"Aaaa...!" Suara jeritan dan tembakan bertumpang tindih menggema di ruang latihan. Tubuh Berlian merosot jatuh ke lantai sambil menutup mata erat-erat. Tapi, ada hal yang aneh. Berlian tidak merasakan sakit, hanya shock disertai degup jantung yang memompa cepat. "Aku... aku masih hidup?" Berlian membuka mata perlahan dan dengan gerakan lambat, Berlian menoleh ke samping. Berlian pun melihat permukaan lantai itu masih menyisakan asap, bekas dari tembakan yang Luke lakukan. Sambil menelan ludah, Berlian menengadahkan wajah ke atas. Wanita itu dapat melihat wajah betapa dingin wajah suaminya itu. "Kamu masih tidak memiliki nyali, Berlian." Luke melempar pistol yang ia rebut tadi kembali kepada Berlian yang masih terduduk dengan gemetar. Luke melihat wajah istrinya yang pucat pasi. Berlian menangkap pistol tersebut dengan tangan yang terasa lemas. Luke memandang dingin. "Jika kau membenci seseorang, jangan ragu untuk menarik pelatuknya!" Luke menggerakkan tangan, jarinya memp
"Tuan, ada masalah," kata Julius dengan suara cemas, mata asisten itu memicing menembus kabut tebal yang menyelimuti jalan sepi di depan mobil yang ia kendarai. "Siapa mereka?" tanya Luke, mencoba melihat lebih jelas di tengah kabut malam yang pekat. Di tengah jalan yang sepi, kabut perlahan menghilang, sorot lampu mobil Julius memperlihatkan enam orang dengan senjata tajam berupa kapak dan pedang. Mereka berdiri diam, seperti bayangan menakutkan yang siap menerkam. "Sepertinya, kita punya mainan, Tuan," ujar Julius dengan senyum miring yang terlukis di bibir. David tersenyum menakutkan, seakan merasa ada hal yang seru yang akan ia dapatkan. "Aku sudah lama tidak membuat hidung seseorang patah. Apakah malam ini akan lebih dari sekedar hidung yang patah?" David, mengeluarkan dua belati kembar yang selalu ia bawa di balik tuxedo yang ia kenakan. Tanpa peringatan, segerombolan itu berlari ke arah mobil Julius, mereka menghantam kaca mobil dengan brutal. "Crash! Bang!" Suara k
Tiga hari kemudian.... "Tuan, saya mendapatkan kabar jika Nyonya sudah mengurung diri di dalam kamar sejak kemarin," lapor Julius. "Apakah fase depresi Berlian kambuh lagi?" tanya Luke. "Saya tidak tahu, Tuan. Fiona hanya mengabari seperti yang dia kabarkan." Luke terdiam, setelah tiga hari yang penuh ketegangan, Geral akhirnya diciduk oleh tim eksekusi dan dibawa ke pengadilan bawah tanah. Hukuman dijatuhkan sesuai aturan keras dunia bawah, memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak terulang lagi. Terlalu sibuk mengurus masalah demi masalah seperti pembibitan tanaman opium, heroin yang dibajak, dan dermaga yang meminta pungli, membuat Luke melupakan perhatian yang seharusnya ia berikan pada Berlian. "Kita langsung kembali ke kediaman orang tua Berlian," perintah Luke. --- "Pa, kita harus menengok Berlian. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya, Pa?!" ujar Vania kepada suaminya, raut wajah wanita tua itu jelas khawatir. Ethan yang tengah bermain golf itu pun mengali
"Tuan sudah menunggu, Nyonya. Ana sedang membuat makan malam untukmu. Mari kita temui tuan di bawah," kata Fiona. Kini Berlian sudah rapi. Saat ini, ia ingin mencoba berdamai dengan keadaannya. Mengikuti permainan Luke. Sejak ia berdiam diri di dalam kamar, banyak keputusan yang harus dipikirkan dengan baik. Dan Berlian memutuskan untuk mengikuti arus permainan yang sudah dibuat oleh Luke dan Kakeknya. "Iya, kita tidak boleh membuat tuan perebut kekuasaan keluargaku itu menunggu terlalu lama," kata Berlian, ia berdiri dan beranjak dari meja rias yang diikuti oleh Fiona. Di meja makan besar, bergaya elegan dengan desain mewah sudah tersaji berbagai makanan yang terdiri dari makanan pembuka dan makanan penutup. Berlian memasuki ruang makan dengan wajah yang dingin dan mengambil tempat duduk paling ujung, berjauhan dengan Luke. Luke melirik, wajah Luke sama dinginnya dengan Berlian. "Kamu terlambat 10 menit," kata Luke, sudah menggenggam garpu dan pisau pemotong steak di tanga
