luke dan Berlian, hanya melakukan Petting seks tanpa penetrasi, Luke masih penasaran dengan wanita di dalam sana. Tetapi, saat ini, Luke harus memaksakan dirinya fokus pada laporan Julius, sang asisten. "Apa yang kau temukan? Apakah kau sudah menemukan siapa yang mengirim surat itu?" Julius mengangguk dengan pasti. "Ya, dia adalah Galen, Tuan," jawab Julius. Deg! Mendengar
"Ana, apakah Berlian sudah pulang?" tanya Luke saat ia sedang menikmati sarapan, bersiap-siap untuk menemui Geral yang beberapa waktu lalu pernah memiliki konflik di kasino. Ana yang sedang menuangkan air ke dalam gelas Luke pun menoleh. "Belum, Tuan, sepertinya, satu hari kemarin saya tidak menemukan Nyonya. Semalam juga Nyonya belum kembali. Coba Tuan tanyakan kepada Fiona," jawab Ana. Luke menghentikan alat makannya, perasaan cemas mulai menggerogoti diri Luke. Apakah dia benar-benar serius dengan ucapannya bercerai denganku? Atau, Berlian sudah mengetahui sesuatu? Bisa-bisanya dia pergi sementara acara ulang tahun neneknya akan segera dilangsungkan. Pikir Luke. "Fiona sudah kembali?" tanya Luke. "Sudah, Tuan. Baru saja tiba dari kampung." "Panggil dia kemari. Aku ingin tahu, apakah Berlian menghubungi dia!" perintah Luke. "Baik, Tuan." Ana meletakkan teko kaca yang ia pegang, dengan bur
Malam ini, Berlian berdiri di ruang makan besar keluarga Kenneth, memandangi meja makan kaca yang telah ia siapkan dengan hati-hati. Setiap detail ditata dengan penuh harapan—bunga mawar merah segar di tengah meja, lilin-lilin yang menyala lembut, dan hidangan lezat yang menunggu untuk dinikmati. Namun, di balik senyum Berlian, ada kegelisahan yang sulit untuk ia sembunyikan. "Mengapa tidak diangkat? Apakah paman begitu sibuk?" keluh Berlian, sesekali mendesah pelan ketika Berlian menekan nomor suaminya, berharap ada jawaban. Akan tetapi, nada sambung yang panjang dan tak berujung membuat kegelisahan Berlian semakin menjadi-jadi. Ana, pelayan setia keluarga Kenneth, mengamati majikannya itu dengan penuh simpati. "Nyonya, mungkin Anda ingin minum sedikit sementara menunggu Tuan pulang atau makan sesuatu terlebih dulu?" Ana menawarkan sambil menyodorkan gelas anggur. Berlian menggeleng, mencoba tersenyum. "Tidak, Ana. Aku akan menunggu. Mungkin Paman sedang dalam perjalanan.
"Kenapa paman selalu bersikap dingin? Apakah paman hanya menginginkan posisi ini? Posisi dimana kekuasaan yang diprioritaskan?" gumam Berlian, memandangi foto pernikahan ia dan Luke yang tergantung di dinding kamar mereka. Wajah Luke dalam foto itu tampak tenang, namun tatapan mata suaminya begitu dingin seakan menembus ke dalam hati Berlian. "Kenapa kau tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya? Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Berlian bertanya-tanya pada bayangan suaminya dalam foto tersebut. Tangan Berlian terulur, meraba permukaan foto pernikahan mereka dengan jemarinya, merasakan dingin kaca di bawah sentuhan yang ia lakukan. "Kau menderita dengan pernikahan ini? Jika kau tidak menganggap pernikahan ini berarti, kenapa kau mau menerima perjodohan ini?" lirih Berlian pilu. Suara detik jam yang berirama mengisi keheningan kamar, sementara pikiran Berlian terus berputar mencerna ucapan Andrew. Ucapan sepupunya itu membuat Berlian semakin takut. Jika apa yang
"Kau ingin bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian, dengan suara berisik. Mungkin, ucapan itu, hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kau mendengarku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kau hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu bergetar namun tegas. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kau tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak