"Panggil Berlian untuk menemuiku di bawah. Kita harus siap-siap ke acara ulang tahun neneknya!" perintah Luke kepada Julius ketika Luke sedang menatap penampilannya di cermin.
Luke dengan setelan jas hitam, rambut di sisir ke belakang dengan sorot mata coklat muda yang tajam memperlihatkan wibawanya. Mesti ia tahu, jika tiba di kediaman tuan besar, wibawanya itu akan jatuh ketika ia harus berhadapan dengan keluarga Berlian.Julis mengangguk patuh. "Baik, Tuan, saya akan ke kamar Nyonya Berlian," jawab Julius berlalu.Sejak pertengkaran malam itu, Berlian tidak ingin tidur di kamar mereka lagi. Luke, mengalihkan pandangan ke arah foto mendiang ayah angkatnya. Ayah angkat yang telah mengajari Luke banyak hal. Ketika semua orang menolak kehadiran Luke, hanya ayah angkat Luke yang dengan sabar mengajari dan membimbing Luke.Sayangnya, sang ayah angkat itu belum sempat mengajari Luke cara mengelola opium menjadi obat pereda rasa nyeri. Ayah angkat ya"Selamat ulang tahun Nyonya Kenneth. Wah, bukannya semakin tua, Anda terlihat semakin menawan," kata seorang tamu undangan mengucapkan selamat kepada Vania. Vania tersipu, senyum wanita sepuh itu malu-malu. "Terima kasih sudah berkesempatan hadir," jawab Vania. Ethan yang selalu mendampingi Vania merangkul pinggang sang istri agar menempel dengan tubuhnya, mengecup lembut pipi wanita sepuh itu dengan sayang sambil tersenyum ke arah para tamu. "Orang-orang bakar lilin agar ditiup. Tetapi, istriku ini beda. Dia bakar lilin malah jadi babi dan aku yang disuruh jaga lilin," celetuk Ethan bergurau. Mata Vania membola mendengar ucapan Ethan, ia menoleh lalu mencubit pinggang suaminya dengan gemas. "Papa, masa Mama mau dijadikan siluman ngok-ngok, sih?" ujar Vania manja. Ethan tertawa lepas mendengar ucapan manja istrinya, membuat para tamu turut tersenyum dan tertawa melihat keakraban pasangan itu. "Tentu tidak,
"Juju, untuk apa dia di sini?" gumam Luke. Kehadiran pria berwajah angkuh itu membuat Luke, Ethan, dan Vania menyipitkan mata mereka. Sikap mereka seketika menjadi waspada. Sementara Berlian yang duduk di sudut ruangan pun tersenyum sinis melihat kehadiran Juju, pria itu adalah kerabat Berlian dari keluarga sang kakek. Anak tunggal dari mendiang Pamannya Ethan Kenneth. "Apa yang kau lakukan di sini, Juju?" tanya Ethan, sorot mata pria sepuh itu tajam penuh selidik. Juju tersenyum tipis, menampakkan gigi-gigi putihnya yang rapi. "Tidak ada yang istimewa, Paman. Hanya datang untuk melihat bagaimana kalian mengurus warisan keluarga," jawab Juju dengan nada yang penuh sindiran. Luke melirik ke arah Berlian, mencari tanda-tanda bahaya. "Sepertinya kita semua tahu apa yang sebenarnya kau inginkan, Juju. Jadi, langsung saja katakan." Vania, yang sejak tadi diam, berdiri dan melangkah maju. "Kita tida
"Pa, bagaimana ini? Aku sudah menduga jika Luke memang membawa bahaya di keluarga kita. Juju tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Berlian juga sudah mengajukan surat perceraiannya dengan Luke! Aku sudah cukup stres menghadapi masalah ini, Ethan!" ujar Vania. Ketika Juju meninggalkan ruangan kerja Ethan, suasana masih terasa tegang di mana Ethan dan Vania berada. Ethan mengusap wajahnya kasar. Pria sepuh itu sudah memprediksi jika hal ini akan terjadi. Dan Luke, masih belum menyelesaikan tugas yang orang tua itu berikan. "Vania, Luke adalah bagian dari keluarga ini. Untuk saat ini, kita masih membutuhkannya. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Aku akan mengatasi masalah ini!" Ethan berusaha menenangkan istrinya meskipun hatinya penuh kekhawatiran. Wajah Vania memerah marah. Vania benar-benar tidak bisa menahan diri dari kepura-puraan dan kemunafikan yang
