"Halo, dengan siapa aku berbicara?" tanya Sarah ketika ia mengangkat telepon. Marcel yang tidur di atas perut Sarah itu memainkan tangannya di benda kenyal Sarah ketika kekasihnya itu sedang menerima telepon. "Sarah, apakah Berlian sedang bersamamu?" tanya pria dari seberang telepon. "Ini Andrew?" "Ya. Ini aku. Emm ... Jadi begini, aku khawatir dengan Berlian. Sudah lumayan lama aku tidak mendengar kabar maupun bertemu dengan Berlian. Apakah dia baik-baik saja?" Sarah mengeram, menahan desahan agar tidak lolos dari mulutnya ketika sang kekasih Marcel memainkan pucuk dada wanita itu. Membuat ia tidak begitu fokus pada pertanyaan Andrew. Beruntung, ia masih mengerti kenapa Andrew sampai menelpon dirinya. "Andrew, aku sedang mengambil cuti kuliah. Jadi beberapa hari ini, aku tidak masuk kampus. Aku akan memberikan nomor Berlian yang baru. Aku juga mau minta tolong padamu," ucap Sarah dengan nada memohon. "Minta tolong?" "Iya. Tolong selamatkan Berlian dari Luke. Ak
“Bu, aku sudah berhasil mendapatkan nomor kontak wanita tak berguna itu,” ujar Andrew dari sambungan telepon dengan suara menggebu. Eva begitu girang bukan main mendengar kabar itu. “Begini barulah putraku. Jadi bagaimana? Apakah kamu sudah menghubunginya? Lalu … Lalu, bagaimana dengan reaksi wanita idiot itu?” tanya Eva tak sabar. “Nomornya masih belum bisa di hubungi. Mungkin dia sibuk. Tapi tenang, Bu. Aku sudah mengirimkan pesan.” “Bagus. Terus rayu dia hingga Berlian luluh. Peluang ini harus kita manfaatkan ketika si tak berguna itu merasa tidak ada yang peduli.” “Oke. Kalau begitu, aku tutup teleponnya. Masih ada urusan yang harus aku selesaikan.” Tanpa menunggu ibunya merespon lebih jauh, Andrew pun memutuskan sambungan teleponnya. Senyum jahat penuh kemenangan pun terukir di bibir Andrew. “Lian, setelah aku berhasil membuatmu bertemu denganku, jangan harap aku akan melepaskanmu begitu saja,” desis Andrew penuh dengan niat jahat. ___ Vania, wanita sepuh itu berl
"Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" Berlian bergumam. Berlian tampak mondar-mandir seperti pembersih kaca mobil kala hujan. Ia begitu resah, tidak menyangka jika Luke meminta permintaan seperti itu saat selesai latihan. Menuntut dan menagih malam pengantin mereka yang selama ini belum pernah tercapai. "Mengapa tiba-tiba? Dasar Paman rubah yang licik. Selama ini kamu mengabaikanku. Kenapa baru sekarang kamu memintanya?" gerutu Berlian frustasi, mengingat perkataan Luke. Berlian melangkah ke arah meja di depan tempat tidur. Ia meraih botol Wine Sparkling dan menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Dengan gesit, ia pun meneguk cairan tersebut. Seketika, ia merasakan panas, rasa asam segar menjalar di tenggorokannya. "Aaa ... Sial, kenapa aku segugup ini?" Berlian meletakan gelas kosong itu. "Tenang Lian, Luke adalah suamimu. Jangan grogi. Anggap saja, Luke adalah Zee, meski pria itu mungkin sudah mati tersambar petir tanpa kabar yang pasti." Berlian mencoba menena
"J-jadi, selama ini kamu membohongiku, Luke? Kamu mencoba mempermainkanku dengan menyamar sebagai orang lain, hah?!" pekik Berlian. Egois, itulah Berlian. Meski ia merasa bersyukur jika Zee adalah Luke, tetapi ia menganggap Luke telah membohongi dirinya. Seketika kebahagiaannya musnah mengingat perkataan Sarah. Pikiran-pikiran jika Luke sering ke tempat tersebut untuk mencari wanita mulai mempengaruhi pikirkan Berlian. "Membohongimu? Bagaimana denganmu? Seorang wanita yang sudah bersuami datang ke tempat seperti itu, hah?!" Luke mencengkram lengan Berlian, menarik istrinya itu lebih dekat hingga deru napas dua manusia tersebut saling bertabrakan. "Aw... S-sakit, Luke!" Berlian meringis, mencoba mengelak. Tetapi cengkraman itu terlalu kuat. "Katakan! Apa yang membuatmu datang ke tempat itu? Apa kamu tahu bagaimana perasaanku hancur, hah! Mengetahui kau mencari pria lain selain suamimu sendiri!" bentak Luke. Berlian tertegun, menelan ludah, air mata itu tumpah satu per
"Aku siap," jawab Berlian pelan, suaranya penuh keyakinan. Momen itu terasa sangat intens, seolah-olah mereka berdua sedang bergulat dengan perasaan yang sama.Luke menatap Berlian lekat-lekat ke dalam mata sang istri yang berkabut. "Kalau begitu, mari kita mulai dari awal," bisik Luke, tangan Luke yang kokoh dan lembut menyapu rambut Berlian yang tergerai di sofa, seperti angin lembut yang mengusap permukaan danau yang tenang.Berlian menggigil atas sentuhan Luke, namun ia tidak menolak. Wanita itu hanya memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya. 'Sudah cukup aku berlari dari masalah. Setelah malam ini, apa yang akan terjadi di hari-hari berikutnya?' batin Berlian. Membiarkan Luke mengambil kendali atas tubuhnya. Luke melepaskan piyama satin yang Berlian kenakan, piyama itu jatuh di atas karpet. Memperlihatkan lingerie hitam yang Berlian kenakan. Lekukan tubuh yang sempurna bah gitar spanyol dengan dada padat tampak naik-turun karena napsu. Luke menatap Berlian dengan penuh
"T-tidak. Lanjutkan saja. Aku ... Hanya perlu beradaptasi," jawab Berlian. Luke terdiam beberapa saat. Memandang istrinya yang terus menghindari pandangan Luke. Luke sedikit kecewa melihat reaksi istrinya itu. Berbeda kala Luke menyamar menjadi Zee. Berlian tanpa ragu menatap Zee. Tapi sekarang, istrinya seakan jijik melihatnya. 'Ya, dia tidak pernah benar-benar menerimaku. Dia hanya melaksanakan tugasnya sebagai istri.' pikir Luke. "Aaa ... Pa-Paman ... Sakit sekali!" Berlian mencengkram sprei merasakan benda tumpul itu mencoba mendobrak lembah kerinduannya sekali lagi. Tetapi ini lebih kasar. Luke tersenyum sinis, mengusap pipi istrinya. "Tahan, nanti sakitnya juga akan hilang," ujar Luke, mendorong pinggulnya lebih kuat ke dalam diri Berlian. Sontak terdengar ada sesuatu yang robek di dalam sana. Luke merasakan jika dinding lembah istrinya berdenyut. Berlian kesakitan, tetapi Luke tidak peduli. Dia merasakan sakit, perasaannya perih. Melihat bagaimana perbedaan dirinya
"Paman, aku datang untuk bukti yang kau sembunyikan," kata Luke dengan suara rendah, setiap kata terdengar seperti ancaman terselubung. Langkah kakinya mantap saat ia memasuki ruang kerja Galen, seolah-olah tempat itu adalah miliknya.Galen, yang tengah duduk di kursinya dengan secangkir bourbon di tangan, menatap Luke dengan pandangan penuh kebencian. "Berani sekali kamu datang mengunjungiku setelah mengahajarku habis-habisan!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang ditahan.Luke tetap berdiri tegak di depan meja kerja Galen, tidak diizinkan untuk duduk. Wajahnya tenang, namun mata kelabunya menyimpan badai. "Jika malam itu Kakek tidak datang, bukan saja wajahmu yang aku buat babak belur, Paman. Bahkan isi perutmu mungkin sudah aku keluarkan," jawab Luke dengan nada datar, namun mengandung ancaman mematikan.Brak!Galen menggebrak meja dengan keras, membuat cangkir bourbonnya hampir tumpah. Wajahnya merah padam, amarahnya memuncak. "Luke Kendrick, meskipun saat ini kamu sudah menjad
"T-tidak mungkin...." Berlian menatap video itu dengan air mata menitik membasahi layar ponsel.Ia sesenggukan, pundaknya bergetar saat melihat Luke ada di tempat kejadian. Biarpun video itu samar, ia sangat kenal dengan pakaian yang pria di dalam video itu kenakan, itu blazer suaminya. Luke berdiri di tepian jurang, menatap jurang di mana mobil kedua orang tua Berlian terjatuh. Tidak ada orang, hanya Luke dan seorang pria yang tidak Berlian kenali."Oh... Tuhan, kuat-kuat aku menepis semua prasangka dan masih mencoba untuk mempercayai suamiku sendiri. Padahal, jelas-jelas aku mendengar pengakuan itu dari mulutnya. Apa aku memang mempunyai perasaan serapuh ini? Sampai detik ini aku masih berharap jika bukan Luke pelakunya," batin Berlian, dilema.Perasaan Berlian tak bisa digambarkan lagi. Semua rasa sakit, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Kakinya lemas, seakan kedua kakinya itu tak lagi dapat menahan berat tubuhnya."Andrew, ini bohong, 'kan?" ucap Berlian dengan suara ber