"Eva, anakmu yang pemalas itu apakah belum bangun juga saat matahari sudah melewati bokongnya, hah?" kesal Thomas siang ini. Eva yang sedang melihat tren perhiasan terbaru di ponselnya pun membuang pandangan ke arah Thomas. "Kamu kenapa, sih? Datang-datang, Wajahmu mirip uang kertas dua ribuan dalam saku. Lecek!" kesal Eva. Thomas menjatuhkan bokongnya di sofa, melonggarkan dasi dengan wajah yang sungguh tidak enak di pandang. "Bangunkan Andrew sekarang! Mau sampai kapan dia berdiam diri dan bermalas-malasan? Tugasnya dia itu mengambil perhatian Berlian. Sekarang lihat, situasi semakin parah, Andrew harus lebih aktif sekarang," kata Thomas. Sebelum perkumpulan organisasi akan diselenggarakan, Thomas tampak bergembira dengan rencana yang sudah ia siapkan bersama Juju. Tapi apa? Tambang nikel milik keluarganya mengalami penurunan penjualan. Entah apa yang terjadi, para trader satu-satu mulai menarik diri dari kesepakatan. Thomas merasa ada yang tidak beres dan berusaha menca
"Fiona, apakah tadi Luke datang ke kampus Berlian?" tanya sang nyonya besar dari seberang telepon. Fiona yang sedang duduk bersantai itu menjawab, "Iya, Nyonya. Tadi tuan Luke datang menjemput nyonya muda Berlian." "Langkah yang baik. Tolong pantau kesehatan Berlian. Jika dia melakukan hal nekad atau hal yang aneh-aneh, tolong laporkan padaku." "Siap, Nyonya! Nyonya muda sekarang sudah mau makan dan beraktivitas. Jika ada sesuatu, nanti saya laporkan." Setelah panggilan terputus, Fiona menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya ke dalam saku. Kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. --- "Lama sekali. Apa Berlian belum selesai kuliah?" gerutu Andrew, ia menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi. Di bawah pohon, di samping trotoar depan sebuah universitas bergengsi, Andrew menunggu dengan perasaan jenuh. Perintah dari ibunya untuk memanfaatkan Berlian membuat ia semakin bernapsu untuk memiliki sepupunya itu. Andrew meremas rokok yang tinggal separuh k
"Kita mau kemana?" tanya Berlian. Setelah menolak bekerja sama dengan keluarga pratama, Ethan meminta Luke untuk mengajak Berlian jalan-jalan. Ya ... Sekedar memberikan Berlian sedikit hiburan atas kerja kerasnya. "Nanti juga kamu akan tahu," jawab Luke, pandangan pria dingin itu tetap fokus ke jalan ketika ia sedang menyetir. Mobil kembali hening. Hanya pikiran dua manusia itu yang saling berbicara. Dalam benak Berlian, masih terbesit curiga kepada kakeknya dan Luke. 'Apakah Kakek menyembunyikan sesuatu? Bagaimana caranya aku menguak kematian orangtuaku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan Kakek?' pikir Berlian. Waktu itu, bukti kecelakaan tidak ditemukan. CCTV jalanan yang berada di lokasi kecelakaan tidak terjangkau. Sebab malam itu, orang tua Berlian melewati hutan cemara dan di sepanjang jalan tersebut, hanyalah pohon cemara yang tumbuh di atas tebing, jalur jalanan tersebut pun berkelok-kelok. 'Tapi, setidaknya di bagian tertentu pasti ada CCTV, kan? Apalagi itu ad
"Halo, dengan siapa aku berbicara?" tanya Sarah ketika ia mengangkat telepon. Marcel yang tidur di atas perut Sarah itu memainkan tangannya di benda kenyal Sarah ketika kekasihnya itu sedang menerima telepon. "Sarah, apakah Berlian sedang bersamamu?" tanya pria dari seberang telepon. "Ini Andrew?" "Ya. Ini aku. Emm ... Jadi begini, aku khawatir dengan Berlian. Sudah lumayan lama aku tidak mendengar kabar maupun bertemu dengan Berlian. Apakah dia baik-baik saja?" Sarah mengeram, menahan desahan agar tidak lolos dari mulutnya ketika sang kekasih Marcel memainkan pucuk dada wanita itu. Membuat ia tidak begitu fokus pada pertanyaan Andrew. Beruntung, ia masih mengerti kenapa Andrew sampai menelpon dirinya. "Andrew, aku sedang mengambil cuti kuliah. Jadi beberapa hari ini, aku tidak masuk kampus. Aku akan memberikan nomor Berlian yang baru. Aku juga mau minta tolong padamu," ucap Sarah dengan nada memohon. "Minta tolong?" "Iya. Tolong selamatkan Berlian dari Luke. Ak