"Anak tidak tahu malu itu! Bagaimana bisa kita membiarkan dia tinggal di rumah kita?" tante Eva tidak bisa lagi membendung amarahnya ketika melihat punggung Luke yang semakin menjauh. Om Thomas, yang masih memegangi rahang Andrew, menambahkan dengan nada marah, “Kau lihat apa yang dia lakukan pada anak kita? Apa kau pikir orang seperti itu pantas tinggal di sini? Dia membuat masalah di mana pun dia berada! Dia harus diusir dari keluarga ini!” Andrew, meskipun kesakitan, ikut mengejek Luke. “Sialan, Luke! Kau pikir kau bisa begitu saja menginjak-injak harga diriku? Kau tidak akan pernah menjadi bagian dari keluarga ini, tidak peduli seberapa keras kau mencoba!” Para tamu undangan yang menyaksikan kejadian tersebut mulai bergosip dan berbisik-bisik, beberapa di antaranya tampak kaget dan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Aku t
Plak! Suara tamparan keras itu menggema di taman belakang kediaman Tuan Besar, kala Berlian menampar pipi suaminya. Tangan Berlian gemetaran, dada kembang-kempis menahan gejolak emosi dan amarah yang menerjang. Ia tidak pernah mengira jika pelakunya adalah suaminya sendiri. "Tega kamu, Luk? Kenapa kau melakukan ini?!" bibir Berlian bergetar, air mata Berlian mengalir semakin deras tanpa bisa ia tahan lagi. Luke terdiam, tidak merespon saat rasa perih merayap di pipi kanan, akibat tamparan yang ia terima dari sang istri. "Jawab! Kenapa?! Apakah kau tidak setahu malu, Luke?! Keluargaku sudah berbaik hati mengasuh anak sepertimu, Paman! Kenapa kau melakukan ini?!" teriak Berlian penuh kekecewaan dan amarah.
"Julius, apakah tuan dan nyonya akan bertengkar seperti ini terus menerus? Apa mereka akan bahagia ya?" tanya Fiona, membuka percakapan. Dua asisten itu sedang berada di depan mansion Tuan Besar. Berada di gazebo depan sambil memperhatikan proses berlangsungnya pesta dengan waspada di derasnya hujan yang turun malam ini. Julius membumbungkan asap rokoknya sebelum ia menjawab pertanyaan Fiona. "Hmm... Aku juga tidak tahu. Mereka seperti Tom dan Jerry. Sejak malam itu, saat nyonya Berlian kecewa, semuanya menjadi seperti ini. Satu kediaman dibuat tegang oleh nyonya dan tuan." Fiona mendorong bahu Julius sambil terkekeh. "Jangan sampai tegang di bawah juga. Bahaya, kau kan jomblo," kelakar Fiona. Julius menengok ke Fiona dengan wajah merengut. "Sialan, aku jomblo karena sibuk dengan urusan pekerjaan. Aku ini laki-laki. Meskipun sudah uzur, ka
"Telepon Fiona, tanyakan kepadanya sekarang dia berada di mana!" perintah Luke pada Julius. Saat ini, Luke sudah berada di dalam mobil yang tengah melaju. Pria itu menopang dagu pada bingkai jendela mobil dengan cemas. "Baik, Tuan, saya akan mencoba menghubungi Fiona." Dengan tangan yang sudah mengerut karena dingin, Julius menggeser layar ponselnya yang bertengger pada holder di atas dasbor mobil. Setelah insiden di taman belakang, pikiran pria itu tidak dapat fokus. Fokus Luke hanya tertuju kepada Berlian. Yang ia sesali, kenapa rahasia yang ia simpan dengan rapi harus terkuak di waktu yang tidak tepat? Tetapi ada rasa lega ketika Luke berhasil membuat Berlian membenci dirinya. Semakin istrinya itu membenc
“Sssst...!” Luke mendesis kala sang dokter pribadi berusia 0.4 abad itu tengah mengobati luka cakar pada wajah Luke. Di sudut ruangan yang remang, bayangan jarum suntik dan peralatan medis lainnya terpantul samar. Rafael, sang dokter, dengan teliti membersihkan luka-luka di wajah Luke, tangan terampilnya bekerja dengan tenang meski rasa sakit jelas terlihat di wajah pasiennya. Kejadian di dalam mobil kembali terngiang dalam benak Luke. Berlian, dalam amukannya yang kesetanan, mencakar wajah pria itu tanpa ampun. Luke bisa merasakan kuku-kuku tajam itu menggores kulitnya, meninggalkan jejak merah yang memerih di setiap sentuhan Rafael. Ancaman Luke untuk membuat Berlian menderita terasa hampa, hanya angin lalu dalam kebisuan yang menyeruak di antara mereka. Meskipun ancaman itu terucap, Luke tahu hatinya tidak sanggup menyakiti wanita yang selama ini setia di sisinya, memberikan dukungan saat semua orang menghina. Meski kini yang Luke dapatkan hanyalah benci. “Tuan, lain k
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara