“Sssst...!” Luke mendesis kala sang dokter pribadi berusia 0.4 abad itu tengah mengobati luka cakar pada wajah Luke. Di sudut ruangan yang remang, bayangan jarum suntik dan peralatan medis lainnya terpantul samar. Rafael, sang dokter, dengan teliti membersihkan luka-luka di wajah Luke, tangan terampilnya bekerja dengan tenang meski rasa sakit jelas terlihat di wajah pasiennya. Kejadian di dalam mobil kembali terngiang dalam benak Luke. Berlian, dalam amukannya yang kesetanan, mencakar wajah pria itu tanpa ampun. Luke bisa merasakan kuku-kuku tajam itu menggores kulitnya, meninggalkan jejak merah yang memerih di setiap sentuhan Rafael. Ancaman Luke untuk membuat Berlian menderita terasa hampa, hanya angin lalu dalam kebisuan yang menyeruak di antara mereka. Meskipun ancaman itu terucap, Luke tahu hatinya tidak sanggup menyakiti wanita yang selama ini setia di sisinya, memberikan dukungan saat semua orang menghina. Meski kini yang Luke dapatkan hanyalah benci. “Tuan, lain k
"Kita harus memastikan semuanya berjalan lancar," gumam Juju, mengangkat ponsel dan memberi instruksi tegas kepada anak buahnya. Anton, tangan kanan Juju yang setia, masuk ke ruangan. "Apa rencana Tuan selanjutnya?" Pagi itu, di kediaman, Juju duduk gelisah di ruang kerja. Pikiran tentang konfrontasi semalam dengan Ethan terus berputar di kepala. Mata pria berusia 37 tahun itu menatap jauh ke arah taman, senyum sinis terpampang jelas di wajah Juju yang angkuh. "Kita akan membuat mereka sibuk dengan masalah di ladang opium. Sementara mereka panik, kita ambil alih kendali," jawab Juju datar, ia memutuskan sambungan teleponnya. "Bagaimana dengan Luke?" tanya Anton, alis pria itu mengernyit. "Luke bukan ancaman. Drama keluarga ini akan mengalihkan perhatian pria sampah itu. Jika dia mencoba menghalangi, kita punya rahasia yang bisa menghancurkannya," kata Juju dengan senyum licik. Anton mengangguk, pergi melaksanakan perintah. Juju menatap foto tua di meja, gambar keluarga be
Berlian tiba di kediaman Tuan Besar dengan langkah angkuh. "Di mana nenek dan kakek?" tanya Berlian dingin pada David, tangan kanan Ethan. "Tuan dan Nyonya sedang berada di rotunda taman belakang, Nyonya muda," jawab David, membungkuk hormat. Berlian melewati David tanpa sepatah kata pun, matanya penuh amarah. Dia mengabaikan pesan yang ia terima di loker tadi siang. Saat ini, langit sudah berubah jingga. Prioritas Berlian saat ini adalah dendam. Tidak ada waktu untuk dirinya membuang-buang waktu bertemu dengan orang yang bahkan tidak ia kenal. Sesampainya Berlian di taman, ia melihat Ethan dan Vania sedang menikmati teh. Pemandangan itu hanya membuat Berlian semakin marah. "Nek, Kek!" panggil Berlian dengan suara tajam. Ethan dan Vania terkejut melihat Berlian dengan wajah marah. Vania berdiri dan mencoba meraih tangan Berlian. "Lian, sayang, semalam kenapa kau pulang begitu cepat—" "Hentikan basa-basinya, Nek!" sergah Berlian. "Aku datang kemari ingin mengatakan sesuat
"Oh ... Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan ladang itu!" Berlian melangkah masuk, menaiki tangga. Berlian mengambil jurusan biokimia karena cita-citanya ingin menjadi seorang ilmuwan. Sebab, ia begitu kagum dengan mendiang pamannya yang mengubah dunia hitam keluarga Kenneth menjadi pelopor penyumbang Morfin terbesar. Tetapi, apa yang Berlian dapatkan? Ia tidak dipercaya mengelola bisnis keluarganya. Sementara Luke, saat kuliah, kakak sekaligus paman angkatnya itu mengambil jurusan bisnis sambil melakukan transaksi ilegal. "Jika wanita dianggap sebagai beban, maka aku akan tunjukkan bahwa aku bisa menjadi lebih dari sekadar bayangan di balik pria. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu, bahwa aku layak mendapatkan kepercayaan dan pengakuan," gumam Berlian dengan penuh tekad, melangkah menaiki tangga dengan lebih tegar. Berlian menghembuskan napas, mencari kekuatan dalam dirinya. "Bangkit, diam ditindas, atau diremehkan? Aku memilih melawan! Aku akan buktikan jika wanita juga
"Dia bangun," bisik Luke dengan nada panik saat merasakan gerakan kecil dari Berlian. Luke menarik mundur kepalanya, berusaha melepaskan diri, tetapi tangan Berlian yang melingkar di lehernya semakin mengerat. "Ikhh..." Luke mencoba lagi menarik diri. Dia deg-degan, takut jika Berlian menyadari jika dirinya ketahuan memberikan perhatian. Atau lebih buruk lagi, wanita itu bisa shock lalu kesurupan. "Ibu, jangan pergi... Jangan tinggalkan Lian." Deg! Luke membatu, merasakan kepedihan mendalam saat mendengar suara lirih istrinya. Namun, dia juga bernapas lega ketika menyadari bahwa Berlian hanya mengigau. "Fuih, aku terlalu berharap. Aku pikir, Lian benar-benar tidak ingin aku pergi. Ternyata itu untuk ibunya," ucap Luke dalam hati, merasa lega dan juga sedih. Akhirnya, Luke membiarkan Berlian tetap memeluk lehernya, meskipun posisi Luke sungguh tidak nyaman. Luke masih tetap membungkuk, berdiri di sisi tempat tidur. Berharap dengan begitu, Berlian bisa tenang. "Tunggu b
"Ra, Sarah! Apakah kamu ada di dalam?" Berlian menekan tombol bel di pintu apartemen sahabatnya itu. Sudah satu Minggu lamanya sejak Luke diam-diam memberikan perhatiannya kepada Berlian. Dan selama itu juga Berlian dan Luke tidak saling bersua. Berlian menutup aksesnya rapat-rapat dan tak ingin diganggu. Berlian fokus berlatih bela diri, menembak, belajar, dan menunggangi kuda. Satu Minggu ia berlatih, belum ada hasil yang maksimal.Kini, Berlian tiba di apartemen Sarah karena surat cerai dari pengacaranya sudah datang dan Berlian ingin mendiskusikannya dengan sahabat terdekatnya."Ra, Sarah!" panggil Berlian sekali lagi, berharap sahabatnya ada di dalam.krek! Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Sarah muncul dengan wajah terkejut bersama seorang pria yang memeluk tubuh Sarah. Sesekali, pria itu mengecup ceruk leher Sarah. Berlian kaget jika Sarah bersama pria. "Umm... Aku mengganggumu? Maaf, jika waktu berkunjung kemari bukan waktu yang tepat," ujar Berlian dengan suara ca
"Kontrak untuk saling memuaskan?" Berlian mengulang, suaranya penuh keraguan dan sedikit kaget. Berlian menatap Luke dengan bingung, mencoba memahami maksud dari tawaran yang baru saja pria bertopeng hitam di depannya itu ucapkan Berlian sangat yakin, jika pria yang duduk di depannya itu adalah suaminya. Meski begitu, sekarang yang ada dipikiran wanita itu adalah mencari pelampiasan. Mau itu suaminya atau bukan, pria di depan ini cukup manis daripada suaminya yang sama sekali tidak peduli. Luke mengangguk, matanya memandang dalam ke arah Berlian. "Ya, kontrak untuk saling memuaskan. Kita tidak perlu tahu identitas kita masing-masing lebih jauh. Kita hanya perlu menikmati kebersamaan kita dalam batasan yang kita tentukan sendiri." Berlian deg-degan. Walaupun ia sudah melihat tubuh dan anu-anuan pria di depannya itu. Namun rasa canggung di dalam diri Berlian masih saja datang. "Mengapa kamu menginginkan ini? Kita bahkan tidak saling mengenal." Luke tersenyum tipis, walaupun
"Nyonya, tuan menunggu Anda di Rotunda." Berlian yang baru tiba kediaman setelah pertemuannya dengan Zee, menghentikan langkah kakinya. 'Luke? Bukannya Luke yang menyamar menjadi Zee? Dia lebih baik menggunakan topeng daripada aku harus melihat wajahnya tanpa topeng.' pikir Berlian. 'Tapi ... Jika Luke di sini, siapa yang aku temui di hotel?' Berlian masih terkejut dengan kehadiran Luke. Berlian menelan ludah menatap nanar ke arah pelayan. "Luke? Sejak kapan dia di sini?" tanya Berlian kepada pelayan yang menyambutnya itu. "Sejam yang lalu, Nyonya." Deg! Berlian merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ini terlalu cepat jika Zee tiba di sini. Jadi Zee bukanlah Luke? Berlian seakan ingin menolak Kenyataan jika yang ia temui bukanlah suaminya. Dengan gugup, Berlian mencoba menenangkan diri. "Oke. Rileks ... kebetulan dia di sini. Baiklah, sekalian aku akan memberikan surat cerai untuk dia tanda tangani." Berlian melangkah ke kamarnya sebelum ia menemui Luke. Fiona