"Ana, apakah Berlian sudah pulang?" tanya Luke saat ia sedang menikmati sarapan, bersiap-siap untuk menemui Geral yang beberapa waktu lalu pernah memiliki konflik di kasino.
Ana yang sedang menuangkan air ke dalam gelas Luke pun menoleh. "Belum, Tuan, sepertinya, satu hari kemarin saya tidak menemukan Nyonya. Semalam juga Nyonya belum kembali. Coba Tuan tanyakan kepada Fiona," jawab Ana. Luke menghentikan alat makannya, perasaan cemas mulai menggerogoti diri Luke. Apakah dia benar-benar serius dengan ucapannya bercerai denganku? Atau, Berlian sudah mengetahui sesuatu? Bisa-bisanya dia pergi sementara acara ulang tahun neneknya akan segera dilangsungkan. Pikir Luke. "Fiona sudah kembali?" tanya Luke. "Sudah, Tuan. Baru saja tiba dari kampung." "Panggil dia kemari. Aku ingin tahu, apakah Berlian menghubungi dia!" perintah Luke. "Baik, Tuan." Ana meletakkan teko kaca yang ia pegang, dengan bur"Beb, aku balik ya, kamu yakin aku meninggalkanmu di sini?" tanya Sarah memastikan. Berlian yang sudah menemui pengacara dan menjelaskan perihal ia ingin bercerai, memutuskan untuk pergi ke kediaman sepupunya selama pengacara Berlian mengurus dokumen perceraian. Kata pengacara Berlian, jika pengajuan akan diproses dan membutuhkan waktu selama satu minggu. Jadi, selama menunggu proses, Berlian akan tinggal di kediaman sepupunya. "Iya, aku turun di sini saja. Kamu hati-hati ya! Maaf, jika sudah merepotkanmu," jawab Berlian yang kini sudah berada di luar mobil. "Oke deh! Jika ada sesuatu, kabari aku. Nomor ponselmu kenapa selalu tidak aktif? Aku susah menghubungimu! Tolong ya, Lian. Kamu harus baik-baik di sini. Oke?" Berlian menangguk. "Ya. Kamu juga hati-hati saat berkendara. Masalah nomorku, aku memang tidak ingin ada yang menggangguku!" ucap Berlian. "Baiklah. Kalau begitu, aku pergi!" Set
"Nak, sudah 20 tahun kamu tertidur di atas pangkuan Tuhan. Ibu merindukanmu, Nak," gumam Vania Kenneth. Wanita sepuh berdarah Indonesia itu menatap lekat foto mendiang anaknya, mata wanita tua tersebut berkabut memandangi foto sang putra yang sudah tidak ada lagi. Dia adalah ayah angkat Luke yang meninggal dunia akibat kanker otak. Di dalam foto itu, putranya tersenyum ceria, wajah penuh kebahagiaan yang tak lagi bisa Vania lihat di dunia nyata. Vania mengusap foto Alaric dengan jemari yang sudah keriput, seakan berharap bisa menyentuh wajah anaknya sekali lagi. Ethan Kenneth, tanpa sengaja melewati ruangan di mana sang istri berdiri. Ia berhenti, menatap Vania yang tengah bersedih. Dengan langkah pelan, Ethan berjalan menghampiri istrinya. "Ma. Jangan terlalu diratapi." Merasa pelukan hangat sang suami, Vania memejamkan mata. Air mata wanita sepuh itu lolos begitu saja. "Pa, bagaimana aku tidak bersedih? Dua anakku meninggal dunia. Vannet dan suaminya Daniel, meninggal aki
"Dua hari ini kamu kemana? Kenapa nomor ponselmu tidak dapat dihubungi?" Luke membuka percakapan. Ketika mobil melaju, mobil tersebut terasa seperti uji nyali. Hening, mencekam dan tegang yang dirasakan oleh Luke, Berlian, dan Julius yang tengah mengemudi. Setelah mendesak keluarga Pratama, Berlian akhirnya mau keluar dan ikut dengan Luke. Berlian tidak ingin menyeret masalah rumah tangganya kepada orang lain. Meskipun terpaksa, Berlian akhirnya mau ikut dengan suaminya. Berlian yang mendengar pertanyaan Luke tidak menggubris. Ia tetap acuh, pandangan wanita itu hanya tertuju ke arah jendela mobil. Berlian sudah malas menjawab pertanyaan yang sama. "Berlian, kau tidak tuli 'kan? Aku masih suamimu. Jika aku bertanya, jawab!" Luke kembali Bertanya. Kali ini, dengan suara yang sedikit menekan. Berlian dengan cepat menutup kedua telinganya dengan telapak t
"Panggil Berlian untuk menemuiku di bawah. Kita harus siap-siap ke acara ulang tahun neneknya!" perintah Luke kepada Julius ketika Luke sedang menatap penampilannya di cermin. Luke dengan setelan jas hitam, rambut di sisir ke belakang dengan sorot mata coklat muda yang tajam memperlihatkan wibawanya. Mesti ia tahu, jika tiba di kediaman tuan besar, wibawanya itu akan jatuh ketika ia harus berhadapan dengan keluarga Berlian. Julis mengangguk patuh. "Baik, Tuan, saya akan ke kamar Nyonya Berlian," jawab Julius berlalu.Sejak pertengkaran malam itu, Berlian tidak ingin tidur di kamar mereka lagi. Luke, mengalihkan pandangan ke arah foto mendiang ayah angkatnya. Ayah angkat yang telah mengajari Luke banyak hal. Ketika semua orang menolak kehadiran Luke, hanya ayah angkat Luke yang dengan sabar mengajari dan membimbing Luke.Sayangnya, sang ayah angkat itu belum sempat mengajari Luke cara mengelola opium menjadi obat pereda rasa nyeri. Ayah angkat ya
Malam ini, Berlian berdiri di ruang makan besar keluarga Kenneth, memandangi meja makan kaca yang telah ia siapkan dengan hati-hati. Setiap detail ditata dengan penuh harapan—bunga mawar merah segar di tengah meja, lilin-lilin yang menyala lembut, dan hidangan lezat yang menunggu untuk dinikmati. Namun, di balik senyum Berlian, ada kegelisahan yang sulit untuk ia sembunyikan. "Mengapa tidak diangkat? Apakah paman begitu sibuk?" keluh Berlian, sesekali mendesah pelan ketika Berlian menekan nomor suaminya, berharap ada jawaban. Akan tetapi, nada sambung yang panjang dan tak berujung membuat kegelisahan Berlian semakin menjadi-jadi. Ana, pelayan setia keluarga Kenneth, mengamati majikannya itu dengan penuh simpati. "Nyonya, mungkin Anda ingin minum sedikit sementara menunggu Tuan pulang atau makan sesuatu terlebih dulu?" Ana menawarkan sambil menyodorkan gelas anggur. Berlian menggeleng, mencoba tersenyum. "Tidak, Ana. Aku akan menunggu. Mungkin Paman sedang dalam perjalanan.
"Kenapa paman selalu bersikap dingin? Apakah paman hanya menginginkan posisi ini? Posisi dimana kekuasaan yang diprioritaskan?" gumam Berlian, memandangi foto pernikahan ia dan Luke yang tergantung di dinding kamar mereka. Wajah Luke dalam foto itu tampak tenang, namun tatapan mata suaminya begitu dingin seakan menembus ke dalam hati Berlian. "Kenapa kau tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya? Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Berlian bertanya-tanya pada bayangan suaminya dalam foto tersebut. Tangan Berlian terulur, meraba permukaan foto pernikahan mereka dengan jemarinya, merasakan dingin kaca di bawah sentuhan yang ia lakukan. "Kau menderita dengan pernikahan ini? Jika kau tidak menganggap pernikahan ini berarti, kenapa kau mau menerima perjodohan ini?" lirih Berlian pilu. Suara detik jam yang berirama mengisi keheningan kamar, sementara pikiran Berlian terus berputar mencerna ucapan Andrew. Ucapan sepupunya itu membuat Berlian semakin takut. Jika apa yang
"Kau ingin bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian, dengan suara berisik. Mungkin, ucapan itu, hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kau mendengarku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kau hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu bergetar namun tegas. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kau tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak
Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke. Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu. Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi. Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah. Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan k