"Oh ... Aku tidak mempunyai urusan lagi dengan ladang itu!" Berlian melangkah masuk, menaiki tangga. Berlian mengambil jurusan biokimia karena cita-citanya ingin menjadi seorang ilmuwan. Sebab, ia begitu kagum dengan mendiang pamannya yang mengubah dunia hitam keluarga Kenneth menjadi pelopor penyumbang Morfin terbesar. Tetapi, apa yang Berlian dapatkan? Ia tidak dipercaya mengelola bisnis keluarganya. Sementara Luke, saat kuliah, kakak sekaligus paman angkatnya itu mengambil jurusan bisnis sambil melakukan transaksi ilegal. "Jika wanita dianggap sebagai beban, maka aku akan tunjukkan bahwa aku bisa menjadi lebih dari sekadar bayangan di balik pria. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu, bahwa aku layak mendapatkan kepercayaan dan pengakuan," gumam Berlian dengan penuh tekad, melangkah menaiki tangga dengan lebih tegar. Berlian menghembuskan napas, mencari kekuatan dalam dirinya. "Bangkit, diam ditindas, atau diremehkan? Aku memilih melawan! Aku akan buktikan jika wanita juga
"Dia bangun," bisik Luke dengan nada panik saat merasakan gerakan kecil dari Berlian. Luke menarik mundur kepalanya, berusaha melepaskan diri, tetapi tangan Berlian yang melingkar di lehernya semakin mengerat. "Ikhh..." Luke mencoba lagi menarik diri. Dia deg-degan, takut jika Berlian menyadari jika dirinya ketahuan memberikan perhatian. Atau lebih buruk lagi, wanita itu bisa shock lalu kesurupan. "Ibu, jangan pergi... Jangan tinggalkan Lian." Deg! Luke membatu, merasakan kepedihan mendalam saat mendengar suara lirih istrinya. Namun, dia juga bernapas lega ketika menyadari bahwa Berlian hanya mengigau. "Fuih, aku terlalu berharap. Aku pikir, Lian benar-benar tidak ingin aku pergi. Ternyata itu untuk ibunya," ucap Luke dalam hati, merasa lega dan juga sedih. Akhirnya, Luke membiarkan Berlian tetap memeluk lehernya, meskipun posisi Luke sungguh tidak nyaman. Luke masih tetap membungkuk, berdiri di sisi tempat tidur. Berharap dengan begitu, Berlian bisa tenang. "Tunggu b
"Ra, Sarah! Apakah kamu ada di dalam?" Berlian menekan tombol bel di pintu apartemen sahabatnya itu. Sudah satu Minggu lamanya sejak Luke diam-diam memberikan perhatiannya kepada Berlian. Dan selama itu juga Berlian dan Luke tidak saling bersua. Berlian menutup aksesnya rapat-rapat dan tak ingin diganggu. Berlian fokus berlatih bela diri, menembak, belajar, dan menunggangi kuda. Satu Minggu ia berlatih, belum ada hasil yang maksimal.Kini, Berlian tiba di apartemen Sarah karena surat cerai dari pengacaranya sudah datang dan Berlian ingin mendiskusikannya dengan sahabat terdekatnya."Ra, Sarah!" panggil Berlian sekali lagi, berharap sahabatnya ada di dalam.krek! Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Sarah muncul dengan wajah terkejut bersama seorang pria yang memeluk tubuh Sarah. Sesekali, pria itu mengecup ceruk leher Sarah. Berlian kaget jika Sarah bersama pria. "Umm... Aku mengganggumu? Maaf, jika waktu berkunjung kemari bukan waktu yang tepat," ujar Berlian dengan suara ca
"Kontrak untuk saling memuaskan?" Berlian mengulang, suaranya penuh keraguan dan sedikit kaget. Berlian menatap Luke dengan bingung, mencoba memahami maksud dari tawaran yang baru saja pria bertopeng hitam di depannya itu ucapkan Berlian sangat yakin, jika pria yang duduk di depannya itu adalah suaminya. Meski begitu, sekarang yang ada dipikiran wanita itu adalah mencari pelampiasan. Mau itu suaminya atau bukan, pria di depan ini cukup manis daripada suaminya yang sama sekali tidak peduli. Luke mengangguk, matanya memandang dalam ke arah Berlian. "Ya, kontrak untuk saling memuaskan. Kita tidak perlu tahu identitas kita masing-masing lebih jauh. Kita hanya perlu menikmati kebersamaan kita dalam batasan yang kita tentukan sendiri." Berlian deg-degan. Walaupun ia sudah melihat tubuh dan anu-anuan pria di depannya itu. Namun rasa canggung di dalam diri Berlian masih saja datang. "Mengapa kamu menginginkan ini? Kita bahkan tidak saling mengenal." Luke tersenyum tipis, walaupun
"Nyonya, tuan menunggu Anda di Rotunda." Berlian yang baru tiba kediaman setelah pertemuannya dengan Zee, menghentikan langkah kakinya. 'Luke? Bukannya Luke yang menyamar menjadi Zee? Dia lebih baik menggunakan topeng daripada aku harus melihat wajahnya tanpa topeng.' pikir Berlian. 'Tapi ... Jika Luke di sini, siapa yang aku temui di hotel?' Berlian masih terkejut dengan kehadiran Luke. Berlian menelan ludah menatap nanar ke arah pelayan. "Luke? Sejak kapan dia di sini?" tanya Berlian kepada pelayan yang menyambutnya itu. "Sejam yang lalu, Nyonya." Deg! Berlian merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ini terlalu cepat jika Zee tiba di sini. Jadi Zee bukanlah Luke? Berlian seakan ingin menolak Kenyataan jika yang ia temui bukanlah suaminya. Dengan gugup, Berlian mencoba menenangkan diri. "Oke. Rileks ... kebetulan dia di sini. Baiklah, sekalian aku akan memberikan surat cerai untuk dia tanda tangani." Berlian melangkah ke kamarnya sebelum ia menemui Luke. Fiona
Berlian: [Aku bertengkar lagi dengan suamiku. Dia merobek surat perceraian yang aku berikan.] balas Berlian kepada Zee. Berlian membuang napas berulang kali. Mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab hingga kini. Alasan Luke yang tidak ingin bercerai, tetapi suaminya itu malah semakin semena-mena. Seharusnya, Berlian yang marah karena pria yang ia cintai itu telah membuat dirinya menjadi yatim-piatu. Sementara Kakek dan neneknya malah mendukung Luke dan tidak percaya dengan ucapan Berlian. Jika bukan Luke pelakunya, mengapa suaminya itu begitu kejam kepadanya? Segala kemelut di dalam pikiran Berlian membuatnya semakin bingung dan frustasi. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam sambil menghembuskannya dengan pelan, tetapi bayangan Luke dan perilaku Suaminya yang begitu tega terus saja bergentayangan dalam benak Berlian. 'Apakah aku harus mati? Agar mereka tahu bagaimana tersiksanya aku?' pikir Berlian yang hanya mendapati jalan bun
"Apa yang kamu lakukan, Luke Kendrick? Aku memintamu agar membuat Berlian membencimu. Bukan mengajak cucuku melayanimu di hotel! Kamu mau membuat Berlian di cap sebagai wanita murahan, hah?! Jika ada media yang mengetahui itu, mau aku taruh di mana wajahku? Di bawah kerak bumi, hah?!" pekik Ethan murka, menatap wajah cucu angkatnya itu dengan pias kemarahan. Luke terhuyung ke belakang akibat tamparan yang keras dari tangan kekar kakeknya, tetapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Luke hanya menatap Ethan dengan mata yang masih menunjukkan rasa hormat meskipun ada rasa sakit yang membakar di pipi sebelah kanan pria bermata coklat itu. Entah, darimana dan dari siapa orang tua ini tahu jika ia memakai identitas palsu untuk bertemu dengan Istrinya sendiri di hotel. "Luke, jangan kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di luar sana! Jika Berlian pergi ke tempat yang aneh, kamu hanya perlu mencegahnya. Bukan berarti kamu memanfaat cucuku untuk kamu tiduri!" geram Ethan
"Aku datang untuk mengunjungi Berlian. Dan tentu saja, aku sama sekali tidak mempunyai urusan dengan pria sampah sepertimu, Luke," jawab Andrew dengan nada keras, mencoba menutupi kegelisahan. Luke melangkah maju, berdiri di antara David dan Andrew. "Aku tegaskan, Berlian tidak bisa menerima tamu saat ini. Silakan pergi!" Andrew menggertakkan gigi. "Hei, Luke, belum puas kamu menghinaku di pesta ulang tahun Bibi Vania? Dan sekarang, anak pungut sepertimu mau berlagak sok berkuasa di depanku, hah? Aku ini sepupunya Berlian! Wajar saja jika aku datang mengunjunginya!" cetus Andrew tidak terima. Luke menatap Andrew dengan tajam, amarah pria itu tampak jelas di mata cokelat Luke. "Andrew, ini bukan tentang pesta ulang tahun atau siapa yang lebih berkuasa. Ini tentang menjaga Berlian dari orang-orang yang hanya ingin memanfaatkan istriku. Berhenti mencari kesalahan orang lain, dan mencari pembelaan. Apa kamu pura-pura hilang ingatan saat kamu sendiri yang membuat istriku hampir celak