"Kita harus memastikan semuanya berjalan lancar," gumam Juju, mengangkat ponsel dan memberi instruksi tegas kepada anak buahnya. Anton, tangan kanan Juju yang setia, masuk ke ruangan. "Apa rencana Tuan selanjutnya?" Pagi itu, di kediaman, Juju duduk gelisah di ruang kerja. Pikiran tentang konfrontasi semalam dengan Ethan terus berputar di kepala. Mata pria berusia 37 tahun itu menatap jauh ke arah taman, senyum sinis terpampang jelas di wajah Juju yang angkuh. "Kita akan membuat mereka sibuk dengan masalah di ladang opium. Sementara mereka panik, kita ambil alih kendali," jawab Juju datar, ia memutuskan sambungan teleponnya. "Bagaimana dengan Luke?" tanya Anton, alis pria itu mengernyit. "Luke bukan ancaman. Drama keluarga ini akan mengalihkan perhatian pria sampah itu. Jika dia mencoba menghalangi, kita punya rahasia yang bisa menghancurkannya," kata Juju dengan senyum licik. Anton mengangguk, pergi melaksanakan perintah. Juju menatap foto tua di meja, gambar keluarga be
Berlian tiba di kediaman Tuan Besar dengan langkah angkuh. "Di mana nenek dan kakek?" tanya Berlian dingin pada David, tangan kanan Ethan. "Tuan dan Nyonya sedang berada di rotunda taman belakang, Nyonya muda," jawab David, membungkuk hormat. Berlian melewati David tanpa sepatah kata pun, matanya penuh amarah. Dia mengabaikan pesan yang ia terima di loker tadi siang. Saat ini, langit sudah berubah jingga. Prioritas Berlian saat ini adalah dendam. Tidak ada waktu untuk dirinya membuang-buang waktu bertemu dengan orang yang bahkan tidak ia kenal. Sesampainya Berlian di taman, ia melihat Ethan dan Vania sedang menikmati teh. Pemandangan itu hanya membuat Berlian semakin marah. "Nek, Kek!" panggil Berlian dengan suara tajam. Ethan dan Vania terkejut melihat Berlian dengan wajah marah. Vania berdiri dan mencoba meraih tangan Berlian. "Lian, sayang, semalam kenapa kau pulang begitu cepat—" "Hentikan basa-basinya, Nek!" sergah Berlian. "Aku datang kemari ingin mengatakan sesuat
"Oh ... Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan ladang itu!" Berlian melangkah masuk, menaiki tangga. Berlian mengambil jurusan biokimia karena cita-citanya ingin menjadi seorang ilmuwan. Sebab, ia begitu kagum dengan mendiang pamannya yang mengubah dunia hitam keluarga Kenneth menjadi pelopor penyumbang Morfin terbesar. Tetapi, apa yang Berlian dapatkan? Ia tidak dipercaya mengelola bisnis keluarganya. Sementara Luke, saat kuliah, kakak sekaligus paman angkatnya itu mengambil jurusan bisnis sambil melakukan transaksi ilegal. "Jika wanita dianggap sebagai beban, maka aku akan tunjukkan bahwa aku bisa menjadi lebih dari sekadar bayangan di balik pria. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu, bahwa aku layak mendapatkan kepercayaan dan pengakuan," gumam Berlian dengan penuh tekad, melangkah menaiki tangga dengan lebih tegar. Berlian menghembuskan napas, mencari kekuatan dalam dirinya. "Bangkit, diam ditindas, atau diremehkan? Aku memilih melawan! Aku akan buktikan jika wanita juga
"Dia bangun," bisik Luke dengan nada panik saat merasakan gerakan kecil dari Berlian. Luke menarik mundur kepalanya, berusaha melepaskan diri, tetapi tangan Berlian yang melingkar di lehernya semakin mengerat. "Ikhh..." Luke mencoba lagi menarik diri. Dia deg-degan, takut jika Berlian menyadari jika dirinya ketahuan memberikan perhatian. Atau lebih buruk lagi, wanita itu bisa shock lalu kesurupan. "Ibu, jangan pergi... Jangan tinggalkan Lian." Deg! Luke membatu, merasakan kepedihan mendalam saat mendengar suara lirih istrinya. Namun, dia juga bernapas lega ketika menyadari bahwa Berlian hanya mengigau. "Fuih, aku terlalu berharap. Aku pikir, Lian benar-benar tidak ingin aku pergi. Ternyata itu untuk ibunya," ucap Luke dalam hati, merasa lega dan juga sedih. Akhirnya, Luke membiarkan Berlian tetap memeluk lehernya, meskipun posisi Luke sungguh tidak nyaman. Luke masih tetap membungkuk, berdiri di sisi tempat tidur. Berharap dengan begitu, Berlian bisa tenang. "Tunggu b
"Ra, Sarah! Apakah kamu ada di dalam?" Berlian menekan tombol bel di pintu apartemen sahabatnya itu. Sudah satu Minggu lamanya sejak Luke diam-diam memberikan perhatiannya kepada Berlian. Dan selama itu juga Berlian dan Luke tidak saling bersua. Berlian menutup aksesnya rapat-rapat dan tak ingin diganggu. Berlian fokus berlatih bela diri, menembak, belajar, dan menunggangi kuda. Satu Minggu ia berlatih, belum ada hasil yang maksimal.Kini, Berlian tiba di apartemen Sarah karena surat cerai dari pengacaranya sudah datang dan Berlian ingin mendiskusikannya dengan sahabat terdekatnya."Ra, Sarah!" panggil Berlian sekali lagi, berharap sahabatnya ada di dalam.krek! Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Sarah muncul dengan wajah terkejut bersama seorang pria yang memeluk tubuh Sarah. Sesekali, pria itu mengecup ceruk leher Sarah. Berlian kaget jika Sarah bersama pria. "Umm... Aku mengganggumu? Maaf, jika waktu berkunjung kemari bukan waktu yang tepat," ujar Berlian dengan suara ca
"Kontrak untuk saling memuaskan?" Berlian mengulang, suaranya penuh keraguan dan sedikit kaget. Berlian menatap Luke dengan bingung, mencoba memahami maksud dari tawaran yang baru saja pria bertopeng hitam di depannya itu ucapkan Berlian sangat yakin, jika pria yang duduk di depannya itu adalah suaminya. Meski begitu, sekarang yang ada dipikiran wanita itu adalah mencari pelampiasan. Mau itu suaminya atau bukan, pria di depan ini cukup manis daripada suaminya yang sama sekali tidak peduli. Luke mengangguk, matanya memandang dalam ke arah Berlian. "Ya, kontrak untuk saling memuaskan. Kita tidak perlu tahu identitas kita masing-masing lebih jauh. Kita hanya perlu menikmati kebersamaan kita dalam batasan yang kita tentukan sendiri." Berlian deg-degan. Walaupun ia sudah melihat tubuh dan anu-anuan pria di depannya itu. Namun rasa canggung di dalam diri Berlian masih saja datang. "Mengapa kamu menginginkan ini? Kita bahkan tidak saling mengenal." Luke tersenyum tipis, walaupun
"Nyonya, tuan menunggu Anda di Rotunda." Berlian yang baru tiba kediaman setelah pertemuannya dengan Zee, menghentikan langkah kakinya. 'Luke? Bukannya Luke yang menyamar menjadi Zee? Dia lebih baik menggunakan topeng daripada aku harus melihat wajahnya tanpa topeng.' pikir Berlian. 'Tapi ... Jika Luke di sini, siapa yang aku temui di hotel?' Berlian masih terkejut dengan kehadiran Luke. Berlian menelan ludah menatap nanar ke arah pelayan. "Luke? Sejak kapan dia di sini?" tanya Berlian kepada pelayan yang menyambutnya itu. "Sejam yang lalu, Nyonya." Deg! Berlian merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ini terlalu cepat jika Zee tiba di sini. Jadi Zee bukanlah Luke? Berlian seakan ingin menolak Kenyataan jika yang ia temui bukanlah suaminya. Dengan gugup, Berlian mencoba menenangkan diri. "Oke. Rileks ... kebetulan dia di sini. Baiklah, sekalian aku akan memberikan surat cerai untuk dia tanda tangani." Berlian melangkah ke kamarnya sebelum ia menemui Luke. Fiona
Berlian: [Aku bertengkar lagi dengan suamiku. Dia merobek surat perceraian yang aku berikan.] balas Berlian kepada Zee. Berlian membuang napas berulang kali. Mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab hingga kini. Alasan Luke yang tidak ingin bercerai, tetapi suaminya itu malah semakin semena-mena. Seharusnya, Berlian yang marah karena pria yang ia cintai itu telah membuat dirinya menjadi yatim-piatu. Sementara Kakek dan neneknya malah mendukung Luke dan tidak percaya dengan ucapan Berlian. Jika bukan Luke pelakunya, mengapa suaminya itu begitu kejam kepadanya? Segala kemelut di dalam pikiran Berlian membuatnya semakin bingung dan frustasi. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam sambil menghembuskannya dengan pelan, tetapi bayangan Luke dan perilaku Suaminya yang begitu tega terus saja bergentayangan dalam benak Berlian. 'Apakah aku harus mati? Agar mereka tahu bagaimana tersiksanya aku?' pikir Berlian yang hanya mendapati jalan bun
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara